“Kencan” Makan malam
Jodha tiba
di rumah pada Rabu malam itu. Dia baru saja menyelesaikan setumpuk perkerjaan
hari itu dan ingin segera merebahkan dirinya di tempat tidur. Melewatkan waktu
bersama Jalal sepertinya hanya angan-angan saja, dia sama sibuknya karena harus
mengurus kantor cabang baru di Bandra.
Jodha baru
saja melangkahkan kaki ke dalam rumah, tepat saat ibunya berteriak, “Jodha!
Jodha!”
“Ya, Ibu!”
“Anakku,
aku butuh bantuan. Bisa kau ke dapur?”
“Oke...”
gadis itu mengertakkan giginya menahan kesal. Sebenarnya dia hanya ingin duduk
dan berganti pakaian, tapi perintah ibunya di waktu yang tidak tepat seakan
telah memadamkan rencananya.
“Jodha,
kau harus membantu ibumu. Cepat!” Dia berkata pada dirinya sendiri.
Meja makan
telah ditata dan keempat anggota keluarga sudah berkumpul. Sujamal dan Jodha
tidak bisa berhenti saling meyeringai satu sama lain selama menyiapkan makan
malam. Mainavati dan Bharmal akhirnya duduk dan keluarga itupun mulai saling
bercerita tentang apa saja yang mereka lakukan hari itu.
Bharmal: “Maina,
kupikir kita harus mengundang Tuan Mohammed makan malam dalam waktu dekat.”
Jodha
hampir tersedak makanannya sendiri mendengar pernyataan itu sedangkan ibunya
hanya menatap ayahnya tak mengerti.
Mainavati:
“Hmm..tapi kenapa tiba-tiba?”
Bharmal: “Maina,
sebenarnya sudah lama aku ingin melakukannya tapi belum ada waktu disebabkan
perjalanan ke Miami dan dia juga sangat sibuk dengan pekerjaannya. Hanya karena
dialah aku menempati jabatan Wakil Presiden”
Jodha: “Iya
Ayah, kurasa kita bisa mengundangnya Sabtu ini...”
Mainavati:
“Baiklah. Aku juga ingin mengundang Surya makan malam jadi kita akan
mengundangnya juga.”
Kemarahan
langsung tampak di wajah Bharmal begitu namanya disebut, dia sangat mengerti
setiap kali menyebut nama Surya cukup menyakitkan bagi putrinya. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana
bisa istrinya tetap menyambut orang br*ngs*k itu, padahal hal itu selalu saja
menyebabkan perdebatan diantara mereka. Tapi Mainavati tidak pernah menyerah,
dia ingin Surya dan Jodha bersatu lagi. Status putrinya yang belum menikah
selalu merisaukannya dan itulah yang membuatnya ingin cepat-cepat melihat Jodha
terikat pada seorang pria. Meskipun itu artinya harus mempersatukannya lagi
dengan mantan kekasihnya yang pernah mengkhianatinya, tidak masalah dia
memberikan sedikit tekanan. Apa yang pernah dilakukan Surya pada masa lalu
sudah tak diingatnya lagi, karena sekarang dia telah menjadi bujangan yang
mapan. Dia berulang kali mencoba mempertemukan mereka namun selalu gagal. Makan
malam itu sepertinya bisa menjadi kesempatan bagus, Jodha akan merasa lebih
santai dan mungkin tertarik untuk mengobrol.
Di lain
pihak, ide itu bukan hanya mengecewakan suaminya tapi juga anak-anaknya. Jodha
tidak mau Jalal dan Surya bertemu muka, kehadiran Surya bisa memicu kemarahan
kekasihnya dan dia tidak mau itu terjadi. Sujamal, di lain pihak, merasa sangat
terganggu menjawab pertanyaan-pertanyaan Surya. Terus-menerus dia menanyakan
tentang pekerjaan kakaknya, temannya meski mereka sudah bukan apa-apa lagi.
Sekarang dia tahu tentang Jalal, dia ingin orang bodoh itu jauh-jauh dari hidup
Jodha. Dia kembali melihat senyum Jodha setelah sekian lama, dan pastinya tidak
ingin ada orang bodoh egois yang menyakitinya lagi. Mereka masih berkutat
dengan pikiran masing-masing, dan Jodha pun masih menunggu jawabannya.
