Written by Bhavini Shah
Perasaan
Jalal benar-benar hancur, dalam beberapa hari saja semua yang ada di
sekelilingnya berubah. Seluruh wajahnya
basah oleh keringat... Dia merasa seakan seseorang memukulkan palu pada
kepalanya dengan sangat keras... Dengan kasar dia menyisirkan tangan pada
rambutnya... Satu kalimat mampu merampas semua kekuatannya... Dia jatuh
berlutut dan terduduk di kakinya lalu meratapi kesedihannya “Yaa Allah... Rukaiya...
teman masa kecilku... istri pertamaku... pendukungku... bagaimana bisa dia
menipuku tanpa perasaan seperti ini? Dia tahu benar aku sangat mengharapkan
kehadiran seorang anak, walau begitu dia tetap tega mempermainkan perasaan dan
harapanku... Dia tahu aku sangat mencintai Jodha dan karena itulah dia bersikap
kasar padanya, dia menampar Jodha, dia mengusir Jodha dari istana ini... Kenapa
dia tega menghancurkan perasaan dan impianku??? Impian tentang malaikat
kecilku... Impian tentang pangeran kecilku. Tidak pernahkah sekali saja dia
membayangkan bagaimana hancurnya hatiku saat impianku hancur... Rukaiya, aku
sudah menuruti semua keinginanmu dan apa yang kau berikan sebagai balasannya
untukku??? Kemanakah perasaan cintamu? Kau selalu mengatakan kalau kau
mencintaiku lebih dari apapun lalu kenapa kau melakukan semua ini??”
Beberapa
menit kemudian, Jalal kembali mengontrol emosinya dan baru ingat bahwa Wahida
masih ada di depannya gemetar ketakutan... Jalal memanggil seorang pengawal dan
memerintahkan untuk mengunci wanita itu di sebelah kamarnya dan mengingatkan
agar merahasiakan semua ini... Dia lalu menunjukkan pintu penghubung yang ada
di ruangannya..
Kemudian
dia memanggil pengawal lain ke dalam ruangannya dan memerintahkan untuk
memanggil Abdul segera ke hadapannya.
Melihat
wajah Jalal yang pucat dan sembab, Abdul menjadi cemas... Dia bertanya
khawatir, “Apa yang telah terjadi Shahenshah? Apa semua baik-baik saja, kau
terlihat sangat tertekan?.”
Dengan
berat hati Jalal menceritakan pada Abdul, semua isi pembicaraan antara dirinya
dan Wahida.
Abdul juga
terperanjat tak percaya setelah mendengar semua tentang kehamilan palsu
Rukaiya... Seketika dia memahami penderitaan apa yang telah dilalui oleh Jalal.
Disentuhnya lengan Jalal dan berkata, “Jalal, aku mengerti kesedihanmu, tapi
kau harus tetap tegar, dan tetap percaya pada Allah, semuanya akan kembali
seperti semula.”
Jalal
menjawab dengan sinis, “Abdul, tidak ada yang akan membaik...A pa lagi yang
bisa membaik??? Apa lagi yang tersisa?? Semuanya sudah selesai... Jalal sudah
benar-benar hancur... orang yang sangat kupercaya adalah orang yang
mengkhianatiku paling kejam... seseorang yang kuperlakukan seperti ibuku
sendiri, dengan tanpa perasaan dia menusukku dari belakang... seseorang yang
telah menjadi teman terdekatku sejak kecil dan istriku, dia bukan hanya
mengkhianatiku, tapi dia juga membohongi perasaan Jodha Begum dan seluruh
rakyatku... dia menyakitiku luar dalam... Setiap orang yang ada di dekatku
mempermainkan aku... pertama Adham... lalu Abul Mali... Maham... dan sekarang
Rukaiya... mereka semua yang paling dekat denganku... yang sangat kupercaya... Apa
lagi yang tersisa dalam hidupku sekarang, cintaku... hatiku... hidupku Jodha
Begum juga meninggalkanku sendirian.”
Dengan
sedih Abdul membalas, “Jalal, kau tidak boleh menyerah seperti ini. Kau harus
tetap kuat. Pertama kita harus membuktikan Ratu Jodha tidak bersalah... Kau
masih punya harapan...”
