FROM YM TO YOUR
HEART
Part 10
~~~~~~~~~
Kamis, 06/04/13
Aadhya Jodha : Sir, analisa perbandingan laba rugi Golden
Textiles dan Golden Beverages sudah saya revisi. Anda bisa memeriksanya di
antara email yang saya kirim tadi pagi.
Aadhya Jodha : Sir....?
Selasa, 11/04/13
Aadhya Jodha : Sir, jika ada laporan yang ingin dianalisa, saya
bisa mengerjakannya dengan cepat
Aadhya Jodha : Sir?
Senin, 17/04/13
Aadhya Jodha : Tuan Jalal Rashed?
Aadhya Jodha : Jalal?
Aadhya Jodha : Apa kau sibuk?
Kamis, 20/04/13
Aadhya Jodha : Jalal?
Aadhya Jodha : Kau ada waktu? Bisa kita bicara?
Aadhya Jodha : Bisa kau luangkan waktu untukku? Aku ingin
bicara denganmu.
Aadhya Jodha : Ini sangat memalukan untukku. Ini salahku
sendiri, kau tahu itu kan?! Aku yang pernah memintamu untuk tidak berhubungan
lagi denganku, sekarang aku yang meminta waktu bicara denganmu.
Aadhya Jodha : Aku ingin meluruskan sesuatu denganmu....
Aadhya Jodha : Kumohon...hubungi aku...
~~~~~~~~~~~
Benar-benar
menyedihkan. Jodha sudah sampai titik terendah harga dirinya. Dia bahkan harus
mencari-cari alasan agar Jalal mau bicara dengannya. Apa lagi yang bisa dia
lakukan? Setelah kekacauan yang dibuatnya sendiri, sekarang dia harus
menanggung akibatnya. Pria yang dianggapnya tidak pernah serius dan hanya
bermain-main dengan perasaannya justru adalah pria penuh perhatian yang
memiliki kehormatan tinggi dan sangat menghargai perasaannya sebagai seorang
wanita. Seorang pria yang melakukan hal-hal sederhana dan di luar kebiasaan
hanya demi seorang wanita seperti dirinya.
Jalal benar, dia
adalah gadis picik yang mengukur seorang pria hanya berdasarkan penilaiannya
saja. Dia tidak pernah berusaha mengenal pribadi Jalal. Dia hanya sibuk
mengusir pria itu karena rasa takut yang menggerogoti hati dan pikirannya. Dan
pria itu telah pergi. Pria itu juga membawa pergi cinta yang harusnya bisa
dinikmatinya.
Karena itulah
Jodha ingin memperbaikinya, dan dia berharap kesempatan itu masih ada. Dia
ingin meminta maaf pada Jalal dan menarik semua kata-kata yang pernah
diucapkannya pada pria itu. Dia akan menelan semua rasa malunya. Kali ini dia
tidak ingin merugi karena dia sudah merugi selama dua tahun saat mempertahankan
hubungan dengan Varun dan yang dia dapatkan hanya kebahagiaan semu. Dengan
Jalal, kebahagiaan itu nyata, debaran itu nyata, dan kehangatan itu nyata. Semua
dirasakannya. Bayangkan, cukup dengan bergenggaman tangan saja, jantungnya akan
berdetak lebih cepat, dan itu semua karena Jalal.
Jodha merindukan
Jalal... Jodha tidak tahu sejak kapan dia memiliki perasaan itu, tapi saat ini,
itulah yang dia rasakan. Dia rindu keusilan dan olokannya. Dia rindu senyum
manis dan jahil di wajahnya. Dia merindukan suaranya yang berat dan dalam. Dia
merindukan cara Jalal membuatnya tersenyum, melindunginya, membuatnya merasa
seakan dia wanita yang paling cantik. Dia ingin bicara banyak hal pada pria
itu, tentang kebodohan dan ketololannya. Dia berharap pria itu masih mau bicara
dengannya. Tapi sekarang, jangankan
bicara, bahkan kelebat tubuhnya pun tidak terlihat sama sekali dalam satu
minggu ini. Ruangan kantornya terkunci rapat. Pesan YM nya tidak satupun
dijawab. Asistennya hanya mengatakan kalau dia sedang mengerjakan proyek di
luar kantor.
