“Jodha
anakku, rapikan mejanya!” Mainavati berteriak pada putrinya, yang sedang sibuk
memilah baju yang akan dipakainya. Setelah perjalanan Miami mereka, Jalal
melihatnya hanya saat berpakaian resmi dan dia ingin mengenakan sesuatu yang
berbeda. Dia ingin mengenakan baju yang terlihat manis namun sederhana. “Jodha
anakku, Jodha!” ibunya berteriak lagi, mengganggunya tanpa henti.
Menyiapkan
meja makan adalah hal yang sepele bila dibandingkan dengan memilih baju, “Ibu,
sebentar lagi. Aku harus bersiap dulu!” dia menjawabnya dari seberang ruangan,
sambil terus membolak-balik isi lemarinya entah untuk yang keberapa kalinya.
“Ya! Aku akan memakai yan ini! Pasti akan mengingatkannya pada saat itu!” dia
menarik sebuah baju, mengibaskan debu yang tak terlihat. Itu adalah baju saat
Jalal pertama kali melihatnya, sebuah Anarkali biru dengan kurta churidar. Dia
sangat penasaran akan reaksi Jalal nantinya, dan segera merapikan dandanannya.
Dia merias matanya dengan kohl, menambahkan sedikit pemulas. Mematut dirinya di
cermin, dia tersenyum, “Dia akan segera datang...Jalalku...”
*******************
“Sepertinya
dia sudah sampai...” Mainavati mengumumkan saat mendengar bel pintu berdentang.
“Aku yang
buka...” Jodha secepat kilat menyiapkan diri menyambutnya. Dia sangat bahagia,
karena akhirnya mereka bisa bertemu.
Pintupun
dibuka, kebahagiaan mereka terpancar jelas satu sama lain. Jodha sudah
menantinya, seperti pengantin wanita menanti pengantin prianya untuk
menjemputnya. Sebenarnya Jodha ingin memeluknya erat, namun keberadaan
keluarganya saat itu memperingatkan pikirannya. Keluarganya berada tepat di
belakangnya saat akhirnya dia berhasil
menenangkan pikirannya sendiri.
Jodha: “Selamat
sore, Pak Presiden. Silakan masuk.”
Bharmal: “Iya
Pak, silakan...”
Melepas
sepatunya, dia melangkah ke dalam ruang tamu yang cukup luas dan dipersilakan
ke arah sofa. Ayah dan putrinya duduk bersamanya, sedang Mainavati bergegas
menyiapkan hidangan untuk tamunya
Bharmal: “Aku
harap kau tidak terjebak macet...”
Jalal
(memandang lurus ke arah Jodha): “Tuan Bharmal, seandainya aku harus terjebak
macet oleh ratusan kendaraan sepanjang hari, aku tetap akan datang memnuhi
undanganmu. Aku tidak bisa mengecewakanmu...”
Sementara
itu, para wanita menghidangkan kudapan untuk tamu mereka, yang sangat
mengharapkan ‘khaatirdaari’ dari calon mertuanya.
Jalal: “Ummm...apa
ini, Tuan Singh?”
Mainavati:
“Nak, ini adalah sirup mawar. Tidakkah kau pernah...”
Jalal: “Belum,
tapi aku ingin mencicipinya sekarang...”
Perlahan
dia meneguk minumannya, saat sebuah nampan makanan pembuka disajikan. Keluarga
itu juga bersama-sama menikmatinya, saat Bharmal dan Jalal membicarakan beberapa hal yang menarik perhatian mereka.
Jalal: “Tuan
Bharmal, kau menonton pertandingan hari ini? India lawan Afrika Selatan?”
Bharmal: “Tidak
seluruh pertandingan, tapi aku menontonnya beberapa saat. Tim kita bermain
sangat bagus, dan kita juga memenangkannya!”
Jalal: “Ya,
aku sepenuhnya setuju! Dan jangan lupa menyebutkan kita menang dengan selisih
poin yang jauh yaitu 130!”
