Love Protocol
By Tyas Herawati Wardhani
Chapter 4
Mossef menumpangkan sebelah tangannya di jendela sambil menatap kesal
ke arah jalan di depan mobilnya yang sedang melaju. Sedangkan Raouf, duduk di
sebelahnya sambil menyetir dalam diam.
Sesekali dia menyisir kasar rambutnya dengan jemari sambil mengumpat
dalam hati.
__Sial, gara-gara orang brengsek itu, aku harus membuang waktuku dengan
sia-sia di kantor polisi. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak kreatif
sama sekali__
“Sir, kenapa tidak anda beritahukan saja siapa diri anda saat penangkapan
kemarin?” tanya Raouf tiba-tiba memecahkan keheningan di dalam mobil SUV BMW S
Class itu.
“Tidak perlu.”
“Disini anda punya kekebalan diplomatik, ditambah lagi koneksi bisnis
anda telah memberi rekomendasi kepercayaan pada nama anda.”
“Aku tahu. Tapi aku tidak akan melakukannya di depan Katti. Dia akan lebih
membenciku jika aku bersikap sok hebat, memanfaatkan pengaruh yang kupunya
untuk kepentinganku sendiri...”
Mossef menghela napas dengan berat sambil memalingkan wajahnya ke
samping, menangkap pantulan buram wajahnya di jendela, lalu melanjutkan dengan
suara berat...
“Andai kau lihat wajahnya.... Dia tampak sangat ketakutan... Dan aku merasa
bersalah karena gagal menjauhkan pria brengsek seperti itu dari dekatnya....”
Raouf melirik sekilas. Sejak mereka tiba di Oslo, teman sekaligus atasannya ini lebih sering terlihat sedih.
“Seandainya membunuh itu diperkenankan, sudah kuhabisi dia! Tapi aku
belum ingin dipenjara dan meninggalkan Katti tanpa perlindungan.”
Tiba-tiba Mossef tertawa sedih....
“Sir?”
“Ironis. Aku tidak ada bedanya dengan si ‘Thoren’ itu. Sama-sama brengsek.
Sayangnya, hukuman kematian itu terlalu ringan untuk kesalahanku pada Katti. Yang
paling berat adalah jika suatu saat dia memilih pria lain dan bukan aku. Maka
saat itulah, kematian yang sebenarnya untukku...”
Beberapa detik dalam keheningan. Hanya dengung halus suara mesin mobil
yang terdengar.
“Saya akan mengatur keamanan untuk Miss Katic.” ujar Raouf berinisiatif.
“Tidak perlu. Aku sendiri yang akan menjaganya. Kalau dia sering-sering
melihatmu, bisa-bisa dia jatuh cinta padamu.”
Tidak ada nada candaan dalam kalimat itu.
“Saya tidak akan berani.” Jawab Raouf gugup sambil membersihkan
tenggorokannya yang tiba-tiba gatal.
“Terima kasih untuk hari ini. Kerjamu cepat seperti biasa.”
“Ya, Sir.”
“Apa dia melawan?”
“Tidak. Dia cukup pengertian.”
Raouf mengingat kembali percakapannya tadi siang dengan Tuan Sven
Thoren, pria yang telah membuat atasannya dipenjara semalam.
“Kau menerima dana investasi properti dari sepuluh orang klienmu
sebesar 600.000 krone sebulan yang lalu, tapi uang itu tidak ada di rekening
kantormu, sub kontraktormu maupun rekening pribadi atas namamu. Ternyata uang
itu kau masukkan ke sebuah rekening bank di Cayman Island atas nama ayahmu. Yang
anehnya dan kau pasti tahu, ayahmu menderita Alzheimer sejak lima tahun lalu.
Mana mungkin ayahmu mampu mengingat tanda tangannya sendiri, apalagi sederet
nomor rekening..?!”
Raouf membeberkan informasi yang berhasil dia kumpulkan bersama dengan
dua akuntan forensik mereka di Daha.
Ancamannya langsung mengena, terlihat dari ekspresi Tuan Thoren yang menatap
nanar semua berkas bukti penipuannya yang dijajar di atas ranjang perawatannya.
Tuan Thoren sendiri makin bingung, dia tidak kenal pria yang berdiri di
depannya. Lima menit yang lalu, tiba-tiba saja dia masuk dan memperkenalkan
namanya sebagai Raouf Maliq. Sekarang dia membeberkan semua rahasia kotor yang
bahkan tidak pernah dia ceritakan pada siapapun.
