Rashed Jalal : Maaf Aadhya
Jodha, saya sudah membaca pesan anda.Saya juga sudah menerima email berisi
laporan yang anda sebutkan . Tapi apakah benar laporan itu ditujukan pada saya?
karena itu bukan bagian tugas saya. Mungkinkah alamat email yang anda tuju
salah?
Aadhya Jodha : Astaga, anda benar.
Aadhya Jodha : Maaf atas kesalahan ini. Selama ini yang saya tahu
hanya ada satu email address berawalan Rashed di akun ini, jadi saya tidak
memeriksanya lagi saat mengirim
Rashed Jalal : Tidak apa.
Aadhya Jodha : Apa anda pegawai baru di sini?
Rashed Jalal : Saya baru seminggu bekerja di sini. Pastinya nama
saya baru masuk list.
Aadhya Jodha : Pantas saja. Sebelumnya nama Tuan Rashed hanya
satu-satunya di sini, yaitu manager domestic finance saja. Apa anda kebetulan bersaudara
dengannya?
Rashed Jalal : Tidak, hanya nama keluarga kami yang sama.
Aadhya Jodha : Bekerja di divisi apa?
Rashed Jalal : Bagian yang tidak terlalu penting, hanya membantu
di sana-sini
Aadhya Jodha : Lantai berapa? Maaf, kalau saya banyak bertanya.
Rashed Jalal : 18
Aadhya Jodha : Wow, lantainya big boss. Tapi di lantai 18 juga
tempat maintenance IT, anda operator disana?
Rashed Jalal : Begitulah. Kau di lantai berapa?
Aadhya Jodha : 3. Saya staf domestic finance.
Aadhya Jodha : Tolong jangan beritahu siapapun tentang email saya
yang salah alamat. Aku tidak mau atasan menganggapku kurang kompeten karena
kecerobohan ini.
Rashed Jalal : Tentu, jangan khawatir.
Aadhya Jodha : Baiklah......Well, Selamat datang di perusahaan ini.
Rashed Jalal : Salam kenal juga untuk anda
~~~~~~
Konyol. Benar-benar konyol. Berulang kali Jodha
merutuki dirinya sendiri sambil mengetuk-ketukkan jari telunjuk kanannya ke
dahinya. Untung saja dia hanya berhadapan dengan layar monitor, kalau tidak... mau
disembunyikan kemana wajahnya ini?!
Jodha benar-benar merasa malu. Selama ini dia selalu
membanggakan kecerdasan otak dan ketelitiannya, tapi kali ini urusan mengirim
laporan saja dia bisa salah alamat. Pantas saja dia tidak menerima balasan
apapun sejak kemarin, karena memang Tuan Rashed belum menerima laporannya,
maksudnya Tuan Jamal Rashed.
Semoga saja kekeliruan ini tetap menjadi rahasia
antara dirinya dan Tuan Jalal Rashed. Andai saja, dia lebih cepat menyadari
kekeliruannya atau Tuan Jalal Rashed langsung membalas pesannya, tapi tidak
etis juga kalau dia menyalahkan Tuan Jalal Rashed karena tidak segera membalas
pesannya dan memberitahu tentang kesalahannya. Karena Jodha pikir, dia akan
bersikap sama seperti itu jika menerima pesan tidak jelas dari orang yang tidak
dikenalnya. Akan diabaikannya begitu saja pesan-pesan seperti itu dan masuk
kotak spam. Untunglah, meski salah alamat, tapi email-nya jatuh ke tangan orang
yang baik, kalau diperhatikan dari chatting mereka tadi, sepertinya Tuan Rashed
orang yang cukup pengertian.
Jodha mencoba kembali memusatkan perhatiannya pada
pekerjaannya. Cukup satu kesalahan, dia tidak akan mengulanginya lagi. Kali
ini, laporannya akan dia serahkan langsung pada managernya, Tuan Jamal Rashed,
ke ruangannya di lantai 8. Setelah mencetak laporan dan merapikannya dalam map,
Jodha bergegas menuju ke atas. Saat itulah, ponsel yang dikantongi di saku
celananya berdering. Jodha sudah bisa menebak siapa yang menelponnya. Varun.
Benar saja, Varun-lah yang menelponnya. “Iya, Varun....aku masih sibuk...Sampai
ketemu saat makan siang nanti...Bye...” Jodha bicara cukup singkat karena dia
merasa segan membicarakan hal pribadi saat jam kerja. Untunglah Varun bisa
mengerti.
