Written by Bhavini Shah
Perasaan
Jalal benar-benar hancur, dalam beberapa hari saja semua yang ada di
sekelilingnya berubah. Seluruh wajahnya
basah oleh keringat... Dia merasa seakan seseorang memukulkan palu pada
kepalanya dengan sangat keras... Dengan kasar dia menyisirkan tangan pada
rambutnya... Satu kalimat mampu merampas semua kekuatannya... Dia jatuh
berlutut dan terduduk di kakinya lalu meratapi kesedihannya “Yaa Allah... Rukaiya...
teman masa kecilku... istri pertamaku... pendukungku... bagaimana bisa dia
menipuku tanpa perasaan seperti ini? Dia tahu benar aku sangat mengharapkan
kehadiran seorang anak, walau begitu dia tetap tega mempermainkan perasaan dan
harapanku... Dia tahu aku sangat mencintai Jodha dan karena itulah dia bersikap
kasar padanya, dia menampar Jodha, dia mengusir Jodha dari istana ini... Kenapa
dia tega menghancurkan perasaan dan impianku??? Impian tentang malaikat
kecilku... Impian tentang pangeran kecilku. Tidak pernahkah sekali saja dia
membayangkan bagaimana hancurnya hatiku saat impianku hancur... Rukaiya, aku
sudah menuruti semua keinginanmu dan apa yang kau berikan sebagai balasannya
untukku??? Kemanakah perasaan cintamu? Kau selalu mengatakan kalau kau
mencintaiku lebih dari apapun lalu kenapa kau melakukan semua ini??”
Beberapa
menit kemudian, Jalal kembali mengontrol emosinya dan baru ingat bahwa Wahida
masih ada di depannya gemetar ketakutan... Jalal memanggil seorang pengawal dan
memerintahkan untuk mengunci wanita itu di sebelah kamarnya dan mengingatkan
agar merahasiakan semua ini... Dia lalu menunjukkan pintu penghubung yang ada
di ruangannya..
Kemudian
dia memanggil pengawal lain ke dalam ruangannya dan memerintahkan untuk
memanggil Abdul segera ke hadapannya.
Melihat
wajah Jalal yang pucat dan sembab, Abdul menjadi cemas... Dia bertanya
khawatir, “Apa yang telah terjadi Shahenshah? Apa semua baik-baik saja, kau
terlihat sangat tertekan?.”
Dengan
berat hati Jalal menceritakan pada Abdul, semua isi pembicaraan antara dirinya
dan Wahida.
Abdul juga
terperanjat tak percaya setelah mendengar semua tentang kehamilan palsu
Rukaiya... Seketika dia memahami penderitaan apa yang telah dilalui oleh Jalal.
Disentuhnya lengan Jalal dan berkata, “Jalal, aku mengerti kesedihanmu, tapi
kau harus tetap tegar, dan tetap percaya pada Allah, semuanya akan kembali
seperti semula.”
Jalal
menjawab dengan sinis, “Abdul, tidak ada yang akan membaik...A pa lagi yang
bisa membaik??? Apa lagi yang tersisa?? Semuanya sudah selesai... Jalal sudah
benar-benar hancur... orang yang sangat kupercaya adalah orang yang
mengkhianatiku paling kejam... seseorang yang kuperlakukan seperti ibuku
sendiri, dengan tanpa perasaan dia menusukku dari belakang... seseorang yang
telah menjadi teman terdekatku sejak kecil dan istriku, dia bukan hanya
mengkhianatiku, tapi dia juga membohongi perasaan Jodha Begum dan seluruh
rakyatku... dia menyakitiku luar dalam... Setiap orang yang ada di dekatku
mempermainkan aku... pertama Adham... lalu Abul Mali... Maham... dan sekarang
Rukaiya... mereka semua yang paling dekat denganku... yang sangat kupercaya... Apa
lagi yang tersisa dalam hidupku sekarang, cintaku... hatiku... hidupku Jodha
Begum juga meninggalkanku sendirian.”
Dengan
sedih Abdul membalas, “Jalal, kau tidak boleh menyerah seperti ini. Kau harus
tetap kuat. Pertama kita harus membuktikan Ratu Jodha tidak bersalah... Kau
masih punya harapan...”