Mainavati:
“Baguslah, kurasa itu artinya kalian setuju!”
Bharmal: “Tidak,
Maina!”
Mainavati:
“Apa masalahnya, suamiku? Aku yakin Tuan Mohammed tidak keberatan ditemani satu
orang lagi...”
Bharmal: “Aku
sudah tahu kau sering mengundangnya, tanpa pernah memikirkan perasaan Jodha,
apa yang dirasakannya setiap kali melihat Surya...kau tahu pasti itu
menyakitkan bagi Jodha!”
Mainavati:
“Aku tidak melakukan hal yang salah! Dia tetangga kita, dan kita harus bersikap
baik pada mereka!”
Bharmal: “Maina,
aku sangat paham kalau kau tidak tertarik menjalin hubungan baik dengan
tetanggamu! Kau hanya ingin mewujudkan mimpimu, impian melihat putrimu menikah!”
Mainvati:
“Apa yang kau maksudkan! Kenapa juga...”
Bharmal: “Jangan
menyangkalnya, obrolan di waktu yang tidak tepat, diskusi dan gosip hanya
berarti satu hal... tapi aku tidak akan membiarkan makan malam ini berujung
pada urusan perjodohan! Aku selalu setuju padamu, tapi tidak kali ini! Kita
hanya akan menjamu Tuan Mohammed dan hanya dia!”
Mainavati:
“Tapi...”
Bharmal: “Tidak
ada tetapi...dia akan datang Sabtu akhir minggu ini! Kau bisa mengatur hari
lain utuk bertukar gosip dan mengobrol dengan Surya, tapi pastikan saat kami
tidak di rumah. Aku tidak akan membiarkan kehadirannya menghancurkan
kebahagiaan putriku!”
Jodha
tersenyum bangga pada ayahnya, kata-katanya membuat matanya berkaca-kaca.
Ayahnya telah sangat mendukungnya, dia bangkit dan segera memeluk erat ayahnya.
“Ayah, aku menyayangimu...terima kasih....”
******************
“Hmm...
kenapa kau tidak pernah makan tepat waktu!” gadis itu berteriak di ponselnya.
”Aku tidak
punya istri yang memperhatikanku...”
“Jalal...kita
masih butuh waktu!” Gadis itu terkikik.
“Waktu! Ya
Tuhan! Aku hanya ingin menjadikannya istriku sekarang juga! Dan kemudian, aku
ingin menanggalkan seluruh perhiasannya perlahan-lahan dan...”
Gadis itu
wajahnya merah padam, namun merasa beruntung karena tidak ada yang melihatnya,
“Astaga, dan apa pendapatmu kalau aku bilang ayah mengundangmu makan malam”
Pria itu serasa dibuyarkan dari lamunannya, hingga dia memintanya untuk
mengulangi perkataannya.
Jodha: “Ayah,
telah memutuskan mengundangmu makan malam Sabtu ini. Dia akan bicara langsung
padamu besok, tapi kupikir aku harus mengabarimu dulu berjaga-jaga jika
seandainya kau kehilangan kata-kata....”
Jalal: “Hmmm...wow.
Perlakuan istimewa untuk calon menantunya!”
Jodha: “Dia
ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya padamu atas semua yang telah kau
lakukan dan...”
Jalal: “Shh...Jodha
aku akan datang, bukan karena aku ingin dihormati tapi karena aku menganggap
ayahmu setara dan aku juga sangat menghormatinya.”
Kesunyian
selama beberapa saat, yang kemudian dibuyarkan oleh dirinya sendiri yang
terdengar sangat bersemangat, yang telah mengatur rencana di kepalanya.
Jalal: “Jodha
‘bai sa’, kenapa kau tegang ?”
Jodha: “Aku
tidak tahu...aku hanya berharap semuanya lancar. Aku tahu Ayah menghormatimu,
tapi aku juga ingin Ibuku punya kesan yang sama padamu...”
Jalal: “Woah,
tenanglah! Ini hanya makan malam informal, bukan pertemuan perjodohan!”
Jodha: “Aku
tahu, tapi tetap saja...”