Perasaan
Jalal mulai membaik, “Beri aku waktu satu jam.”
Setelah satu jam Jalal menemui Abdul.
Dengan
menghela napas berat Jalal berkata, “Abdul aku punya rencana..”
Rukaiya dan
Maham keduanya menerima selembar surat ancaman dari Wahida (asisten Hakim) yang
isinya, ‘Temui aku secepatnya dalam lima belas menit di ruangan sebelah
klinik... Jika kau tidak datang sekarang juga maka aku tidak punya pilihan lain
selain mengungkap kebenarannya.’
Begitu
selesai membaca surat itu, paras muka Maham langsung berubah... dia mulai
berkeringat meski hari itu sedang dingin... Wajahnya menyiratkan bermacam
emosi. Dia panik dan marah pada waktu bersamaan.
Jalal
berjalan masuk ke dalam ruangan Maham pada saat yang sama tanpa pemberitahuan
untuk melihat reaksinya.... Maham kelabakan melihat Jalal di ruangannya, segera
dia berusaha menggulung kembali suratnya dan hendak menyembunyikannya, tapi
terlambat...
Jalal
bertanya dengan nada menyelidik, “Badi Ammi, kenapa kau terlihat gugup
sekali??? Kenapa kau berkeringat?”
Maham
menjawab denga suara sedikit bergetar, “J...J..alal... Tidak.. Bukan apa-apa...
Hanya saja angin tidak bertiup hari ini jadi rasanya sangat gerah.”
Jalal
bertanya namun nadanya tetap datar, “Siapa yang menulis surat untukmu Badi
Ammi? Aku yakin itu bukan surat tentang pekerjaan.”
Wajah Maham
memucat dan dengan gugup dia menjawab, “Jalal, bukan hal yang penting, surat
dari Resham.”
Jalal
menyeringai dan kembali berkata, “Badi Ammi... katakan padaku bagaiman
perasaanmu dan kuharap kau menyukai ruangan barumu ini?” Jalal ingin mengulur
waktu, harusnya Maham menemui Wahida dalam beberapa menit ke depan, jadi Jalal
tidak ingin memberinya kesempatan untuk berpikir lagi... sehingga dengan
sengaja dia menghabiskan sepuluh menit lagi dan keluar dari ruangannya
kemudian...
Jalal
berjalan masuk ke dalam ruangan Rukaiya tanpa pemberitahuan lima belas menit
kemudian dan diam-diam bersembunyi di pojok ruangan... Dia ingin melihat
reaksinya setelah membaca surat itu... Ketika Jalal masuk, Rukaiya sedang
membaca surat dari Wahida, sesuai dugaan ekspresinya langsung berubah, pertama
parasnya memucat dan ketakutan lalu berubah lagi menampakkan amarah yang
tersulut... dia buang surat itu ke lantai dan mulai berjalan mondar-mandir di
dalam ruangannya... Tindak-tanduknya meyakinkan keraguan Jalal bahwa Rukaiya
juga terlibat... Dengan menanggung kekecewaan dia berjalan keluar tanpa suara.
Dari kejauhan dia menatap Rukaiya dengan rasa jijik, sebutir air mata jatuh
dari matanya... dengan menarik napas berat dia usap air mata itu, dan kembali
menjalankan rencana selanjutnya...
Maham dan
Rukaiya, sama-sama menampakkan ekspresi gugup dan ketakutan berjalan ke ruangan Wahida.... dimana dia
menunggu keduanya.
Begitu
berhadapan, Rukaiya langsung berteriak membentak Wahida, “Dasar wanita bodoh...
beraninya kau menulis surat seperti ini padaku??? Apa kau sudah lupa kalau aku
ini Begum E Khaas.. .Apa kau tahu akibatnya menulis surat seperti ini?”
Wahida
menatap keduanya dengan perasaan takut dan berkata... “Maafkan kebodohanku,
tapi aku juga tidak tahu aku sudah terlibat dalam sebuah kejahatan besar... kehamilan
palsu Rukaiya Begum dan ramuan yang kuberikan pada Maham telah menempatkan Ratu
Jodha sebagai pelaku kejahatan ini. Ini konspirasi yang sangat besar... Aku
sangat takut, aku tidak pernah bisa tidur lagi, setiap saat aku merasa kalau
aku akan tertangkap, jadi kuputuskan untuk pergi dari Agra, tapi untuk itu aku
butuh lima ribu Dinar.”
