Semuanya
bermula saat Jodha mengantri lift di lobi bersama beberapa orang karyawan saat
baru tiba di kantor. Mendadak Sneyka datang dari arah belakangnya, menggamit
lengannya dan menarik tubuhnya sedikit menjauh dari kemurunan rekan-rekan
mereka. Tanpa basa-basi, Sneyka langsung mencecarnya dengan berbagai
pertanyaan.
“Jodha, aku
baru tahu apa yang terjadi antara kau dan Varun, kenapa kau tidak menceritakannya
padaku?! Apa itu alasanmu kau absen dua hari kemarin?! Apa kau baik-baik saja?!
Apa semuanya benar-benar berakhir?! Kau batal menikah? Sungguh?! Ya
Tuhan...Bagaimana perasaanmu? Kau pasti sangat sedih...” pertanyaan beruntun
itu keluar dari bibir Sneyka.
“Sneyka, satu
per satu...”
“Oh maaf, aku
sangat penasaran, jadi semuanya ingin kutanyakan. Sebenarnya aku berusaha menelponmu
kemarin, tapi nomormu sulit dihubungi. Memangnya kau pergi kemana?” selidik
Sneyka. Jodha hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Lebih aman menyimpannya
untuk dirinya sendiri.
Denting pintu
lift mengalihkan perhatian mereka. Jodha melangkah masuk ke dalam lift diikuti
oleh Sneyka di belakangnya. Baru masuk ke dalam lift, Jodha langsung berhadapan
dengan Jalal yang sudah berada di dalam. Dan pria itu memandang tepat ke arah
dirinya. Tatapannya yang dalam mampu melemaskan lutut Jodha sejenak dan langkahnyasempat terhenti karena
terkejut. Karena berhenti mendadak, tubuhnya sempat terdorong dan terdesak oleh
orang lain yang masuk ke dalam lift yang sama. Akhirnya Jodha berdiri tepat di
depan Jalal.
Lain lagi
dengan reaksi Sneyka saat melihat ada Chief Finance di dalam lift, wajahnya
langsung berubah kecut dan nyalinya menciut. Dia masih ingat saat pimpinannya
itu membentaknya gara-gara kelakuannya yang tidak profesional.
“Se..Selamat
pagi, Sir...” sapa Sneyka dengan sedikit terbata. Tanpa menyadari ada
percikan-percikan tak kasat mata antara Chief Finance dan temannya, Jodha.
Salamnya
hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Jalal.
“Eh...Jodha...”
bisik Sneyka di dekat telinga Jodha melanjutkan pembicaraan mereka di luar tadi,
“Apa kau sudah bicara lagi dengan Varun setelah kalian putus?! Bukannya aku
ingin tahu, tapi dia terus-menerus menelponku dan menanyakan tentang dirimu....Dia
bilang dia berusaha menelponmu, tapi kau tidak pernah menjawabnya, dia ingin
minta maaf padamu. Sepertinya dia bersungguh-sungguh, apa kau tidak ingin
mempertimbangkannya lagi? Kalian sudah bersama 2 tahun, sayang sekali kalau
tidak sampai pernikahan. Tapi, omong-omong apa yang menyebabkan kalian putus?!”
Jodha ingin
sekali menyumpal mulut Sneyka yang terlalu lancar mengalirkan semua kata-kata
itu. Kalau saja temannya ini sedikit lebih peka dan mereka sedang mengobrol di
tempat lain, Jodha akan menjawab semua pertanyaan itu. Tapi masalahnya, mereka
sedang di dalam lift, ditambah lagi tepat di belakang mereka ada Jalal yang
pasti bisa mendengar semuanya.
Dari pantulan
dinding kaca lift di depannya, Jodha bisa melihat tatapan tajam Jalal yang seakan
bisa menembus punggungnya. Dia terlihat sangat marah dan kesal. Beruntung lift
sudah berhenti di lantai 3. Cepat-cepat Jodha melangkah keluar, menjauhkan diri
dari tatapan Jalal yang membuatnya sesak napas.
