class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
PS: Untuk para pembaca, mohon maaf yang
sebesar-besarnya karena baru bisa update ceritanya.
~~~~~~
Senin, 24/04/13
Rashed Jalal
: Apa kau sudah punya jawabannya?
Aadhya Jodha
: Tentang apa?
Rashed Jalal
: Kau tahu maksudku.
Aadhya Jodha
: Maaf....
Aadhya Jodha
: Aku belum punya jawabannya
Rashed Jalal
: Sesulit itukah? Kau memang
tidak ingin menjawabnya atau kau benar-benar tidak punya jawaban?!
Aadhya Jodha
: Aku belum bisa mengatakan
apa-apa. Beri aku sedikit waktu.
Rashed Jalal
: Aku tidak suka menunggu. Aku
tidak punya banyak waktu sepertimu.
Aadhya Jodha
: Kenapa harus cepat-cepat?
Rashed Jalal
: Kenapa harus lama?
Rashed Jalal
: Kutunggu jawabannya sebelum
malam ini.
Aadhya Jodha
: Itu terlalu cepat
Rashed Jalal
: Ya atau Tidak. Bukan
diantaranya.
Aadhya Jodha
: Jalal..tidak semudah itu..
Rashed Jalal
: Jodha.
Rashed Jalal
: Jangan ikat rambutmu ke atas. Aku
lebih suka melihat rambutmu tergerai atau kau arahkan ke satu sisi melewati
bahumu. Kau lebih cantik seperti itu
~~~~~~
Jodha sempat mengira Jalal lupa soal
pertanyaan tak terjawab itu, tapi ternyata dia malah menuntut jawabannya sepagi
ini. Pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur sejak Sabtu malam lalu.
Pertanyaan sederhana dengan jawaban tersulit yang pernah dia hadapi.
Dua malam matanya terbuka lebar
memandang langit-langit kamar tidurnya, memaksa otaknya berpikir lebih keras.
Mencoba mencari jawaban yang bijak dan terbaik demi hubungan mereka. Meski jauh
dalam hati kecilnya, Jodha tahu jawaban seperti apa yang diharapkan oleh Jalal.
Namun tetap saja sisi logis dalam dirinya, dengan keras kepala berusaha menyangkalnya.
Karena rasanya tidak tepat jika dia
mengatakannya sekarang. Sungguh tidak etis jika dia mengungkapkan cintanya pada
Jalal padahal belum genap sebulan pertunangannya dengan Varun batal. Apa kata orang,
bila seorang wanita begitu mudah dan cepatnya berpindah dari satu pelukan pria
ke pelukan pria yang lain.
Senin pagi Jodha berangkat ke kantor
dengan kelopak mata berat, akibat dari kurang istirahat hari sebelumnya. Dia
hanya berharap penampilan luarnya tidak terlalu buruk. Karena dia tidak mau
Jalal melihat dirinya berantakan, sebaliknya dia ingin selalu tampil penuh
percaya diri di hadapan pria itu.
Namun sepertinya nasib baik belum
berpihak pada dirinya, karena sebuah kebetulan yang sangat tidak diharapkannya
pagi itu, harus terjadi. Sekali lagi Jodha berpapasan dengan Jalal di dalam
lift. Dengan bibir yang dipaksakan tersenyum, Jodha menyapa Jalal. Masalahnya
dia juga harus menyapa gadis di sebelahnya, Nona Mohita Sarojan.
“Jangan lupa nanti malam ya, di La
Grandeur, aku sudah pesan meja atas nama kita.”
“Tentu.”
Jodha hanya melirik keduanya, berlagak
tidak tertarik padahal dalam hatinya dia penasaran setengah mati. Apa itu janji kencan? Rasanya tidak mungkin kalau
hanya makan malam biasa. Tidak mungkin kan Jalal berkencan dengannya, sedangkan
dia masih....?
Jodha keluar dari lift tapi tidak
langsung menuju mejanya. Dia berbelok menuju kamar kecil. Berdiri di depan cermin
wastafel, Jodha memperhatikan penampilannya dan membandingkannya dengan penampilan
Nona Sarojan tadi. Jauh berbeda. Nona Sarojan terlihat sangat berkelas, bahkan
dia seperti sudah siap untuk menghadiri makan malam mewah dengan penampilan
paginya itu. Setelan baju dengan jahitan
sempurna, atasan one off shoulder dipadu celana lurus dengan bahan sama yang
tampak mewah, rambut diikat sempurna di puncak kepala. Satu set anting dan
kalung dari mutiara mempercantik penampilannya.