Rukaiya
berteriak marah, “Kau wanita tidak tahu diri... Kau pikir siapa yang kau ancam?
Apa yang akan kau lakukan, jika kami tidak memberimu uang? Kau akan mengatakan
pada semua orang bahwa kehamilanku palsu
dan kau pikir mereka akan percaya... Dengarkan aku, dasar bodoh, kami sudah
merencanakan semuanya dengan sangat teliti dan tidak mennyisakan bukti apapun, bahkan Badi Hakim Sahiba tidak akan bisa
membuktikan kalau aku tidak pernah hamil. Lakukan apa yang ingin kau lakukan?
Tapi aku yakin dengan kebodohanmu kau akan mengakhiri hidupmu di penjara karena
berani melawanku dan Badi Ammi.”
Maham
menambahkan dengan nada mengancam, “Kau wanita serakah, kami sudah memberimu
lima ribu dinar untuk ramuan rahasia itu. Tidakkah itu cukup untukmu??? Jadi
sekarang kau meminta uang lagi dengan mengancam kami. KAU mengancam kami?
Dengar baik-baik, sebaiknya kau segera pergi meninggalkan Agra atau kalau tidak
kondisimu akan jauh lebih buruk dari kematian.”
Jalal... Salima...
Hamida... Abdul... Fufijaan.. Atgah sahib... Maulvi... Semua orang sedang
bersembunyi dan mendengarkan percakapan mereka... Mata Salima Begum
membelalak... Mulut Hamida terbuka lebar... isi percakapan itu mencengangkan
mereka semua.
Sudah cukup
bukti bahwa Rukaiya dan Maham yang merencanakan semua kejahatan itu... Jalal
tidak bisa menunggu lebih lama. Dia keluar dari persembunyiannya di dalam
lemari pakaian diikuti yang lainnya sambil bertepuk tangan dan berkata dengan
nada tinggi, “Wah Rukaiya Wah!!!..”
Semua orang
berkumpul di ruangan itu... Maham dan Rukaiya keduanya tidak berkutik... Keduanya
membelalakkan mata ketakutan dan menahan napas.... Dari ekspresi semua orang,
mereka sadar kalau mereka sudah tertangkap basah...
Rukaiya
menatap bingung ke arah Jalal, apa yang baru saja terjadi, apa dia tidak
menyadarinya??? Jalal makin tidak senang melihat ekspresi takut dan kebingungan
di wajah Rukaiya... Dia berjalan cepat dan menampar Rukaiya, tiga kali dengan
cepat... Jalal memukulnya denga sangat keras hingga sudut mulutnya berdarah...
Dia gemetar
ketakutan melihat kemurkaan Jalal dan mulai terisak keras... Rukaiya mulai
memikirkan alasan yang bisa dia buat, tapi belum sempat dia mengutarakannya,
dengan pandangan tajam Jalal membentaknya lebih dulu, “Tidak satu katapun.”
Semua orang
merasa ngeri melihat amarah di wajah Jalal... Darahnya mendidih serasa ingin
membunuhnya... Dia mendesis dengan keras, “Kau brengsek... kau iblis... kau
mempermainkan emosiku... kau sudah menyakiti semua orang di kesultananku... kau
berbohong tentang kehamilanmu... orang macam apa dirimu??? Menjijikkan... Aku
merasa malu pada diriku sendiri saat menyebutmu sebagai teman terdekatku???
Pengkhianatanmu akan tertulis dalam sejarah dengan tinta hitam... kau memberiku
impian palsu untuk kau hancurkan kembali... Memalukan... Kau sudah menodai
Kesultanan Mughal... Kau tidak pantas menjadi seorang Ibu... Rasanya aku ingin
mencekikmu sampai mati.”
Perasaan
Rukaiya langsung menciut, belum pernah dia melihat Jalal semarah ini... Rukaiya
berlari ke arah Hamida mencari perlindungan... sambil menangis memohon dia
berkata, “Ammi Jaan, selamatkan aku dari Jalal, dia akan membunuhku.”
