Pria
yang sebelumnya menggoda Benazir, mendata barang-barang yang akan
dikirimkan keluar Istana. Ia juga mendapati surat Benazir yang ingin
dikirimkan kepada Ibunya. Sebelum petugas lain meletakkan barangnya
sesuai tujuannya, ia menyerahkan surat
itu kepada pria itu terlebih dahulu. Pria itu bergumam bahwa Benazir
adalah kesayangan Yang Mulia jadi ia tidak boleh mengganggunya. Ia
membaca surat yang ditulis Benazir. Ia tak menyangka jika Benazir
menulis surat kepada ibunya dengan kata-kata kiasan. Ia mengambil kertas
dan menutupnya diatas surat Benazir kemudian memabca surat tersebut
secara menurun, “Tugasku belum se le sa i.” Pria itu terkejut karena
ternyata Benazir datang ke istana untuk suatu tugas rahasia. “Dia
menggunakan kecantikannya untuk mengecoh semua orang.”

Benazir
datang ke kamar Jalal, sebelum masuk ia meminta izin kepada Jalal.
Jalal tampak tak bersemangat, namun ia mengizinkannya masuk. Benazir
duduk dihadapan Jalal tanpa diperintahkan Jalal. Ia berkata, “Maafkan
aku Yang Mulia jika aku lancang. Sebagai pelayan istimewamu, seharusnya
aku tidak perlu meminta izinmu untuk bertemu denganmu.” Jalal
mengingatkannya, “Jangan lupa Benazir, bahwa aku adalah seorang Raja.
Ada beberapa aturan dan etika yang harus diikuti di istana ini.”
Benazir
melihat Jalal yang tidak bersemangat, “Tapi tidak apa. Aku akan
menceriakanmu.” Ia menuangkan minuman untuk Jalal. Namun Jalal
menolaknya, “Aku sedang tidak ingin minum minuman keras.”
Benazir
langsung menoleh kearah Jalal dengan cepat. Ia menyentuh tangan Jalal
dan membelainya, “Hidupmu. Aku ingin mencuri sedikit waktu dalam
hidupmu. Aku kemari untuk mencuri hatimu. (Benazir hendak membelai
kepala Jalal namun Jalal menghentikannya) Namun aku dengar kau seseoang
yang tidak memiliki hati.” Jalal menjawab dengan tak bersemangat, “Hati
memang berharga. Namun aku sudah memberimu sesuatu yang jauh lebih
berharga.”
Benazir
menyetujuinya. Ia kemudian beranjak dan berpindah ke belakang Jalal dan
menyentuh pundaknya, “Meskipun sebagai pelayan, namun kau telah
memberiku lebih. Apalagi yang bisa aku minta darimu? Jika aku punya cara
untuk membalas perhatianmu, aku akan sangat gembira melakukannya.”
Jalal
duduk untuk membebaskan dirinya, “Aku sangat lelah hari ini Benazir.
Kau boleh pergi. Aku akan memanggilmu jika aku ingin bertemu denganmu.”
Benazir pun beranjak dan berjalan keluar dengan anggun.
Jalal
kembali tidur dengan setengah berbaring. Ia mengambil minuman yang
dituangkan Benazir untuk mencuci tangannya yang dipegang Benazir tadi.
“Tujuanku bukanlah untuk mendapatkan Benazir, aku hanya ingin membuat
Jodha cemburu.”
Jalal
sedang bersantai ditaman dengan beberapa pelayan yang berada
didekatnya. Seorang pelayan masuk dan memberitahukan bahwa Jodha meminta
izin untuk berbicara dengannya. Jalal mengizinkannya masuk.
Jodha
masuk dengan membawa nampan yang berisi obat. Jalal menyambutnya dengan
posisi yang masih setengah berbaring, “Aku tahu Ratu Jodha, kau akan
datang membawakan salep untukku setelah mendengar bahwa aku terluka. Kau
boleh mengoleskan salepnya.” Jodha menimpalinya dengan sinis dan tanpa
menatapnya, “Kau punya banyak pelayan kesayangan yang bisa melayanimu.
Kenapa tak meminta mereka untuk mengoleskan salep pada lukamu?”
Jalal
tersenyum dan menyuruh pelayannya pergi. Jalal berkata dengan tanpa
rasa bersalah, “Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Benazir
sangat menyukai hadiah yang kau berikan.”
Jodha
kesal, “Itu hadiah untukmu. Ayahku mengirimkannya dari Amer untuk
diberikan kepadamu. Kalau aku tahu kau akan memberikannya kepada orang
alin, aku tidak akan pernah memberikannya padamu.”
Jalal:
“Maaf kalau begitu Ratu Jodha. Aku tidak bisa minta pada Benazir untuk
mengembalikan selimut itu padaku. Sebagai seorang Raja, aku tidak pantas
melakukan itu.”
Pelayan
mengumumkan kedatangan Ratu Hamida. Jodha langsung mengambil nampannya
dan berpura-pura sibuk dengan obat yang diabwanya. Jodha memberi salam
kepada Hamida yang sedang panik untuk mengetahui kondisi Jalal. Ia
menyegah Jalal yang ingin bediri untuk menyambut Hamida. Hamida duduk
disamping Jalal dan menanyakan kondisinya. Jalal mengatakan bahwa ia
hanya terluka saat bermain pedang, ia berkata sambil melirik Jodha,
“Seorang Mughal biasa terluka.” Jalal berusaha mengambil perhatian
Jodha, “Ibu jangan khawatir. Ratu Jodha sudah membawakan salepnya. Dan
dia memaksa untuk mengoleskan sendiri salepnya. Aku sudah bilang
padanya, bahwa ini adalah tugas pelayan. Dia tak perlu melakukan itu.”
