Written
by Bhavini Shah
Jalan pikiran Jalal
Kenapa
perasaanku terluka karena Jodha? Bukankah kadang aku juga meragukan Badi Ammi
(Ibu angkat)?
Lalu,
kenapa aku kecewa, ketika Jodha mempertanyakannya... Dia punya alasan kuat
meragukan Ibu angkat, dia benar atas kedua hal itu... Aku juga dulu pernah
mencurigai Ibu angkat, bukan hanya sekali tapi juga sering namun aku tidak
pernah memiliki cukup bukti untuk menentangnya... dan Ya, aku punya keyakinan
kuat atas kecurigaanku pada Ibu angkat pada saat-saat itu... aku sudah berusaha
menyelidiki siapa yang bersekongkol melawan Jodha... Siapa yang menulis surat
itu untuk Sujamal...?? Untuk hal itu aku langsung mencurigai Ibu angkat...
Dialah satu-satunya orang pertama yang menerima semua surat tapi surat yang
ditulis tangan bukanlah kebiasaannya... Orang lain yang menulis surat itu...
Secara bersamaan, semua penjaga gerbang menghilang dan tewas sebelum
tertangkap.... Siapapun yang berkonspirasi, melenyapkan semua bukti dengan
akurat... Saat tengah malam Ibu angkat yang memberitahuku perihal Jodha yang
keluar istana... dan caranya meracuni pikiranku untuk tidak mempercayai Jodha
lagi... Aku tidak akan melupakan hal itu Ratu Jodha... tapi aku tidak bisa
menghukumnya begitu saja tanpa ada bukti yang cukup kuat.
Aku juga
penasaran pada malam saat aku tidak sadarkan diri, aku tidak ingin kau
mengkhawatirkanku jadi aku menyimpannya sendiri... Yang pertama kucurigai
adalah Ratu Ruqaiya karena dialah yang selalu bertentangan denganmu, tapi
beberapa hari kemudian saat aku bertanya padanya tentang malam itu... aku
menyadari kalau dia juga sama terkejutnya saat tiba-tiba aku tak sadarkan
diri... Dia mencium nafasku dan menurutnya aku telah diberi minuman herbal yang
menyebabkan pingsan... Tabib juga menyebutkan jenis ramuan herbal yang sama
yang digunakan bila seseorang mengalami luka berat dan Ibu angkat pernah
meminta ramuan tersebut. Aku langsung menemui Ibu angkat dan menanyainya,
kenapa dia membutuhkan ramuan itu... Dia mengajakku ke penjara dan menunjukkan
bukti kalau dia memberikan ramuan itu pada tahanan yang terluka karena telah
disiksa Adham. Sekali lagi dia membuktikan dirinya tak bersalah dan membuktikan
juga bahwa kecurigaanku salah tapi tetap saja sulit untuk percaya karena dia
bukanlah orang berhati baik apalagi pada para tahanan.. Dia cukup kejam pada
para kriminal dan tahanan.
Pikiranku
sudah meragukan niatnya yang sebenarnya berkali-kali... dikarenakan ambisinya
yang kuat akan kekuasaan dan jabatan, aku mengetahui dia pernah melakukan
kejahatan yang tak terampuni, aku punya kecurigaan yang kuat padanya ketika
Khan Baba terbunuh... Awalnya dia mempermainkan pikiranku dalam hal politik dan
memunculkan perselisihan antara aku dan Behram Khan Baba.... aku melukai
perasaan dan kepercayaannya padaku dengan menghunuskan pedangku padanya.
Seketika itu juga dia berbalik dan meninggalkan diriku bahkan meski aku memohon
padanya untuk tidak pergi. Perlahan-lahan Ibu angkat meracuni pikiranku dengan
menghasut bahwa Khan Baba adalah satu-satunya orang yang mengatur seluruh
Sultanat dan gejolak jiwa mudaku menuntut untuk membebaskan diriku dari
pengaruhnya. Bagaimana aku dipermainkan dan dimanipulasi, aku tidak memahaminya
saat itu tapi sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas apa yang terjadi pada
masa lalu. Bahkan sekarang aku mulai mencium adanya konspirasi dibalik
kematiannya... tapi lagi-lagi tidak ada bukti... dan aku sangat dikuasai oleh
kasih sayangnya... Untuk menyembunyikan kesalahan Adham dia mengatur banyak
permainan dan kebohongan... aku tidak mempedulikan itu semua... Pikiranku
selalu memperingatkanku pada kebaikan dan juga kadang niat jahatnya... Bahkan
hari ini di Diwan E Khaas... aku melihat raut wajahnya, dia kecewa dan marah
atas pengumuman itu... dan begitu aku menemuinya hari ini, tingkah lakunya
sangat berbeda.... dia bisa menjadi orang yang baik dan kejam pada saat
bersamaan... aku tahu sekali, dia membenci Hindu dan terutama Jodha...
