Yang Dirindukan Bab 7
By Chusnianti
Satu tahun berlalu. Kehidupan
keluarga Irul bersama Jodha tetap berjalan harmonis dan romantis. Bahkan mereka
berdua kini telah dikaruniai seorang putra bernama Muhamad Arif Azhari. Jodha
hamil di bulan pertama pernikahannya. Dan kini Arif berusia 2 bulan.
Siang ini, Irul sedang di
Semarang di sebuah danau buatan yang saat itu sepi untuk bekerja sebagai guide. Yang membuat Irul terkejut
adalah... yang menyewanya sebagai jasa guide
melalui atasannya tenyata adalah sahabatnya sendiri, Jalal. Keadaan sekitar
benar-benar sepi karena Jalal menyewanya sehari penuh pada saat itu. Irul
semakin dibuat terperangah karena Jalal seakan-akan menculiknya, bukannya
menjadikannya guide sebagaimana
seharusnya.
“Kau apa-apaan, Jalal? Kau
membawaku ke Semarang dan membayarku untuk pekerjaan yang tidak ku lakukan?
Apakah kau terlalu kelebihan uang setelah menjabat sebagai CEO di perusahaan
yang dulu dikelola ayahmu?” dengus Irul.
“Irul.. kenapa kau menjadi
semakin cerewet setelah menjadi bapak-bapak.”
“Itu pernyataan bukan
pertanyaan.” Irul masih sebal dengan sikap Jalal.
“Aku butuh cerita, Irul... Dan
itulah alasanku kenapa aku menculikmu kesini. Aku tahu kau sangat sibuk,
makanya akan membawamu dengan alasan pekerjaanmu. Dengan begitu kan kau tidak
perlu bolos kerja, kan?” Jalal menaik-naikkan alisnya setelah mengakhiri
ucapannya.
“Ya Allah... Jalal...
Astaghfirullaah...” Irul berulang kali menarik dan menghembuskan nafasnya.
Setelah satu tahun tidak bersama Jalal, ia tidak menyangka kalau Jalal bukannya
bertambah menjadi dewasa, dia justru bertingkah sebaliknya, kekanak-kanakan.
Jalal tersenyum geli melihat
ekspresi Irul. Ia tahu apa yang dipikirkan Irul. “Maafkan aku, Rul... tapi aku masih belum bisa melupakannya sampai
sekarang,” ucap Jalal dalam hati. Kemudian dia cepat-cepat menyembunyikan
perasaan sesungguhnya saat Irul kembali menatapnya.
“Baiklah, Jalal... Sekarang
ceritakan kepadaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak punya banyak waktu.
Jam kerjaku hanya sampai jam 4, oke?”
“Huft... perhitungan sekali,”
keluh Jalal.
“Hey... kau tidak lupa, kan? Aku
saat ini menjadi seorang Ayah. Dan sehari saja aku tidak bertemu dengan istri
dan putraku, sebagian diriku akan menghilang,” ucap Irul dengan dramalisir.
“Ya... ya... ya...”
“Kembali ke dirimu. Ada masalah
apa sebenarnya?” tanya Irul.
“Aku lelah, Rul... Ibuku tidak
henti-hentinya mencoba mendekatkan putri teman-temannya kepadaku. Aku kan tidak
jelek. Sebenarnya mudah saja kalau hanya untuk mencari teman wanita, aku kan
tampan, berpendidikan, mapan, dan jangan tanya dengan kekayaanku...”
“Huh... sombong,” potong Irul.
“Ingat, Jalal... di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua itu dari Allah, dan
nantinya akan kembali kepada-Nya. Apa yang kamu punya saat ini, tidak semuanya
milikmu. Yang kau miliki hanya apa yang kamu makan, apa yang kamu pakai, dan
apa yang kamu amalkan,” lanjut Irul.
“Iya, Pak Ustadz... Oke, sekarang
kau disini bekerja sebagai pendengarku. Ingat?”
“Hemm...” sahut Irul.
Dan mengalirlah cerita tentang
apa yang terjadi pada Jalal beberapa bulan terakhir ini yang
memporak-porandakan hidupnya.
Hampir satu tahun Ibunya Jalal berusaha mendekatkan Jalal
dengan putri dari teman-temannya. Sudah ada 11 gadis yang dikenalkan oleh
ibunya selama 11 bulan. Bulan kesebelas, Jalal dibuat tercengang dengan apa
yang ada dihadapannya.
Seperti biasanya, teman dan putri dari teman ibunya akan
datang ke rumah orang tua Jalal untuk makan malam sekaligus taaruf antara Jalal
dan putri dari teman ibunya Jalal.
“Assalaamu alaikum,” sapa seorang wanita dari luar rumah
kediaman orang tua Jalal.
“Walaikumsalam, Ratih... ayo silahkan masuk,” ajak Rahma,
Ibu Jalal, setelah membukakan pintu untuk tamu-tamunya.
“Dimana suamimu, Sinta?” tanya Rahma pada temannya yang
berjalan disampingnya.
“Dia sedang ada pekerjaan di luar kota, jadinya aku
kesini hanya bersama dengan Navya, putriku,” jawab Sinta.
“Ayo kita duduk dulu di ruang tamu sambil menunggu Jalal.
Dia sepertinya masih dalam perjalanan,” ajak Rahma.
Tak lama kemudian terdengar suara deru mobil yang
memasuki kawasan kediaman Tohar, Ayah Jalal.
Jalal memasuki rumah sambil mengucap salam. Terdengar
sahutan beberapa orang yang menjawab salam Jalal dari dalam rumah.
Setelah percakapan singkat, Jalal meminta izin untuk ke
kamarnya berganti pakaian kemudian menyusul yang lain ke ruang makan.
~o0o~
Jalal dan yang lainnya kembali ke ruang tamu dan
melanjutkan obrolan mereka. Sinta dan Navya duduk berdampingan, Rahma duduk di
kursi panjang, sementara Jalal berada di tengah-tengah mereka duduk di kursi
single.
“Navya... kenapa kamu daritadi diam saja, Nak? Tidak
perlu malu pada kami,” ucap Rahma dengan lembut.
Setelah diajak beberapa kali Navya tetap diam. Sinta
sendiri pun bingung dengan sikap Navya, padahal biasanya dia adalah gadis yang
cerewet dan tidak suka berdiam diri.
“Assalaamu alaikum, Navya. Boleh aku berkenalan denganmu
secara langsung?” tanya Jalal setelah lama dirinya bungkam dan hanya menjadi
pendengar.