FROM YM TO YOUR HEART
Part 12
~~~~~
Rabu, 25/05/13
Aadhya Jodha : Jalal, apa kita bisa bicara?
Rashed Jalal : Soal apa?
Aadhya Jodha : Hubungan kita
Rashed Jalal : Kenapa?
Aadhya Jodha : Sepertinya beberapa temanku mulai mencium hubungan
kita
Rashed Jalal : Lalu?
Aadhya Jodha : Bagaimana kalau ada rumor yang keliru dan menyalah
artikan hubungan kita...
Rashed Jalal : Misalnya?
Aadhya Jodha : Bisa saja ada yang menganggap aku sudah merayumu
demi karirku, atau...atau yang lain....
Rashed Jalal : Lalu?
Aadhya Jodha : Jalal, tidakkah kau mengerti?!
Rashed Jalal : Tidak
Aadhya Jodha : Jalaaalll...
Rashed Jalal : Biarkan saja, lebih baik semua orang tahu tentang
kita...
Aadhya Jodha : Tapi tidak secepat itu!
Rashed Jalal : Memangnya kenapa? Kita juga berhak menikmati
hubungan kita... Aku tidak suka apa yang kita jalani sekarang. Harus
sembunyi-sembunyi. Seperti penjahat saja...
Aadhya Jodha : Ini demi profesionalitas kita bekerja
Rashed Jalal : Pentingkah pekerjaan ini untukmu?
Aadhya Jodha : Tentu saja. Bagaimana lagi aku bisa menghidupi Ibu
dan Nenekku, kalau bukan dari penghasilanku ini.
Rashed Jalal : Aku punya solusi lain
Aadhya Jodha : Apa?
Rashed Jalal : Kau jadi anggota keluargaku saja. Aku yang akan
menanggung semua kebutuhanmu dan keluargamu
Aadhya Jodha : Maksudnya??!!
Rashed Jalal : Menikahlah denganku
Rashed Jalal : Kau tidak akan menyesal
Rashed Jalal : Aku akan menjagamu, merawatmu dan menyayangimu
Rashed Jalal : Jodha, kau kenapa?
Rashed Jalal : Aku dengar suara keras dari mejamu
Rashed Jalal : Aku tidak bisa melihatmu! Kau dimana?
Rashed Jalal : Kalau aku tidak juga melihatmu, aku akan ke mejamu!
Rashed Jalal : Jodha!
Rashed Jalal : Jodha!
~~~~~~
Tubuh Jodha tergelincir dari kursi yang
didudukinya dan jatuh terjerembab di lantai dengan suara gedebuk keras.
Beberapa teman kerjanya yang posisinya dekat dengan biliknya sontak terkejut
dan sama-sama menoleh ke arah asal suara. Mereka penasaran apa atau siapa yang
menimbulkan suara sekencang itu di dalam kantor yang suasananya masih cukup
tenang di pagi hari ini.
Sementara Jodha yang masih mengaduh
kesakitan, terduduk di lantai di samping kursinya sambil mengusap-usap
kepalanya yang tidak sengaja terantuk tepi meja. Beberapa temannya yang tampak
cemas mengerubungi dirinya...
“Jodha, kau baik-baik saja..?”
“Kau kenapa? Apa kau kurang sehat pagi
ini...?”
“Jodha...Apa kau masih mengantuk?
Semalam kau tidak tidur? Memangnya apa saja yang kau lakukan?”
Tiga orang temannya memberondongnya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat dijawab, saat dia melihat tubuh Jalal
muncul dan menyeruak di antara mereka bertiga. Well, ini semua gara-gara laki-laki itu...
“Jodha, apa yang terjadi?!” tanya Jalal,
kali ini suaranya terdengar benar-benar cemas.
“Tidak apa-apa, Sir...Aku hanya
tergelincir dari kursiku..” jawab Jodha sambil menunduk, tidak berani menatap
mata Jalal, karena rasa malu yang pasti akan tampak jelas dari rona wajahnya...