Perasaan
Jalal mulai membaik, “Beri aku waktu satu jam.”
Setelah satu jam Jalal menemui Abdul.
Dengan
menghela napas berat Jalal berkata, “Abdul aku punya rencana..”
Rukaiya dan
Maham keduanya menerima selembar surat ancaman dari Wahida (asisten Hakim) yang
isinya, ‘Temui aku secepatnya dalam lima belas menit di ruangan sebelah
klinik... Jika kau tidak datang sekarang juga maka aku tidak punya pilihan lain
selain mengungkap kebenarannya.’
Begitu
selesai membaca surat itu, paras muka Maham langsung berubah... dia mulai
berkeringat meski hari itu sedang dingin... Wajahnya menyiratkan bermacam
emosi. Dia panik dan marah pada waktu bersamaan.
Jalal
berjalan masuk ke dalam ruangan Maham pada saat yang sama tanpa pemberitahuan
untuk melihat reaksinya.... Maham kelabakan melihat Jalal di ruangannya, segera
dia berusaha menggulung kembali suratnya dan hendak menyembunyikannya, tapi
terlambat...
Jalal
bertanya dengan nada menyelidik, “Badi Ammi, kenapa kau terlihat gugup
sekali??? Kenapa kau berkeringat?”
Maham
menjawab denga suara sedikit bergetar, “J...J..alal... Tidak.. Bukan apa-apa...
Hanya saja angin tidak bertiup hari ini jadi rasanya sangat gerah.”
Jalal
bertanya namun nadanya tetap datar, “Siapa yang menulis surat untukmu Badi
Ammi? Aku yakin itu bukan surat tentang pekerjaan.”
Wajah Maham
memucat dan dengan gugup dia menjawab, “Jalal, bukan hal yang penting, surat
dari Resham.”
Jalal
menyeringai dan kembali berkata, “Badi Ammi... katakan padaku bagaiman
perasaanmu dan kuharap kau menyukai ruangan barumu ini?” Jalal ingin mengulur
waktu, harusnya Maham menemui Wahida dalam beberapa menit ke depan, jadi Jalal
tidak ingin memberinya kesempatan untuk berpikir lagi... sehingga dengan
sengaja dia menghabiskan sepuluh menit lagi dan keluar dari ruangannya
kemudian...
Jalal
berjalan masuk ke dalam ruangan Rukaiya tanpa pemberitahuan lima belas menit
kemudian dan diam-diam bersembunyi di pojok ruangan... Dia ingin melihat
reaksinya setelah membaca surat itu... Ketika Jalal masuk, Rukaiya sedang
membaca surat dari Wahida, sesuai dugaan ekspresinya langsung berubah, pertama
parasnya memucat dan ketakutan lalu berubah lagi menampakkan amarah yang
tersulut... dia buang surat itu ke lantai dan mulai berjalan mondar-mandir di
dalam ruangannya... Tindak-tanduknya meyakinkan keraguan Jalal bahwa Rukaiya
juga terlibat... Dengan menanggung kekecewaan dia berjalan keluar tanpa suara.
Dari kejauhan dia menatap Rukaiya dengan rasa jijik, sebutir air mata jatuh
dari matanya... dengan menarik napas berat dia usap air mata itu, dan kembali
menjalankan rencana selanjutnya...
Maham dan
Rukaiya, sama-sama menampakkan ekspresi gugup dan ketakutan berjalan ke ruangan Wahida.... dimana dia
menunggu keduanya.
Begitu
berhadapan, Rukaiya langsung berteriak membentak Wahida, “Dasar wanita bodoh...
beraninya kau menulis surat seperti ini padaku??? Apa kau sudah lupa kalau aku
ini Begum E Khaas.. .Apa kau tahu akibatnya menulis surat seperti ini?”