Ratu
Jodha, aku tahu kau tidak keliru tapi hatiku tidak terima jika ada orang lain
yang menuduh Ibu angkat... Di dalam hatiku aku percaya dia tidak akan
mengkhianati kepercayaanku... dan dia tidak akan menyakitiku. Dia bisa
memanipulasiku untuk mendapatkan kekuasaan tapi aku yakin, hatinya
menyayangiku... Dia menyayangiku lebih dari putranya sendiri. Pengorbanannya
untukku lebih tak ternilai daripada kecurigaan ini. Dia akan selalu mendukungku
kapanpun aku membutuhkannya.
Seperti
biasa, dia meyakinkan perasaannya sendiri bahwa Ibu angkat menyayanginya dan
tidak akan pernah mengkhianatinya.
Kegalauan hati Jodha
Jodha
terkejut dengan tingkah laku Jalal... Dia tidak pernah menduga Jalal
membandingkan Ratu Hamida dan Maham... dan dia lebih menyayangi Maham... Tanpa
dia sadari, dia telah melukai perasaan Jalal dengan sangat dalam... Dia menuduh
orang yang paling dihormatinya... apakah pendapatku tentang Maham salah?
benarkah salah? Kenapa aku selalu merasa dia punya niat jahat... Apakah karena
dia tidak menyukaiku... Benarkah aku sudah punya pikiran buruk terhadapnya...
Mungkin Shahenshah benar... seharusnya aku tidak menuduhnya tanpa bukti yang
kuat...
Perubahan
perlakuan Jalal pada Ratu Hamida dan pertentangan batinnya
Ketika
berjalan menuju Diwan E Khaas, Jalal
melihat Hamida banu sedang duduk di bangku terlihat damai sambil menutup
mata... Wajahnya memancarkan kelembutan... Sinar matahari membuat wajahnya
bersinar... secara otomatis langkahnya terhenti melihatnya, dia terpana...
Jalal belum pernah melihat Ibunya bersantai seperti ini... Dia selalu
melihatnya berjalan kesana kemari menyelesaikan tugas-tugasnya... daftar tugas
Ibunya kadang lebih banyak dari daftar tugasnya sendiri... Dia bukan hanya
terlibat dalam bidang politik namun juga membantu Ruqaiya di harem. Prioritas
utamanya adalah pekerjaan sosial, setelah Jalal mengambil alih... Dialah orang
pertama yang menemukan tentang bagaimana gadis yang masih muda dibawah usia 14
tahun dipaksa menikah dengan orang yang lebih tua meski berlawanan dengan
keinginan mereka... Dia tetap berkeras di Diwan E Khaas agar dibuat peraturan
untuk menentang tindakan brutal itu terhadap gadis muda. Dia tidak pernah
menyebutkan kalau dirinya sendiri juga menikah pada usia yang sangat muda yaitu
12 tahun dengan pria berusia 32 tahun (Humayun).... Dia tidak pernah
menunjukkan kesepiannya dan sakitnya pada siapapun.
Jalal
tidak pernah menghargai secara langsung semua kerja kerasnya tapi dia selalu
yakin Ibunya mengabdikan hidupnya demi Sultanat... Dia tahu, Ibunya sering
bekerja hingga larut malam dan bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya... Dia
tidak pernah melihatnya melakukan sesuatu untuk kesenangannya sendiri... Saat Jalal melihatnya menikmati sinar
matahari pada hari ini, senyum kecil tiba-tiba tersungging di bibirnya... Dia
berdiri di sana dan memandang kedamaian di wajah Ibunya, untuk yang pertama
kalinya dia mengaguminya...
Selama
memandangnya, dia tenggelam dalam pikirannya. Dia menyadari bagaimana sedikit
demi sedikit segalanya berubah sejak Jodha hadir dalam hidupnya... Mendadak
pandangan hidupnya berubah dan sekarang dia bisa melihat semuanya dengan lebih
jelas... Kepercayaan penuh Hamida pada Jodha adalah salah satu alasan Jalal
yang membuatnya merasa lebih dekat dengannya daripada sebelumnya. Sedikit demi
sedikit dia mulai tidak bergantung pada Maham, dan mulai lebih dekat dengan
Ibunya. Kesadaran datang bersamaan dengan perasaan yang terpendam... Dia
pikir... Aku selalu menjaga jarak dengan Ibuku namun kenapa hari ini... sesuatu
menariknya ke arahnya, aku sering berpikir Ibuku tidak mencintaiku dan dia
mengabaikan aku... tapi aku tidak tahu kenapa dan kapan, aku mulai
membandingkannya dengan Ibu angkat... Perlahan-lahan aku mengobati kepahitan
hatiku terhadap Ibu... Hal itu selalu
melukai hatiku, dia mendahulukan tugas-tugasnya daripada putranya sendiri...