Jalal mengulurkan tangannya untuk
membantu Jodha berdiri. Untuk beberapa detik, Jodha hanya memandangi tangan
yang terulur itu, seakan ragu untuk menyambutnya. Namun saat dia mendongak dan
menatap ke dalam mata pria itu, seperti terhipnotis, tangannya bergerak dengan
sendirinya menyambut uluran tangan Jalal. Dan selalu inilah yang terjadi,
bersentuhan dengan Jalal tidak pernah gagal membuatnya merona dan jantungnya
berdebar. Bahkan meski sentuhan ini bukanlah sentuhan romantis yang biasa
mereka lakukan saat berkencan. Perasaan Jodha makin campur aduk. Dia menyadari
bukan hanya tatapan tiga orang di depannya yang sedang mengarah pada dirinya
dan Jalal. Bisa-bisa seluruh lantai ini juga sedang memandangi mereka. Jodha
selalu senang menerima perhatian dari kekasihnya, tapi jika mereka hanya berdua
saja, tidak di ruang publik seperti ini. Tidak di depan teman-teman kantornya,
karena belum ada satupun yang tahu tentang hubungan mereka bahkan Sneyka juga
tidak tahu.
Tiga orang temannya yang tadi
mengerubunginya, perlahan sedikit menepi setelah Jalal datang. Mereka
berbisik-bisik sambil cekikikan, Jodha melihatnya dari sudut matanya. ‘Apa mereka tahu hubunganku dengan Jalal?..Bagaimana kalau ternyata semua orang sudah
tahu tentang kami?...’ tanya Jodha dalam hati.
Jodha menepuk-nepuk belakang bajunya
yang tidak kotor sambil menenangkan debar jantungnya. Dia melirik Jalal dan
melihat pria itu masih memperhatikannya.
“Saya tidak apa-apa, Sir..sungguh..”
kata Jodha menenangkan, matanya memberi isyarat pada Jalal agar kembali ke
ruangannya.
Jalal mengangguk dan melangkah pergi. Pandangan
Jodha mengikuti setiap langkah pria itu sampai menghilang di balik pintu
ruangannya yang menutup.
“Ehem..ehem...jadi seperti itu?” goda
salah satu temannya, mengalihkan pikiran Jodha, mengingatkannya kalau
teman-temannya masih berdiri di dekat mejanya...
“Apanya? Aku tidak mengerti...” tanya
Jodha pura-pura bodoh.
“Tenang saja...kami sama sekali tidak
keberatan. Kami justru ikut senang...Kau harus memanjakannya dengan baik...”
kata temannya yang lain.
“Kalian ini bicara apa?” tanya Jodha
makin kesal...
“Emm..pantas saja kau sampai
tergelincir, kau terlalu lama memandanginya... Emm..Dari sini tidak terlihat
apa-apa, tapi di balik bayangan gelap, siapa yang tahu?...” kata Sneyka sambil
tangannya membuat tanda segiempat ke arah ruangan Chief Finance seperti seorang
fotografer yang mengukur objeknya.
“Sudah....pergi sana! Aku harus kembali
bekerja!” Jodha mengusir teman-temannya.
“Kalau kau tidak mau, rekomendasikan aku
ya....” kata Sneyka sambil mengedipkan mata dengan genit.
Mereka bertiga tertawa serempak melihat
Jodha cemberut karena candaan itu. Puas menggoda Jodha, merekapun berlalu dan
kembali ke meja masing-masing.
Jodha mencoba fokus pada pekerjaannya
lagi, dan saat menatap layar monitornya, dia kembali melihat kata-kata itu.
Konyol. Dia terjerembab dari kursinya gara-gara kata ‘menikahlah denganku’ yang
baru saja dibacanya. ‘Apa sih yang
dipikirkan Jalal??!..Kenapa mengungkit-ungkit kata pernikahan saat jam
kerja?...Kalau dia ingin bercanda, harusnya cari waktu lain yang lebih
tepat...Apa dia tidak tahu bagaimana efeknya padaku?!’ Jodha menggerutu
dalam hati.
