Maham
Anga datang menemui Benazir di kamarnya. Ia mengingatkan Benazir bahwa
sebuah permata dan julukan Koohinor tidak akan begitu berarti. “Selama
Ratu Jodha masih ada didalam kehidupan Yang Mulia, kau hanya seorang
pelayan baginya, yang kebetulan diberi gelar julukan olehnya.”
Benazir
menanyakan apa yang harus ia lakukan. Maham Anga dengan ambisinya
mengatakan, “Kau harus sangat licik. Kau harus berbuat sesuatu yang
membuat kau membutuhkan perlindungan Yang Mulia terus menerus.”
Benazir
mengatakan bahwa ia akan mencobanya. Maham Anga kembali mengingatkannya
bahwa Jalal tidak memiliki hati namun ia memiliki otak. “Kau harus
mengerti bagaimana cara kerja otaknya. Namun kau dianugerahi senjata
yang tidak cocok untuk ini. Kecantikanmu. Apa yang harus kau lakukan
adalah mengikuti perintahku. Itu bukan hanya memastikan kau menjadi
kesayangan Yang Mulia, tapi itu akan memastikan kau akan tetap berada
dalam buku catatan baikku. Dan pastinya, itu akan membawamu pada posisi
yang menguntungkan.” Benazir, Maham Anga dan Zakira tersenyum setelahnya
dan Maham Anga langsung pamit.
Benazir
masih berlagak, “Kau dengar itu Zakira, dia ingin agar aku menjadi
pionnya.” Zakira tersenyum, “Biarkan saja dia seperti itu. Saat dia
menyadari bahwa dia adalah pionmu dalam permainanmu, itu sudah sangat
terlambat.”
Benazir menatap permata ditangannya kemudian menunjukkan tatapan ularnya yang siap menyerang mangsanya.
Maham
Anga datang ke kamar Jalal. Jalal saat itu masih terjaga. Maham Anga
mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan apa yang terjadi hari ini. Jalal
masih bingung, ia menyuruh Maham Anga duduk disampingnya dan mengatakan
apa yang terjadi.
Maham
Anga mengatakan jika Adham Khan dipenjara ia masih bisa menerimanya
karena memang ia bersalah, namun ia tidak bisa menerima jika ada orang
yang menghina Jalal karena ia sudah menganggap Jalal sebagai anaknya
sendiri. Jalal menanyakan siapa yang telah berani menghinanya.
Maham
Anga terkejut dan melanjutkan ucapannya dengan sedikit keras, “Kau
tidak tahu? Ratu Jodha telah menghinamu! Ratu Jodha telah
menginjak-injak harga dirimu dengan memberikan sebuah ayunan didepan
semua orang! Maaf jika aku mengatakan ini. Menurutku ia melakukan itu
untuk menghinamu dengan memberimu ayunan hanya karena kau belum menjadi
seorang ayah. Dia memusuhimu seakan kau ini Maham Anga.”
Maham
Anga menghapus air matanya, ia memelankan suaranya, “Maafkan aku Jalal.
Aku tahu kau sangat terluka. Namun aku lebih terluka saat melihatmu
diperlakukan seperti ini. Dan parahnya, aku tidak bisa melakukan apapun.
Jalal, mungkin kau tidak suka mendengarnya dariku. Namun aku akan tetap
mengatakan apa yang ada didalam fikiranku. Menurutku Ratu Jodha, sedang
mencoba membalas kematian tunangannya, Pangeran Suryaban Singh. Pasukan
Mughal yang bertanggung jawab atas kematiannya. Ratu Jodha pasti sangat
membencimu saat kau menyerang Amer. Kau juga tahu itu. Tapi setelah
datang ke Agra, walaupun sudah menghabiskan begitu banyak waktu
denganmu, dia belum bisa berhenti membencimu. Aku bisa menerima jika dia
membenciku, aku hanya seorang pelayan di istana ini. Tapi kau... Kau
adalah Raja. Terlebih lagi kau adalah suaminya, kenapa dia
memperlakukanmu seperti ini? Aku adalah ibu inangmu. Aku melihatmu
tumbuh menjadi seorang Raja. Aku tidak bisa melihatmu dihina. Kau
memanfaatkan Benazir untuk mempermalukan Ratu Jodha. Tapi Ratu Jodha
justru menghinamu dengan mempertanyakan kejantananmu Jalal.