Dan sekarang
dia disini, di dalam ruangan Chief Finance, sedikit gemetar karena takut,
keringat dingin sudah meluncur di tengkuknya, seakan sedang menanti vonis
hukuman dari algojo.
“Aku
memintamu merekap laporan laba rugi sejak awal Golden Textiles dan Golden
Beverages dibangun sampai sekarang. Apa kau mengalami kesulitan?!” tanya Jalal
dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas di tangannya.
“Tidak, Sir.”
Jawab Jodha pelan.
“Kalau begitu
kenapa laporannya hanya kau buat sejak tahun ‘97?!”
“Karena
sebelum ’97 semua data belum tersimpan digital...”
“Apa itu
masalah besar?”
“Tidak juga, Sir...tapi
saya butuh otorisasi dari Anda untuk masuk ke gudang arsip.”
“Kenapa kau
tidak langsung memintanya?!”
“Eh..saya..”
“Kau sengaja
tidak meminta otorisasi karena kau malas memintanya atau karena kau tidak mau
berurusan denganku!?” desak Jalal.
“Tidak ada
hubungannya dengan masalah pribadi.” Sangkal Jodha.
“Perbaiki.”
Kata Jalal sambil menyerahkan kembali laporan itu pada Jodha yang duduk di
depannya, “Sore ini selesai?! Otorisasi akan kuberikan. Kau cari saja dokumen
yang kau butuhkan.”
“Ya, Sir...”
Jodha berdiri dan keluar dari ruangan Jalal.
Tanpa
membuang waktu lagi, Jodha segera menuju ke gudang arsip di lantai 8. Terlebih
dahulu dia menuju meja penjaga keamanan yang berada tepat di depan pintu lift.
Setelah ID card-nya divalidasi, Jodha diijinkan masuk ke dalam ruangan yang
khusus diperuntukkan menyimpan semua arsip penting perusahaan.
Deretan
rak-rak besi dan lemari kabinet berjajar di seluruh ruangan dan sepanjang
dinding. Ruangannya terasa lembab tapi tidak menyesakkan. Suhu ruangannya
diatur tetap pada suhu normal ruangan. Ada alat pengukur kelembaban yang
diletakkan di setiap sudut ruangan untuk memantau tingkat kelembaban udara di
ruangan ini. Ruangan yang terlalu dingin, terlalu basah atau terlalu panas akan
merusak dokumen-dokumen disini.
Jodha menelusuri
tiap rak untuk mencari dokumen sesuai nomor index yang tertera di kertas
petunjuk yang tadi sempat dimintanya dari ruangan administrasi.
Begitu
menemukan salah satu dokumen yang dicarinya, Jodha membukanya dan memilah-milah
data yang dibutuhkannya. Tak terpikir untuk membawanya ke meja yang hanya ada
satu dan terletak di samping pintu masuk, Jodha meletakkan dokumen-dokumen itu
di lantai dan langsung menenggelamkan diri dalam deretan angka-angka yang
selalu menarik perhatiannya untuk dianalisa.
Entah sudah
berapa menit atau berapa jam Jodha asyik memperhatikan dokumen beserta
angka-angkanya, tanpa sadar dia sudah melewatkan jam makan siang bahkan hingga
beberapa jam sesudahnya. Dan ini membuat seseorang di luar sana menjadi cemas.
Karena
terlalu asyik memperhatikan data-data di tangannya, dia bahkan tidak sadar ada
seorang pria sedang berdiri di belakangnya, memperhatikannya dengan seksama.
Jodha terlonjak
setengah mati, saat tiba-tiba merasakan ada tubuh yang ikut duduk di lantai
tepat di sampingnya.
“Jalal,
Sir...?!!” pekik Jodha terkejut sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang,
“Untuk apa kau disini?!”
“Hmmh..Mau
bagaimana lagi, aku tidak bisa menahan kakiku yang ingin menemuimu.” Jawab
Jalal melebih-lebihkan.
“Ck...jangan
sekarang... Aku harus menyelesaikan laporan yang diminta oleh Tuan Jalal Rashed
yang terhormat.” Balas Jodha dengan gerakan tangan dibuat-buat.