Bharmal: “Benar,
dan juga di Australia, salah satu tempat paling keras untuk bertanding!”
Jalal: “Aku
tidak sabar melihat bagaimana kelanjutan turnamen ini, aku bertaruh semua
harapanku untuk kemenangan tim kita!”
Sujamal: “Astaga!
Kalian membicarakan cricket tap tidak menanyakan pendapatku!”
Ketiganya
terlibat pembicaran seru tentang topik tersebut, sementara Jodha memperhatikan
mereka, tidak mampu berhenti tersenyum. Pemandangan yang menyenangkan, ketiga
orang terpenting dalam hidupnya sedang mengobrol dengan sangat akrab. Dia
sungguh berharap mereka akan tetap seperti itu, setitik air mata meluncur namun
cepat-cepat dia mengusapnya.
“Jodha
anakku!” ibunya memanggil dari dapur.
Jodha
bergegas ke dapur, ibunya terlihat sibuk menata hidangan di atas piring.
Mainavati:
“Jodha, tolong ambilkan sarung tangan itu. Aku sudah mencucinya dan
meletakkannya di lemari”
Jodha: “Umm..baik”
Jodha
berjalan ke kamarnya dan mulai mencari. Dia tidak ingin mengakuinya tapi ibunya
benar-benar telah mengganggu kesenangannya, apa perlunya menyimpan barang yang
sangat dibutuhkan di dalam lemarinya? Dia langsung lega begitu menemukannya,
tapi sebuah suara mengejutkannya. Dia mencari asal suara itu, ketika sebuah
tangan tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang. Pemilik tangan itu
menempelkan wajahnya di rambut Jodha menghirup aromanya dalam-dalam.
Jalal: “Hmm...kau
tidak tahu berapa lama aku menunggu saat ini...menghirup aroma wangimu...”
Jodha: “Jalal,
bagaimana kau bisa ada disini?”
Jalal: “Hmmm...biarkan
saja seperti ini sampai malam berakhir”
Jodha: “Ayah
dan ibuku bisa masuk kapan saja...dan...”
Jalal: “Apa?
Hmm...”
Cepat-cepat
Jodha memutar tubuhnya menghadap Jalal , yang terkejut atas tidakannya yang
tiba-tiba. Jalal mendekatkan wajahnya dan semakin terpukau. Mereka belum sempat
saling memandang selama waktu itu. Sekarang saat ada kesempatan, mereka tidak
ingin melewatkannya sedetikpun.
Jalal: “Aku
tidak akan pernah bisa melupakan baju yang kau kenakan ini...saat itu pertama
kali kita berjumpa di...”
Jodha: “Aku
senang kalau kau menyukai kejutanku...bagaimana penampilanku?”
Jalal: “Jodha,
kau sangat mengagumkan...tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya...”
Jodha: “Hmm...aapa
kau berusaha merayuku Tuan Mohammed?”
Jalal: “Untuk
apa kulakukan itu? Kurasa sudah cukup sering aku mengatakan betapa seksi dan
sensualnya dirimu....lagipula kau berhutang satu ciuman padaku....”
Jodha: “Tuan
Jalal, ciuman apa yang kau maksud...”
“Jodha,
apa kau sudah menemukannya?” teriak Mainavati.
Jodha: “Oh
tidak! Ibuku! Kita harus keluar kalau tidak....”
Jodha
berusaha melepaskan dirinya, tapi Jalal malah semakin erat memeluknya.
Menekannya ke lemari, dan dia juga semakin menundukkan wajah pada Jodha.
Jodha: “Jalal!
Apa yang kaulakukan! Seseorang akan memergoki kita!”
Jalal: “Nona
Singh, kita tersembunyi dari pandangan mereka dengan baik, terima kasih pada
pintu lemarimu yang terbuka lebar...jadi boleh aku mengunci bibirmu?”