Kejantananmu.”
Jalal
sudah termakan ucapan Maham Anga. Ia membenarkan perkataannya, ia
berfikir bahwa Jodha telah memanfaatkan kebaikan ibunya dan berusaha
menjatuhkannya, “Aku akan menghentikan tindakannya.”
Maham
Anga berkata dalam hati, “Aku tidak tahu apakah Ratu Jodha memanfaatkan
posisinya sebagai kesayangan Ratu Hamida. Tapi aku akan selalu
memanfaatkan, kenyataan bahwa aku adalah kesayangan Jalal.” Maham Anga
menyuruh Jalal tidur dan kemudian beranjak pergi.
Pagi
telah tiba, Atgah Khan memberitahukan perkembangan politik yang
terjadi, namun Jalal tidak berkonsentrasi, fikirannya terus tertuju pada
Jodha. Ia tersadar saat Atgah Khan menayakan apa Jalal sedang melamun.
Ia melihat kedatangan Jodha dan meminta Atgah untuk membicarakan nanti.
Setelah
kepergiannya, Jalal mencari-cari keberadaan Jodha. Jalal terkejut
karena ternyata Jodha sudah ada disampingnya. Dengan ketus Jalal
mengatakan bahwa ia tidak ingin berbicara dengan Jodha. Jodha menimpali
bahwa ia ingin memberi Jalal sesuatu. Jalal kesal, “Apakah tidak cukup
kau memberiku ayunan kemarin.”
Jodha
berusaha bersabar. Ia duduk dan meletakkan nampan yang dibawanya. Ia
menyentuh tangan Jalal namun Jalal langsung menariknya. Jodha masih
berusaha bersabar, “Ambil prasad ini. Aku baru saja dari kuil dan
melihatmu disini. Jadi aku kemari untuk memberimu prasad. Jangan menolak
sebuah prasad.”
Jalal
membuka telapak tangan kemudian dengan cepat dan mencuilnya kemudian
memakannya. Jodha menanyakan apa yang membuat Jalal tidak suka. Jalal
masih kesal, “Kau menghinaku dengan sikapmu!” Jodha tidak mengerti.
Jalal melanjutkan, “Kau ingin aku jelaskan padamu? Kau kira aku tak
mengerti kenapa kau memberiku sebuah ayunan? Dengan memberiku ayunan itu
berarti kau menghinaku karena aku belum bisa menjadi seorang ayah.”
Jodha
bangkit dengan cepat, “Ini menjadi bertolak belakang. Setelah melihat
kalung itu, ibumu memberiku hadiah kalungnya. Tapi kau, justru
menganggap ayunan itu sebagai sebuah ejekan. Masalahnya bukan terletak
pada ayunan, melainkan terletak pada cara pandangmu.”
Jalal yang awalnya setengah berbaring langsung duduk. “Jadi kau berfikir bahwa aku yang salah?”
Jodha
membenarkannya, “Kau anggap harapan baikku sebagai sebuah ejekan.
Begitu pula dengan lukisan Benazir. Sebagus apa lukisannya hingga kau
menjadikannya sebagai pemenang. Lukisanmu itu bahkan tidak akan laku
jika dijual dipasar. Tapi kau malah menobatkannya sebagai pemenang. Jadi
masalahnya memang pada sudut pandangmu.”
Jalal tersenyum, “Kenapa tak kau akui saja bahwa kau tidak suka jika aku memberi sesuatu yang lebih dibanding dirimu?”