Siang hari di
kantor, Jodha lebih sering termenung dan menatap kosong ruangan Jalal. Di rumah,
dia akan menghabiskan waktu malamnya sambil memandangi layar ponselnya,
berharap Jalal menelponnya atau setidaknya membalas salah satu pesan YM nya.
Tapi nihil. Jalal seperti menghilang, meninggalkan kekosongan dingin di dalam
hatinya. Dilihatnya foto Jalal berulang-ulang, bukannya makin tenang, hatinya
justru makin sakit. Kata-kata Jalal terus berkelebatan di benaknya.
Dia menyesal
telah menyakiti perasaan Jalal dan dia berniat memperbaiki kesalahannya. Dia
tidak ingin Jalal pergi dari hidupnya. Tidak, dia harus melakukan sesuatu.
Pada Jumat
pagi, Jodha berangkat lebih awal. Dia punya rencana, karena itu dia langsung
turun ke basement begitu sampai di kantor. Suasananya masih cukup sepi, kurang
dari sepuluh mobil yang terparkir. Karena mobil Jalal tidak terlihat, maka
Jodha putuskan untuk menunggu. Dia duduk
di salah satu sudut, di atas sebuah palang besi panjang, berharap sebentar lagi
Jalal akan datang.
Sebuah mobil
masuk dan berbelok beberapa langkah di sebelah kanan Jodha duduk. Mobil itu
lalu berputar, menyelip di antara dua mobil dan terparkir dengan sempurna.
Jodha mengenalinya. Itu mobil Jalal.
Senyumnya
mulai merekah. Sambil menggumamkan pelan nama ‘Jalal’, Jodha berdiri dan melangkah
mendekat. Dia melihat Jalal keluar, tapi lalu matanya menangkap gerakan dari
sisi yang berlawanan. Seorang gadis keluar dari mobil yang sama. Karena
terkejut, Jodha menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, sayangnya dia tidak
memperhatikan ada sisa tumpahan pelumas di lantai tepat di bawah pijakan
sepatunya. Alhasil, kakinya yang tidak seimbang tergelincir mulus di lantai
dengan suara keras.
BRRUUGGHH...
“Awwwww....”
Refleks,
sebuah jeritan keluar dari mulut Jodha begitu pantatnya mendarat keras di lantai
beton. Tidak cukup sampai situ, noda hitam dan licin itu kini juga menghiasi
betis, lutut serta siku tangannya. Belum lagi rok dan kemejanya yang berwarna
terang, mulai berhiaskan noda hitam.
Terdengar
suara kaki berlari mendekat, saat Jodha masih
berkutat menghela tubuhnya untuk berdiri, sehingga dia tidak memperhatikan
siapa yang sudah berdiri di depannya.
“Kau tidak
apa-apa?!”
“Anda
baik-baik saja, Nona?”
Jodha
mendongak dan pandangannya langsung terkunci oleh tatapan Jalal yang terlihat
cemas. Untuk beberapa detik mereka hanya saling pandang... Jodha lihat masih
ada kemarahan di mata itu, tapi selain itu dia juga melihat....kerinduan...
Jodha yakin dia tidak salah lihat, ada setitik kerinduan di balik tatapan tajam
Jalal.
Sayangnya,
sebuah suara menyela percikan di antara mereka.
“Nona, anda
baik-baik saja?”
Jodha menoleh,
ke arah asal suara dari samping Jalal. Dilihatnya seorang gadis yang sangat
cantik membungkuk di atasnya.
“Anda bisa
berdiri? Ijinkan aku membantumu..” Gadis itu mengulurkan tangannya untuk
membantu Jodha berdiri dan dia tersenyum saat Jodha menyambut uluran tangannya.