Hamida
memandangnya dengan jijik lalu menamparnya keras, “Rukaiya... bahkan kematian
pun terlalu baik untukmu... Kau sudah merendahkan martabat Kesultanan Mughal...
pergi dari hadapanku.” Hamida mendorongnya ke arah Jalal...
Saat
Rukaiya sadar tidak ada seorangpun yang mendukungnya, dia mulai bicara keras
sambil memandang semua orang, “Ya.. aku memang pura-pura hamil... sejak aku
kecil, aku selalu berjalan di belakang Jalal, aku selalu mendukungnya... aku
menangis saat dia sakit dan tersenyum saat dia bahagia, aku merubah diriku demi
dia... aku melupakan apa yang kuinginkan... kuserahkan seluruh hidupku padanya,
tapi apa yang kudapatkan... Tidak ada... Bukan hanya dia tidak bisa memberiku
seorang anak, dia juga tidak mencintaiku... Dan, Rajvanshi sialan itu... Jalal
memberinya segalanya... cintanya... perhatiannya... dia bahkan menjadikannya
Malika E Hindustan.” Dia menatap Jalal dengan pahit dan lanjut berkata,
“Jalal... aku tidak menyesali semuanya... aku puas bisa memisahkanmu dari yang
kau sebut sebagai cinta... aku ingin kau merasakan rasa sakit yang juga
kurasakan. Aku akan berdoa pada Allah kau tidak akan pernah menemukannya.”
Semua orang
tercengang melihat sikap rendah dan memalukan dari Rukaiya...
Jalal
menggerutu, “Rukaiya, kau tahu kenapa kau berjalan di belakangku??? Karena kau
ingin kekuasaan, kau ingin menjadi Begum E Khaas... Kau ingin menguasai
Haremku... Kau ingin kekuasaan politik... aku selalu percaya pada persahabatan
kita, aku memberimu segala yang kau dambakan... aku memberimu kekuasaan yang
kau idam-idamkan, tapi aku tidak pernah mencintaimu. Aku punya banyak istri,
tapi aku tidak mencintai mereka semua... aku menghormati dan melindungi mereka,
tapi untuk mencintai bukan tergantung pada kehendakku. Sesungguhnya kau ingin
mengendalikanku.. mengontrol pikiranku... Pastinya Tuhan sudah merencanakan
kenapa tidak hamil karena kau tidak pantas menjadi seorang ibu. Kau bukannya
iri pada kedekatanku dan Jodha, tapi karena aku menjadikannya Malika E
Hindustan. Kau lebih kejam dari musuh terbesarku. Dan, kau yang mengatakan
Jodha adalah iblis dan penipu... Tidak ada seorangpun di dunia yang lebih suci
darinya, tidak egois, wanita yang sangat baik... Jangan pernah memfitnah
Jodha...” Dia menarik napas dan dengan nada memerintah berkat, “Prajurit, tahan
wanita ini dan bawa pergi dari hadapanku.”
Jalal
menatap nanar Maham... air matanya terus mengalir tak terbendung... semua orang
tersentuh melihat emosi Jalal... Sulit digambarkan apakah dia lebih marah atau
lebih sedih...
Maham
merancang alasan di otaknya untuk menyelamatkan dirinya... Dengan tangis palsu,
dia berlari memeluk Jalal dan berkata dengan suara bergetar... “Maafkan aku,
Jalal... Rukaiya menjebakku dalam rencananya, mana mungkin aku melakukan
kejahatan sebesar ini.”
Jalal
justru semakin marah melihat kepura-puraannya... dia dorong Maham dengan keras
hingga tersungkur ke belakang dan kepalanya membentur dinding... Dengan
perasaan pahit berkata, “Hentikan... cukup sandiwaranya... Aku tahu benar siapa
kau Maham... Aku sangat mengenalmu, kau tidak akan segan membunuh orang demi
kepentinganmu. Setelah melihat semua sandiwara ini, kecurigaanku terbukti... Sejak
awal kau sudah mempermainkan aku dan Jodha... Kau berusaha memisahkan kami, kau
berusaha membunuh Jodha berkali-kali... Kaupikir aku tidak tahu apa-apa, aku
selalu mencurigaimu, tapi karena aku tidak punya bukti maka aku hanya bisa
diam. Meski aku tahu orang seperti apa dirimu, aku selalu menganggap kau
menyayangiku dan tidak akan menyakitiku. Aku juga menuruti semua permintaanmu.