Jodha
menunduk, “Aku kira tidak begitu. Namun, semua orang diistana berfikir
bahwa kau sedikir berlebihan kepada Benazir.” Jalal masih dengan
kekesalannya, “Ratu Jodha, aku adalah seorang Raja. Aku tidak perlu
menjelaskan kepada semua orang atas tindakan dan pilihanku. Sudut
pandangmulah yang salah. Aku percaya padamu. Aku selalu membelamu. Tapi
apa balasanmu padaku? Kau mempermalukan aku dihadapan semua orang di
Meena Bazaar. Kau pertanyakan kejahatanmu! Kau bukan hanya menghina
seorang Raja, tapi kau juga menghina suamimu! Sebagai seorang suami, aku
juga berhak meminta beberapa hal darimu. Tapi kau menolakku juga.
Sebelum mengkritikku, kau harus ingat apa yang telah kau lakukan.
Renungkanlah hal itu bahwa kau selalu menyalahkanku.”
Jodha
ingin menjelaskan sesuatu namun Jalal memberinya isyarat untuk diam.
Jodha mengambil nampannya dan pergi dengan kesal. Jalal melihat Jodha
sudah tidak ada disampingnya. Ia kembali memakan prasad pemberian Jodha
dan perasaannya bercampur antara kesal dan kehilangan. **Lihat ekspresi
Shahensah bikin senyum-senyum sendiri** Abaikan**
Moti
menghampiri Jodha yang duduk didepan meja rias dan duduk dihadapan
Jodha. Jodha menanyakan kemana saja Moti tadi. Moti mengatakan bahwa ia
menyiapkan air mandi untuk Jodha kemudian berkeliling, “Aku bertemu
Bella Bay wanita yang menjual ramuan kecantikan. Dia menjual saleb baru
hari ini. dia bilang, bahwa salepnya akan membuat kulit seseorang
menajdi berkilau. Dia bisa menambah kecantikan seseorang. Saleb itu
mengandung minyak yang sangat bagus untuk kulit. Semua orang
membelinya.”
Jodha
menanyakan dimana salebnya. Moti mengatakan bahwa ia tidak membelinya,
“Aku mengatakan padanya bahwa Ratu Jodha tak membutuhkan salep apapun
untuk membuatnya lebih cantik. Ia sudah tampak sangat cantik.”
Jodha
menimpali, “Oh aku tahu! Sampai kemarin kau tidak bisa berhenti memuji
Benazir.” Jodha memindahkan rambutnya ke depan, “Ceritakan padaku Moti,
apakah orang-orang benar-benar memuji kecantikan Benazir?”
Moti membenarkannya, “Tapi penampilan bukanlah segalanya. Itulah sebabnya, kau yang memperoleh pusaka keluarga, bukan dia.”
Jodha membenarkannya namun ia masih murung, “Yang Mulia memberikan permata pada Benazir.”
Moti: “Menurutku kau terlalu mengkhawatirkan Benazir.”
Jodha
menyangkalnya, “Aku tidak mencemaskan Benazir. Aku sedang memikirkan
apa yang dikatakan Yang Mulia. Setelah mendengar apa yang dia katakan.
Aku dipaksa mengakui bahwa kau telah salah dalam menilai dia. Aku tidak
suka dengan apa yang dia katakan. Namun sepertinay dia sedikit ada
benarnya. Bisa saja aku salah memberi tanda padanya. Aku ingin
membicarakan ini padanya. Aku fikir aku harus meminta maaf padanya atas
semua tindakanku. Tapi dia belum siap bicara denganku.”
Moti
berpendapat bahwa Jodha kurang keras berusaha. Jodha terlalu memikirkan
Benazir bukan Jalal. “Aku yakin kau akan segera menemukan jalan
keluar.”
Jodha sependapat dengan Moti, “Aku harus berkonsentrasi pada Yang Mulia.”
Sinopsis Episode yang lain >klik disini<