Jalal: “Hmm..Jodha
‘bai sa’ ingin mengenalkan Tuan Mohammed sebagai calon suaminya pada
keluarganya!”
Jodha: “Jalal,
aku ingin...”
Jalal: “Jodha,
sayang, jangan khawatir. Aku akan berusaha menjadi tamu terbaik. Makan malam
ini bukan pertemuan keluarga yang penting, jadi aku akan menikmatinya! Aku
hanya ingin kau merasa lebih baik...”
Jodha: “Hmmm...
aku selalu merasa lebih baik setelah berbicara denganmu...omong-omong, dimana
kau belajar mengucap ‘bai sa’?”
Jalal: “Aku
sering menonton film berlatar Rajasthan, jadi aku mengutipnya dari
situ....kalian menggunakan nama panggilan itu di rumah kalian, kan?”
Jodha: “Ya
mereka memanggil ‘bai sa’ kepada wanita yang dihormati, tapi calon suami, kau
melewatkan satu informasi penting....”
Jalal: “Hmmm...maukah
kau berbaik hati memberitahuku?”
Jodha: “Menantu
laki-laki disebut ‘jamai-sa’...dan untuk dirimu, kau calon ‘jamai-sa’ yang akan
tunduk pada kebaikan Rajput!”
Jalal: “Kalau
soal itu, aku sangat mengharapkannya...dan siapa tahu, kita bisa mencuri waktu
berdua dan beberapa ciuman...”
Jodha: “Sayang,
rumahku tidak sebesar rumahmu! Jika kita berdua menghilang bersamaan lebih dari
10 menit, akan menimbulkan masalah besar!”
Jalal: “Ketegangan
saat itu terjadi, tidak ada yang bisa menandinginya!”
Jodha: “Kita
tinggalkan saja ketegangan itu lain waktu! Omong-omong, kau tahu kalau Ibu
ingin mengundang Surya juga untuk makan malam...tapi Ayah menolaknya dengan
tegas.”
Jalal: “Tapi
kenapa Bibi ingin mengundangnya secara langsung?”
Jodha: “Aku
tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya, mungkin Ibu membayangkan hal gila
bahwa aku dan Surya akan bersatu lagi. Tapi apa yang dilakukan Ayahku hari ini
menyentuh perasaanku....dia bilang kalau kebahagiaanku lebih penting daripada
apapun!”
Jalal: “Jodha,
kupikir kau harus memberitahunya tentang kita...”
Jodha: “Kau
tahu, aku juga sangat ingin melakukannya, tapi jauh dalam hatiku, aku sangat
takut pada reaksinya...aku akan memberitahunya saat kurasa waktunya sudah
tepat....”
Jalal: “Tapi
sayang, dia sangat memahami dirimu! Tidakkah kau pikir dia akan terluka jika
kau tidak memberitahunya?”
Jodha: “Benar,
itu sudah pasti. Tapi dia juga belum siap mengetahui siapa pria dalam hidup
putrinya. Sekarang aku tahu kalau dia tidak akan mempermasalahkannya maka aku
akan memberinya sedikit petunjuk sebelum aku....”
Jalal: “Kurasa...kau
benar...lebih baik menunggu...tapi sangat berat menunggu hingga hari Sabtu!”
Jodha: “Tuan
Mohammed, kurasa kau harus menenangkan teman baikmu itu karena kau pasti akan
sangat membutuhkannya!”
Jalal: “Oh
jadi kekasihku sedang menggangguku! Tunggu sampai aku menangkapmu!”
Jodha: “Hanya
dalam mimpi!”
Jalal: “Aku
masih ingat saat aku bermimpi bertemu denganmu, aku harap kau tahu apa yang
kubicarakan!”
Jodha
(tersipu): “Oh...itu...aku...”
Jalal: “Lihat,
kan. Aku masih bisa membuatmu tak berkutik! Omong-omong, sudah larut dan kau
harus istirahat. Selamat malam, sayang, kita akan bertemu besok!”
Jodha: “Selamat
malam Jalal, aku mencintaimu!”
Jalal: “Aku
juga mencintaimu!”