Sebenarnya sejak semalam Varun berulang kali mencoba
menghubunginya. Tapi karena Jodha merasa sangat lelah, ditambah lagi dia masih
marah, diabaikannya semua panggilan dari Varun di ponselnya. Sesampainya di
rumah, Jodha langsung tidur setelah makan malam. Pagi tadi, Varun kembali
menghubunginya. Pria itu berulang kali mengucapkan permintaan maaf soal
sikapnya yang memaksa Jodha pada malam itu. Dan Jodha sudah memaafkannya, apalagi
yang bisa dilakukannya? Tidak menyenangkan rasanya lama-lama mempertahankan
sikap diam. Dan Varun menelponnya tadi untuk memastikan rencana mereka makan
siang bersama. Disimpannya kembali ponselnya ke saku celananya, dan Jodha kembali
melanjutkan langkahnya ke lantai 8.
Sayang sekali, manager-nya ternyata tidak ada di
ruangannya. Asistennya yang mengkonfirmasi hal itu. Tidak mau usahanya sia-sia,
diletakkannya map laporan yang dibawanya ke atas meja Tuan Jamal Rashed
disertai ‘post it’ yang bertuliskan ‘Mohon segera dievaluasi’.
Elevator berhenti di lantai 8, pintunya membuka dan
Jodha masuk ke dalamnya. Ditekannya tombol lantai 3, dan elevator pun bergerak
turun. Interior elevator itu dikelilingi kaca tinggi pada keempat sisinya yang
memantulkan setiap sudut kotak mesin pengangkut manusia itu. Jodha berdiri di
satu sudut menghadap pintu, dari pantulan kaca di depannya, dia melihat seorang
pria, yang luput dari perhatiannya saat masuk tadi, berdiri di sudut lain di
seberangnya.
“Jodha Aadhya.” Seketika Jodha menoleh karena namanya
diucapkan oleh pria itu.
Jodha
memandangi pria itu dari atas ke bawah dengan kedua alis diangkat penuh tanda
tanya. Pria itu penampilannya cukup dandy, menurutnya, dengan setelan kemeja
putih tanpa dasi dan jas warna hitam senada dengan celananya. Tapi dibalik
penampilannya yang rapi tersirat kesan garang dan otoriter dari ekspresi
wajahnya. Kesan itu diperkuat dengan alis yang tebal, tulang rahang yang kokoh
dan garis-garis wajah di sekitar mulut dan matanya yang menambah aura maskulin pada
dirinya. Kumis tipis di atas bibirnya
melengkapi keseluruhan penampilannya.
Pria itu berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke
dalam saku celana. Bahasa tubuhnya terkesan santai dengan bahu sedikit
bersandar di dinding elevator. Tapi caranya memandang Jodha, seakan ingin
melahap habis dirinya saat itu juga. Tiba-tiba saja Jodha merasa elevator itu
menjadi sempit meski hanya ada mereka di dalamnya.
“Ya? Apa aku mengenalmu?” tanya Jodha dengan wajah penuh
tanda tanya setelah cukup lama hanya diam memandangi pria itu berharap otaknya
mengeluarkan hasil pengenalan dari scanning wajah yang dilakukannya secara
manual dalam waktu kurang dari 5 detik.
“Tidak. Aku hanya membaca namamu.” Jawab pria itu santai
sambil menunjuk nama Jodha yang tertera di name tag terjepit rapi di kerah
kemejanya.
Otomatis Jodha menunduk mengikuti arah yang ditunjuk oleh pria itu.
Ini kedua kalinya Jodha merasa dirinya bodoh sekali. Seorang Presiden pun akan
mengenali namanya hanya dengan membaca name tag miliknya. ‘Rupanya dia hanya pria yang suka menggoda gadis siapapun yang dia
lihat. Dia pikir dia sangat tampan? Huh..’ pikir Jodha kecut.
Diacuhkannya pria itu, pandangan Jodha kembali ke arah
pintu, bersamaan dengan denting elevator saat berhenti di lantai 3. Pintu
terbuka dan Jodha melangkah keluar. Pandangannya lurus ke depan, tidak sekalipun
menoleh hanya untuk sekilas pandang saja pada pria itu.
Pintu elevator kembali menutup. Pria itu tersenyum
simpul karena secara tidak sengaja telah berhasil menemukan pemilik nama Jodha
Aadhya. Yang tak pernah diduganya, gadis itu adalah gadis yang sama yang
bertabrakan dengannya dan mengatai dirinya cabul. Rupanya Jodha tidak mengenali
dirinya. Membuatnya berpikir,.. ‘Dia
benar-benar tidak mengenaliku atau hanya berpura-pura untuk membuatku penasaran
padanya?... Aneh, aku sudah memikirkan gadis itu lebih dari sekali dalam 3
hari, sedangkan dia sepertinya tidak ingat padaku sama sekali..’.