Dan itulah alasannya kenapa Jodha
mengikat rambutnya ke atas, tujuannya agar tampak semenawan Nona Sarojan, tapi
pendapat Jalal malah sebaliknya. Bentuk perhatian kecil yang sangat manis.
Jodha bahkan tidak menyangka Jalal langsung menyadari perubahan penampilannya
yang tiba-tiba. Dan pendapat Jalal itu penting baginya. Saat Jalal menyebutkan
bahwa Jodha lebih cantik dengan rambut digerai, dia merasa setingkat lebih
unggul daripada Nona Sarojan.
Menuruti sarannya, Jodha melepas ikatan
rambutnya lalu menggerainya ke samping bahu kirinya seperti yang disukai Jalal.
Dia yakin pria itu memperhatikan dirinya dari dalam ruangannya meski Jodha
tidak bisa melihatnya karena terhalang kaca gelap.
Namun keceriaannya tidak bertahan lama,
senyumnya memudar saat dilihatnya Nona Sarojan melangkah dengan anggun masuk ke
ruangan Jalal. ‘Kenapa dia menempel terus
pada Jalal? Tidak bisakah dia menjauh dari Jalal sebentar saja?’
Jodha kembali teringat kata-kata Sneyka saat
makan siang kemarin tentang rencana perjodohan antara Nona Mohita Sarojan
dengan Jalal. ‘Bagaimana jika rumor itu
benar? Apa Jalal akan memilih Nona Sarojan? Lalu bagaimana denganku?’ Jodha
bertanya dalam hati, rasa takut kehilangan mulai menggerogoti perasaannya.
Tak lama kemudian, Jalal keluar dari
ruangannya bersama wanita itu. Mereka tertawa karena sesuatu yang mereka
bicarakan, dan pemandangan itu membuat Jodha iri. Dia tidak suka Jalal
tersenyum dan tertawa dengan wanita lain.
Menjelang sore, Jalal berjalan kembali
ke dalam ruangannya. Mereka sempat saling bertukar pandang sesaat sebelum Jalal
menutup pintu ruangannya. Hati Jodha berdebar, bukan karena pandangan penuh
arti itu, tapi karena dia ingat tenggat waktu yang diberikan oleh Jalal hampir
habis, tapi dia belum juga menemukan jawaban yang tepat.
Begitu jam kerjanya usai, Jodha
melangkah pelan menuju basement, dia tahu Jalal sudah ada disana karena mereka
sebenarnya pergi hampir bersamaan. Tapi Jodha sengaja memperlambat langkahnya
agar orang lain tidak curiga pada hubungan mereka.
Jodha mendekat tepat saat Jalal hendak
masuk ke dalam mobilnya. Pria itu menoleh karena merasa ada seseorang yang
mendekatinya.
“Jalal.....” sapa Jodha ragu.
“Apa kau sudah punya jawabannya?” Jalal
langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Aku...aku...” Jodha gugup, lalu dia
hanya menggelengkan kepala karena tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Oke. Waktumu habis. Mulai sekarang aku
tidak akan mengganggumu lagi. Jangan menatapku, jangan mengirim pesan padaku
dan jangan memanggil namaku.’ Ujar Jalal dengan emosi tertahan.
“Bukan begitu....Kumohon dengarkan aku
dulu!.. Aku ingin membangun hubungan ini pelan-pelan.. Aku ingin kita berteman
dulu, lalu kita bisa mulai saling mengenal lebih dekat dan membiasakan diri
satu sama lain...”
“Sudah kubilang aku tidak punya waktu!”
“Jalal, coba mengertilah... Rencana
pernikahanku baru saja batal, dan aku harusnya masih sedih, kan?!... Bagi
seorang wanita, tidak sepantasnya menjalin hubungan baru dengan pria lain
secepat ini, akan terlihat sangat tidak bermoral, seakan aku mudah sekali
berpindah hati asal ada seorang pria yang mau denganku...”
“Terserah... tidak ada yang melarangmu
dan semua pikiranmu itu...Aku tidak akan menunggu lagi...” balas Jalal lalu
menambahkan, “Aku akan memesan taksi untuk mengantarmu pulang.”