Jodha menatapnya dengan jengah.
Hamida
tersenyum, “Kali ini, kau tidak faham alasan dibelakang itu, Jalal.
Seorang istri selalu ingin merawat suaminya.” Hamida menyuruh Jodha
untuk mengoleskan salepnya. Jalal masih dengan sandiwaranya, “Aduh Ibu.
Dia adalah ratu istana ini.” Namun Hamida tetap menyuruh Jodha untuk
mengoleskannya. Jodha tak dapat menolak perintah Hamida. Ia menurutinya
dengan kesal dan menghentakkan nampannya sambil menatap Jalal.
Jodha langsung duduk dibawah didekat Jalal. Mereka berdua tidak berbicara namun dapat berinteraksi melalui mata mereka.
Jalal: “Kau harus melakukan apa yang aku ingin kau lakukan. Aku bisa membuatmu melakukan apapun yang aku mau.”
Jodha: “Tak akan ku biarkan kau melakukan ini jika saja ibu tidak ada disini.”
Jalal: “Aku selalu punya cara. Aku senang sekali bisa melihatmu selalu dalam masalah.”
Ratu
Hamida pamit pergi dan sebelumnya berkata bahwa Jodha akan merawatnya.
Sekepergian Hamida, senyum Jodha langsung lenyap dan beranjak dengan
cepat, “Menurutmu apa yang kau lakukan? Kau pikir aku akan diam saja?”
Hamida
tiba-tiba kembali dan Jodha jadi kelabakan. Jalal mengadu pada Ibunya
seperti anak kecil, “Ibu, dia memarahiku.” Sesaat Jodha kebingungan dan
segera menemukan dalihnya, “Aku harus melakukannya. Dalam kondisi
terluka seperti ini dia malah ingin pergi jalan-jalan. Bukankah dia suka
ngeyel?” Jalal tersenyum lebar mendengar pembelaan Jodha.
Hamida
membenarkan ucapan Jodha. Hamida memberitahukan bahwa ia lupa
menagatakan sesuatu, “Aku dapat kabar dari Kabul bahwa Mirza Hakim akan
datang kemari.” Jalal sudah mendengar hal itu dan menambahkan bahwa
Mirza akan sampai 2 hari lagi.
Jalal
bangun dan Hamida berusaha menahannya. Jalal beralasan bahwa ia harus
melakukan tugasnya sebagai raja. “Luka ini tak boleh menghentikanku. Ada
banyak hal yang harus dikerjakan dipersidangan.” Hamida menanyakan
bagaima Jalal kesana. Jalal menimpali dengan tersenyum dan sambil
melirik Jodha, “Ibu tenang saja. Ratu Jodha akan membantuku kesana.
(Reflek Jodha langsung menatapnya tak percaya) Dia akan memapahku sampai
kepersidangan.” Jodha menatap Hamida yang tersenyum dan Jodha pun ikut
tersenyum. Jalal mengulurkan tangannya, “Ayo Ratu Jodha, bantu aku.”
Hamida menatap kepergian mereka berdua.
Jodha mengistirahatkan Jalal di sebuah tempat duduk, “Kau sangat rewel. Ibu bilang kau tidak boleh jalan dulu.
Jodha
duduk dibawah, “Kau lebih pantas sebagai pemain sandiwara daripada
menjadi seorang Raja. Kau suka sekali berpura-pura. Kau manfaatkan Ibu
untuk memaksaku mengoleskan salep pada kakimu. Kau tahu, dihadapan Ibu
aku tak mungkin menyangkalmu.”
Jalal
mengatakan bahwa Ibunya sudah tidak ada disana dan menanyakan menagpa
Jodha masih membantunya. Jodha menimpali bahwa ia melakukannya karena
Jalal sedang sakit, “Sudah tugasku untuk membantumu.”
Jalal
melihat kedatangan Benazir, “Jangan khawatir ratu Jodha, aku tahu siapa
yang bisa membantuku sekarang.” Jodha menahan kekesalannya melihat
kedatangan Benazir. Benazir mengantakan bahwa ia datang kesana setelah
mendengar Jalal terluka. Jodha yang menjawabnya, “Benar. Jangan
khawatir. Lukanya sudah dirawat. Dan lukanya akan segera sembuh.”
Benazir menahan kekesalannya namun ia terpaksa tersenyum. Jalal
tersenyum karena berhasil membuat Jodha cemburu.
Jodha bangkit, “Kalau begitu kau tak membutuhkanku lagi saat ini.” Jodha mempersilahkan Benazir dengan isyarat tangannya.
Jalal
mengulurkan tangannya, “Benazir kemarilah, tolong bantu aku.” Jodha
yang sudah melangkah pergi menoleh kebelakang dan tampak bahwa ia
benar-benar tak menyukai kedekatan mereka. Kemudian dia melanjutkan
langkahnya. Jalal melihat kepergian Jodha, “Benazir, aku kira kau boleh
pergi sekarang. Aku bisa sendiri.” Jalal melepaskan rangkulannya
kemudian berjalan pergi dengan tertaih-tatih.
Benazir
menatap kepergian Jalal, “Aku tahu, kau memanfaatkanku untuk membuat
Ratu Jodha cemburu. Aku hanya ingin lebih dekat denganmu. Aku harus
menemukan cara untuk memikatmu. Sebelum semuanya terlambat.”