tapi ternyata semua yang dilakukannya benar... Dulu aku selalu merasa kalau dia
sangat egois namun pendapatku telah berubah.... sekarang aku bisa memahami
pengorbanannya... cintanya... Cara pandangku pada semua hal telah berbeda dan
sangat jelas... Aku bisa merasa, dia bukan orang yang memikirkan dirinya
sendiri... yang telah mengorbankan perasaan keibuannya... menerima kebencian
putranya demi kebaikan mereka... aku masih ingat tatapannya yang putus asa...
ketika dia harus meninggalkan istana dan kami selama berminggu-minggu. Dia
selalu harus memilih antara anak-anaknya dan kewajibannya pada Sultanat... aku
tidak pernah memberinya penghargaan yang pantas diterimanya...
Jalal
mengingat dengan jelas kekhawatiran dan perhatiannya saat dia terluka...
kemudian dia ingat wajah gembiranya yan penuh air mata di Diwan E Khaas tadi
pagi... Bagaimana dia terlihat sangat bersyukur atas peraturan yang baru
diputuskannya.... Dia belum pernah melihat ekspresinya yang penuh perasaan
sebelumnya... Caranya menikmati waktunya seakan dia menarik diri dari semua
tugasnya... Tiba-tiba dia rindu pelukan dan ingin untuk merasakan kasih sayang
ibunya... Secara tak terduga dia mendambakan kehangatan kasih dari seorang ibu...
Murni...
seakan mengandung magnet.... hatinya bergerak ke arah ibunya... Dia berjalan
sangat pelan mendekati bangku ... Dia tersenyum penuh perasaan memandang ibunya
yang begitu terhanyut dalam mimpinya... Tanpa suara dia duduk di depan ibunya
dengan lutut tertekuk bersimpuh di lantai... Tidak mungkin baginya
mengungkapkan perasaannya tiba-tiba. Perlahan dengan lembut dia merebahkan
kepalanya di pangkuan ibunya seperti anak kecil dan meletakkan tangan memeluk
kakinya...
Karena
terkejut Hamida membuka matanya... dan dengan pandangan sekilas, dia melihat
kepala putranya di pangkuannya... Melihat hal yang tak pernah diduganya, momen
yang sangat indah, jantungnya berdetak lebih cepat... Pada saat bersamaan dia
menahan napas mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi... Ini
benar-benar kejutan luar biasa baginya, air mata haru turun mengaliri
pipinya... Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa... apa yang akan
dilakukannya... dia merasa sangat tersanjung atas kehangatan sikap Jalal...
Perlahan,
dia meletakkan tangan di kepalanya dan mulai mengusap lembut rambutnya... dia
sangat menantikan saat-saat seperti ini selama bertahun-tahun... perasaannya
sebagai seorang ibu yang merindukan perhatian putranya mulai tumbuh lagi... Dia
tidak pernah mengharapkan kasih sayang dari putranya... Dia tidak pernah
berharap, bahkan dalam mimpinya sekalipun bahwa putranya akan mendatanginya
dengan cara seperti ini... Dia sudah merasa jika putranya mulai menghormatinya
namun dia tidak bermimpi untuk mendapatkan kasih sayangnya... Pelan-pelan dia
mengangkat wajah Jalal untuk memandang kedalaman matanya... Keduanya saling
menatap dengan penuh kasih... dia melihat putra kecilnya yang telah lama hilang
di dalam mata itu... yang sangat merindukan kehadiran ibunya selama bertahun-tahun...
tatapannya menggetarkan hatinya. Kesepiannya seketika hilang berganti dengan
saat-saat penuh kegembiraan.... Sebenarnya dia jauh lebih kesepian dari
Jalal... Dia kehilangan suaminya bertahun-tahun lalu dan tanggungjawabnya
menjauhkan dirinya dari putra tersayangnya... Namun dia menerima semuanya
sebagai takdirnya...
Akhirnya
Jalal memecah kesunyian diantara mereka dan dengan suara berat penuh emosi dia
bertanya “Ibu, kau baik-baik saja?”
Hamida
menanggapinya juga dengan nada sentimental “Aku tidak tahu... aku sangat
gembira... Merasa seakan aku akan segera bangun dari mimpi indah ini dan aku
akan ditinggal sendirian lagi... Sungguh sulit dipercaya putraku bersimpuh di
pangkuanku.... Tuhan memberkatiku dengan luar biasa... aku tidak bisa mempercayainya...