Jalal
tersenyum, “Itu aku, kan?!”
Jodha
membalas dengan memasang mimik wajah seakan tak mengenali Jalal.
“Kau sadar
sudah berapa lama kau mengurung diri dalam ruangan ini?” tanya Jalal setelah
beberapa saat diam.
Jodha menoleh
dari berkas-berkas di tangannya, lalu meraih ponsel dari saku kemejanya,
“Mmh...empat jam?!”
“Ini,
makanlah....” perintah Jalal sambil meletakkan sebungkus roti isi ke telapak
tangan Jodha, “Kau juga melewatkan makan siang.”
Jodha bahkan
tidak memperhatikan Jalal membawa makanan kesini.
“Kau tidak
perlu melakukan semua ini.” Kata Jodha.
“Aku harus.
Aku menyuruhmu bekerja, bukan menyuruhmu berpuasa.” Jawab Jalal sedikit ketus.
“Terima
kasih.” Jawab Jodha sambil tersenyum kecil yang dibalas Jalal juga dengan
senyuman kecil di bibirnya.
Beberapa saat
mereka menikmati makan siang mereka yang terlambat dalam keheningan. Tidak ada
yang bersuara, apalagi bertanya. Hanya kedua pasang mata mereka yang
bergerak-gerak, kadang tanpa sengaja saling bertatapan, kadang menunduk malu,
lain waktu mata mereka saling tersenyum dan di waktu lain mata mereka berbicara
apa yang tak mampu diugkapkan kata-kata.
Setelah
merasa cukup kenyang, Jodha melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat
tertunda. Dan kali ini Jalal bersikeras tetap menemaninya.
“Sebenarnya
analisa ini kau butuhkan untuk apa?” tanya Jodha tanpa mengalihkan matanya dari
atas kertas yang dipegangnya.
“Golden Road
berencana ekspansi bisnis ke wilayah Amerika Selatan. Tapi para direksi belum
memutuskan mereka akan mengembangkan bidang usaha yang mana...Kira-kira yang
mana menurutmu?” tanya Jalal serius. Nada bicaranya seakan-akan Jodha adalah
kliennya.
“Aku belum
pernah mengambil keputusan sepenting itu. Tapi, dua anak perusahaan ini
sama-sama menjanjikan. Kalau menurutmu?”
“Golden
Textiles lebih menjanjikan. Perhatikan laba mereka sejak berdiri, dalam grafik
tidak akan terlihat peningkatan yang tajam, cukup landai tapi selalu naik.
Sedangkan Golden Beverages, dalam grafik, naiknya tajam tapi juga pernah turun,
lebih tiddak stabil. Kau tahu kenapa? kebutuhan textiles tidak pernah terpengaruh
cuaca, sebaliknya penjualan produk minuman sangat tergantung pada cuaca, belum
lagi selera penduduk lokal yang tidak bisa diglobalkan.” Jalal menjelaskan
panjang lebar.
Jodha
mendengarkan dengan seksama, dia salut pada kemampuan penilaian Jalal yang luar
biasa hanya berdasarkan angka-angka di atas kertas. Wajahnya melembut saat
mendengarkan semua penuturan Jalal, tanpa sadar, seulas senyum terbit di ujung
bibirnya.
“Jodha..”
“Mmmh...”
“Apa lagi
yang harus kulakukan agar kau menyukaiku?”
“Hah..?!”
“Bukan apa-apa...”
Sebenarnya
Jodha mendengar pertanyaan terakhir Jalal, tapi dia pura-pura tak mendengarnya.
Dia hanya berusaha mengulur waktu, entah sampai kapan, saat tiba saatnya dia
harus menentukan perasaannya sendiri.
Tepat saat
itu, ponsel Jodha berdering. Jodha enggan menjawab setelah melihat siapa
penelponnya. Jalal bisa menduga siapa yang menelpon Jodha. Karena kesal, dia
rebut ponsel Jodha dari tangannya, melucuti kartu SIM nya lalu mematahkannya
jadi dua. Jodha terbengong-bengong melihat apa yang dilakukan Jalal.