“A..a..apa yang kau inginkan??!”
Tanyanya terbata-bata, mulai merasa ngeri membayangkan jika semuanya
terbongkar.
“Cabut tuntutanmu pada Tuan Mossef Faraz Yazeed.”
“Siapa dia?! Aku tidak kenal! Dan aku juga tidak punya urusan dengan
siapapun yang ..!”
“Dia adalah pria yang memberi tanda di wajah dan perutmu.”
Sekali lagi matanya membelalak. Tak sadar tangannya mengusap-usap memar
yang mulai membiru di atas rahangnya. Merasakan rasa sakit dan panas pada
lukanya kembali membuatnya teringat pada pria muda yang menghajarnya kemarin.
“Cabut laporanmu siang ini atau semua berkas ini berpindah tangan
pada...”
“Oke..oke...akan kulakukan...”
Jawabnya gugup sambil mengumpulkan semua berkas itu dan
menyembunyikannya di bawah selimut yang menutupi setengah badannya.
Pria di depannya ini jauh lebih muda, mungkin kurang dari setengah
umurnya. Tapi sikapnya yang dingin dan kepribadiannya yang terkesan misterius membuat
dirinya, seorang pria yang jauh lebih tua, mengkerut seperti anak kecil yang kepergok
mengutil permen di sebuah toserba.
Tn.Thoren tidak bisa menutupi rasa takutnya menghadapi ancaman halus
Raouf Maliq. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, bibirnya kering dan
beberapa kali dia menelan ludah dengan gugup. Bola matanya bergerak-gerak
gelisah, bergantian menatap Raouf, berkas-berkas di bawah selimutnya dan juga
pintu keluar. Berpikir seandainya dia punya pilihan, dia memilih lari saja dari
masalah ini.
“Siang ini...” sergahnya cepat.
Raouf menaikkan ujung bibirnya sedikit, namun bukan sebuah senyuman
yang terlihat.
“Cepatlah sembuh.” Katanya dingin, tidak benar-benar bermaksud seperti
yang dikatakannya.
Lalu dia mulai berjalan keluar...
“Tunggu! Siapa kalian sebenarnya?!”
“Mimpi burukmu.”
Dan Raouf menutup pintu di belakangnya.
Gertakan itu berhasil. Mossef sudah bebas pada sore harinya dan sekarang
dia sedang duduk di sebelahnya di dalam mobil sewaan itu.
“Sir..?” panggil Mossef tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“Ya. Katakan saja.”
“Sebenarnya anda kenapa?”
“Aku tidak bisa menahan diri. Saat kulihat tangan pria itu menyentuh
Katti, aku sangat marah dan yang terpikir hanya ingin menghajarnya
habis-habisan... Aku tahu hati Katti masih terluka dan tidak akan kubiarkan
orang lain menambah lukanya.... ”
“Jadi, sebenarnya anda marah padanya atau pada diri anda sendiri?”
Mossef menghembuskan napasnya dengan berat, tampak berpikir sambil
matanya memandang kosong ke arah jalan di depannya..
“...Keduanya..”
Mossef kembali terpekur dalam pikirannya sendiri. Menilai kebenaran
dari pertanyaan Raouf yang terakhir.
Tujuh tahun mengelola bisnis globalnya, Mossef berhasil dengan baik
menampilkan emosi yang terkendali di depan kolega dan pesaing bisnisnya. Sepelik
dan sesengit apapun intrik dan permasalahan yang dihadapinya, dia selalu tampak
tenang dan dingin. Seakan emosinya tak tersentuh. Jika memang ada kemarahan
tertahan, dia akan melampiaskannya di gym atau di atas ring. Baginya, seorang
pria yang mengumbar emosinya sama dengan memamerkan kelemahannya sendiri. Dan
seorang pria yang bisa mengendalikan dirinya dalam situasi paling genting, maka
dialah yang paling kuat.
“Sir, Dewan Komisaris menunggu
penjelasan anda tentang insiden ini.” ujar Raouf tepat saat atasannya membuka
pintu saat mobil itu berhenti di Grand Hotel.
“Nanti.” jawab Mossef tanpa menoleh.
Setengah berlari, Mossef langsung menuju ke base karyawan. Dia harus
segera menemui Katti dan menjelaskan semuanya.
Tapi Katti tidak ada disana.
“Kau lihat Katti?” tanyanya pada salah satu staf wanita yang kebetulan
lewat.
“Dia tidak masuk hari ini.”