Dalam hati dia terus bertanya apa yang menarik dari
gadis itu, mungkinkah karena rambutnya? Rambutnya memang sangat indah, dipilin
rapi di punggungnya. Pencahayaan di dalam elevator cukup terang membuat sliuet
wajahnya terlihat lebih jelas daripada malam itu Parasnya lembut dari paduan
mata yang bulat, pipi putih mulus dan bibir yang penuh. Tapi dibalik itu semua,
tersirat kepribadian seorang wanita
mandiri. Bahkan dia bisa membayangkan gadis itu dengan berani mempertahankan
prinsipnya atau bahkan menyurutkan nyali seorang pria yang ingin mendekatinya.
Setelan yang dikenakannya juga cukup rapi. Atasan
kemeja coklat bergaris putih dipadu dengan celana pipa berwarna hitam. Potongan
bajunya cukup longgar, tapi tetap tidak bisa mengaburkan lekuk tubuh feminin
dibaliknya.
Satu gestur menarik yang tak luput dari perhatiannya
adalah cara gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan sangat menggemaskan.
Sepertinya kebiasaan itu tak sadar dilakukannya saat dia merasa kesal atau sedang
berpikir, buktinya dia mengerucutkan bibirnya karena kesal saat dipermainkan
tadi. Menggemaskan sekali.
Terlalu sibuk membayangkan gadis itu, tak sadar elevator
sudah berhenti di Basement. Pagi ini jadwalnya adalah meninjau lokasi renovasi
Wankhede Stadium. Golden Road memenangkan tender sebagai perusahaan yang akan
bertanggung jawab dalam renovasi stadion hingga memenuhi standar international
sebagai persiapan India menjadi tuan rumah Olimpiade. Stadion akan dilengkapi
arena untuk beberapa cabang atletik dan media center. Di samping stadion juga
akan dibangun hotel khusus atlet dan
awak media, dengan konsep green ecology sebagai program pemerintah untuk
memperbaiki reputasi kota Mumbay sebagai kota yang terpolusi. Kunjungannya
kesana adalah untuk mengawasi progress pembangunannya dan memutuskan nilai pembiayaan
yang akan dikeluarkan oleh perusahaan.
Setelah dua jam di lokasi proyek, dia kembali ke
kantornya. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju ruang kerjanya. Di lantai
ini hanya berisi beberapa ruangan besar yang ditempati oleh jajaran tinggi
perusahaan, termasuk tiga orang anggota Dewan Direksi, CEO dan tiga orang
pendukung kerjanya yaitu Chief Marketing, Chief Legal dan dirinya sebagai Chief
Finance.
Sesampainya di depan ruang kerjanya, sekretarisnya,
seorang wanita dewasa berusia 40 tahunan dengan penampilan rapi berkacamata
bernama Nyonya Rhaina Baghnath, memberi salam padanya, “Selamat siang, Tuan
Rashed.”
Jalal berhenti dan berkata, “Carikan aku data staf
atas nama Jodha Aadhya. Langsung letakkan di mejaku.”
Sekretarisnya mengangguk dan Jalal masuk ke
ruangannya. Lima belas menit kemudian, sekretarisnya, Nyonya Bhagnath,
menyerahkan data yang tadi dimintanya. Diperiksanya biodata Jodha Aadhya,
disana tertulis dia hampir berusia 30 tahun, tinggal bersama Ibu dan neneknya,
ayahnya sudah meninggal, belum menikah, dan sudah bekerja di kantor ini selama
6 tahun. Nilai akademisnya bagus, prestasi kerjanya juga cukup mengesankan. Benar
dugaannya, Jodha seorang gadis mandiri,
tulang punggung bagi Ibu dan neneknya.
Lima menit sebelum jam satu siang, Nyonya Baghnath
mengingatkan jadwalnya, “Tuan Rashed, anda ditunggu Dewan Direksi makan siang
di Four Seasons Restaurant.”
“Iya, jika ada laporan masuk, langsung letakkan
disini.” Katanya sembari menunjuk bagian tengah mejanya. Dikenakannya jas yang
sebelumnya tersampir di punggung kursinya, kemudian dia bergegas keluar dari
ruangannya.
Range Rover itu pun menggelinding pelan keluar dari
Basement gedung. Saat melewati depan lobi lantai 1, laju mobilnya terhenti
karena terhalang sebuah motor di
depannya yang sedang berhenti. Jalal membunyikan klakson dan pria pemilik motor
itu menoleh ke arahnya. Di samping pria itu, matanya tidak sengaja menangkap
sekilas keberadaan seseorang yang dikenalnya.