“Apa....apa
yang kau lakukan?!” tanya Jodha marah.
Jalal hanya
diam saja. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Memencet beberapa
tombol, dan menyerahkan ponsel itu pada Jodha.
“Kau pakai
ponsel ini saja. Di dalam situ hanya ada nomorku. Jadi, Varun tidak akan
mengganggumu.” Kata Jalal tak mau dibantah.
“Tunggu, kau memang
bosku, tapi kau tidak bisa mengatur kehidupan pribadiku. Aku sendiri bisa
menghadapi Varun.... Kembalikan ponselku!” Jodha berusaha merebut kembali
ponselnya dari tangan Jalal, tapi tidak berhasil.
Jodha terus
mencoba, tapi Jalal bisa terus menghindar. Kini mereka saling berebut seperti
anak kecil yang memperebutkan sebuah mainan. Karena berada pada posisi yang
sedikit tidak menguntungkan, Jodha kehilangan keseimbangan dan tubuhnya jatuh
serta mendorong tubuh Jalal ikut jatuh di bawahnya. Kini posisi Jodha menindih
tepat di atas tubuh Jalal. Dada Jodha di atas dada Jalal. Kaki mereka saling
mengait. Mereka sama-sama terpaku saat menyadari posisi tubuh mereka yang akan
terlihat vulgar seandainya ada orang lain yang melihat.
“Hhhh...aku
bersedia berebut apa saja denganmu, jika tahu akan seperti ini hasilnya.” Jalal
mendesah senang, meski sebenarnya dia sama gugupnya dengan Jodha.
Dengan
gerakan kaku, Jodha berusaha bangkit dari atas tubuh Jalal, secara harfiah,
lalu tangannya merapikan rambutnya untuk menutupi tangannya yang gemetar karena
gugup.
“Tolong,
kembalikan ponselku.” Kata Jodha pendek, menekankan setiap kata.
“Kalau kau
terus membantah, aku akan menciummu...” kata Jalal dan mendapat balasan mata
yang melotot dan bibir yang mengerucut marah ke arahnya.
“Aku
melakukan ini demi ketenangan hidupmu.” Ujar Jalal.
Sebenarnya
Jodha tidak percaya Jalal akan benar-benar melaksanakan ancamannya,
tapi...Jodha tidak mau ambil resiko. Hanya membayangkan Jalal menciumnya,
rasanya seperti ada ratusan petasan meledak di dalam perutnya.
Akhirnya
dengan terpaksa Jodha menuruti permintaan Jalal. Diterimanya ponsel milik Jalal
yang notabene adalah ponsel mahal keluaran terbaru. Harga ponsel ini setara
dengan tiga kali gaji bersihnya. ‘Apa sebenarnya tujuan Jalal? Kenapa dia mudah
sekali memberikan barang semahal ini untuk orang yang baru dikenalnya?....Apa
dia memang benar-benar menyukaiku?’ tanya Jodha dalam benaknya.
Akhirnya
mereka berdua keluar dari ruang arsip setelah pukul empat sore. Jodha kembali
ke mejanya dan menemukan ada memo
post-it yang ditempelkan di monitornya. Tertulis disana ‘Kutunggu di
Boral Park, north parking, pulang kerja, Varun’.
Jodha
menghela napas dengan dengan berat. Baiklah, dia akan menyelesaikannya malam
ini, itu tekadnya. Dia harus bisa tegas pada Varun agar pria itu tidak
terus-menerus mengganggunya. Jodha tidak pernah mentolerir pengkhianatan. Varun
sendiri yang memilih jalan seperti ini, tidak akan ada kesempatan kedua
seandainya Varun memintanya.
Keluar dari
gedung Golden Road, Jodha langsung dicegat oleh mobil Jalal.
“Ayo,
kuantar.” Kata Jalal dari dalam mobil.
“Terima
kasih, tapi aku masih punya urusan lain.” Tolak Jodha baik-baik.