“Apa kau
terluka?”
“Eh...sepertinya
tidak, hanya sedikit kotor..” jawab Jodha sambil memeriksa beberapa bagian
tubuhnya yang bernoda.
“Ini,
pakailah. Bisa untuk menutupi kemejamu. Tapi sebaiknya kau pulang saja...”
Jalal menyarankan sambil menyampirkan jasnya menutupi punggung Jodha. Saat
melakukannya, posisi tubuh mereka sangat dekat, bahkan Jodha bisa merasakan
hembusan napas Jalal di samping telinganya. Hatinya langsung berdesir hangat.
“Eh...terima
kasih, Sir. Tapi ada hal yang harus aku kerjakan hari ini. Jadi, aku tidak akan
pulang...”
“Terserah..”potong
Jalal ketus.
“Jalal,
jangan begitu...” gadis itu menegur Jalal, “Nona, pakailah ini agar kau nyaman.
Bisa untuk menutupi rok bawahmu yang kotor...” katanya sambil melingkarkan
scarf lebar di sekeliling pinggang Jodha dan mengikatnya dengan simpul manis di
bagian samping.
Jodha menurut
saja diperlakukan seperti itu. Pikirannya justru dipenuhi pertanyaan tentang
siapa gadis di depannya ini? Dia pasti bukan gadis sembarangan, dilihat dari cara
bicaranya yang anggun dan berpendidikan. Meski pakaiannya sederhana, hanya
t-shirt gading dilapis blazer biru tipis dengan bawahan denim yang membalut
erat kaki jenjangnya, namun ada keanggunan alami dalam sikapnya. Lalu ada
hubungan apa antara dia dengan Jalal? Kenapa harus satu mobil dengan Jalal?... Jujur
saja, Jodha sedikit iri... lebih tepatnya cemburu...
“Terima
kasih. Tapi bagaimana caraku mengembalikannya nanti?”
“Kau ambil
saja.” Jawabnya ringan. “Baiklah, kami pergi dulu. Ayahku pasti sudah menunggu.
Ayo Jalal...” katanya mengajak Jalal pergi.
Tanpa bicara
lagi, Jalal berbalik menyusul gadis itu.
“Tunggu, Sir.
Apa kau menerima pesanku?” Jodha mencegat langkah Jalal.
“Ya.”
“Bisakah...”
“Tidak. Ingat,
aku bos dan kau stafku. Sesuai keinginanmu.” Kata Jalal dingin lalu melangkah
pergi meninggalkan Jodha tanpa memberinya kesempatan bicara.
Hati Jodha
makin mencelos sakit saat dilihatnya Jalal masuk ke dalam lift yang sama dengan
gadis cantik itu dan mereka sama-sama tersenyum sebelum pintu lift menghalangi
pandangannya.
Jodha
melangkah lemas, menunggu lift berikutnya. Hari masih pagi tapi dia sudah mengalami
kesialan dan perasaannya juga campur aduk.
Sebelum
menuju mejanya, terlebih dahulu Jodha masuk kamar kecil untuk membersihkan noda
yang menempel di beberapa bagian tubuhnya. Dengan lembaran tisu yang dibasahi
dia mengelap noda di siku, lutut dan betisnya. Butuh beberapa kali usaha hingga
semua nodanya bersih.
Ternyata cukup
melelahkan juga membersihkan noda-noda itu. Setelah bersih, Jodha menghela
napas berat sambil menatap pantulan dirinya di cermin ruangan itu. Wajahnya
terlihat kusut, ada lingkaran hitam samar di bawah matanya akibat kurang tidur.
Sapuan bedaknya tak mampu menutupinya. Jodha mulai membandingkan penampilannya
dengan gadis cantik yang bersama Jalal tadi. Gadis itu jauh di atas levelnya.