Kalau dipikir-pikir lagi memang konyol, insiden
memalukan ini terjadi gara-gara kata ‘menikahlah denganku’ yang ditulis Jalal. ‘Apa dia serius?’ tanya Jodha dalam
hati, secara otomatis dia melongokkan kepalanya melewati monitor di mejanya,
lurus ke arah ruangan Jalal di seberangnya. Dia tidak bisa melihat apa-apa,
sama dengan kata-kata itu, dia tidak tahu apakah itu serius atau hanya bercanda.
‘Pasti dia hanya ingin menggodaku saja...
Mana mungkin kami menikah, hubungan ini baru saja berjalan 3 minggu...’
Jodha kembali menurunkan matanya, sedikit kecewa. ‘Aku kecewa? Tidak. Untuk apa aku kecewa? Aku mencintai Jalal, dan
Jalal juga... Tapi, secepat itukah?..Tidak mungkin. Pasti tadi dia hanya asal
bicara... Apa aku berharap menikah dengannya?? Ya, tapi aku masih takut....’
Bahkan sampai istirahat makan siang,
kata-kata ajaib itu masih menari-nari di otaknya. Daripada terus penasaran,
akhirnya Jodha mengirimkan pesan singkat pada Jalal untuk menemuinya di ujung
tangga darurat lantai 3.
Meski dia tidak menunggu terlalu lama,
tapi tetap saja Jodha gelisah..
“Kenapa kita harus bertemu secara
sembunyi-sembunyi seperti ini? Hubungan kita bukan hal yang memalukan.. Apa kau
malu berpacaran denganku?!” kata Jalal begitu dia sudah berdiri di depan Jodha.
“Tidak, tentu saja tidak. Untuk apa aku
malu... Bisa-bisa kau yang malu punya pacar seperti aku..” kata Jodha merajuk.
“Kalau aku malu, untuk apa aku
mengajakmu menikah?!”
“Jadi kau serius?!”
“Tentu. Kau pikir aku bercanda?”
“Iya, kau kan sering menggodaku...Kadang
aku tidak bisa membedakan kapan kau serius atau kapan kau bercanda...”
“Itu karena kau mudah sekali digoda. Aku
suka melihat wajah cemberutmu yang lucu..” kata Jalal sambil mencubit gemas
hidung Jodha.
“Jadi...kapan kita menikah?” tanya
Jalal.
Lutut Jodha mendadak lemas, seakan tak
bertulang, dia hampir jatuh tersungkur ke lantai kalau seandainya Jalal tidak
sigap menangkap tubuhnya.
“Kau kenapa? Apa kau sakit? Sudah dua
kali dalam sehari ini kau terjatuh..” selidik Jalal.
Jodha berusaha menegakkan tubuhnya
sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang.
“Semua gara-gara kau! Jangan bicara yang
tidak-tidak, ini masih jam kerja..”
“Jadi kau menganggap aku bercanda? Kau pikir
aku tidak serius mengajakmu menikah?” ucap Jalal tersinggung.
Jodha gelagapan karena sedikit merasa
bersalah mempertanyakan keseriusan Jalal.
“Eh, bukan begitu....Aku...Kita baru
memulai hubungan ini...Dan aku...belum lama aku membatalkan rencana
pernikahanku...Aku masih butuh waktu untuk...untuk mempersiapkan
diriku....Aku..aku masih takut...”
“Baiklah, aku mengerti. Aku akan
memberimu waktu untuk berpikir, bukan memberimu kesempatan untuk mencari
kandidat calon suami yang lain...” goda Jalal sambil membelai pipi kiri Jodha
dengan sebelah tangannya.
Jodha ikut tersenyum sambil tertunduk
malu karena belaian sederhana itu.
Tiba-tiba Jodha mendengar suara langkah
kaki menuju ke arah mereka, otomatis dia mendorong tubuh Jalal menjauh.
“Ada yang datang..” bisik Jodha waspada.