Jodha: “Tidak...
kumohon jangan disini! Aku tahu ini mendebarkan tapi tetap saja kita belum
siap.”
Jalal: “Aah,
rupanya seseorang berbicara mirip seperti aku sekarang...”
Jodha: “Oh...”
Sebelum
Jodha sempat membantah lagi, Jalal langsung memagut bibirnya. Jodha tak berdaya
dan mulai membalas ciumannya. Pasangan itu memisahkan diri beberapa detik
kemudian, meskipun terpaksa.
Jodha: “Jalal,
aku harus kesana...”
Jalal: “Kita
akan melanjutkannya nanti...”
Jodha: “Iya
sayang, pergilah dulu ke meja makan...aku menyusul...”
*************
“Tuan,
cicipilah ini....” Bharmal berusaha memastikan tidak ada cela saat menjamu
tamunya.
Semua
orang duduk mengitari meja makan, sedang pasangan itu duduk tepat
berseberangan. Mainavati duduk di sebelah putrinya, namun Jodha tidak menoleh
sama sekali. Dia sibuk mencuri pandang pria di depannya, yang ternyata juga
sibuk meraba betisnya dengan ujung kakinya. Jalal sangat menikmati kegiatan
uniknya di bawah meja dan senang mengetahui Jodha juga menyukainya. Keluarga
sang gadis mengelilinginya namun dia sama sekali tidak kuatir, akan tetapi
sekilas dia memperhatikan kalau nyonya rumah melemparkan pandangan tidak suka
ke arahnya. Mainavati memperhatikan ada rona merah yang terlihat jelas di wajah
Jodha, dan tanda-tanda kerlingan nakal juga tampak di matanya. Dia memilih
untuk diam, tapi pasti dia akan menanyakan pada Jodha nanti.
Jalal: “Umm...Tuan
Bharmal, apa ini?”
Bharmal: “Oh
ini ‘gatte ki sabzi’, dan yang di piring itu adalah ‘lauki ke kofte’”
Jalal
menikmati hidangannya perlahan dan mencicipi setiap citarasa yang baru
dialaminya itu. Dia adalah penyuka masakan daging, tapi dia tidak pernah
mengira jika masakan vegetarian bisa terasa sangat enak. Setiap bahannya
dimasak dengan sempurna, hidangan Rajasthani sekarang menjadi favoritnya!
Jalal: “Nyonya
Singh, masakannya benar-benar lezat...tanganmu penuh keajaiban...”
Mainavati
(tersenyum): “Terima kasih banyak, nak. Ambillah lebih banyak lagi, jangan
sungkan-sungkan...”
Jalal: “Masing-masing
bahannya memiliki rasa yang unik...dan terima kasih banyak karena telah
memasaknya sangat...spesial...”
Penekanan
pada kata ‘spesial’ cukup memberikan sinyal pada seorang ibu yang mudah curiga,
tapi menuduhnya secara langsung tidak akan menghasilkan apa-apa. Malah, hal itu
akan mempermalukan suami dan putrinya. Mengikuti saja alur ceritanya adalah
satu-satunya cara, meskipun itu tidak sesuai dengan kebiasaannya.
Jodha: “Tuan
Presiden, cicipilah ‘paneer sabzi’ ini sedikit. Aku yang membuatnya...”
Jalal: “Bagaimana
mungkin aku melewatkannya! Aku pasti menyukainya!”
Makan
malam telah usai, Jodha bersama dengan Sujamal membantu ibunya membersihkan
meja. Jalal dan Bharmal duduk di sofa menyaksikan berita di televisi, dengan
penuh konsentrasi.
Mainavati:
“Suja, pergi dan ambilkan cairan pencuci piring dari ruang cuci.”
Begitu
putranya berlalu, dia merasa ini kesempatan yang tepat untuk bertanya pada
putrinya.
Mainavati:
“Jodha, apa yang terjadi di meja makan tadi?”