Siapa
gadis itu? Kliennya? Atau incaran barunya? Tidak. Tidak. Aku tidak boleh berpikir
macam-macam. Aku pernah salah mengira adik Jalal sebagai kekasihnya. Kali ini
aku tidak akan membuat penilaian yang keliru lagi tentang dirinya.
Begitu Jodha
kembali ke meja kerjanya, dahinya berkerut bingung saat melihat ada sebuah
paper bag berlogo merk terkenal diletakkan di atas kursinya. Jodha menoleh ke
kanan kiri pada rekan-rekan kerjanya, berharap ada yang bisa memberitahunya.
Tapi sepertinya semua orang sibuk dengan pekerjaannya, tidak ada yang
memperhatikan kebingungannya.
Memang
tertera nama Jodha di secarik kecil kertas di ujungnya, tapi tidak ada nama
pengirimnya. Menyerah oleh rasa penasarannya, Jodha duduk, membuka dan merogoh
isinya. Ditariknya keluar sebuah setelan kerja terusan selutut berwarna peach
lengkap dengan blazer berwarna gelap. Jodha mengerutkan keningnya lebih dalam. Ini untukku? Siapa....? Jalal kah..? Tapi siapa
lagi yang tahu aku butuh...?
Perlahan Jodha
tersenyum setelah menyadari arti hadiahnya. Dia dekap baju itu bagai barang
yang sangat berharga. Terima kasih,
Jalal. Kau memang marah, tapi kau tidak bisa menahan dirimu yang masih peduli
padaku.
Dengan riang,
Jodha berjalan kembali ke kamar kecil untuk mengganti bajunya. Semuanya pas,
seakan baju itu memang dibuat untuknya. Wajahnya merona merah, membayangkan
saat Jalal memilihkan ukuran baju itu untuknya, mengetahui dengan tepat ukuran
tubuhnya. Tubuhnya meremang membayangkan Jalal mengukur setiap inci tubuhnya
dengan tangannya yang kuat itu.
“Jodha,
bajumu bagus sekali. Aku pernah melihatnya di butik GL Ladies.... Saat itu, aku
sempat ingin membelinya tapi sayang kartu kreditku sudah over limit. Aaahh..
aku iri sekali padamu...” seperti biasa Sneyka tidak bisa menahan komentarnya
apalagi melihat penampilan baru Jodha.
GL Ladies?!... Sekarang aku tidak berani
membayangkan berapa harganya...Oh Jalal.. terima kasih...
Jodha hanya
tersenyum menanggapinya. Tidak, dia tidak akan cerita bahwa gaun ini hadiah
dari seseorang. Dia ingin ini tetap menjadi rahasia manis antara dirinya dan
Jalal.
“Jodha, apa
kau lihat Chief Finance?”
“Eh... ya,
aku tadi melihatnya...”
“Aku harus
menyerahkan laporanku...”
“Biar aku
saja... Maksudku.. aku...aku juga akan mengumpulkan hasil analisa yang pernah
dia minta, jadi sekalian saja...” Jodha berbohong, tapi setidaknya dia jadi
punya alasan untuk menemui Jalal.
“Baiklah,
kebetulan kalau begitu...” Sneyka mengangkat bahu, tanpa curiga sedikitpun.
Jodha
tersenyum manis, dia membayangkan pertemuannya dengan Jalal dan saat itu dia
akan mengucapkan terima kasih dengan tulus atas hadiahnya.
Namun keinginannya
harus tertunda sedikit lebih lama, karena sampai jam makan siang, Jalal belum
muncul di ruangannya.
Jodha sedang
makan siang bersama beberapa rekannya, termasuk Sneyka, di kantin gedung saat
mereka melihat obyek paling menarik sedang berkumpul bersama. Tak pelak, mereka
langsung kasak-kusuk membicarakan mereka.