“Kau tahu alasannya?”
“Tidak, tanyakan saja pada Tn.Lundy..”
Sial. Kuharap Katti tidak diperlakukan salah gara-gara masalah kemarin.
Mossef menuju ruangan Tn.Lundy dan dia langsung masuk tanpa mengetuk
pintu.
“Ah... Tn.Yazeed...”
“Apa yang kau lakukan pada Miss Katic!” hardiknya tanpa peduli bahwa orang
di depannya beberapa tahun lebih tua darinya.
“Begini, demi ketenangan bersama dan sampai masalah ini selesai, aku
memintanya untuk sementara beristirahat di rumah.”
“Kau sadar apa yang kau lakukan?! Menskorsnya?! Sama saja kau anggap
dia yang bersalah!”
“Begini Tn.Yazeed...”
“Kembalikan pekerjaan Miss Katic!!.” tukasnya dengan nada sedikit
mengancam.
“Tapi Dewan Komisaris...”
“Aku yang akan bicara pada mereka.”
“Baik.”
Mossef berbalik hendak pergi.
“Sir, maaf kalau saya tidak sopan. Apakah ada hubungan khusus antara
anda dengan Miss Katic?” tanya Tn.Lundy menahan langkahnya.
“Ya. Aku sedang mengusahakan hubungan yang sangat dekat dengannya.
Jadi, jika kau membantuku, aku akan sangat menghargainya.”
Mossef berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Wajahnya
kusut dan badannya terasa lengket semua. Satu malam yang dilewatkan di kantor
polisi terasa sangat panjang dan melelahkan.
Raouf sudah berdiri menunggunya di depan pintu kamarnya.
“Ibu anda menelpon lima menit yang lalu. Direktur Grand Hotel, Tn.Ole
Vonner Ostberg, menjadwalkan makan malam dengan anda beserta seluruh Dewan
Komisaris di penthouse jam sembilan.” lapor Raouf pada atasannya yang terus
berjalan menuju kamar mandi.
Mossef memutar kran shower dan air hangat seketika membasahi tubuh dan
pikirannya yang lelah. Mandi menjadi harapannya untuk bisa memulihkan tenaga dan
menyegarkan otaknya.
Andai saja dia seorang pria yang lebih baik, mungkin saja semuanya tidak
akan seperti ini.
Entah sampai kapan dia akan berada di sini, meninggalkan Ibu dan
adiknya di Daha. Karena kali ini tidak sama dengan perjalanan bisnis yang
sebelumnya sering dia lakukan. Terbang dari satu negara ke negara lain. Dalam
satu minggu dia bisa berpindah tempat hingga tiga kali. Sekarang, dia bahkan tidak
tahu kapan dia akan pulang. Karena dia takut, jika dia pergi, dia tidak akan
bisa menemukan Katti lagi.
“Pertemuannya masih dua jam lagi.” Ujar Raouf saat melihat Mossef sudah
siap dengan setelan resminya yang dipesan khusus pada desainer langganannya.
“Tidak apa. Kita akan menikmati minuman hangat sambil menyusun semua
informasinya. Cuaca dingin ini sedikit mengganggu.”
Dua jam mereka menikmati minuman hangat sambil menyusun semua data yang
diperlukan untuk rencana investasi Al-Khaarajj Group, perusahaan yang
dibangunnya sekaligus dia adalah pemegang saham terbesarnya. Grand Heritage
Hotel berencana melakukan ekspansi bisnis mereka dengan membangun sebuah resort
ski besar di kaki pegunungan Galdhopiggen. Dan mereka menawarkan kesempatan
investasi bagi Al-Khaarajj dengan margin keuntungan yang cukup menjanjikan.
Berawal dari sanalah, tanpa sengaja Mossef menemukan keberadaan wanita
yang selama ini dicarinya. Dari sekian banyak usaha yang dikerahkannya,
keberhasilannya datang dari hal yang paling tidak diperhitungkannya. Mungkin
semua hanya kebetulan, atau mungkin juga Tuhan memberinya jalan dan kesempatan
untuk memperbaiki kesalahannya.
Diputuskannya untuk menerima penawaran pihak Grand Heritage Hotel.
Bukan demi bisnisnya, melainkan demi Katti-nya. Mengenai andil perusahaannya,
masih harus dirundingkan lagi, dan itu akan dilakukannya malam ini.