“Aku tahu,
kau akan menemui Varun kan?! Aku tahu tempatnya...” potong Jalal terus terang.
“Bagaimana
kau bisa tahu...?” selidik Jodha. Jalal hanya menaikkan kedua alisnya tapi
tidak menjawab.
Jalal tidak
akan menjawabnya sebelum Jodha mau masuk ke dalam mobil. Sambil
menggerak-gerakkan mulutnya karena sebal, Jodha terpaksa masuk ke dalam mobil
Jalal.
“Aku melihat
pesannya masih ada di mejamu. Kau menyimpannya dengan sengaja atau tidak, yang
pasti aku hanya ingin melindungimu. Kau akan menemui MANTAN tunanganmu yang
sepertinya masih tidak ingin melepasmu. Berhadapan dengan orang sepert itu,
apapun bisa terjadi.” Jalal menjelaskan dengan tenang.
Dalam hati,
Jodha mengakui kebenaran kata-kata Jalal. Dua tahun membina hubungan tidak
menjadi jaminan kita mengenal pasangan kita sepenuhnya. Petuah itu sesuai
dengan apa yang dipikirkan Jodha saat ini. Dia pikir dia sudah mengenal Varun
dengan baik dan percaya penuh padanya, ternyata dia mampu berkhianat. Sekarang
Jodha tidak berani menjamin bahwa Varun hanya akan bicara baik-baik
padanya.
“Baik, kau
hanya akan menemaniku. Itu saja.... Aku yang akan bicara dengan Varun.”
Akhirnya Jodha mengalah pada keinginan Jalal tapi tetap menentukan batasannya.
Jalal setuju
atau tidak, Jodha tidak tahu karena Jalal tidak berkata apa-apa lagi. Pria itu
langsung memutar kontak dan menjalankan mobilnya ke arah Boral Park.
Perjalanan
hanya sekitar 20 menit memecah kemacetan kota Mumbay saat jam sibuk pulang
kantor. Karena hari ini bukan akhir pekan, Boral park sedikit lengang. Dengan
mudah, Jalal langsung membelokkan mobilnya ke arah timur dari area parkir
tempat itu.
Sekeliling
tempat itu dibatasi oleh tembok beton. Hanya terlihat beberapa mobil dan motor
yang terparkir disana. Hanya satu dua orang yang terlihat di area parkir itu.
Dan Jodha
melihatnya. Dia melihat pria yang dicarinya sedang berdiri di samping motor
kesayangannya. Motor yang selalu dikendarainya untuk membonceng Jodha saat
mereka pergi berkencan. ‘Kenangan itu masih ada rupanya’, Jodha berbicara dalam
hati, ‘aku tidak berusaha melupakannya tapi juga tidak ingin mengingatnya lagi.
Rasanya abu-abu, tanpa warna dan tidak hidup. Hubungan seperti apa yang selama
ini kupertahankan demi dia?’
Jalal
memarkir mobilnya tak jauh dari tempat Varun. Jodha turun terlebih dahulu dan
Jalal menyusulnya. Namun saat Jodha mendekati Varun, Jalal tidak ikut, dia berdiri
agak menjauh.
“Langsung
saja, apa yang kau inginkan!” Jodha berkata dingin.
“Jodha..akhirnya...kau
mau bicara denganku....” Varun berbicara dengan kelembutan yang dibuat-buat,
lalu nadanya berubah saat mengatakan, “tapi...kenapa pria itu juga datang bersamamu?!”
“Itu
urusanku.” Potong Jodha.
“Jodha...”
“Kalau tidak
ada yang penting, aku pergi....”
“Jangan
Jodha....aku benar-benar ingin bicara denganmu...”
“Cepat
katakan!”
“Jodha, aku
menyesal....Kau harus tahu, semua yang terjadi bukan karena keinginanku...Aku
masih mencintaimu dan aku sangat merindukanmu....” wajah Varun memelas.
Jodha tidak
berkata apa-apa, dia hanya diam memperhatikan tanpa ekspresi.
“Jodha...aku
tidak ingin kita berpisah. Aku ingin kita bersama lagi....Kau masih ingin
menikah denganku, kan?!”
