Jodha datang ke kamar Bhaksi dan tentunya melihat kehadiran Jalal disana.
“Salam Yang Mulia. Maaf aku tidak tahu kau disini, kalau begitu aku akan datang lagi nanti.”
Jalal: “Tidak Ratu Jodha. Kau tetaplah disini, aku akan pergi.”
Jodha
tertegun, dia dapat merasakan kalau Jalal telah menghindarinya. Namun
ia tetap memasang senyum palsunya untuk menutupi kesedihannya dan
menghampiri Bhaksi, “Aku membawakan salep untukmu. Bhaksi Bano meminta
Dilawar untuk mengambilnya. Dilawar pun berjalan dihadapan Jodha sambil
menatapnya dan berpikir, “Jodha tidak mengenaliku, maka tidak ada
seorang pun yang bisa mengenali diriku.”
Ruqaiya
meminta dasi untuk menghias kamarnya dengan baik, karena Jalal akan
datang setelah beberapa hari tak menemuinya. Dia berpikir, “Semuanya
akan seperti sebelumnya, harem akan menjadi milikku dan juga Jalal.
Jodha telah menjadi seorang istri biasa.”
Maham
datang ke kamar Ruqaiya. Ruqaiya tidak melihatnya dan berkata, “Kau
sudah datang (berpikir bahwa itu Jalal) aku sedang menunggumu.”
Maham: “Aku tidak tahu bahwa kau sangat menungguku.”
Ruqaiya berbalik, “Kau, aku pikir...”
Maham: “Kau pikir Jalal, ia akan datang kepadamu malam ini.”
Ruqaiya: “Berita harem cepat menyebar seperti api.”
Maham: “Kau menyiapkan segalanya untuknya.”
Ruqaiya: “Tidak perlu mempersiapkan segalanya, dia adalah milikku. Dan dia akan selalu menjadi milikku.”
Maham:
“Kau adalah teman masa kecilnya tapi kau tidak tahu dia. Ia sedang
khawatir hari ini, bukan karena politik, dia tidak memberitahuku.”
Ruqaiya: “Mungkin dia akan memberitahuku malam ini.”
Maham:
“Kau tidak perlu menunggu, kau harus bertanya padanya, mungkin kali ini
yang membuatnya sangat tegang adalah karena Jodha. Kau harus tahu,
mungkin dia mencintainya.”
Ruqaiya: “Apakah kau tidak mengenal dia? Dia tidak memiliki hati.”
Maham:
“Aku dikir dia berfikir dari hatinya hari ini. Aku akan memberikan
selamat padamu, apapun yang kalu lakukan aku akan selalu mendukungmu.”
Bhaksi
Bano menunggu Sharifudin dan tanpa sadar dia memotong tangannya.
Dilawar datang dan mengkhawatirkannya. Dia mengambil salep kemudian
memasang perban pada lukanya.
Dilawar: “Tidak baik makan paan dan suparies dalam kondisi seperti ini.”
Bhaksi Bano: “Aku merasa tenang setelah makan itu.”
Dilawar: “Mengapa Anda perlu kedamaian, Anda memiliki saudara laki-laki dan suami yang mencintai Anda.”
Bhaksi Bano (secara sarkastik): “Iya.”
Dilawar
beranjak ke meja untuk meletakkan sesuatu. Tanpa sengaja ia menjatuhkan
sebuah tirai yang menutupu lukisan. Ia terkejut saat melihta lukisan
itu adalah lukisan Jodha. Dilawar membawanya ke depan Bhaksi.
Dilawar: “Bukankah ini lukisan Ratu Jodha.”
Bhaksi (dalam hati): “Aku telah mengirimkannya ke Jodha, lalu mengapa itu ada disini lagi.”
Bhaksi
(pada Dilawar): “Kita memiliki pelukis sketsa yang sangat handal. Dia
membuat gambar-gambar yang sangat baik seperti apa yang dikatakan
padanya. Tapi ia membuat lukisan Jodha ketika Sharifudin memintanya.”
Sujamal: “Mengapa ia (Sharifuddin) memberitahu sketsa wajah Jodha.”
Bhaksi Bano marah: “Kau tidak perlu ikut campur masalah ini. Pergi dari sini.”
Dilawar
berpikir: “Pasti ada sesuatu mengapa Sharifudin menyebutkan gambaran
Jodha. Dan mengapa Bhaksi Bano merasa kesal mendengarkan nama Jodha,
padahal Jodha sangat baik padanya.”
Jodha berada di jendela kamarnya bersedih dan berpikir, “Dia adalah seorang Raja. Dia akan melakukan apa yang dia pikir benar.”
Flasback:
Jodha
teringat saat dirinya dan Jalal berada didalam kamar Jalal setelah
Ruqaiya marah-marah karena seharusnya dia yang berlayar dengan Jalal
tapi justru Jodha yang berlayar bersama Jalal.
Jalal: “Bagaimana perasaanmu jika kau ingin bersamaku namun orang lain telah mengambil kesempatan itu.”
Jodha: “Aku akan merasa marah.”
Flashback End.
Jodha
kembali berpikir, “Harem ini adalah miliknya, semua ratu berhak
bersamanya. Tapi mengapa aku merasa kesal dan marah jika dia bersama
dengan istrinya yang lain. Aku merasa aku dan Yang Mulia semakin jauh.
Dia tidak tahu aku melakukan ini untuk menyelamatkannya.”