Jodha: “Apa
maksudmu, Ibu?”
Mainavati:
“Tadi, saling melirik dan tersenyum kecil. Untuk apa itu?”
Jodha: “Apapun
yang kau...”
Mainavati:
“Jodha, aku Ibumu. Aku memperhatikan segala yang terjadi di rumah ini, kau
sepertinya berusaha menarik perhatiannya!”
Jodha: “Ibu,
kau sangat berlebihan. Itu bukan apa-apa! Lihat, Suja datang membawa cairan
pencucinya..aku harus membersihkan diri”
****************
“Tuhan,
terima kasih aku bisa menjawab meski berbohong! Hampir saja aku menghancurkan
diriku dalam masalah besar disana!” Jodha menghela napas, “Tapi aku memang
tidak bisa tidak memandangnya, meski secara sembunyi-sembunyi! Kami tidak punya
waktu bertemu selain di kantor!” Dia memercikkan air ke wajahnya, tidak
menghiraukan make up-nya. Kesadaran menghantamnya, dia tidak bisa lagi
menyembunyikan semuanya lebih lama. Ibunya sudah mulai mempertanyakan
kelakuannya, dan segera ayahnya juga akan menemukan sedikit petunjuk! Dia
mengeringkan tangannya pada handuk, ketika tiba-tiba sepasang tangan yang besar
menangkup pinggangnya dari belakang.
Jodha: “Jalal!
Berhentilah melakukan ini! Aku sangat takut, kau tahu!”
Jalal: “Oh,
aku minta maaf...kenapa kau kelihatan tegang sekali?”
Jodha: “Ibu...ia
curiga...dia bahkan bertanya apa yang terjadi di meja makan tadi...”
Jalal: “Woah!
Dia tahu soal meraba betis itu!”
Jodha: “Bukan,
dia memperhatikan aku sering melirikmu...dan sepertinya dia tidak suka...”
Jalal: “Oh
jadi itu yang kau kuatirkan! Kemarilah...”
Jalal
menariknya mendekat dalam dekapannya, membuat Jodha merasa hangat. Dengan mudah
dia hanyut dalam pelukannya, terasa sangat nyaman dan memberikan rasa aman. Dia
merasa semua kekuatiran dan kegalauannya sirna, hanya Jalal yang bisa
membuatnya merasa seperti itu!
Jalal: “‘Paneer’
nya sangat lezat...aku belum pernah merasakan masakan seperti itu sebelumnya...”
Jodha: “Kau
menyukai daging, kenapa kau makan ‘paneer’?”
Jalal: “Hmm...Aku
akan makan ‘paneer’ jika kau yang masak...”
Jodha: “Astaga!
Kau tahu benar cara menghiburku!”
Jalal: “Tentu
saja..aku senang menghiburmu, lalu melihat senyum malu-malu di wajahmu...Ya
Tuhan! Aku benar-benar lupa!”
Jalal
menarik sebuah kotak yang terbungkus rapi dari dalam kantongnya, dan
meletakkannya di tangan Jodha.
Jodha: “Hmm...apa
ini? Apa kau...”
Jalal: “Ini
dari ibuku, dan aku tidak tahu apa isinya....jadi kumohon bukalah sekarang juga...”
Jodha
mulai membuka pembungkusnya, perasaan keduanya berdebar. Di balik kertas
pembungkusnya ada kotak beludru, yang secepat kilat dibukanya dan isinya
membuatnya terpesona. Di dalamnya ada sepasang cincin bermata berlian kecil,
dihadiahkan bukan lain oleh calon ibu mertuanya! Jodha merasa tersanjung, namun
senyumnya tidak bertahan lama.
Jodha: “Jalal,
aku tidak bisa menerimanya...ini sangat mahal”
Jalal: “Kenapa?
Ibuku memberikannya dengan penuh cinta...”