Wahida
menatap keduanya dengan perasaan takut dan berkata... “Maafkan kebodohanku,
tapi aku juga tidak tahu aku sudah terlibat dalam sebuah kejahatan besar... kehamilan
palsu Rukaiya Begum dan ramuan yang kuberikan pada Maham telah menempatkan Ratu
Jodha sebagai pelaku kejahatan ini. Ini konspirasi yang sangat besar... Aku
sangat takut, aku tidak pernah bisa tidur lagi, setiap saat aku merasa kalau
aku akan tertangkap, jadi kuputuskan untuk pergi dari Agra, tapi untuk itu aku
butuh lima ribu Dinar.”
Rukaiya
berteriak marah, “Kau wanita tidak tahu diri... Kau pikir siapa yang kau ancam?
Apa yang akan kau lakukan, jika kami tidak memberimu uang? Kau akan mengatakan
pada semua orang bahwa kehamilanku palsu
dan kau pikir mereka akan percaya... Dengarkan aku, dasar bodoh, kami sudah
merencanakan semuanya dengan sangat teliti dan tidak mennyisakan bukti apapun, bahkan Badi Hakim Sahiba tidak akan bisa
membuktikan kalau aku tidak pernah hamil. Lakukan apa yang ingin kau lakukan?
Tapi aku yakin dengan kebodohanmu kau akan mengakhiri hidupmu di penjara karena
berani melawanku dan Badi Ammi.”
Maham
menambahkan dengan nada mengancam, “Kau wanita serakah, kami sudah memberimu
lima ribu dinar untuk ramuan rahasia itu. Tidakkah itu cukup untukmu??? Jadi
sekarang kau meminta uang lagi dengan mengancam kami. KAU mengancam kami?
Dengar baik-baik, sebaiknya kau segera pergi meninggalkan Agra atau kalau tidak
kondisimu akan jauh lebih buruk dari kematian.”
Jalal... Salima...
Hamida... Abdul... Fufijaan.. Atgah sahib... Maulvi... Semua orang sedang
bersembunyi dan mendengarkan percakapan mereka... Mata Salima Begum
membelalak... Mulut Hamida terbuka lebar... isi percakapan itu mencengangkan
mereka semua.
Sudah cukup
bukti bahwa Rukaiya dan Maham yang merencanakan semua kejahatan itu... Jalal
tidak bisa menunggu lebih lama. Dia keluar dari persembunyiannya di dalam
lemari pakaian diikuti yang lainnya sambil bertepuk tangan dan berkata dengan
nada tinggi, “Wah Rukaiya Wah!!!..”
Semua orang
berkumpul di ruangan itu... Maham dan Rukaiya keduanya tidak berkutik... Keduanya
membelalakkan mata ketakutan dan menahan napas.... Dari ekspresi semua orang,
mereka sadar kalau mereka sudah tertangkap basah...
Rukaiya
menatap bingung ke arah Jalal, apa yang baru saja terjadi, apa dia tidak
menyadarinya??? Jalal makin tidak senang melihat ekspresi takut dan kebingungan
di wajah Rukaiya... Dia berjalan cepat dan menampar Rukaiya, tiga kali dengan
cepat... Jalal memukulnya denga sangat keras hingga sudut mulutnya berdarah...
Dia gemetar
ketakutan melihat kemurkaan Jalal dan mulai terisak keras... Rukaiya mulai
memikirkan alasan yang bisa dia buat, tapi belum sempat dia mengutarakannya,
dengan pandangan tajam Jalal membentaknya lebih dulu, “Tidak satu katapun.”
Semua orang
merasa ngeri melihat amarah di wajah Jalal... Darahnya mendidih serasa ingin
membunuhnya... Dia mendesis dengan keras, “Kau brengsek... kau iblis... kau
mempermainkan emosiku... kau sudah menyakiti semua orang di kesultananku... kau
berbohong tentang kehamilanmu... orang macam apa dirimu??? Menjijikkan... Aku
merasa malu pada diriku sendiri saat menyebutmu sebagai teman terdekatku???
Pengkhianatanmu akan tertulis dalam sejarah dengan tinta hitam... kau memberiku
impian palsu untuk kau hancurkan kembali... Memalukan... Kau sudah menodai
Kesultanan Mughal... Kau tidak pantas menjadi seorang Ibu... Rasanya aku ingin
mencekikmu sampai mati.”