Jalal marah dan kecewa dengan jawaban
Jodha, terlihat jelas di wajahnya. Jodha makin bingung harus mengatakan apa.
Firasatnya mengatakan dia akan kehilangan Jalal jika tidak segera melakukan
sesuatu.
“Apa kau menyukai Nona Sarojan?”
Pertanyaan Jodha itu membuat langkah
Jalal terhenti.
“Itu bukan urusanmu.”
“Apa benar kau dijodohkan dengan dia?”
Jalal tidak menjawab, dia hanya menatap
mata Jodha dalam-dalam. Lalu tanpa mengucapkan satu kata pun, dia berlalu,
masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan Jodha yang masih terpaku berdiri
di tempatnya.
Jodha panik, menggeleng-geleng dengan
keras mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang muncul dalam kepalanya.
‘Tidak.
Ini tidak boleh terjadi...Jalal tidak boleh bersamanya! Kalau aku harus
mengatakannya, aku akan mengatakannya
sekarang!’ Jodha berteriak pada dirinya sendiri.
Kemudian dia berlari menuju taksi yang
sudah menunggunya, masuk dan meminta sang sopir untuk bergerak mengikuti mobil
Jalal.
Hatinya menjerit memanggil nama Jalal.
Dia ketakutan. Takut kehilangan orang yang telah membuat hidupnya lebih
berwarna, mengajarinya makna cinta dan ketulusan.
Mobil Jalal memasuki tempat parkir La
Grandeur, begitu pun taksi yang ditumpangi Jodha, berhenti tepat di belakangnya.
Setengah berlari, Jodha turun dari taksi dan menyusul Jalal.
“Jalal....!”
Jalal berhenti dan membalikkan badannya,
tidak tampak terkejut mendapati Jodha membuntutinya sampai ke tempat itu.
“Harusnya kau pulang, ini sudah malam.”
“Jalal....apa...kau sungguh-sungguh mau
dijodohkan dengan Nona Sarojan?”
“Aku sedang mempertimbangkannya...”
“Semudah itukah...?”
“Maksudmu?!”
“Dua minggu yang lalu kau menyatakan
cinta padaku, lalu malam ini kau sedang merayu wanita lain... Apa seperti itu
orang yang mencintai?...” teriak Jodha dengan penuh emosi.
“Kau menolakku, ingat?! Bahkan saat aku
memberimu kesempatan, kau tidak bisa memberiku alasan untuk tetap bertahan
bersamamu. Apa lagi yang bisa kulakukan jika kau tidak menerima perasaanku. Apa
aku harus memaksamu? Atau aku harus menunggumu entah sampai kapan hingga kau
membalas cintaku? Atau aku harus merendahkan diriku, dan sampai serendah apa
hingga kau percaya aku tulus menyayangimu?!” jawab Jalal, meski nadanya
terkesan dingin, tapi ada emosi yang dalam yang tersirat dalam setiap
kata-katanya.
“Maafkan aku, ....” Jodha mulai terisak.
“Tidak perlu. Tidak semua hal harus
berjalan sesuai keinginan kita, kan?! Sudah cukup aku menjalani cintaku yang
bertepuk sebelah tangan padamu... Kau tahu bagaimana rasanya? Kesepian dan
menyedihkan....”
“Belum pernah ada wanita yang menolakku,
dan penolakanmu memang membuatku marah. Tapi hidup terus berjalan. Aku tidak
mau hancur, aku bukan pria seperti itu..... Aku juga sudah bersikap egois,
terus beredar di sekitarmu mencari-cari alasan bisa bersamamu tanpa memikirkan
perasaanmu, apa kau suka atau tidak aku di dekatmu, apa kau nyaman atau tidak
bersamaku..”
Jodha terisak makin keras.
“Sekarang aku melepaskanmu. Aku tidak
akan merecoki hidupmu lagi.....Aku harus pergi. Aku akan mencari kebahagiaanku
sendiri...” kata Jalal membalikkan badan meninggalkan Jodha.
“Tidak! Kau tidak boleh menemuinya!” cegah
Jodha yang dalam sekejap sudah berada di depan Jalal
“Kenapa....?”
“Karena....a..a..aku menyukaimu.” Jawab
Jodha terbata di sela isaknya.