Jalal
menjawabnya dengan nada emosional “Ibu, kumohon maafkan aku, aku berharap
seandainya aku bisa melihat dan mengerti apa yang kusadari hari ini lima belas
tahun lalu... Sekarang semuanya jelas untukku dan aku baru menyadari
pengorbananmu yang sangat besar untukku... aku tidak ingat... bagaimana...
kapan... dan mengapa... aku sangat tidak berperasaan padamu... Perlahan aku
menjauhkan diri darimu..” Dua butir air
mata jatuh dari kelopak mata Jalal.
Air mata
Hamida mengalir tak terbendung... Dia mengusap air mata Jalal dengan lembut dan
berkata... ”Jalal... Berjanjilah padaku kau takkan membenciku lagi... kau
mungkin tidak menyadarinya tapi aku tidak ingin melihatnya di matamu...
kebencianmu tidak pernah kau tunjukkan tapi aku benar-benar sendirian... Aku
mengharap kasih sayangmu putraku... Berjanjilah kau takkan pernah
meninggalkanku sendirian lagi” Hamida
memegang bahunya dan menariknya untuk duduk di sampingnya di atas bangku...
Hamida mencium keningnya... penuh kehangatan Jalal memeluk Ibunya dan berkata “Ibu, tanpa
cintamu aku tidaklah sempurna dan selalu merasa kosong... aku membutuhkan lebih
dari apapun di dunia ini...” Keduanya duduk berdampingan di bawah hangatnya
sinar matahari dengan penuh kedamaian untuk waktu yang cukup lama... Perasaan
mereka berdua terasa sangat dekat saat ini.
Beberapa
menit kemudian, Jalal bertanya ingin tahu “Ibu, aku belum pernah melihatmu
sangat tenang seperti ini... Pertama kalinya dalam hidupku aku melihatmu
bersantai di sini seakan kau telah melepaskan semua bebanmu... Kau terlihat
sangat tenang saat duduk di sini.”
Dengan
senang hati Hamida menjawab “Kau benar putraku... Aku merasa tujuanku telah
tercapai... Kau mungkin tidak menyadarinya... Apa yang kau lakukan hari ini di
Diwan E Khaas... memberiku kebahagiaan tak terkira... Aku selalu melihat ada
tujuan tersembunyi dari semua keputusanmu... tapi hari ini untuk pertama
kalinya aku merasa senang memanggilmu Shahenshah E Hindustan... Kau telah
membuatku bangga... Aku bahkan tidak pernah sekalipun berharap bahwa suatu hari
kau akan berubah sedrastis ini... Apa yang kau umumkan hari ini jelas
menunjukkan rasa perikemanusiaanmu terhadap rakyatmu... untuk pertama kalinya
kau bersikap layaknya seorang ayah... dan betapa teguhnya pendirianmu
memperingatkan orang-orang yang akan menentang keputusanmu... sekarang tidak
akan ada lagi yang bisa memanipulasi pikiranmu... aku sangat bangga padamu
putraku...” Mendapat dukungan penuh dari Ibunya, Jalal sangat gembira dan
merasa sedikit malu... dengan tersipu Jalal menatap Ibunya dan berkata “Ibu,
sudah waktunya untuk Diwan E Khaas... aku harus pergi... Salam...” Jalal
berjalan menuju Diwan E Khaas... Hamida memandangnya dengan penuh perasaan...
Kemarahan Adham
Dengan
penuh amarah Adham masuk ke kamar Maham... Darahnya seakan menididh... Matanya
merah penuh amarah... Melihat kemarahannya yang membabi buta, Maham
memerintahkan Resham dan pelayan lain untuk keluar dari kamarnya.
Maham
bertanya khawatir “Adham... apa semua baik-baik saja?”
Tanpa bisa
ditahan lagi, Adham langsung meluapkan kemarahannya dan berteriak dengan
kencang pada Maham “Bagaimana bisa aku baik-baik saja??? Kau masih menanyakan
keadaanku, bahkan setelah Jalal menghinaku di depan seluruh dewan? Bagaimana
bisa aku baik-baik saja..? Lihat apa yang telah dilakukan putra kesayanganmu
pada kita... apa yang sudah kau dapatkan setelah bekerja siang dan malam
mengorbankan hidupmu untuknya??? Yang kudapatkan hanyalah rasa malu...dan Apa
yang kauberikan padaku, Tidak Ada... Kau selalu lebih mencintainya daripada
aku... Jalal selalu jadi prioritas utamamu... Aku tidak akan melepaskan Jalal
dan Ratu Rajputnya... aku akan membunuh mereka dengan cara yang sangat kejam...
dan menguasai Saltanat ini... mulai sekarang dia akan tahu siapa Adham...”