Aku menjadikanmu Vajire Aliya.. aku menghormatimu lebih dari ibuku sendiri.
Setelah yang kau lakukan padaku ini, tidak ada lagi orang yang akan menyayangi
Ibu angkatnya. Kau benar-benar berhasih, kau tahu... kau ingin menghancurkan
Jalal... tepuk tangan untuk kemenanganmu... Jalal benar-benar hancur hari ini” Dia mengulangi kata terakhir
dengan suara dalam, Jalal sudah hancur.. tak terasa air mata kembali jatuh di
pipinya, kedua tangannya menyisir rambutnya dan dia duduk berlutut... terisak
keras... Semua orang ikut bersedih melihat Jalal yang sangat rapuh... Karena
itu Hamida mengambil alih dan mengeluarkan perintah, “Prajurit, masukkan dia ke
penjara... besok di Diwan E Khaas Rukaiya dan Maham akan dijatuhi hukuman...”
Hamida
duduk di sebelah Jalal dan memeluknya dengan hangat, sambil mengusap
punggungnya... Jalal terisak lama seperti anak kecil di pelukan Hamida...
Selama tiga minggu ini dia simpan semua kesedihannya dan berlagak tegar, tapi
hari ini dia sangat lelah dengan perasaannya...
Air mata
seakan meringankan sedikit penderitaannya... dia merasa lebih baik... semua
amarah terpendamnya luruh bersama tangisnya, tapi tragedi ini mengambil semua
yang dimilikinya... teman baiknya... ibunya... dan belahan jiwanya... Dia hanya
seorang diri... tanpa pegangan... kehampaan ini menggerogotinya dari dalam... Demi
hidupnya, dia menginginkan Jodha dan kehangatannya... dia sangat mendambakan
kehadiran Jodha sebagai tempatnya bersandar...
Jalal
mengusap air mata dan menguatkan dirinya, lalu berkata dengan suara rendah,
“Ammi Jaan, aku merasa lebih baik dari sebelumnya, tapi aku ingin menghabiskan
waktuku sendirian di kamar Jodha Begum.”
Jalal
bangkit dan mulai melangkah... Semua orang memperhatikan Jalal... Raja dari
para Raja berjalan seperti orang paling menderita... Tubuhnya lemas dan
pandangannya kosong...
Dia pergi
ke kamar Jodha dan duduk di dekat kuil... Dan, menatap ke arah lentera berdoa
dan memohon pada Kanah... “Hey Krishna... Tolong kembalikan Jodha padaku.”
Dia duduk
disana selama satu jam sambil terus memandangi lentera. Tanpa dia sadari
seluruh pikirannya dipenuhi kenangan akan Jodha, pertemuan pertama mereka dan
momen indah mereka setelahnya... semua kenangan itu berkelebat di benaknya
seperti sebuah film... bagaimana mereka saat pertama bertemu... bagaimana Jodha
mengubahnya... ciuman pertama... saat mereka saling mengungkap cinta... malam
pertama yang romantis... Seketika semua kenangan indah itu memenuhi hatinya
yang hancur dan merana... wajahnya yang pucat mulai bersinar di di hadapan
lentera diya... Senyum kecil muncul di sudut bibirnya... ketika dia mengingat
kata terakhir di surat itu... “Milikmu dan hanya milikmu Junglee Billi.”
Saat
matahari terbenam... Jalal keluar dan duduk di ayunan... Matahari sudah siap
kembali ke peraduannya di balik gunung dan pepohonan... setelah sekian lama dia
melihat kembali warna dalam hidupnya... senyum sekilas muncul di wajahnya saat
memandang sinar keemasan di langit... Telinganya mendengar kicauan merdu
burung-burung... Setelah beberapa hari dia merasakan sejuknya hembusan angin...