Bukan hanya satu jam, makan malam bisnis itu berakhir hampir tiga jam
kemudian. Ada perundingan yang cukup alot antara Mossef, direktur Grand hotel
dan tiga orang Dewan Komisaris. Hasilnya sesuai harapan, para petinggi Grand
Hotel tunduk pada ketentuan yang disyaratkan Al-Kharajj Group. Mengingat
nominal investasi yang dijanjikan mampu menutup biaya pembangunannya. Sedangkan mengenai
insiden kemarin, tidak ada yang membahasnya lagi.
Usai makan malam, Mossef enggan kembali ke kamar hotelnya, padahal dia
tahu, tubuhnya butuh istirahat malam ini.
“Sir..?”
Tanya Raouf yang berjalan tepat di belakangnya.
“Aku ingin keluar sendirian malam ini...”
Raouf mengangguk mengerti.
Mobil SUV hitam itu menggelinding pelan membelah jalanan ibukota
Norway. Siluet lampu-lampu jalan seakan bergerak meliuk di kanan kirinya.
Langit tak berbintang menyelimuti kota yang tenang ini. Aroma musim dingin
menguar di udara menghembuskan kesejukan yang membeku.
Mossef menikmati kesunyian ini. Kesenyapan yang mewakili perasaannya. Bila
malam selalu menanti datangnya pagi demi secercah sinar dan kehangatan, begitu
juga dengan hidupnya... menanti sang cinta mengukir seulas senyum pada dirinya.
Mobil itu berhenti di tempat yang sama seperti tiga hari yang lalu. Dia
matikan mesin mobilnya, lalu mengatur sandaran duduknya dan merapatkan kerah
mantelnya. Sekali lagi dia mengarahkan pandangannya hanya ke arah itu, lantai
tiga jendela paling kanan. Lampunya masih menyala...
Di dalam apartemennya, Katti sedang duduk memeluk lututnya menghadap
televisi yang sedang menayangkan opera sabun. Tapi Katti sama sekali tidak menikmatinya.
Dia menoleh saat mendengar pintu apartemennya terbuka.
Lola masuk dengan wajah lesu.
“Kupikir kau menginap di tempat Hansen...”
“Kami putus.”
Jawab Lola singkat. Dan Katti hanya bereaksi ‘O’ dengan mulutnya.
Lola duduk menghempaskan dirinya di samping katti sambil menyeruput
sekaleng bir yang diambilnya dari lemari es.
“Kau sedih?”
“Sedikit...”
Katti tidak bertanya lagi. Untuk beberapa saat, mereka sama-sama
menatap kosong pada layar televisi. Larut dalam pikiran masing-masing.
“Lola...di tempatmu butuh orang baru?”
“Aku tidak tahu. Kenapa?”
“Aku ingin pindah kerja.”
Lola menoleh pada Katti dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kenapa? Apa ada yang mengganggumu disana?”
“Ada sedikit masalah dan sekarang aku diskors.”
“APA!!” teriak Lola terkejut. Sulit membayangkan temannya ini terlibat
dalam suatu masalah hingga diskors.
Katti ragu akan menceritakan semuanya atau tidak.
“Ada seorang tamu yang menggangguku, dan ada orang lain yang kebetulan melihatnya
menjadi marah dan menghajar orang itu. Dan sekarang orang itu ditahan oleh
polisi. Manager menganggapku sebagai pihak yang menyulut keributan itu.”
“Tunggu, aku tidak paham. Ada dua orang pria, yang satu mengganggumu
dan yang lainnya membelamu. Tapi kau yang disalahkan. Jadi...ceritakan padaku
seperti apa sang pahlawan ini...” goda Lola sambil mengedip-kedipkan matanya
dengan genit.
“Bukan itu masalahnya...”
“Apa dia juga tamu? Rekan kerjamu? Apa dia tampan? Dia pasti terlihat
hebat saat....”
“Lola, aku tidak....”
“Apa dia pengirim bunga itu?”
“BUKAN! Dia hanya seseorang yang kebetulan lewat saja...”
“Apa kau sudah menemuinya lagi? Mengucapkan terima kasih? Dia sudah
membelamu sampai ditahan polisi.. Apa kau tidak memikirkan keadaannya?”
“Aku tidak memintanya membelaku!
Dan TIDAK, aku tidak akan menemuinya lagi!” tukas Katti sedikit terpancing
emosi.
Lola terdiam, tak menyangka gurauannya membuat Katti sedikit emosi.
“Maafkan aku. Aku hanya menggodamu.”