“Kalau kau menyukaiku, apa aku harus
bersamamu?! Wanita di atas sana, yang sedang menungguku, dia juga menyukaiku..”
balas Jalal enteng.
Jodha terdiam, berusaha memikirkan kata
yang tepat sebelum mengungkapkan perasaannya.
“Jika aku harus memilihmu daripada dia,
katakan apa kelebihanmu....” tantang Jalal.
“Eh...aku...aku...”
“Apa kau lebih cantik? Tidak, menurutku
dia lebih cantik. Nona Sarojan tahu cara merawat dirinya dan tahu cara
menonjolkan kecantikannya. Dia juga tahu cara membawa dirinya di depan
umum...Dia supel, beretika dan dia mengerti dunia bisnis. Dia mendirikan dua
badan amal dan seorang aktifis sosial. Kelebihan utamanya, dia putri CEO Golden
Road, hubungan kami pasti akan saling menguntungkan....”
Isakan Jodha perlahan berhenti gara-gara
mendengar Jalal memuji-muji Nona Sarojan
dan menyebutkan semua keunggulan gadis itu di depan wajahnya. Jodha terusik. ‘Tega sekali Jalal! Dia pasti sengaja ingin membuatku
marah.’ pikirnya.
Kalau
memang Jalal lebih menyukai gadis itu, dia tidak perlu membanding-bandingkan mereka
berdua. Sudah pasti dia kalah.... Baik, dia tidak akan menahan Jalal lagi. Biar
saja Jalal pergi merayunya.
Kalau
memang itu yang terjadi, berarti perasaan Jalal selama ini sangat dangkal. Hanya
sekali ditolak sudah menyerah... Baguslah, dia sudah menunjukkan siapa dirinya.
Jadi aku tidak akan tertipu lagi. Dasar pria, semua sama saja. Tidak bisa setia
pada satu wanita.
“Jadi, katakan padaku, apa kelebihanmu yang
akan membuatku tidak menyesal memilihmu daripada dia..” lanjut Jalal.
“Aku tidak peduli lagi!... Pergi saja
sana!... Pergi temui wanita yang super sempurna itu!” teriak Jodha marah.
“Baik, aku sudah memberimu kesempatan
terakhir.” potong Jalal.
Tunggu..tunggu..tunggu...aku
tidak sungguh-sungguh...Aku tidak rela kau bersama dia!...
“Baik! Kau menang!.... Dasar kau pria
manipulatif....oportunis...egois...kejam...tukang paksa...tapi aku
mencintaimu...aku tidak rela kau memilih dia!”
Akhirnya Jodha berhasil
mengatakannya...Ada perasaan lega setelah kata-kata itu keluar, namun tetap ada
rasa takut bila semua itu tidak berhasil mempengaruhi keputusan Jalal.
Dada Jodha naik turun dengan cepat, belum
sepenuhnya bisa menguasai emosinya. Kini dia menanti jawaban dari pria di depannya,
akankah mereka bisa bersama atau sudah tidak ada kesempatan lagi...
Jalal belum bicara apa-apa. Entah apa
yang ada dalam pikirannya. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ketegangan masih menyelimuti
mereka berdua. Napas keduanya jelas terdengar meski di sekitar mereka berlalu
lalang kendaraan.
Perlahan, dengan sangat lambat, senyum mulai
muncul di wajah Jalal.
“Haahhh.... Rasanya bertahun-tahun aku
menunggumu mengucapkannya..” ujar Jalal memecah ketegangan di antara mereka,
“Berarti kau layak mendapatkan hadiah... Kemarilah.” Kata Jalal sambil
merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Jodha berlari menghambur masuk ke dalam
dekapan Jalal. Ke tempat seharusnya dia berada. Tempat yang berusaha
mati-matian dia ingkari, tapi juga satu-satunya tempat yang paling
dirindukannya.
Jodha menyurukkan kepalanya, bersembunyi
di lekukan leher pria itu, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya aroma tubuh
Jalal untuk menenangkan debaran jantungnya yang selalu berdetak cepat setiap
kali berada begitu dekat dengan Jalal. Seakan sebanyak apapun yang dia hirup,
tidak akan pernah ada kata cukup.
Air mata yang membasahi wajah Jodha,
kini juga meninggalkan jejak-jejak lembab di kemeja Jalal, tapi pria itu tidak
peduli. Hanya satu yang penting, wanita yang menjadi cinta bertepuk sebelah
tangannya, kini sudah membalas cintanya.
