Benazir
menanyakan ularnya pada Zakira. Zakira ketakutan, “Saat aku melihat
Ratu Jodha disini, aku ketakutan dan melepaskan ularnya. Sekarang
ularnya ada diluar.” Benazir bergegas keluar.
Sambil
berjalan ke kamar Jodha, Moti ngedumel, “Semua orang di Harem memuji
Benazir. Tapi lihat dia Dia tak bermoral sama sekali. Seorang Ratu telah
memberinya obat, seharusnya dia tak boleh menolaknya.” Jodha tak mau
memperpanjang masalah ini, “Lupakan saja Moti. Aku hanya menjalankan
tugasku.”
Seekor
ular merayap ke arah Jodha. Jodha tiba-tiba terhenyak dan kemudian ia
terjengkal saat melihat ular siap menyerangnya. Moti berusaha mengajak
Jodha segera pergi namun Jodha justru sibuk mengusirnya. Ular itu siap
mematuk Jodha, namun sebelum itu terjadi, Benazir menyambar ular
tersebut dan membuangnya ke pohon kecil yang ada didekatnya. Jodha
terkejut, ia bergegas berdiri, “Mengapa kau menolongku?” Benazir
menimpali dengan tersenyum, “Kau peduli terhadap pelayan seperti diriku.
Sudah seharusnya aku juga peduli terhadapmu.” Jodha berterima kasih
kemudian ia melangkah pergi bersama Moti.
Raut
wajah Benazir berubah hendak menangkap ular tersebut. Ia terkejut saat
melihat Jodha kembali menoleh kearahnya, seketika itu Benazir kembali
tersenyum manis kearah Jodha.
Setelah
Jodha benar-benar pergi, Benazir mengambil ularnya kembali dan
membiarkan ular tersebut mematuk lidahnya. Dalam sekejap, Benazir
kembali sehat.
Mirza
Hakim sedang berlatih pedang dengan beberapa prajurit sebagai lawannya.
Ditengah-tengah latihannya ia melihat ada kerumunan. Ia mendatanginya
dan sudah ada Maksood yang tak sadarkan diri. Jalal juga hadir disana
dan menanyakan sebab kematiannya. Tabib yang memeriksanya mengatakan
bahwa Maksood meninggal karena terkena racun ular. Mirza Hakim merasa
ada yang janggal. Ia membalikkan tubuh Maksood yang tengkurap, “Jika ia
memang terkena racun ular, seharusnya ada bekas gigitannya.”
Tabib
berteriak, “Itu dia! Ada bekas gigitannya di bibirnya.” Mirza Hakim
masih merasa ada yang ganjal. Gigitan di bibirnya terlihat aneh.
Benazir
dan Zakira melihat kerumunan itu dari kejauhan. Zakira mengatakan bahwa
kerajaan pasti akan meningkatkan penjagaannya. Benazir tersenyum dan
menimpali, “Tapi mereka tidak akan tahu akulah penyebabnya. Mereka tidak
akan tahu bahwa didalam darahku mengandung racun.” Dan mereka berdua
pergi dari sana.
Jalal
meyayangkan kematian Maksood, “Dia adalah petugas yang setia. Dia
meninggal saat melaksanakan tugas. Kuburkan dia dengan hormat dan beri
santunan kepada keluarganya.”
Jalal
bertanya kepada Atghah Shah mengapa kejadian ini bisa terjadi. Atghah
Shah berkata bahwa ia sudah memeriksa seluruh sudut istana dan
seharusnya ular tidak bisa masuk. Jalal memerintahkannya untuk
meningkatkan keamanan.
Saat
hanya tinggal berdua, Mirza Hakim memberitahu Jalal bahwa Abu Mali
sedang merencakan penyerangan dari dalam kepada Jalal, sehingga nyawa
Jalal dalam bahaya. Jalal menanggapi dengan santai, “Mengapa aku harus
khawatir dengan orang yang melarikan diri. Lagi pula kau sudah ada
disini, jadia kau tidak perlu khawatir.” Mirza Hakim mencoba
mengingatkan lagi, “Meskipun begitu, kita tetap harus waspada. Karena
usuh bisa saja menyerang dari belakang. Kita juga harus berhati-hati
jangan sampai hal ini terjadi kepada yang lain.”


Jodha
bersama pelayan-pelayannya pergi ke taman untuk memberi makan merpati
seperti biasanya, namun tidak ada seekor pun merpati disana. Mirza Hakim
menghampirinya dan menanyakan apa yang Jodha cari. Jodha mengatakan
bahwa ia hendak memberi makan merpati, namun tidak satu pun merpati
disana. Dengan gerakan-gerakan aneh Mirza Hakim memunculkan merpati dari
mahkotanya. Jodha memuji bakatnya, “Kau pesulap ya.” Mirza Hakim
menyangkalnya, “Sebenarnya aku sudah perintahkan untuk memindahkan
merpati-merpati itu dari sini.”
Jodha
menanyakan alasannya. Mirza Hakim menjawab bahwa semalam seekor ular
menggigit salah seorang petugas. “Kami pindahkan merpati itu untuk
menemukan ularnya. Ular itu bisa menjadi ancaman bagi burung-burung
itu.” Jodha menimpali, “Tadi malam seekor ular juga menyerangku.
Benar-benar nyaris.” Mirza Hakim menanyakan dimana Jodha diserang. Jodha
menjawab bahwa ia tadi malam membawakan obat untuk Benazir, saat ia
kembali, seekor ular hampir menggigitnya. Mirza Hakim langsung berfikir
bahwa ulat tersebut ular yang sama yang membunuh Maksood. Jodha sedih,
“Aku turut berbela sungkawa untuk keluarganya.” Mirza mengatakan bahwa
keluarganya sudah diberi santunan.
Jodha
mengalihkan pembicaraannya, “Aku senang kau begitu peduli dengan
merpati-merpati itu. Lihat kakakmu, dia malah hobinya berburu.”
Mirza: “Itu tidak benar kakak. Yang Mulia hanya berburu binatang ganas.”
Jodha: “Kau membela kakakmu?”
Mirza: “Tentu saja. Aku sangat mencintainya. Kalau boleh dibilang, aku menyembahnya.”
Jodha tersenyum, “Kau harusnya menyembah Tuhan, bukan manusia.”
Mirza
tersnyum kemudian berkata dengan gaya lucunya, “Kalau begitu, mengapa
wanita dilingkunganmu menganggap suami mereka seperti halnya Tuhan?
Bagaimana menurutmu? ‘Suamiku adalah Tuhanku.’” Moti yang ada disana
ikut tersenyum mendengar ucapan Mirza.
Jodha: “Sudah cukup banyak alasanmu untuk membela kakakmu. Kau tak akan berhenti untuk membela kakakmu.”
Mirza: “Aku juga bisa membelamu.”
Jodha: “Mengapa begitu.”
Mirza:
“Tadi malam, Ibu Suri bercerita banyak tentang dirimu. Dia juga
bercerita bahwa kau sangat ahli memasak. Mungkin kau tidak tahu, tapi
aku sangat suka masakan Dal Bati Churma.”
Jodha: “Kau bisa berubah membelaku hanya karena makanan? Apa yang akan kau katakan pada kakakmu jika dia mendebatmu?”
Mirza:,
“Aku akan katakan padanya, bahwa tak ada bedanya aku membela dia atau
dirimu. Ini satu kesatuan dan tak ada bedanya.” Jodha terdiam mendengar
ucapannya, senyumnya menghilang memikirkan bahwa ucapan Mirza memang ada
benarnya, namun ia tidak mengakuinya.