Jodha tidak
mendengarkan apa yang rekan-rekannya bicarakan, karena pandangannya sedang
fokus memperhatikan ke satu titik. Jalal.... Dia sedang duduk di salah satu
meja bersama dengan Tuan Rajeev Pandey, Chief Engineering, dan gadis cantik
yang tadi pagi dilihatnya bersama Jalal. Dari tempatnya, Jodha memang tidak
bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi bahasa tubuh mereka menyiratkan
keakraban di antara ketiganya. Dan itulah yang tidak disukainya. Dia tidak suka
ada wanita, selain dirinya, yang bisa sedekat itu dengan Jalal.
“Putri
Presiden Direktur memang sangat cantik...”
“Iya,
kabarnya orang tuanya sedang sibuk mencarikan suami untuknya.. Mana ada orang
bodoh yang menolak dijodohkan dengannya..”
“Orang kaya
itu penuh pertimbangan. Tentu saja mereka akan mencarikan pria yang sepintar
dirinya dan yang penting sekaya mereka...”
“Tapi tumben
Tuan Putri berkunjung kesini. Yang kutahu dari dulu dia tidak ingin bergaul
dengan orang-orang bisnis rekan ayahnya...”
“Mungkin dia
menemukan kandidat suami yang cocok disini..”
“Menurut
kalian siapa..?”
“Aku bertaruh
untuk Chief Engineering... Dia tampan, sukses, dan mudah bergaul.”
“Tidak
mungkin, aku bertaruh untuk Chief Finance... Dia terlihat dingin dan misterius,
pasti bisa membuat Tuan Putri itu penasaran...”
Jodha
tersentak menoleh begitu mendengar nama Chief Finance disebut-sebut.
“Tidak
mungkin!” Jodha nyaris berteriak. Sontak menghentikan obrolan teman-temannya.
“Kenapa jadi kau
yang marah?” tanya salah satu temannya keheranan.
“Eh... bukan,
maksudku... kurasa mereka tidak terlalu cocok.. Lihat saja, Chief Finance orang
yang tertutup, pasti sulit untuk bisa dekat dengan pria seperti itu. Tapi
omong-omong, putri Presdir itu seperti apa orangnya?” tanya Jodha polos.
“Astaga,
Jodha... kau benar-benar baru hidup lagi. Kau lihat disana, yang duduk di
sebelah Chief Finance, itu Nona Mohita Sarojan, Tuan Putri Presiden Direktur
Tuan Mohit Sarojan... Bagaimana, kau sudah tahu sekarang?” Sneyka menjelaskan
dengan kesabaran yang dipaksakan.
Perlahan
Jodha memutar kepalanya, memandang lekat-lekat ke arah tiga orang yang menjadi
topik perbincangan rekan-rekannya. Nona Mohita Sarojan. Gadis cantik dengan
ratusan kelebihan dibanding dirinya. Wajahnya yang cantik dan eksotis, setara
dengan perpaduan antara keanggunan Behati Prinsloo dengan Sushmita Sen. Postur
tubuhnya bak model Victoria’s Secret. Dia sempurna dalam dan luar. Masih adakah
seorang pria yang tahan pada pesonanya? Sepertinya tidak. Bahkan orang lain
bisa melihat keserasian Nona Sarojan dengan Jalal. Apakah Jodha masih bisa
bersaing dengan gadis seprti itu?
Dengan
pikiran kosong , Jodha kembali ke mejanya setelah makan siang. Dia kesulitan
untuk fokus pada laporan-laporan yang menanti dikerjakannya. Lagi dan lagi,
pikirannya melayang pada keakraban Nona Sarojan dan Jalal. Ingin rasanya dia
menangis. Gumpalan penyesalannya sudah menyesakkan dadanya, menyadari Jalal
makin jauh dari jangkauannya....
Sebuah
pengumuman dari HRD memecah lamunannya menjelang berakhirnya jam kantor. Undangan
makan malam untuk seluruh karyawan Golden Road di Hall lantai 2 dalam rangka
penggalangan dana Charity for Healthy Sanitation.