“Apa kau senang sekarang?” tanya Jalal
dan dijawab dengan anggukan kepala Jodha.
“Sayangnya aku tetap harus menemui
wanita yang menungguku di atas...”
Tersentak, Jodha langsung menjauhkan
tubuhnya dari Jalal. Wajahnya cemberut dan matanya menyipit kesal. Jalal yang
melihat ekspresi itu, hanya tersenyum geli.
“Kau juga ikut kalau kau mau..” katanya
jahil.
“Tidak mau. Dasar tidak tahu diri, apa
kau pikir aku bisa tahan melihatmu bermanis-manis....”
“Apa kau pikir aku juga serendah itu....
Mengatakan cinta padamu, tapi merayu wanita lain?!” potong Jalal sambil memencet
gemas hidung Jodha.
“Ayo.” Jalal menggandeng tangan Jodha
dan menariknya bersamanya.
Dengan langkah berat, Jodha mengikuti Jalal
memasuki La Grandeur. Jalal terus melangkah menuju meja tempat Nona Sarojan
duduk, sambil terus menggandeng tangan Jodha yang berjalan sedikit di
belakangnya.
“Nona Sarojan, maaf kalau anda lama
menunggu..” sapa Jalal begitu sudah berada di depannya.
Alis gadis itu terangkat anggun begitu
menyadari Jalal tidak datang sendiri. Ekspresi matanya bertanya-tanya tentang
keberadaan Jodha yang datang bersama pria yang ditunggunya.
Jalal menarikkan sebuah kursi untuk
Jodha, sebelum dirinya sendiri duduk.
“Kenalkan, ini Jodha Aadhya. Dia baru
saja resmi menjadi pacarku.” Kata Jalal tanpa basa-basi mengenalkan Jodha.
Sudah pasti hal itu membuat Nona Sarojan
terkejut, dia bahkan sempat tersedak sekali tapi langsung bisa menguasai
dirinya kembali. Jodha hanya menunduk, tidak berani bertatap mata dengan putri
CEO-nya itu, bahkan bisa dikatakan inilah pertama kalinya dia duduk semeja
dengan keluarga pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan itu membuatnya gugup
setengah mati.
“Benarkah?! Selamat ya untuk kalian
berdua...” ujar Nona Sarojan, terdengar tulus.
“Terima kasih.” Jawab Jalal sopan.
“Berarti kesempatan untukku sudah
tertutup ya... Padahal aku sudah bergerak cukup cepat untuk menangkapmu, Jalal.
Ternyata masih kalah cepat... Mungkin ada kesempatan untukku tahun depan?!”
goda Nona Sarojan.
“Coba kutanyakan dulu pada Jodha.” Jawab
Jalal sama jahilnya.
Jodha menanggapinya serius dan tidak
tahu kalau itu hanya gurauan, mendelik marah ke arah Jalal.
“Jangan khawatir. Aku hanya bercanda.
Aku tidak akan merebut Jalal darimu. Meskipun tadi aku sempat berharap Jalal
akan mempertimbangkan diriku...Kecuali kalau suatu saat kau melepaskannya,
maka....” godanya sambil tersenyum.
Jalal tertawa mendengar gurauannya,
sedangkan Jodha hanya tersenyum kecil.
Makan malamnya cukup lancar. Nona
Sarojan ternyata wanita yang menyenangkan, membuat Jodha tidak canggung lagi
berada di dekatnya. Dan saat Jalal meninggalkan meja untuk menerima telepon,
kesempatan itu dipergunakan Jodha untuk bertanya.
“Ehm, Nona Sarojan...”
“Panggil saja Mohita..”
“Tidak bisa. Rasanya tidak sopan.”
“Baiklah, terserah kau saja... Ada yang
ingin kau katakan?”
“Nona Sarojan, benarkah kau dijodohkan
dengan Jalal?” tanya Jodha dengan sedikit ragu.
“Benar, ayahku yang punya ide itu.
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi begitu mengenal Jalal dan mengobrol sedikit
dengannya, aku menyetujui ide ayahku..”
“Tapi, apakah tidak apa-apa jika
perjodohan itu gagal?”
“Apa kau ingin perjodohan ini
kulanjutkan?!”