Gadis itu lagi, Jodha Aadhya, dia sedang berdiri di
teras lobi sedang bersiap memakai helm. Gadis itu tidak bisa melihatnya karena
dia terlindung kaca depan mobil yang gelap. Gerak-gerik mereka seperti sepasang
kekasih. Sebenarnya bukanlah kebiasaannya memperhatikan tingkah laku
orang-orang di sekitarnya, tapi entah kenapa, tanpa alasan yang jelas dia kesal
melihat mereka.
Saat motor di depannya itu melaju pergi, dia pun
segera tancap gas menuju tempat pertemuannya. Selama menyetir, pikirannya
sering kembali memikirkan Jodha dan pria-nya...’Apa mereka akan kencan makan siang?..Apa-apaan kelakuan seperti itu?
Apa tidak punya waktu lain untuk bermesraan?...’ kata Jalal kesal pada
dirinya sendiri.
Jalal kembali ke kantor setelah makan siang bersama
Dewan Direksi. Elevator yang membawanya dari basement, berhenti di lantai satu....
Sungguh suatu kebetulan... lagi-lagi Jodha,tapi kali ini dia bersama temannya. Awalnya
gadis itu kaget melihatnya di dalam lift, tapi dia dengan sengaja memasang
wajah acuh.
“Bagaimana makan siangmu dengan Varun? Cukup berkesan
untuk mencerahkan pikiranmu?” tanya teman Jodha dengan ceria.
‘Jadi, nama
pria itu Varun.’kata Jalal dalam hati.
Jodha menjawab dengan senyum lebar, “Kau tahu, berkencan
setelah bertengkar itu justru rasanya.... lebih dari biasanya. Dia jadi lebih
mesra.”
“Lain kali saat berkencan, tolong perhatikan jalan, jangan
sampai menghalangi mobil di belakangmu. Ini bukan bolly movie.” Dengan
santainya Jalal menyela obrolan Jodha dan temannya.
Merasa tersindir, Jodha langsung menoleh ke arahnya
dengan wajah sengit, “Hey! Aku tidak menghalangi jalan siapapun.. ..Jangan
bersikap sok berkuasa disini!....Kau tidak berhak mengomentari urusanku!
Berhenti menggangguku atau....”
“Atau apa?” tantang Jalal
“Atau aku akan berteriak memanggil pihak keamanan
untuk mengusirmu keluar!”
“Atas dasar apa?”
“Kau...kau melecehkan karyawan disini!”
“Apa buktinya? Apa aku menyentuhmu?!”
“Kau...kau melecehkanku dengan kata-katamu!”
“Yang mana?”
“Aaaarrgghh...!” Jodha kesal sekali sampai dia
menghentakkan kakiknya ke lantai lift.
Teman wanitanya yang berdiri di sebelahnya ikut
bingung melihat sikap Jodha yang tidak seperti biasanya.Perdebatan mereka
terhenti karena lift berhenti di lantai 3, Jodha bergegas keluar dari dalam
lift, makin lama dia di dalam sana tubuhnya seakan terserang gatal-gatal karena
pria itu.
Sneyka berusaha menjajari langkah Jodha yang seperti
berlari menjauhi lift. Dia terheran-heran melihat Jodha berdebat dengan seorang
pria, karena itulah mulutnya kelu tidak bersuara di dalam lif tadi.
“Eh, Jodha... siapa pria itu tadi?” tanya Sneyka saat
sudah berhasil menyusul langkahnya.
“Tidak tahu. Aku tidak kenal.” jawab Jodha ketus
“Lalu bagaimana bisa kalian bertengkar kalau tidak
saling mengenal?”
“Kau lihat sendiri dia tadi menggangguku!”
“Bagiku dia tidak mengganggumu... dia hanya berusaha....mengobrol
denganmu.”
“Kau membelanya?!” kata Jodha melotot
“Aku hanya penasaran, apa dia juga karyawan disini?! Tapi
aku tidak melihat name tag di bajunya.... Dia tampan dan manly, biasanya pria
tampan di kantor ini dari divisi marketing, apalagi dia tadi menuju ke lantai
atas...Divisi Marketing di lantai 10... Apa kau tidak ingin mencari tahu
tentang dirinya?” tanya Sneyka dengan sikap genitnya
“Tidak perlu, membuang-buang waktuku saja.”
“Kau jangan kecewa kalau aku mendapatkannya...” kata
Sneyka memancing reaksi Jodha
“Tidak akan. Kau bisa mengambilnya sesukamu.” Jawab
Jodha dengan acuh sambil duduk kembali di depan meja kerjanya siap melanjutkan
pekerjaannya hari itu.
Semoga layar monitor di depannya bisa menghapus wajah
pria pengganggu tadi dari benaknya.
*********