*****************
Sabtu
telah datang dengan cepat. Jalal memenuhi undangan Bharmal dan datang sekitar
pukul 8 malam. Dia berusaha tampil sebaik mungkin, tidak mau terlihat terlalu
santai tapi juga tidak resmi. Dia merasa tegang, seperti juga Jodha. Sekarang
dia tahu kenapa Jodha merasa tegang, memikirkan kesempatan untuk menunjukkan
kesan yang baik ternyata sangat mempengaruhi pikirannya. Kegelisahan dan
sedikit rasa takut bergejolak dalam dirinya. Dia belum pernah merasakan hal
seperti ini bahkan sebelum meeting sekalipun, biasanya dia merasa percaya diri
dan penuh keyakinan. Justru, hanya karena makan malam informal ini telah
membuatnya berkeringat. Dia mulai menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan debar
jantungnya, sambil memutuskan baju yang akan dikenakannya.
“Jalal
anakku,”
Jalal
berbalik untuk melihat ibunya menghampirinya sambil membawa kotak yang
terbungkus rapat. Senyumnya tidak pernah lepas sejak Jalal memberitahunya
tentang acara makan malamnya dengan keluarga Singh. Ibunya menyerahkan kotak
itu padanya.
Jalal: “Ibu,
apa ini?”
Ibu: “Nak,
ini hadiah untuk Jodha. Katakan padanya itu dariku.”
Jalal: “Tapi
apa ini?”
Ibu: “Kau
mengetahuinya saat dia membukanya...dan kenapa kau belum siap juga? Bukankah
kau harus segera pergi?”
Jalal: “Ibu,aku
hampir selesai...aku akan berangkat setengah jam lagi.”
**************
“Jodha
anakku, rapikan mejanya!” Mainavati berteriak pada putrinya, yang sedang sibuk
memilah baju yang akan dipakainya. Setelah perjalanan Miami mereka, Jalal
melihatnya hanya saat berpakaian resmi dan dia ingin mengenakan sesuatu yang
berbeda. Dia ingin mengenakan baju yang terlihat manis namun sederhana. “Jodha
anakku, Jodha!” ibunya berteriak lagi, mengganggunya tanpa henti.
Menyiapkan
meja makan adalah hal yang sepele bila dibandingkan dengan memilih baju, “Ibu,
sebentar lagi. Aku harus bersiap dulu!” dia menjawabnya dari seberang ruangan,
sambil terus membolak-balik isi lemarinya entah untuk yang keberapa kalinya.
“Ya! Aku akan memakai yan ini! Pasti akan mengingatkannya pada saat itu!” dia
menarik sebuah baju, mengibaskan debu yang tak terlihat. Itu adalah baju saat
Jalal pertama kali melihatnya, sebuah Anarkali biru dengan kurta churidar. Dia
sangat penasaran akan reaksi Jalal nantinya, dan segera merapikan dandanannya.
Dia merias matanya dengan kohl, menambahkan sedikit pemulas. Mematut dirinya di
cermin, dia tersenyum, “Dia akan segera datang...Jalalku...”
*******************
“Sepertinya
dia sudah sampai...” Mainavati mengumumkan saat mendengar bel pintu berdentang.
“Aku yang
buka...” Jodha secepat kilat menyiapkan diri menyambutnya. Dia sangat bahagia,
karena akhirnya mereka bisa bertemu.
Pintupun
dibuka, kebahagiaan mereka terpancar jelas satu sama lain. Jodha sudah
menantinya, seperti pengantin wanita menanti pengantin prianya untuk
menjemputnya. Sebenarnya Jodha ingin memeluknya erat, namun keberadaan
keluarganya saat itu memperingatkan pikirannya. Keluarganya berada tepat di
belakangnya saat akhirnya dia berhasil
menenangkan pikirannya sendiri.
Jodha: “Selamat
sore, Pak Presiden. Silakan masuk.”
Bharmal: “Iya
Pak, silakan...”
Melepas
sepatunya, dia melangkah ke dalam ruang tamu yang cukup luas dan dipersilakan
ke arah sofa. Ayah dan putrinya duduk bersamanya, sedang Mainavati bergegas
menyiapkan hidangan untuk tamunya
Bharmal: “Aku
harap kau tidak terjebak macet...”