“Tidak! Aku
tidak mau kembali lagi bersamamu, apalagi menikah denganmu...Kalau kutanya, apa
saja yang sudah kau lakukan untukku selama kita bersama?! TDAK ADA....Ironisnya,
aku baru menyadarinya sekarang, kau...tidak pernah melakukan apapun
untukku...Akulah yang harus selalu menjaga perasaanmu, akulah yang harus
menuruti keinginanmu, bahkan akulah yang harus membayar setiap makanan yang kau
beli...Menyedihkan!.... Akulah yang menyedihkan!...Karena aku bahkan tidak
sadar kalau aku hanya dimanfaatkan, belum menikah saja kau sudah
memperlakukanku dengan rendah, apalagi nanti seandainya kita menikah...Aku
bersyukur, Tuhan masih melindungiku dari pria munafik sepertimu....Tuhan lebih
dulu menunjukkan wajah aslimu sebelum aku terperangkap hidup bersamamu...Kau...cari
saja orang lain!” Jodha langsung berbalik pergi.
Varun
berusaha meraih tangan Jodha, “Jodha...jangan pergi dulu..”
Jodha memutar
tubuhnya dengan cepat dan membentaknya, “Jangan sentuh aku!...Dan jangan
menelponku lagi!...Pokoknya jangan muncul lagi di sekitarku!”
Jodha
berbalik dan berjalan menuju tempat Jalal, lalu suara di belakangnya memaksanya
untuk kembali berhenti, “Jodha...Kalau kau pergi, aku akan bunuh diri!”
Jodha menoleh
kembali pada Varun dan shock melihat tindakan nekad Varun yang tidak pernah
diduganya.
Varun
menodongkan sebuah pisau ke dadanya sendiri, “Jodha...kalau kau meninggalkanku,
aku akan mati!”
“Varun...!”
pekik Jodha.
“Jodha,
tenanglah...”tiba-tiba Jalal sudah ada di sampingnya.
“Hei
kau...Jangan ikut campur! Ini antara aku dan Jodha...!” teriak Varun sambil
menunjuk-nunjuk Jalal.
Yang ditunjuk-tunjuk
hanya menyeringai geli.
“Jalal,
lakukan sesuatu...!” Jodha mulai panik.
“Kau tidak
perlu panik. Dia hanya menggertak.... Kita pergi saja dari sini. Tidak perlu
menemani orang yang mau bunuh diri.” Ujar Jalal santai
“Kau jangan
mempengaruhi pikiran Jodha!.. Aku bersungguh-sungguh!.. Kalau Jodha tidak mau
menerimaku, lebih baik aku mati!” ancam Varun makin menempelkan pisau itu ke dadanya.
Perdebatan
mereka rupanya mulai menarik perhatian beberapa pengunjung Boral park. Mereka
mulai mendekat karena penasaran.
“Varun,
tolong lepaskan pisau itu.... Jangan bertindak bodoh!” Jodha berusaha
menenangkan.
“Aku akan
melepasnya kalau kau setuju kembali bersamaku.”
“Kita akan
bicarakan itu lagi setelah kau melepaskan pisau itu.” Jodha mencari alasan,
lalu menoleh ke arah Jalal mencari dukungan, “Jalal, pikirkan cara agar dia
tidak nekad.....” bisik Jodha di telinga Jalal.
“Begini,
Varun....” Jalal mencoba mengajaknya bicara.
“Kau jangan
menghalangiku!”
“Aku tidak
akan menghalangimu, percayalah....Kalau kau mau bunuh diri, silakan...Aku tidak
keberatan sama sekali....”
“Kau ingin
aku mati?!”
“Kau sendiri
yang ingin mati...”
“Baik, aku
akan mati...di depan Jodha...Akan kubuktikan sedalam apa cintaku padanya...!”
“Cepat
lakukan...!”
”Pasti
kulakukan...!”
Jodha seperti
menonton bola tenis yang dipantulkan ke kanan dan ke kiri mendengar dua pria
itu saling melemparkan kata-kata, hingga dia tidak tahan lagi dan berteriak,
“Stop!”