Hatinya yang hancur mulai tertata kembali... Sebuah kepuasan... Kelegaan... Perasaan
bahagia karena dia sudah berhasil membuktikan Jodha tidak bersalah... Dia
merasa telah memenangkan pertempuran terberat dalam hidupnya... Menarik napas
dalam dan mengeluarkannya dengan senyum lebar, meski hatinya masih sangat
merindukan Jodha... kemenangannya tetap tak berarti tanpa Jodha... Kerinduan
yang sangat dalam... Jalal ingin melihat tatapan matanya... dia ingin
menciumnya... dia ingin memeluknya...
Senyum
kebahagiaannya kembali hilang digantikan kesedihan di wajahnya...Dia ingat
beberapa kata dalam surat... “Jangan menyerah.” Jalal kembali merenung...
Dan, sebuah kata terucap dari mulutnya... “Kau dimana Jodha... Kau dimana???”
Di tengah
hutan yang lebat... dikelilingi pegunungan... di pinggir sungai... di atas
sebuah batu... sepasang mata indah memandang rembulan, air mata menggenang di
kelopaknya... Sambil memeluk lututnya, wanita itu menghela napas... menggemakan
suara hatinya.. “Jalal, aku di sini menunggumu..”
Jalal
mendengar suara hati Jodha... awalnya dia kaget mendengar suara itu... dia
menoleh ke segala arah berharap wanita itu ada... namun sekali lagi dia
kecewa... berkali-kali dia mendengar suara hati Jodha tapi dia belum juga
menyadari bahwa itu adalah suara Jodha yang menjawab panggilan hatinya... Kekuatan
cinta mereka telah melalui semua batasan... Lagi, dia mendengarnya... “Jalal,bagaimana
kabarmu???” Jalal tersenyum sinis dan berbisik, “Apa jadinya aku tanpa dirimu?”
sambil menatap sinar rembulan dan bintang.
Jodha juga
mendengar suara hati Jalal... dan membayangkan senyum sinisnya...
Kadangkala,
pikiran yang terdalam muncul dalam hatiku, apakah, bisa hidup di antara
kelembutan rambutmu,
Tinta
kesedihan dan kepedihan yang menyebar di dalam hatiku, bisa luluh karena sinar
matamu... pasti menyenangkan.
Tapi takkan
mungkin terjadi, karena itu hanya dalam cerita, bahwa kau tak ada disini,
kesedihan karena kehilanganmu, harapan menemukanmu juga tak ada.
Hidup
berjalan dengan caranya, seakan tidak ada gairah yang tertinggal...
Tanpa arah,
tujuan, dan tak ada sinar... Hidupku mengembara dalam kegelapan...
Di
kegelapan inilah, aku tersesat, aku tahu sayang... tetaplah, seperti itu
adanya, itulah yang kurasakan dalam hatiku...
Jalal
menghabiskan malamnya duduk di luar sambil memandang rembulan... dan tertidur
dalam ayunan...
Pagi berikutnya...
Jalal
merasa seakan jiwa Jodha memberikan kehangatan sepanjang malam ke dalam
hatinya... Jalal bangun dengan penuh semangat dan wajah yang bersinar... Dia
merasa damai... Dia siap menghadapi hari ini... Hari yang besar untuknya...
Hari ini
Diwan E Khaas dipenuhi ribuan orang... Berita tentang pengkhiantan Rukaiya dan
Maham menyebar ke seantero Agra... semua merasa iba pada Jodha dan Jalal... Hamida
dan salima mencemaskan Jalal... Bagaimana dia akan mengendalikan emosinya di
ruang sidang... Saatnya kedatangan Jalal diumumkan...
Jalal
memasuki Diwan E Khaas dengan langkah mantap, mendongakkan kepalanya dan
menutupi kegundahan hatinya... Semua orang terpana melihat keteguhan di
matanya, Hamida memberkati dan
mendoakannya... Jalal menoleh ke arah Hamida dan matanya seakan menjawab doanya
dengan Adab.
Sebelum
Atgah sempat mengumumkan... Jalal berucap lantang, “Bawa masuk tahanan Maham
Anga dan Rukaiya Begum.”