“Aku juga minta maaf. Aku menanggapinya terlalu berlebihan.” balas
Katti juga merasa bersalah.
Mereka saling tersenyum dengan canggung.
“Besok akan kutanyakan apa ada lowongan di tempatku...”
“Terima kasih.”
Lola beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamarnya. Tiba-tiba saja dia
berbalik dan berjalan cepat ke arah jendela. Melalui tirai tipis itu, dia
seperti mengamati sesuatu di jalanan di bawah sana.
Katti mengernyitkan kening, heran melihatnya.
“Ada apa?”
“Beberapa hari ini aku merasa ada orang yang sedang membuntutiku. Coba
kau lihat keluar, SUV hitam itu sepertinya juga ada disana kemarin...”
Katti ikut-ikutan mengintip keluar. Dia memang melihat sebuah SUV BMW hitam
terparkir di seberang jalan.
“Banyak yang memiliki SUV hitam, bisa saja itu milik seseorang di
sekitar sini...” kilahnya.
“Ya..kau benar....” Jawab Lola ragu.
Setelah itu, tidak ada lagi yang membahas tentang SUV hitam.
Hingga keesokan malamnya....
“Apa rencanamu besok?” tanya Lola saat mereka menikmati makan malam di
sebuah kedai yang menyediakan salad dan burger yang cukup enak.
“Aku tidak tahu. Aku mengirimkan email surat pengunduran diriku tadi
pagi.”
“Kau benar-benar yakin berhenti dari sana?! Mungkin saja masalahnya
sudah selesai..”
“Aku tidak nyaman lagi disana.”
Lola mengamati wajah Katti yang sedang menikmati suapan salad
terakhirnya.
“Tidak biasanya kau seperti ini. Sebelumnya tidak ada hal apapun yang
bisa mengusikmu. Dan aku kagum padamu. Tapi sekarang.....seperti kau sedang
menghindari sesuatu. Aku tidak akan memaksamu untuk bercerita, tapi kau bisa
mengandalkanku jika butuh dukungan...”
Katti sengaja menghindari tatapan Lola yang menyelidik.
“Mungkin aku hanya butuh suasana dan teman yang baru.”
“Selama tujuh tahun kita berbagi apartemen. Aku tahu betul sifatmu yang
satu itu. Kau bukan tipe wanita yang butuh teman demi selapis perhatian. Bahkan
belum pernah sekalipun aku merasa kau membutuhkan aku sebagai teman...”
“Lola...maaf kalau kau merasa sikapku seperti itu. Tapi percayalah, aku
sangat beruntung bisa mengenal dan berteman denganmu...”
“Terima kasih. Kau bisa memulainya sekarang, membuatku merasa menjadi
temanmu, jika kau mau berbagi masalahmu denganku... Mungkin bantuanku tidak
terlalu berarti, tapi seperti itulah teman, kadang mengganggu kadang juga bisa
membantu...”
Katti tersenyum lemah dengan sedikit menunduk, matanya menatap gelas di
depannya yang memantulkan cahaya lampu di langit-langit.
“Aku tidak tahu harus memulai ceritaku dari mana...”
“Apa kau sedang jatuh cinta?”
“Tidak.”
“Apa kau pernah?”
“Ya.”
“Melihat ekspresimu, sepertinya itu bukan kenangan yang layak
diingat....”
“Begitulah.”
“Dan sekarang kau berusaha menghindari perasaan itu.”
“Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya....”
“Tapi Katti, pria yang baru belum tentu sama dengan pria yang lama...
Itu berdasarkan pengalamanku dengan banyak pria..”
“Pria ini adalah orang yang sama tapi juga berbeda...”
“Makudmu?”
“Nama yang sama, suara yang sama, tapi wajah dan sikapnya berbeda...”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“Pergi sejauh mungkin...”
“Kenapa kau tidak berdiri saja di tempatmu sekarang, tunjukkan padanya kau
mampu bertahan. Dan kau tidak terpengaruh dengan kehadirannya...”
“Sudah kulakukan, tapi makin lama rasanya tetap saja menyakitkan.”
Mereka terdiam. Katti menunduk sambil memainkan cangkir kopi di
depannya, sedangkan Lola bersandar di kursinya sambil memandang bersimpati pada
temannya itu.
Setelah menyeruput teguk terakhir kopi di cangkirnya, Katti mengajak
Lola untuk segera pulang.
“Aku ingin cepat istirahat malam ini, besok aku ada pekerjaan di Auto
Exhibition.” Ujar Katti sambil melingkarkan syal di lehernya begitu menjejakkan
kaki di trotoar.
