Saat aku melewati rumahnya, kulihat dia sedang menyimari
bunga-bunga bersama dengan Arif disampingnya. Arif sudah bisa berjalan dengan
baik di usianya yang hampir 1,5 tahun. Pembedaharaan katanya juga sudah cukup
banyak. Aku sangat merindukan anak itu. Semoga Allah benar-benar mengabulkan
keinginanku, untuk memiliki keluarga yang harmonis, romantis dan barokah
bersama dengan istri yang sholihah dan anak-anak yang sholih dan sholihah.
Aku segera memalingkan pandanganku dan melanjutkan
joggingku. Aku akan selalu berusaha bersabar. Tidak peduli berapa lama aku
menunggu. Insha Allah dia adalah jodohku.
☆☆☆
Sudah satu tahun 3 bulan aku menetap di Surakarta, tetapi
aku masih hidup sendiri tanpa pendamping hidup di sisiku.
Setelah penantianku, aku memang memutuskan untuk melamar
Jodha kepada Orang Tuanya dan juga aku sudah meminta izin kepada Orang Tua
Almarhumah Irul. Aku sudah menganggap mereka berdua seperti orang tuaku
sendiri, bahkan aku masih rutin mengunjungi mereka seperti dulu saat Irul masih
hidup.
Oke... sepertinya kalian masih bingung dengan seputar
kehidupanku kenapa di usiaku yang ke 26 tahun aku masih sendiri, padahal
sebelumnya aku bilang bahwa aku akan langsung melamar Jodha setelah masa
idahnya selesai.
Baiklah akan ku ceritakan sekilas...
Setelah masa idah Jodha selesai, aku memutuskan untuk
menemui Orang Tua Jodha di Jogja bersama dengan keluargaku. Aku meminta izin
mereka untuk meminang putri sulung mereka. Mereka terkejut, tentu saja. Karena
suami Jodha meninggal belum lama dan tiba-tiba ada pemuda yang melamarnya.
Namun aku ceritakan semuanya tanpa aku tutup-tutupi
sedikitpun. Bagaimana perasaanku. Bagaimana hubungan kami bertiga sebelumnya.
Bahkan bagaimana kebersamaan kami selama ini yang tidak pernah memutuskan
komunikasi bagaimanapun keadaanya. Dan sampai sekarang perasaanku tidak
berubah. Aku sudah sholat istikharah dan sholah hajat. Hatiku mantap untuk
meminang Jodha, untuk menjadikannya sebagai istriku.
Reaksi mereka sungguh mengejutkanku.
“Bapak senang dengan niat baikmu, Nak Jalal. Kamu memilih
jalan halal daripada berpacaran. Bapak juga senang dengan kejujuranmu. Semua
memang sudah Allah atur. Tetapi maaf, Bapak tidak bisa menerima pinanganmu,”
ujar Pak Samsul dengan raut wajah penyesalan.
Dadaku terasa sesak setelah mendengar jawaban dari Pak
Samsul. Tapi aku berusaha tegar dan menanyakan alasannya.
“Maaf, Pak... kalau saya boleh tahu, kenapa Bapak menolak
pinangan saya?” tanyaku.
“Ketahuilah... memang kalau anak gadis, orang tualah yang
berhak untuk menerima atau menolak pinangan dari seorang pria. Tetapi jika
wanita yang sudah pernah bersuami, maka wanita itulah yang lebih berhak
menentukan keputusannya. Jadi dalam hal ini, Bapak tidak bisa menerima
pinanganmu. Akan tetapi, tanyakanlah langsung kepada Jodha. Kami sebagai orang
tua dan keluarganya, akan mendukung apapun keputusannya asalkan baik untuk
dirinya,” jelas Pak Samsul.
Satu minggu setelahnya, aku langsung mengutarakan niatku
kepada Jodha secara langsung. Tentu saja dengan pendamping. Aku bersama
keluargaku. Dan Jodha didampingi kedua Orang Tuanya. Kami bertemu di rumah
Jodha, rumah peninggalan Irul.
Jawaban Jodha benar-benar membuatku tepaku. Bahkan
keluargaku dan keluarganya hanya dapat pasrah mendengar jawaban Jodha.
Jodha berkata bahwa aku berhak bersama orang yang lebih
baik darinya.
Bahkan dia seakan tidak memperdulikan perasaanku. Apakah
dia tidak menyadari sikapku terhadapnya selama ini? Apakah dia tidak sadar
bahwa hanya dirinyalah yang aku inginkan?
Dan setelah perbedaan argumen yang kami lontarkan,
akhirnya Jodha berkata yang sedikit mengangkat bebanku.
“Bismillaah... tolong berikan saya waktu. Saya mohon
pengertian dari semuanya. Bahwa saat ini saya masih merasa kehilangan atas
kepergiannya Mas Irul. Saya butuh waktu untuk menata hidup saya kembali. Dan
lagi, ada Arif yang sangat membutuhkan saya saat ini. Dan apakah Mas Jalal
menerima saya beserta anak saya apa adanya?” tanya Jodha yang membuatku mengaga tak percaya.
Apakah dia meragukanku??? Tapi belum sempat aku
mengutarakan apa yang ada di dalam pikiranku, Jodha sudah melanjutkan
ucapannya.