Jalal
(memandang lurus ke arah Jodha): “Tuan Bharmal, seandainya aku harus terjebak
macet oleh ratusan kendaraan sepanjang hari, aku tetap akan datang memnuhi
undanganmu. Aku tidak bisa mengecewakanmu...”
Sementara
itu, para wanita menghidangkan kudapan untuk tamu mereka, yang sangat
mengharapkan ‘khaatirdaari’ dari calon mertuanya.
Jalal: “Ummm...apa
ini, Tuan Singh?”
Mainavati:
“Nak, ini adalah sirup mawar. Tidakkah kau pernah...”
Jalal: “Belum,
tapi aku ingin mencicipinya sekarang...”
Perlahan
dia meneguk minumannya, saat sebuah nampan makanan pembuka disajikan. Keluarga
itu juga bersama-sama menikmatinya, saat Bharmal dan Jalal membicarakan beberapa hal yang menarik perhatian mereka.
Jalal: “Tuan
Bharmal, kau menonton pertandingan hari ini? India lawan Afrika Selatan?”
Bharmal: “Tidak
seluruh pertandingan, tapi aku menontonnya beberapa saat. Tim kita bermain
sangat bagus, dan kita juga memenangkannya!”
Jalal: “Ya,
aku sepenuhnya setuju! Dan jangan lupa menyebutkan kita menang dengan selisih
poin yang jauh yaitu 130!”
Bharmal: “Benar,
dan juga di Australia, salah satu tempat paling keras untuk bertanding!”
Jalal: “Aku
tidak sabar melihat bagaimana kelanjutan turnamen ini, aku bertaruh semua
harapanku untuk kemenangan tim kita!”
Sujamal: “Astaga!
Kalian membicarakan cricket tap tidak menanyakan pendapatku!”
Ketiganya
terlibat pembicaran seru tentang topik tersebut, sementara Jodha memperhatikan
mereka, tidak mampu berhenti tersenyum. Pemandangan yang menyenangkan, ketiga
orang terpenting dalam hidupnya sedang mengobrol dengan sangat akrab. Dia
sungguh berharap mereka akan tetap seperti itu, setitik air mata meluncur namun
cepat-cepat dia mengusapnya.
“Jodha
anakku!” ibunya memanggil dari dapur.
Jodha
bergegas ke dapur, ibunya terlihat sibuk menata hidangan di atas piring.
Mainavati:
“Jodha, tolong ambilkan sarung tangan itu. Aku sudah mencucinya dan
meletakkannya di lemari”
Jodha: “Umm..baik”
Jodha
berjalan ke kamarnya dan mulai mencari. Dia tidak ingin mengakuinya tapi ibunya
benar-benar telah mengganggu kesenangannya, apa perlunya menyimpan barang yang
sangat dibutuhkan di dalam lemarinya? Dia langsung lega begitu menemukannya,
tapi sebuah suara mengejutkannya. Dia mencari asal suara itu, ketika sebuah
tangan tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang. Pemilik tangan itu
menempelkan wajahnya di rambut Jodha menghirup aromanya dalam-dalam.
Jalal: “Hmm...kau
tidak tahu berapa lama aku menunggu saat ini...menghirup aroma wangimu...”
Jodha: “Jalal,
bagaimana kau bisa ada disini?”
Jalal: “Hmmm...biarkan
saja seperti ini sampai malam berakhir”
Jodha: “Ayah
dan ibuku bisa masuk kapan saja...dan...”
Jalal: “Apa?
Hmm...”
Cepat-cepat
Jodha memutar tubuhnya menghadap Jalal , yang terkejut atas tidakannya yang
tiba-tiba. Jalal mendekatkan wajahnya dan semakin terpukau. Mereka belum sempat
saling memandang selama waktu itu. Sekarang saat ada kesempatan, mereka tidak
ingin melewatkannya sedetikpun.
Jalal: “Aku
tidak akan pernah bisa melupakan baju yang kau kenakan ini...saat itu pertama
kali kita berjumpa di...”
Jodha: “Aku
senang kalau kau menyukai kejutanku...bagaimana penampilanku?”
Jalal: “Jodha,
kau sangat mengagumkan...tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya...”
Jodha: “Hmm...aapa
kau berusaha merayuku Tuan Mohammed?”