Dia tidak memperhatikan perubahan raut
muka Jalal karena didorong tiba-tiba seperti itu.
“Sudah kubilang aku tidak suka kau
menyembunyikan hubungan kita..!” setelah mengatakan itu Jalal berbalik pergi,
tidak mempedulikan panggilan Jodha.
“Jalal...Jalal...maafkan aku...Bukan
begitu maksudku, aku hanya merasa tidak etis kita menunjukkan hubungan personal
saat jam kerja...Itu saja.” Jodha berusaha mengejar langkah Jalal.
“Jalal..kumohon jangan marah. Kau
sendiri pernah mennyindirku karena makan siang dengan Varun, kau masih ingat
kan?” Jodha berusaha merayu
“Itu karena kau bukan makan siang
denganku!” potong Jalal.
“Jalal...”
Jodha menahan langkahnya, dia tidak bisa
lagi mengejar Jalal karena mereka sudah ada di dalam ruangan lantai 3 yang
penuh orang. Dilihatnya Jalal langsung masuk ke dalam ruangannya. Jodha mengatur
kembali sikap dan raut mukanya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia takut
hubungannya dengan Jalal terkuak di antara rekan-rekan kerjanya dan bisa
menimbulkan skandal.
Jodha harus menahan diri sampai pulang
kerja nanti.
Begitu asyiknya mengerjakan laporan,
sampai-sampai Jodha tidak memperhatikan kalau waktu sudah menunjukkan jam 5
tepat.
“Jodha, ayo kuantar pulang.”
Jodha langsung mendongak mendengar suara
yang sangat dikenalnya dengan baik. Begitu melihat Jalal sudah berdiri di
samping mejanya, Jodha mendelik ketakutan. Takut membayangkan apa pendapat
teman-teman kerjanya tentang dirinya.
“Jalal, apa yang kau lakukan?!” desis
Jodha di sela-sela giginya. Lehernya kaku, tidak berani menoleh sama sekali.
“Matikan komputermu. Sudah waktunya
pulang. Ayo cepat!” kata Jalal tidak mau dibantah.
Inginnya Jodha menolak, tapi Jalal malah
membantu membereskan mejanya dan mengambil tasnya. Cepat-cepat Jodha mematikan
komputernya.
Dan apa yang dilakukan Jalal berikutnya,
membuat Jodha makin tak berkutik lagi. Jalal menggenggam sebelah tangannya dan
menariknya pergi. Mau tidak mau Jodha mengikuti langkah Jalal. Dia menunduk
makin dalam, saat mendengar beberapa siulan dan tepuk tangan dari penjuru
ruangan.
Begitu sampai di mobil, Jodha
melancarkan sikap merajuknya. Dia ingin menunjukkan keberatannya atas sikap
Jalal tadi, yang membutnya malu di depan teman-temannya. Bukannya dia malu
menjadi pacar Jalal, tapi dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian, ditambah
lagi ketakutan akan hubungan itu sendiri masih menggelayuti pikirannya.
Jalal juga menyetir dalam diam. Dia
tidak berusaha mengobrol apalagi menggoda Jodha. Waktu terasa lama sekali
sebelum akhirnya mereka berhenti di depan apartemen Jodha.
Jodha hendak membuka pintu, tapi Jalal
tiba-tiba menahan lengannya.
“Apa?”
“Sekarang semua sudah tahu tentang kita,
kau tidak perlu khawatir lagi.” Jawab Jalal
“Tapi harusnya caranya tidak seperti
itu..” kata Jodha pelan
“Jodha, kau tidak sedang mencari alasan
untuk menyingkirkan aku kan?! Kenapa kau selalu keberatan dengan caraku maupun
perhatianku...?”
“Tidak..tidak...sudah kubilang bukan
begitu...aku hanya...sedang membiasakan diriku...menjadi seorang wanita di
sampingmu..” jawab Jodha gelagapan sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan
wajahnya.
Jalal diam,dengan sengaja, dia menunggu
Jodha meneruskan kata-katanya.