“Satu tahun. Saya memberi kesempatan kepada Mas Jalal
untuk memikirkan lagi hal ini selama satu tahun. Mohon Mas Jalal pertimbangkan
lagi.”
“Aku tidak perlu mempertimbangkan lagi, Jodha. Aku tidak
perlu memikirkan hal ini lagi. Aku akan menyayangi Arif seperti anakku sendiri.
Aku...” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, lagi-lagi Jodha memotongnya.
“Saya mohon, Mas.”
Dan satu kalimat darinya mampu membuatku terdiam. Baiklah
aku akan mengalah. Insha Allah aku masih bisa menunggunya. Semoga Allah
benar-benar membuat kami berjodoh.
☆☆☆
Dan waktu satu tahun itu telah berlalu. Hatiku masih
tetap sama. Pilihanku masih tetap sama. Dan harapanku masih tetap sama.
Jodha...
Kini kami berkumpul kembali. Jodha sudah tampak lebih
santai daripada sebelumnya. Wajahnya tidak lagi dipenuhi dengan kesedihan.
Bahkan berat badannya yang dulu sempat hilang setelah kepergian Irul,
sepertinya sudah mulai kembali lagi.
Ku lihat Arif duduk dengan gusar dipangkuan Jodha. Dia
tampak antusias sejak kedatanganku. Dia meronta ingin segera menghambur dalam
pelukanku.
“Oh Arif... andaikan kau tahu bahwa aku juga sangat ingin
memelukmu. Aku tidak sabar menantimu untuk memanggilku Papa,” ucapku dalam
hati.
Bismillaah... Aku harus bisa mengendalikan diriku. Semoga
jawabanmu tidak mengecewakan kami semua, Jodha...
Setelah acara ini berlangsung hampir satu jam, dan saat
inilah Jodha akan memberikan jawabannya. Aku benar-benar gelisah. Pasalnya ini
sudah kedua kalinya aku meminang Jodha secara langsung.
“Sebelumnya saya minta maaf...”
Oh tidak... Ku mohon, Jodha... jangan hancurkan aku lagi.
“Saya minta maaf karena membuat kalian semua menunggu.
Dan terima kasih atas kesabaran kalian. Semoga kalian ikhlas memaafkan saya.
Dan semoga keputusan saya saat ini benar-benar tepat.”
Ya Allah... kenapa waktu rasanya berjalan dengan lamban.
“Bismillaah... Semoga Allah Meridhoi hal ini. Emm...
saya, saya menerima pinangan Mas Jalal.”
Suasana tiba-tiba hening. Apakah aku tidak salah dengar?
“ALHAMDULILLAAH...” jawab kami serempak setelah hening
beberapa saat.
Ya, Allah... terima kasih atas karuniamu. Aku berusaha
mengendalikan diriku untuk tidak berteriak dan menarik Jodha dalam pelukanku.
“Kendalikan dirimu, Jalal. Ingat, dia belum menjadi halalmu,” ucapku dalam
hati.
Setelah mendengar jawaban Jodha, aku tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Aku mengutarakan keinginanku untuk menikah dengan
Jodha satu minggu lagi.
Mendengar keinginaku, Mamaku langsung menggeplak
kepalaku. “Dasar anak ini,” ucap Mamaku yang gemas dengan kelakuanku.
“Oh, Mama... Apakah Mama tidak mengerti perasaanku... aku tidak sabar lagi. Aku
sudah menantikan hal ini cukup lama.”
Dan aku benar-benar malu. Aku tidak sadar menyuarakan
pikiranku. Semua orang yang ada disini menertawakanku. Kulirik Jodha yang
menundukkan kepalanya dan ku yakin wajahnya sudah merona. Bahkan Arif yang aku
yakini belum faham dengan apa yang terjadi, turut tertawa melihat orang-orang
disekitarnya tertawa.
Oh... putraku. Akhirnya keinginanku selama ini terwujud.
Arif akan memanggilku Papa. Dan Jodha, orang yang selama ini ku rindukan dan
selalu ku sebut dalam doaku, kini benar-benar akan menjadi istriku... menjadi
pendamping hidupku... dan akan menjadi ibu dari anak-anakku.
Saya minta maaf atas ending yang
tidak memuaskan ini. Mohon maaf jika ada kalimat-kalimat yang tanpa saya
sengaja dan tanpa saya sadari menyinggung perasaan Pembaca. Saya tahu kalian
tidak puas. Saya sendiri pun sebenarnya juga tidak puas. Karena sebenarnya
cerita ini masih jauh dari kata ending dari ide awal cerita saya. Tetapi karena
kesibukan yang tidak mungkin ditinggalkan, dengan terpaksa saya harus
mengakhiri cerita ini.
Terima kasih atas dukungan pada
cerita yang ga jelas ini... Semoga di lain waktu saya masih diberi kesempatan
untuk berkarya lagi. Aamiiin...
Dan bagi yang berkenan berbagi
ceritanya di blog ini, silahkan hubungi saya melalui e-mail: chusni.romla@gmail.com
Sekali lagi saya ucapkan terima
kasih.