Usai jam
kantor, seluruh karyawan menuju Hall lantai 2. Tempat itu sudah dihias dengan
ornamen-ornamen cantik dengan dominasi warna putih, kursi dan meja juga
dilapisi kain putih, tidak ketinggalan sebuah panggung kecil tepat di ujung
ruangan.
Jodha memilih
tempat duduk dekat jendela yang sedikit tersembunyi di balik sebuah pot besar
berisi tanaman palem kecil. Dia tidak begitu bersemangat menghadiri acara ini,
tapi karena Sneyka terus memaksanya, akhirnya dengan berat hati Jodha ikut
serta. Tapi sekarang Sneyka juga sudah hilang entah kemana berbaur dengan
orang-orang yang memenuhi pesta itu.
Sang pembawa
acara mulai memperkenalkan orang-orang yang berandil dalam acara amal ini.
Jodha mendengarkan tanpa minat karena pikirannya tidak berada di tempat itu.
Lalu tak
sengaja dia melihatnya, pria itu berjalan ke arah panggung bersama dengan Nona
Sarojan tepat saat pembawa acara menyebutkan nama mereka. Tepuk tangan riuh
memenuhi seluruh ruangan. Jodha ikut berdiri seperti yang lain, tapi wajahnya
malah terlihat sedih .
Nona Sarojan seorang aktivis kemanusiaan
yang cantik dan punya segalanya. Dia wanita yang diidamkan setiap pria.Di
hadapan wanita sehebat itu, masihkah Jalal akan memperhitungkan dirinya?
Jodha merasa
kalah, apalagi saat dilihatnya Jalal mengobrol santai bersama Nona Sarojan dan
Ayahnya sambil sesekali tertawa. Pikirannya mulai mempercayai rumor yang
beredar, tentang Presiden Direktur yang sedang mencarikan kandidat suami yang
cocok untuk putrinya. Pasti Jalal termasuk di dalamnya. Kalau sudah begitu, aku
tidak bisa apa-apa lagi...
Di dalam
ruangan pesta, hati Jodha makin lama makin sesak, akhirnya dia putuskan untuk
pergi lebih awal. Langkahnya dipercepat, dia ingin segera menghirup udara segar
di luar. Begitu berada di luar, dia berhenti untuk menarik napas panjang. Perlahan
pandangannya menyapu lalu lalangnya kendaraan dan terangnya lampu-lampu kota.
Ironis, di tengah hiruk pikuknya kota Mumbay, Jodha merasa sendirian dan
kesepian. Lalu dia perhatikan tempatnya berdiri saat ini, disinilah Jalal beberapa
kali mencegatnya sepulang kantor, memaksanya untuk mengantarkannya pulang.
Jodha ingin mengulang semuanya kembali.
Andai
saja....
“Jodha...”
Kepalanya
berputar dengan cepat saat mendengar namanya dipanggil seseorang dari balik
punggungnya.
“Ya..”
Jodha pikir
yang memanggilnya adalah Jalal. Senyuman yang sudah muncul di wajahnya, dia
tarik kembali saat dilihatnya yang memanggil adalah....
“Varun, mau
apa lagi?”
“Jodha, aku
ingin...”
“Tolong, aku
masih menganggapmu pria yang baik. Tapi apa yang ada di antara kita sudah
berakhir, tidak bisa lagi....aaahh..”
Seseorang
menarik tangan Jodha dengan sekali hentakan dan terus menggelandangnya pergi
dengan tiba-tiba, mengabaikan Varun yang memanggilnya berkali-kali di
belakangnya.
Awalnya Jodha
ingin memberontak, tapi saat tahu yang menarik tangannya adalah Jalal, dia
menurut tanpa paksaan. Dia biarkan Jalal terus menarik tubuhnya, lalu
mendorongnya masuk ke dalam mobil.
Jalal tidak bicara, bahkan dia tidak melihat
ke arah Jodha sama sekali.