“Aku...Kau...pria yang hebat dengan
penampilan di atas sempurna, sedangkan aku hanyalah wanita biasa dengan
kepribadian yang sedikit membosankan...Terus terang, aku belum pernah mendapatkan
perhatian dan perlakuan dengan sangat...emm manis... seperti yang kurasakan
darimu...dan itu selalu membuatku gugup, salah tingkah dan juga membuatku
rendah diri.... Kadang aku masih menganggap ini semua adalah mimpi...dan aku
akan terbangun, mendapati dirimu tidak pernah ada di sampingku...aku pasti
hancur saat itu....”
“Aku bangga menjadi wanita yang kau
pilih, pria yang tak pernah berani kubayangkan akan menjadi kekasihku...Tapi
aku juga bingung, aku tidak punya pengalaman bagaimana cara memperlakukanmu,
apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia atau senang.... Aku khawatir
akan mempermalukanmu di depan teman-temanmu....dan kau selalu membuatku
berdebar dan tidak bisa berpikir setiap kali kau menatapku atau memelukku....”
Jalal tersenyum mendengarkan argumen Jodha
yang panjang lebar.
“Berapa kali kau pacaran sebelum
denganku?” tanya Jalal di luar topik pembicaraan.
“Ha..?..Eh, satu kali..”
“Dengan Varun, si otak mini itu?”
Jodha mengangguk.
“Dengar Jodha, kau istimewa. Dengan
semua yang kau lakukan dan yang tidak kau lakukan. Kau bukan wanita tercantik
di dunia, kau juga bukan seorang malaikat yang selalu melakukan kebaikan. Aku
memilihmu bukan semata karena apa yang kurasakan padamu, namun juga apa yang
tidak pernah kurasakan pada wanita lain.”
Jodha tersentuh dengan kata-kata Jalal,
membuat matanya berkaca-kaca. Mereka saling menatap dalam senyum.
“Tentang pelukanku yang selalu membuatmu
lemas, aku tidak percaya sebelum membuktikannya...” kata Jalal sambil
menyeringai menggoda. Tangannya terangkat hendak merengkuh Jodha dalam
pelukannya.
Ternyata Jodha lebih dulu menjauhkan
tubuhnya.
“Selamat malam....emm sayang..” kata
terakhir diucapkan Jodha dengan sangat pelan hingga hampir tak terdengar.
Jodha sudah berbalik hendak membuka
pintu mobil, tapi lagi-lagi Jalal menahan lengannya.
Jodha mengangkat alisnya, bertanya.
“Jadi, kapan kita menikah?” tanya Jalal
polos.
“Jalaaaal...baru tadi siang kita
membicarakannya. Aku masih butuh waktu untuk berpikir.” Jawab Jodha dengan
gemas.
“Oke..oke.. karena kau belum menjawab
iya, aku akan memberimu hadiah..” Jalal membuka laci dashboard-nya dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil berbahan beludru.
“Ini untukmu.” Katanya sambil
menyerahkan kotak itu ke tangan Jodha.
“Apa ini..?” tanya Jodha, tapi Jalal
hanya diam saja.’Apa isinya cincin?’
tanya Jodha dalam hati.
Dibukanya kotak itu dan isinya malah
membuatnya mengerutkan dahi. Sebuah kunci....
Diambilnya kunci itu...
“Itu kunci rumah yang akan kita tempati
setelah menikah. Aku hanya akan tinggal disana jika kau menikah denganku..” Jalal
menjelaskan dengan suara lembut membuat hati Jodha bergetar hangat.
“Aku...”
“Simpanlah baik-baik.”
Jodha bingung harus berkata apa. Tapi
pasti, dia akan menyimpan semua hadiah dari Jalal dengan sangat baik. Termasuk
hadiah cintanya.
Keesokan malamnya, Jalal kembali
mengutarakan pertanyaan yang sama dan menerima jawaban yang sama dari Jodha.