Jalal: “Untuk
apa kulakukan itu? Kurasa sudah cukup sering aku mengatakan betapa seksi dan
sensualnya dirimu....lagipula kau berhutang satu ciuman padaku....”
Jodha: “Tuan
Jalal, ciuman apa yang kau maksud...”
“Jodha,
apa kau sudah menemukannya?” teriak Mainavati.
Jodha: “Oh
tidak! Ibuku! Kita harus keluar kalau tidak....”
Jodha
berusaha melepaskan dirinya, tapi Jalal malah semakin erat memeluknya.
Menekannya ke lemari, dan dia juga semakin menundukkan wajah pada Jodha.
Jodha: “Jalal!
Apa yang kaulakukan! Seseorang akan memergoki kita!”
Jalal: “Nona
Singh, kita tersembunyi dari pandangan mereka dengan baik, terima kasih pada
pintu lemarimu yang terbuka lebar...jadi boleh aku mengunci bibirmu?”
Jodha: “Tidak...
kumohon jangan disini! Aku tahu ini mendebarkan tapi tetap saja kita belum
siap.”
Jalal: “Aah,
rupanya seseorang berbicara mirip seperti aku sekarang...”
Jodha: “Oh...”
Sebelum
Jodha sempat membantah lagi, Jalal langsung memagut bibirnya. Jodha tak berdaya
dan mulai membalas ciumannya. Pasangan itu memisahkan diri beberapa detik
kemudian, meskipun terpaksa.
Jodha: “Jalal,
aku harus kesana...”
Jalal: “Kita
akan melanjutkannya nanti...”
Jodha: “Iya
sayang, pergilah dulu ke meja makan...aku menyusul...”
*************
“Tuan,
cicipilah ini....” Bharmal berusaha memastikan tidak ada cela saat menjamu
tamunya.
Semua
orang duduk mengitari meja makan, sedang pasangan itu duduk tepat
berseberangan. Mainavati duduk di sebelah putrinya, namun Jodha tidak menoleh
sama sekali. Dia sibuk mencuri pandang pria di depannya, yang ternyata juga
sibuk meraba betisnya dengan ujung kakinya. Jalal sangat menikmati kegiatan
uniknya di bawah meja dan senang mengetahui Jodha juga menyukainya. Keluarga
sang gadis mengelilinginya namun dia sama sekali tidak kuatir, akan tetapi
sekilas dia memperhatikan kalau nyonya rumah melemparkan pandangan tidak suka
ke arahnya. Mainavati memperhatikan ada rona merah yang terlihat jelas di wajah
Jodha, dan tanda-tanda kerlingan nakal juga tampak di matanya. Dia memilih
untuk diam, tapi pasti dia akan menanyakan pada Jodha nanti.
Jalal: “Umm...Tuan
Bharmal, apa ini?”
Bharmal: “Oh
ini ‘gatte ki sabzi’, dan yang di piring itu adalah ‘lauki ke kofte’”
Jalal
menikmati hidangannya perlahan dan mencicipi setiap citarasa yang baru
dialaminya itu. Dia adalah penyuka masakan daging, tapi dia tidak pernah
mengira jika masakan vegetarian bisa terasa sangat enak. Setiap bahannya
dimasak dengan sempurna, hidangan Rajasthani sekarang menjadi favoritnya!
Jalal: “Nyonya
Singh, masakannya benar-benar lezat...tanganmu penuh keajaiban...”
Mainavati
(tersenyum): “Terima kasih banyak, nak. Ambillah lebih banyak lagi, jangan
sungkan-sungkan...”
Jalal: “Masing-masing
bahannya memiliki rasa yang unik...dan terima kasih banyak karena telah
memasaknya sangat...spesial...”
Penekanan
pada kata ‘spesial’ cukup memberikan sinyal pada seorang ibu yang mudah curiga,
tapi menuduhnya secara langsung tidak akan menghasilkan apa-apa. Malah, hal itu
akan mempermalukan suami dan putrinya. Mengikuti saja alur ceritanya adalah
satu-satunya cara, meskipun itu tidak sesuai dengan kebiasaannya.
Jodha: “Tuan
Presiden, cicipilah ‘paneer sabzi’ ini sedikit. Aku yang membuatnya...”