“Jalal...”
panggil Jodha saat mobilnya sudah melaju di jalan raya.
“Jangan
bicara apa-apa.” Jawab Jalal dingin.
“Aku...”
“Tidak satu
katapun, Jodha!”
Jodha mengatupkan
mulutnya. Tidak apa-apa. Tidak masalah Jalal masih marah padanya, karena apa
yang dilakukannya ini menunjukkan hal yang bertolak belakang dengan sikapnya. Secara
tidak sadar, Jalal menunjukkan kalau dia masih perhatian pada Jodha.
“Terima
kasih.” Jodha mengatakannya sambil menatap Jalal dengan lembut.
Di bawah
sorot lampu jalan yang menerobos masuk ke dalam kabin mobil, siluet wajah Jalal
terlihat angkuh dan dingin. Pandangannya tajam dan lurus ke arah depan. Tatapan
Jodha lalu bergeser pada tangan yang sedang mengontrol kemudi dengan mantap. Bagi
Jodha, bagian tubuh Jalal yang paling seksi adalah tangannya, karena di dalam
genggaman tangan yang kuat itu Jodha selalu merasa hangat dan nyaman.
Bahkan
kehangatan itu tetap terasa di hati Jodha hingga keesokan paginya saat dia
menerima pesan YM dari Jalal yang memintanya ke kantor pada hari Sabtu itu karena
mereka akan pergi ke Golden Premium.
Jodha
berangkat dengan hati berbunga-bunga, apalagi saat dia melihat mobil Jalal
sudah terparkir menunggu dirinya di depan pintu masuk Golden Road. Dengan
langkah ringan dia menyapa Jalal yang tetap duduk di dalam mobilnya.
“Jalal,
terima kasih kau mengajakku. Menyenangkan bisa pergi ke sana lagi denganmu dan
aku berencana...”
“Kuharap
kehadiranku tidak mengganggu rencanamu, Nona..” jawab sebuah suara, dan itu
bukan suara Jalal.
“Ha...?”
Tuan Rajeev
Pandey, Chief Engineering, melongokkan kepalanya dari balik bahu Jalal. Jodha
jadi salah tingkah karena dia mengira hanya akan pergi berdua saja dengan
Jalal. Dia tersenyum kikuk pada Tuan Pandey dan memberi salam. Dengan wajah
datarnya, Jalal memberi isyarat pada Jodha untuk segera masuk ke dalam mobil.
Selama
perjalanan, hanya Jalal dan Tuan Pandey yang terlibat pembicaraan serius,
sedangkan Jodha hanya diam menyimak dari kursi belakang.
“Nona Sarojan
sepertinya punya minat khusus padamu. Presdir sepertinya juga tidak keberatan.”
Pancing Tuan Pandey.
“Apa kau
mulai bergosip seperti yang lain?”
“Ini
penilaianku secara matematis. Kalian punya ego seimbang, minat yang sama,
penampilan yang saling melengkapi... Apa salahnya menanggapi perhatiannya? Dia
kaya, tapi kurasa dia bukan tipe gadis yang hanya tahu caranya
bersenang-senang...”
“Benar, dia
punya kualifikasi yang bagus. Dia juga pekerja keras. Biasanya kan orang kaya
tidak perlu bekerja untuk mendapatkan uang, mereka hanya tidur, dan
bersenang-senang....”
“Hei, aku juga pekerja keras. Posisiku
kudapatkan bukan karena warisan.” Kata Tuan Pandey tersinggung.
“Aku sedang
membicarakan orang lain.”
“Siapa?”
Jalal tidak
menjawab. Dia melirik Jodha dari pantulan spion mobil di atasnya, tapi gadis
itu tidak tahu karena wajahnya tertunduk dalam.
Begitu tiba di
Golden Premium, ketiganya langsung sibuk bekerja, tidak ada jeda sama sekali.