Kemudian Jalal memberikannya sebuah
hadiah, kedua kalinya setelah satu malam sebelumnya. Lagi-lagi sebuah kotak
beludru kecil berwarna gelap yang sama seperti kotak berisi kunci rumah yang
diberikannya pada Jodha sebelumnya.
Jodha membukanya dan menemukan sebuah
kunci lain di dalamnya, tapi ukurannya lebih kecil dari kunci yang pertama.
“Itu kunci lemari pakaianku. Setelah
kita menikah, aku akan membagi ruang dalam lemari pakaianku denganmu. Itu
artinya aku sudah siap membagi seluruh hal pribadiku denganmu. Tidak akan ada
yang kusembunyikan.”
Jodha membolak-balik kunci itu di
tangannya. Sebuah kunci yang akan menjadi harta berharga dalam hidupnya.
“Aku tidak pernah mengijinkan orang lain
bahkan adikku sendiri, membuka atau memeriksa isi lemariku. Tapi denganmu, aku
persilakan kau memeriksa semuanya. Bahkan kau bisa melihat-lihat celana dalamku
sekarang kalau kau suka...” kata Jalal sambil menyeringai jahil.
Candaannya dihadiahi sebuah cubitan di
perut oleh Jodha.
“Jalal, berhentilah memberiku hadiah.
Aku mengerti maksudmu, tapi aku..”
“Masih butuh waktu... Aku tahu.”jawab
Jalal enteng.
Namun itu tidak berhenti....
Pada malam berikutnya, Jalal kembali
menanyakan hal yang sama dan dibalas dengan jawaban yang sama pula.
“Jangan katakan kau akan memberiku
hadiah sebuah kunci lagi...” ujar Jodha
“Ternyata kau sangat mengerti diriku...”
balas Jalal dengan gaya dibuat-buat.
Sekali lagi, Jalal mengeluarkan sebuah
kotak beludru yang kali ini bentuknya lebih panjang.
Saat Jodha membukanya, di dalamnya hanya
terdapat sebuah kertas bertuliskan 520617.
“Itu kombinasi nomor untuk membuka
brankasku. Aku akan membagi semua yang aku punya denganmu. Kau bisa membelanjakan
semua hartaku sesuka hatimu, tidak perlu merasa sungkan, juga kau tidak perlu
meminta padaku. Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan menyesal menikah
denganku...” Jalal menjelaskan dengan sungguh-sungguh.
“Jalal, hentikan! Aku tidak bisa
berpikir jernih kalau kau terus menghujaniku dengan hadiah. Kumohon, beri aku
waktu..” pinta Jodha.
Jalal terdiam, entah apa yang ada di
dalam pikirannya. Raut wajahnya tidak bisa ditebak, apakah dia marah atau
kecewa. Yang dilakukannya kemudian hanyalah mengangguk dan berucap,
“Baiklah...” dengan pelan.
Permintaan Jodha terkabul. Keesokan
harinya dan terus berlanjut hingga seminggu kemudian, Jalal benar-benar
memberinya ruang dan waktu, secara harfiah. Jalal tidak mengggodanya lagi
tentang pertanyaan-pertanyaan soal pernikahan, dia juga tidak lagi mengumbar
kemesraannya bersama Jodha di tempat kerja, bahkan dia juga tidak lagi sering
mencari-cari kesempatan memanggil Jodha ke dalam ruangannya.
Di lain pihak, Jodha mulai merasakan
perubahan sikap Jalal. Awalnya dia pikir Jalal menghormati keinginannya dan sedang
memberinya waktu untuk berpikir, sesuai permintaannya. Tapi sikap Jalal semakin
lama dirasakannya semakin dingin. Tidak seperti Jalal yang selalu penuh
perhatian selama ini. Memang Jalal tetap menjemput dan mengantarnya pulang,
tapi selama dalam perjalanan, Jalal tidak lagi banyak bicara maupun bercanda.
Kini permintaannya justru menjadi
bumerang bagi dirinya sendiri. Sikap Jalal yang berubah membuat Jodha makin
ketakutan. Takut kehilangan Jalal di saat pikiran dan perasaannya hanya terisi
oleh satu nama, Jalal Rashed.