Jalal: “Bagaimana
mungkin aku melewatkannya! Aku pasti menyukainya!”
Makan
malam telah usai, Jodha bersama dengan Sujamal membantu ibunya membersihkan
meja. Jalal dan Bharmal duduk di sofa menyaksikan berita di televisi, dengan
penuh konsentrasi.
Mainavati:
“Suja, pergi dan ambilkan cairan pencuci piring dari ruang cuci.”
Begitu
putranya berlalu, dia merasa ini kesempatan yang tepat untuk bertanya pada
putrinya.
Mainavati:
“Jodha, apa yang terjadi di meja makan tadi?”
Jodha: “Apa
maksudmu, Ibu?”
Mainavati:
“Tadi, saling melirik dan tersenyum kecil. Untuk apa itu?”
Jodha: “Apapun
yang kau...”
Mainavati:
“Jodha, aku Ibumu. Aku memperhatikan segala yang terjadi di rumah ini, kau
sepertinya berusaha menarik perhatiannya!”
Jodha: “Ibu,
kau sangat berlebihan. Itu bukan apa-apa! Lihat, Suja datang membawa cairan
pencucinya..aku harus membersihkan diri”
****************
“Tuhan,
terima kasih aku bisa menjawab meski berbohong! Hampir saja aku menghancurkan
diriku dalam masalah besar disana!” Jodha menghela napas, “Tapi aku memang
tidak bisa tidak memandangnya, meski secara sembunyi-sembunyi! Kami tidak punya
waktu bertemu selain di kantor!” Dia memercikkan air ke wajahnya, tidak
menghiraukan make up-nya. Kesadaran menghantamnya, dia tidak bisa lagi
menyembunyikan semuanya lebih lama. Ibunya sudah mulai mempertanyakan
kelakuannya, dan segera ayahnya juga akan menemukan sedikit petunjuk! Dia
mengeringkan tangannya pada handuk, ketika tiba-tiba sepasang tangan yang besar
menangkup pinggangnya dari belakang.
Jodha: “Jalal!
Berhentilah melakukan ini! Aku sangat takut, kau tahu!”
Jalal: “Oh,
aku minta maaf...kenapa kau kelihatan tegang sekali?”
Jodha: “Ibu...ia
curiga...dia bahkan bertanya apa yang terjadi di meja makan tadi...”
Jalal: “Woah!
Dia tahu soal meraba betis itu!”
Jodha: “Bukan,
dia memperhatikan aku sering melirikmu...dan sepertinya dia tidak suka...”
Jalal: “Oh
jadi itu yang kau kuatirkan! Kemarilah...”
Jalal
menariknya mendekat dalam dekapannya, membuat Jodha merasa hangat. Dengan mudah
dia hanyut dalam pelukannya, terasa sangat nyaman dan memberikan rasa aman. Dia
merasa semua kekuatiran dan kegalauannya sirna, hanya Jalal yang bisa
membuatnya merasa seperti itu!
Jalal: “‘Paneer’
nya sangat lezat...aku belum pernah merasakan masakan seperti itu sebelumnya...”
Jodha: “Kau
menyukai daging, kenapa kau makan ‘paneer’?”
Jalal: “Hmm...Aku
akan makan ‘paneer’ jika kau yang masak...”
Jodha: “Astaga!
Kau tahu benar cara menghiburku!”
Jalal: “Tentu
saja..aku senang menghiburmu, lalu melihat senyum malu-malu di wajahmu...Ya
Tuhan! Aku benar-benar lupa!”
Jalal
menarik sebuah kotak yang terbungkus rapi dari dalam kantongnya, dan
meletakkannya di tangan Jodha.
Jodha: “Hmm...apa
ini? Apa kau...”
Jalal: “Ini
dari ibuku, dan aku tidak tahu apa isinya....jadi kumohon bukalah sekarang juga...”
Jodha
mulai membuka pembungkusnya, perasaan keduanya berdebar. Di balik kertas
pembungkusnya ada kotak beludru, yang secepat kilat dibukanya dan isinya
membuatnya terpesona. Di dalamnya ada sepasang cincin bermata berlian kecil,
dihadiahkan bukan lain oleh calon ibu mertuanya! Jodha merasa tersanjung, namun
senyumnya tidak bertahan lama.