Keduanya
masuk dengan rasa malu... wajah mereka menunduk... dengan penuh rasa
bersalah...
Jalal
memulai dengan suaranya yang tegas dan tanpa takut, “Kalian berdua terbukti
bersalah dan sekarang bersiaplah menerima hukuman... Seharusnya kalian dihukum
mati, tapi kalian lebih bersalah pada Jodha, karena itulah aku ingin Jodha yang
menghukum kalian. Sampai Jodha Begum kembali, kalian berdua akan hidup sebagai
pelayan biasa di suatu tempat.... Rukaiya Begum mulai hari ini kau hanyalah
istri biasa... Aku tarik semua hak-hakmu... Hukuman sama yang kau berikan pada
Jodha, akan menjadi hukumanmu sekarang...”
Selanjutnya
Jalal menutup persidangan dan melangkah keluar tanpa memandang siapapun...
Perlahan Jalal
membiasakan hidup tanpa Jodha... Dia curahkan semua perhatiannya pada
Kesultanan... Sekarang konsentrasi utama Jalal adalah rakyatnya...
Enam bulan berlalu...
Jalal
bekerja siang dan malam dengan penuh semangat... Dia membuat keputusan yang
merubah segalanya dalam beberapa bulan... Dalam enam bulan itu, selama lima
bulannya dia berkelana untuk melakukan pembaharuan dan meningkatkan keamanan
dalam negerinya... beberapa peraturan baru dibuatnya selama bulan-bulan itu... Dia
meniadakan Ghulami pratha... Johar... pernikahan muda... dia buat perubahan
untuk harapan yang lebih baik... Hari demi hari dia semakin dekat dengan
rakyatnya... dia mempekerjakan orang-orang baru yang memiliki bakat dan
kemampuan... Istananya dipenuhi beberapa artis termasuk Tansen. Dia buka hatinya
untuk rakyatnya, tapi tak seorangpun bisa melihat kesedihan di dalamnya... Hanya
Hamida yang tahu bagaimana perasaan Jalal yang sebenarnya... Dia sembunyikan
kesedihannya dibalik senyumnya... Tidak ada lain yang dipikirkan selain
kesultanannya...
Kegagalan
menemukan Jodha membunuhnya dari dalam... Selama tiga bulan Abdul mencari
Jodha... ratusan mata-mata juga mencari Jodha Begum... tapi dia tidak ada di
Amer juga di Agra...
Jalal
mengunjungi semua daerah satu persatu dengan penampilan rakyat biasa... sudah
menjadi kebiasaannya untuk hidup di antara rakyatnya untuk mengetahui apa yang
mereka butuhkan...
Abul Mali
mengetahui kalau Jalal sedang memasuki hutan lebat hanya dengan dua orang
pengawalnya...
Abul Mali
menyerang Jalal dengan 20 prajuritnya, tapi Jalal berhasil melawan dan
menjatuhkan semua lawannya termasuk Abul Mali... tapi dia terluka parah saat
bertarung dan jatuh tak sadarkan diri di dalam hutan...
Di tengah
malam, seseorang mengetuk pintu rumah.... “Hira... Hira... bangunlah...” Wanita
itu terbangun karena sesuatu yang membuatnya gelisah, dan cemas, perasaan saat
sesuatu yang buruk terjadi yang membuatnya sulit tidur...
Hira segera
bangun dan membuka pintu... Dengan nada cemas dia bertanya, “Apa yang terjadi
Panditji??? Kau kesini tengah malam seperti ini... apa semuanya baik-baik
saja???”
Pandit
menjawab dengan nada takut, “Hira... Naresh pergi ke dalam hutan mencari kayu
bakar, dia melihat seorang pria pingsan dalam keadaan terluka... dia membawanya
ke asrama untuk diobati... pergilah kesana dan lakukan sesuatu, aku akan pergi
memanggil dokter.”
Hira
membawa kotak obatnya dan berjalan ke pondok... Saat dia masuk ke dalam
pondok... jantungnya seketika berhenti berdetak saat melihat Jalal yang
terbaring terluka dan tak sadarkan diri.... Jodha terperangah melihat kondisi
Jalal... Lalu dia berteriak, “Shahenshah...”
* * * * * * * * * * * *