Tugas Jodha disana adalah mengolah beberapa data dari kedua pria itu, dia
diajak karena dia tahu seluk beluk laporan proyek saat Jalal mengajaknya untuk
pertama kali. Beberapa kali Jodha mencoba menarik perhatian Jalal dengan
menawarinya kopi atau makan siang, tapi tidak satupun ditanggapi. Satu kali dia
menawarkan diri untuk menyusun berkas-berkas yang berserakan di tas kerja
Jalal, tapi langsung ditolak.
Waktu sudah
menunjukkan jam tiga lewat saat kedua atasannya memutuskan untuk makan siang.
Pilihan tempatnya adalah sebuah restoran mewah yang tidak jauh dari pabrik.
Pelayan datang dan Jalal hanya mengatakan memesan makanan seperti biasa,
berarti Jalal sering kesini, begitu pikir Jodha.
Menu pesanan
dihidangkan dan Jalal terlihat begitu menikmatinya, memancing rasa penasaran Jodha
tentang makanan apa yang jadi favorit Jalal.
Jalal tahu aku suka minum teh hijau, jadi aku harus punya cara untuk mencari
tahu apa yang disukai Jalal... Jodha mengerutkan dahinya sambil menggigit
bibirnya, berpikir dalam-dalam.
“Tuan Rashed,
apa minuman favoritmu?” tanya Jodha nekat.
Jalal hanya
meliriknya sekilas tapi tidak menjawab. Dia terus menikmati makanannya dan
menyeruput nikmat kopi di sebelah piringnya.
Kembali Jodha
gigit jari, sepertinya Jalal masih terus mempertahankan sikap marahnya pada
Jodha.
Jalal dan
Tuan Pandey meninggalkan meja lebih dulu, tapi karena melihat Jodha belum
menghabiskan makanannya, mereka berkata akan menunggu Jodha di luar setelah
menyelesaikan tagihan.
Jodha pikir
ini adalah kesempatannya. Begitu kedua orang itu pergi, Jodha menggeser
duduknya mendekati piring bekas makanan Jalal. Masih ada sisa bumbu di
piringnya. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang memperhatikan, Jodha
menjilat sisa bumbu itu dengan ujung jarinya. Dia meresapi rasanya, gurih dan
cenderung manis. Lalu dengan sebuah sendok dia hendak menjumput sedikit sisa
kopi yang tadi diminum Jalal, saat....
“Jodha, apa
yang kau lakukan?”
Tangan Jodha
membeku di udara mendengar suara dari arah belakangnya.
“Itu sisa
kopiku kan?.”
Ternyata
Jalal memergokinya. Wajah Jodha langsung merah padam menahan malu. Alasan apa
yang harus kuberikan padanya?!
“Aku... Aku
hanya ingin tahu kopi seperti apa yang kau suka.”
“Untuk apa?”
“Karena aku
ingin lebih mengenalmu. Aku ingin tahu semua hal tentangmu.”
“Tidak
perlu.” Jawab Jalal lalu pergi meninggalkan Jodha.
Kedua pria
itu sudah menunggu di mobil saat Jodha keluar dari restoran. Begitu Jodha
masuk, mobil langsung melaju kembali ke kota.
Tuan Pandey
diturunkan kembali ke basement Golden Road karena dia meninggalkan mobilnya
disana, sedangkan pada Jodha, Jalal berkata, “Aku sudah pesankan taksi
untukmu.”
Jodha
memandang Jalal beberapa saat lalu berucap, “Aku menyesal dengan semua yang
kukatakan padamu malam itu. Aku memang egois, aku sudah membuat keputusan yang
salah, dan sekarang aku ingin menarik semua kata-kataku.”
Jalal tidak
merespon, maka Jodha melanjutkan, “Aku ingin... maksudku kau jangan menjauh
dariku....”
“Kenapa? Apa
yang bisa kau berikan padaku?... Beri aku alasan untuk tetap bersamamu!”
Sekarang Jodha
yang bingung harus menjawab apa.
***************