“Varun,
turunkan pisaumu dan kita akan bicara baik-baik!” Jodha berkata pada Varun,
lalu pada Jalal, “Kau tidak menolong sama sekali...”
“Setidaknya
dia belum bunuh diri, kan?!” jawab Jalal santai sambil mengedikkan bahunya.
Jodha
mengacuhkan Jalal dan mencoba cara lain untuk menenangkan emosi Varun.
“Varun...”
“Jodha, aku
sungguh-sungguh...” potong Varun.
Jodha mencoba
mengacuhkan pisau yang masih digenggam Varun di depan dadanya, tapi gagal,
makin lama dia makin ngeri melihat pisau itu seakan berayun-ayun seirama dengan
tarikan napasnya.
Ditariknya
lengan kemeja Jalal menuntut perhatian, “Jalal, kumohon...lakukan sesuatu...”
pinta Jodha terdengar putus asa.
“Baik...sebentar..aku
telepon polisi dulu..” ujar Jalal.
“Polisi?!”
“Polisi?!”
Jodha dan
Varun sama-sama memekik ketakutan mendengar kata polisi disebut-sebut. Apalagi
Varun, dia mulai terlihat berdiri dengan gelisah, kedua kakinya bergerak-gerak
seperti kesemutan.
“Untuk apa
kau telpon polisi?” tanya Jodha dengan suara tertahan.
“Tentu saja
demi kebaikanmu dan aku. Aku tidak mau polisi salah mengira kita sebagai
pembunuh karena berada dekat dengan mayat orang itu...” balas Jalal lalu
benar-benar menelpon polisi.
“Jodha,
aku...aku akan mati...” kata Varun gugup masih mencoba mengembalikan perhatian
Jodha padanya.
“Jalal, apa
yang harus kita lakukan sekarang?!”
“Menunggu...”
“Menunggu
apa?”
“Menunggu
mana yang terjadi lebih dulu, Varun yang lebih dulu mati atau polisi yang
datang lebih dulu....”
“Jalal!??”
justru Jodha yang kesal karena sikap Jalal yang sepertinya menganggap semua ini
hanya main-main saja. Sedangkan dia mengkhawatirkan Varun meski pria itu telah
menyakiti hatinya.
“Emm Varun...Kau
yakin ingin menusuk dadamu?! Menurut pengalamanku, sebaiknya kau mengiris
pembuluh darah di lehermu saja. Kau akan mati lebih cepat dan tidak akan
terlalu sakit.....Kalau kau menusuk dadamu, kau butuh tekanan yang lebih besar
karena harus melewati tulang rusukmu sebelum menembus jantungmu....Dan yang tidak
kusarankan adalah bagian perut, jangan menusuk bagian itu, darah yang keluar
akan sangat banyak tapi kau mati dengan lambat karena itu kau akan merasakan
sakit yang teramat sangat sebelum akhirnya tubuhmu lemas....Belum lagi isi
perutmu yang akan ikut keluar saat kau menarik pisau itu...akan terlihat
menjijikkan dan cukup berantakan...” Jalal menjelaskan bak seorang dokter
forensik menganalisa korbannya.
Jodha mulai
memahami jalan pikiran Jalal, dengan caranya yang unik dan terkesan tidak
peduli, sebenarnya Jalal mencoba mengulur-ulur waktu dan memecah pikiran Varun
agar mengurungkan ancamannya.
Dia
memperhatikan Jalal di sampingnya dan tersenyum, kagum pada cara berpikirnya.
“Jadi Varun,
kau sudah memutuskan kapan akan melakukannya?! Karena aku harus menutup mata
Jodha...kau tahu...dia agak ngeri melihat darah...Dan jangan khawatir, setelah
kau mati, aku akan menjaga Jodha, ini janji antar pria..”
Varun
terpancing, tanpa sadar tangannya yang memegang pisau mulai mengendur.
“Maksudmu kau
akan merebut Jodha dariku?!”