“TIDAK!.....Maskudku apa ayahmu akan
marah pada Jalal karena tidak mengikuti keinginannya?” jawab Jodha cepat.
“Ayahku mungkin marah. Tapi dia lebih
membutuhkan Jalal sebagai Chief Finance daripada sebagai menantu...”
Jodha merasa sedikit lega, setidaknya
Jalal tidak akan bermasalah dengan posisinya karena hubungan mereka.
Usai makan malam, Jalal mengantar Jodha
pulang seperti biasanya. Hanya saja kali ini, dia tidak langsung mengantar
sampai apartemennya, melainkan mengajak Jodha mengunjungi tempat kenangan
mereka, bukit di samping Danau Powai, menikmati indahnya langit malam yang
pastinya terasa berbeda karena hubungan baru yang terjalin di antara mereka.
“Jadi, kapan kau mulai sadar kalau kau
jatuh cinta padaku?” tanya Jalal tiba-tiba.
Pertanyaan yang tak terduga. Dan jujur
saja, dia juga tidak bisa menjawabnya. Tapi sepertinya Jalal sangat
penasaran...
“Aku tidak tahu persisnya kapan.... Pertama
kali kau mengantarku pulang, aku tersentuh... Saat kau menolongku dari tiga
preman itu, aku berdebar tepat saat kau merangkul bahuku... Saat kau mengatakan
suka padaku, aku hampir pingsan karena tak percaya dan bahagia.... Saat aku
melihat para wanita melirikmu dan tersenyum padamu, aku marah dan ingin
berteriak ‘Hei, pria ini menyukaiku!’.... Saat kau mengobrol dan mulai dekat
dengan Nona Sarojan, aku takut, takut kau tidak lagi mengejarku.... Tapi kalau
dipikir-pikir, aku sudah merasa kau adalah pria yang takkan mudah kulupakan
sejak kita bertemu pertama kali di lift...”
“Jadi, kapan aku mulai jatuh cinta
padamu, aku tidak bisa menjelaskannya, tanpa kusadari kau sudah menguasai
pikiran dan perasaanku... Aku jadi lebih sering membandingkanmu dengan
pria-pria lain, termasuk Varun saat itu. Jujur saja, kau bukan tipeku, karena
aku tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta dengan pria sebaik dirimu. Aku
merasa tidak pantas...”
“Apa yang membuatmu jatuh cinta
padaku..?” tanya Jalal sambil mengulum senyum.
“Ketampananmu?!”
“Itu fakta yang sangat obyektif, bahkan
orang yang membenciku pasti akan mengakui ketampananku.”
“Kelebihan rasa percaya diri yang
akut..”
Jalal tertawa kecil, lalu dia menangkup
wajah Jodha dengan kedua tangannya dan menatap dalam-dalam matanya.
“Aku mencintaimu karena bersamamu aku
bebas menjadi diriku sendiri, dan apa jadinya hidupku tanpa dirimu...
“Kita sudah resmi pacaran. Kita juga sudah
pernah bergandengan tangan dan berpelukan. Apa lagi yang akan kita lakukan
berdua?” tanya Jalal menggoda.
Jodha langsung menyilangkan kedua tangan
di depan dadanya dan tubuhnya terdorong mundur selangkah ke belakang. Wajahnya
bersemu merah.
Jalal makin keras tertawa melihat
tingkah konyol Jodha.
“Memangnya apa yang kau pikirkan?!
Pikiranmu kotor sekali. Aku hanya ingin mengatakan besok kita akan makan malam,
hanya kita berdua..”
“Oooh...”
“Dan Jodha....”
“Ya...”
“Pertemuan pertama kita bukan di lift..”
“Ha, benarkah?!...Tapi aku tidak pernah
melihatmu sebelumnya...”
“Senin, 19 Maret, jam 8 malam apartemen
Mumbay West Residence, kau keluar dari lift sambil menangis dan menabrak
seorang pria. Lalu kau berteriak dan mengumpat pada pria itu....”
Jodha membelalakkan matanya tak percaya,
mulutnya juga membulat sempurna tapi tidak ada suara yang keluar. Dia ingat apa
yang terjadi malam itu. Yang membuatnya tak habis pikir adalah pria yang
ditabrak dan dihardiknya.....adalah Jalal.
Takdir memang punya jalannya sendiri.
*******