Jodha putuskan dia harus melakukan
sesuatu. Dia tidak bisa diam saja dan membiarkan hubungannya di ujung tanduk.
Jalal adalah hidupnya, tidak bisa dibayangkan jika hidup itu sendiri meninggalkannya.
Selang beberapa hari, akhirnya Jodha
memberanikan diri bertanya pada Jalal, saat pria itu mengantarkannya pulang. Di
depan pintu apartemennya, Jodha menahan lengan Jalal yang sudah akan berbalik
pergi.
“Jalal, apa aku melakukan kesalahan?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Sikapmu berubah. Apa kau marah padaku
gara-gara aku belum menyetujui soal pernikahan kita? Atau ada sesuatu yang kau
sembunyikan?! Katakan langsung padaku! Aku masih bisa menahan yang terburuk
daripada merasakan sakitnya dikhianati di belakang punggungku!” kata Jodha
setengah berteriak. Ada campuran rasa takut dan kesal dalam suaranya.
“Ya, memang ada yang harus kukatakan
padamu....”
“Apa itu?” tanya Jodha sambil berusaha
menguatkan hatinya.
Jalal terdiam agak lama sebelum akhirnya
menjawab.
“Aku tidak bisa bersamamu lagi. Aku akan
pergi.... Kebetulan aku menerima tawaran pekerjaan di luar Mumbay...”
“Kenapa? Kenapa kau lakukan itu? Apa
hubungan kita sama sekali tidak berarti bagimu?!” Jodha hampir histeris..
“Akulah yang terlalu banyak berharap
padamu... Aku pikir hubungan kita akan berhasil...tapi...”
“Tapi apa?! Kenapa kau tidak bertahan
lebih lama lagi?! Aku hanya meminta sedikit waktu...untuk berpikir dan
memantapkan hatiku...aku tidak meminta selamanya...tapi kau tetap saja pergi...Kalau
tahu begini, kau seharusnya pergi sebelum kau membuatku jatuh cinta padamu!”
“Masalahnya kau tidak sepenuhnya percaya
padaku...” balas Jalal tenang.
“Apa...”
“Meski kita sudah resmi berpacaran, tapi
kau tidak bisa membuka hatimu sepenuhnya padaku. Kau tetap membangun benteng.
Kau masih meragukan hubungan kita, kau meragukan aku dan kau meragukan dirimu
sendiri... Kau terlalu banyak pertimbangan dan berpikir, itu karena kau takut
hubungan ini akan gagal. Jika kau percaya padaku, maka tidak akan ada perasaan
seperti itu..”
“Benar!! Aku takut! Tapi ketakutanku
beralasan, bahkan sepertinya akan menjadi kenyataan tidak lama lagi...”mata
Jodha mulai basah tanpa disadarinya, bibir bawahnya bergetar menahan kesedihan.
“Aku tidak tahu berapa lama kau akan
menyukaiku. Aku tidak tahu berapa lama hubungan kita akan bertahan. Memutuskan
jujur padamu dan mengakui cintaku, bagiku itu sebuah langkah yang besar...Dan
aku butuh keyakinan yang lebih besar lagi untuk memutuskan menikah
denganmu...Karena jika semua ini berakhir di tengah kehidupan pernikahan kita,
aku tidak akan mungkin bisa bertahan... Bisakah kau bayangkan itu?”
Jalal terdiam, menatap Jodha dengan sama
sedihnya.
“Andai saja kau percaya sepenuhnya
padaku.... Hanya itu yang bisa kukatakan...”
Jodha hanya bisa memandangi punggung
Jalal yang makin menjauh... Hatinya berusaha berteriak, berjuang memerintah
kakinya untuk bergerak...berlari menyusul Jalal, menghalangi kepergiannya,
memohon padanya untuk tetap tinggal.... Tapi kakinya tetap diam di tempat,
terpaku... tidak menghiraukan jeritan hatinya...
***************