“Kau kira
Jodha akan hidup selibat setelah kau mati. Tidak mungkin...Dia wanita normal
dan juga sehat, pasti dia membutuhkan pria yang kuat seperti aku....”
“Kau ini
bicara apa?!” Jodha menyela perdebatan antara Jalal dan Varun.
Selagi mereka
bertiga berdebat, dari sudut matanya, Jalal melihat beberapa orang petugas
polisi datang mengendap-endap di belakang Varun.
Varun sama
sekali tidak menyadari kehadiran mereka, dia masih mengayun-ayunkan pisau itu
di depan tubuhnya, lalu dalam gerakan cepat, tiga orang polisi serentak
menyergap Varun dari arah belakang dan menjatuhkannya. Mereka juga berhasil
melucuti pisaunya. Varun berteriak-teriak histeris dan ketakutan. Berulang kali
dia meneriakkan kata-kata ‘aku tidak bersalah’, tapi mereka sama sekali tidak
bergeming.
Jodha
langsung lunglai begitu drama percobaan bunuh diri ini selesai, untung saja ada
Jalal di sampingnya yang lebih dulu menahan tubuhnya sebelum tersungkur di
tanah. Dengan sigap Jalal memapahnya dan mendudukkannya di kursi mobil,
sementara pintunya tetap dibiarkan terbuka.
Jalal
mengangsurkan sebotol air minum, entah dari mana dia mendapatkannya, pada
Jodha. Langsung saja air itu diminumnya sampai tersisa sepertiga dari botolnya.
Jodha menuruti instruksi Jalal untuk mengatur napasnya agar dia menjadi lebih
tenang.
Butuh waktu
sepuluh menit lebih bagi Jodha hingga perasaannya bisa tenang sepenuhnya. Jalal
meninggalkannya sebentar untuk berbicara pada petugas polisi, memberi kesaksian
atas insiden yang baru terjadi.
“Kau sudah
lebih tenang?” tanya Jalal saat sudah kembali di dekatnya.
Jodha
mengangguk sambil tersenyum.
“Aku antar
pulang ya?” kata Jalal dengan suaranya yang lembut, bukan hanya mampu
menenangkan jiwanya tapi juga telah menghangatkan hatinya.
Selama di
dalam mobil, mereka tidak berbicara. Sama-sama menikmati ketenangan setelah
keadaan kacau yang baru saja mereka alami.
Malam ini,
Jalal mengantarkan Jodha sampai ke depan pintu apartemennya. Berhenti di depan
pintu, Jalal meraih kedua tangan Jodha, dan anehnya Jodha tidak menampiknya
seperti sebelumnya.
Ada
ketenangan dan perlindungan yang terasa dalam genggaman tangan Jalal, perasaan
yang sangat asing dan menyenangkan.
“Kau tidak
perlu takut, kalau Varun masih mengganggumu, katakan padaku, aku tidak hanya akan
membuatnya dipenjara.” Kata Jalal membuat Jodha bertanya dalam hati apa yang
lebih menakutkan daripada penjara?
“Jangan
khawatir. Aku bisa menjaga diri....Dan...terima kasih lagi untuk...apapun yang
kau lakukan hari ini...” ucap Jodha tulus.
“Kau bisa
membalasnya dengan berkencan denganku...” balas Jalal menggoda.
“Aku tidak
tahu, Jalal...Aku tidak ingin tampak putus asa gara-gara seorang pria
meninggalkanku... tapi aku juga masih belum ingin menjalin hubungan baru...”
Jalal
mengusap-usap lembut buku tangan Jodha yang masih ada dalam genggamannya,
“Tidak apa-apa...masih ada lain waktu...”
Jalal
melepaskan tangan Jodha dan menganggukkan salam, lalu berbalik pergi dengan
kepala sedikit tertunduk. Jodha menatap punggung Jalal yang menjauh, andai saja
dia wanita yang lebih berani. Berani untuk jatuh cinta lagi, berani untuk
mengakuinya dan berani merasakan sakitnya. Dia hanya berharap apa yang
dilakukannya saat ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua.
**************