Jodha: “Jalal,
aku tidak bisa menerimanya...ini sangat mahal”
Jalal: “Kenapa?
Ibuku memberikannya dengan penuh cinta...”
Jodha: “Tapi
aku tidak bisa mengambil resiko Ibu dan Ayahku mengetahui hal ini...apalagi aku
juga tidak bisa memakainya di depan mereka...apa gunanya?”
Jalal: “Simpan
saja disitu jika kau mau...aku tidak akan mengambilnya lagi!”
Jodha: “Tapi
Jalal...”
Jalal: “Ibuku
menanti jawabanmu kau suka atau tidak hadiahnya...dan bisa dipastikan dia akan
sedih jika kau menolaknya...jadi simpanlah...”
Jodha: “Oke,
hanya demi dirimu! Cincin ini adalah cincin bermata berlian yang tercantik yang
pernah kulihat...dan aku berharap bisa menyampaikan rasa terima kasihku
langsung padanya...”
Jalal: “Hmm...jadi
bisa kita lanjutkan yang tadi?”
Jodha: “Jalal!
Apa-apaan kau!”
Jalal: “Boneka
cantikku, kau masih belum melihat apa yang mampu kulakukan!”
Jodha: “Benarkah...lakukan
saja!”
Menutup
pintu rapat-rapat, Jalal melumat bibir Jodha, dan memeluknya semakin erat. Mereka
telah bersama hampir sebulan, namun tidak pernah lepas kendali. Jalal mulai
berimajinasi apa yang akan terjadi seandainya mereka berakhir dengan bercinta,
rasanya, tak terhindarkan, pasti sangat intens. Namun mereka harus berhenti, dia
berharap semuanya akan terjadi begitu saatnya tepat, jadi akan lebih terasa
menyenangkan bagi mereka berdua.
Jalal: “Hmm..tidakkah
menurutmu kita harus segera keluar? Kita sudah menghilang selama beberapa
lama...”
Jodha: “Oh
tidak! Kau keluar dulu...aku akan menyusul setelahnya...”
***************
“Tuan
Bharmal, aku harus segera pulang. Ini sudah larut malam...terima kasih banyak
atas hidangan penutupnya...luar biasa...”
Bharmal
sepertinya masih ingin lebih lama bersama tamunya, “Tuan, tidak apa-apa, kau
bisa tinggal lebih lama...” **Ehmmm... Sabar dulu ya tuan Bharmal, nanti akan kujadikan dia
menantumu... hehehe**
Jalal: “Tuan
Bharmal, aku yakin kau dan keluargamu pasti sangat lelah sekarang. Dan aku
tidak ingin menjadi penyebab ketidaknyamananmu....”
Jalal
berdiri, dan mulai memakai sepatunya. Kekasihnya malu-malu memandanginya yang
sedang menarik tali sepatunya. Menegakkan posisi tubuhnya, dia memberi salam
pada semuanya. “Terima kasih banyak pada kalian semua sudah menerimaku dengan
hangat...aku menyukai hidangannya dan semuanya...sehingga aku merasa seperti di
rumahku sendiri...Terima kasih...”
Bharmal: “Tuan,
tidak perlu berterima kasih...kami senang menjamu anda...dan akan senang sekali
mengundang anda lagi lain waktu!”
Jalal
tersenyum lebar pada semuanya, dan pada Jodha, tatapan penuh cinta melepas
kepergiannya.
Jalal: “Selamat
malam, semua. Terima kasih banyak!”
**************
Jodha
membolak-balik tubuhnya di atas tempat tidur, tidak bisa tidur. Kekasihnya
sudah mengirimkan mimpi indah dan ciuman lewat telepon, tapi dia masih belum
bisa memejamkan matanya. Ciuman panjang dan penuh hasrat tadi terus terngiang
di benaknya. “Jalal, aku ingin kau bersamaku...di dalam diriku...aku harap hari
itu segera tiba, atau kalau tidak gadis Rajput ini akan merayumu!
To Be
Continued
Precap:
Surya menemui Jodha di kantornya.
FanFiction
His First Love Chapter yang lain Klik
Disini