Jodha: “Tapi
aku tidak bisa mengambil resiko Ibu dan Ayahku mengetahui hal ini...apalagi aku
juga tidak bisa memakainya di depan mereka...apa gunanya?”
Jalal: “Simpan
saja disitu jika kau mau...aku tidak akan mengambilnya lagi!”
Jodha: “Tapi
Jalal...”
Jalal: “Ibuku
menanti jawabanmu kau suka atau tidak hadiahnya...dan bisa dipastikan dia akan
sedih jika kau menolaknya...jadi simpanlah...”
Jodha: “Oke,
hanya demi dirimu! Cincin ini adalah cincin bermata berlian yang tercantik yang
pernah kulihat...dan aku berharap bisa menyampaikan rasa terima kasihku
langsung padanya...”
Jalal: “Hmm...jadi
bisa kita lanjutkan yang tadi?”
Jodha: “Jalal!
Apa-apaan kau!”
Jalal: “Boneka
cantikku, kau masih belum melihat apa yang mampu kulakukan!”
Jodha: “Benarkah...lakukan
saja!”
Menutup
pintu rapat-rapat, Jalal melumat bibir Jodha, dan memeluknya semakin erat. Mereka
telah bersama hampir sebulan, namun tidak pernah lepas kendali. Jalal mulai
berimajinasi apa yang akan terjadi seandainya mereka berakhir dengan bercinta,
rasanya, tak terhindarkan, pasti sangat intens. Namun mereka harus berhenti, dia
berharap semuanya akan terjadi begitu saatnya tepat, jadi akan lebih terasa
menyenangkan bagi mereka berdua.
Jalal: “Hmm..tidakkah
menurutmu kita harus segera keluar? Kita sudah menghilang selama beberapa
lama...”
Jodha: “Oh
tidak! Kau keluar dulu...aku akan menyusul setelahnya...”
***************
“Tuan
Bharmal, aku harus segera pulang. Ini sudah larut malam...terima kasih banyak
atas hidangan penutupnya...luar biasa...”
Bharmal
sepertinya masih ingin lebih lama bersama tamunya, “Tuan, tidak apa-apa, kau
bisa tinggal lebih lama...” **Ehmmm... Sabar dulu ya tuan Bharmal, nanti akan kujadikan dia
menantumu... hehehe**
Jalal: “Tuan
Bharmal, aku yakin kau dan keluargamu pasti sangat lelah sekarang. Dan aku
tidak ingin menjadi penyebab ketidaknyamananmu....”
Jalal
berdiri, dan mulai memakai sepatunya. Kekasihnya malu-malu memandanginya yang
sedang menarik tali sepatunya. Menegakkan posisi tubuhnya, dia memberi salam
pada semuanya. “Terima kasih banyak pada kalian semua sudah menerimaku dengan
hangat...aku menyukai hidangannya dan semuanya...sehingga aku merasa seperti di
rumahku sendiri...Terima kasih...”
Bharmal: “Tuan,
tidak perlu berterima kasih...kami senang menjamu anda...dan akan senang sekali
mengundang anda lagi lain waktu!”
Jalal
tersenyum lebar pada semuanya, dan pada Jodha, tatapan penuh cinta melepas
kepergiannya.
Jalal: “Selamat
malam, semua. Terima kasih banyak!”
**************
Jodha
membolak-balik tubuhnya di atas tempat tidur, tidak bisa tidur. Kekasihnya
sudah mengirimkan mimpi indah dan ciuman lewat telepon, tapi dia masih belum
bisa memejamkan matanya. Ciuman panjang dan penuh hasrat tadi terus terngiang
di benaknya. “Jalal, aku ingin kau bersamaku...di dalam diriku...aku harap hari
itu segera tiba, atau kalau tidak gadis Rajput ini akan merayumu!
To Be
Continued
Precap:
Surya menemui Jodha di kantornya.
FanFiction
His First Love Chapter yang lain Klik
Disini