Udara dingin membuat napas mereka beruap.
Mereka sengaja berjalan dengan langkah cepat agar tubuh mereka tetap
hangat di tengah cuaca awal musim dingin di Norway.
Belum seberapa jauh mereka berjalan, tiba-tiba, secara bersamaan,
mereka saling menoleh karena merasa ada langkah kaki yang membuntuti tepat di
belakang mereka.
“Tenang, bersikaplah biasa saja..”
“Apa kau punya rencana?”
“Satu blok lagi ada sebuah gang kecil menuju ke bagian belakang sebuah
motel. Kita berbelok disana dan menghadangnya. Janganlupa, siapkan sesuatu
untuk melindungi dirimu.” Bisik Katti sambil terus berjalan.
Tepat di sebuah gang kecil dan gelap yang dikatakan Katti, mereka
berbelok dan merapatkan tubuh mereka di dinding.
Langkah kaki itu makin dekat...
Siluet seorang pria...
Berhenti....
Dan berbalik...
--Blak..blak...
“Oughh...”
Orang itu membungkuk untuk menghindari lemparan yang lain...
“Katti....”
Suara itu....
“Katti, hentikan! Ini aku..”
Tangan Katti yang sedang memegang sebuah batu bata terhenti di udara
begitu mendengar namanya lah yang disebut...
Lola yang juga ketakutan, berdiri di sebelahnya, berpegangan erat pada
lengan kiri Katti.
Pelan-pelan orang itu berusaha menyeimbangkan tubuhnya, lalu dia berusaha
menegakkan bahu dan kepalanya .
“Katti, ini aku Mossef...”
Tepat setelah itu, awan yang menutupi cahaya bulan mulai tersibak, dan berkas sinarnya jatuh tepat menerangi wajah pria itu.
--Mossef...---
Katti tidak lagi terlihat ketakutan, sekarang wajahnya nampak kembali
dingin.
“Ayo kita pergi...”
Dengan bingung, Lola memandang bergantian antara Katti dan pria itu.
Belum sempat berpikir terlalu jauh, tiba-tiba Katti sudah menarik tangannya dan mengajaknya pergi.
“Katti, tunggu, aku ingin bicara...”
Katti tidak menjawab dan terus berjalan pergi bersama Lola yang ikut
terseret langkahnya di sampingnya.
Langkahnya setengah berlari hingga lebih dari dua blok kemudian...
Dengan satu gerakan cepat, Mossef membalik tubuh Katti dengan paksa.
“Tidak apa kau mengacuhkan aku, tapi lihatlah kakimu. Jangan paksakan
melangkah dengan kaki kesakitan seperti itu.”
Katti menunduk dan melihat kakinya yang tanpa alas. Dia ingat, tadi
melepas sepatunya dan melemparkannya pada orang yang dikiranya penguntit. Sekarang
baru terasa sakitnya. Kakinya berdarah karena kedinginan.
Mossef menarik lembut tangan Katti dan mendudukkannya di sebuah undakan
batu di depan sebuah apartemen. Lalu pria itu berlutut di depannya.
“Untuk sementara pakailah ini dulu.”
Mossef melepas sepatunya dan akan memakaikannya pada Katti.
Refleks Katti menekuk jari-jari kakinya begitu jari Mossef yang terasa kasar menyentuhnya.
Melihat gerakan kecil yang manis itu, Mossef menengadahkan wajahnya dan
tersenyum lembut pada Katti...
“Tidak apa-apa...”
Tanpa canggung, Mossef mulai memasangkan sepatunya pada kaki Katti. Dengan
lembut dan tanpa merasa jijik, dia bersihkan lebih dulu kaki Katti dari kerikil
yang menempel di telapaknya, kemudian barulah dia memasukkan kaki Katti ke
dalam sepatunya. Kepalanya menunduk dalam, membuat Katti dengan leluasa
memperhatikan rambutnya yang tebal. Dia membayangkan seberapa sering tangan
wanita itu tenggelam dalam ketebalan rambut itu. Dan pemikiran itu
menghadirkan kembali rasa sakit yang pernah dia rasakan dulu.
“Tentu saja, sepatunya lebih besar, tapi setidaknya kakimu hangat dan
terlindungi. Kalau kau ijinkan, aku bisa mengantarmu pulang...”
“Tidak perlu.”
“Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan mengikutimu dari
belakang, hingga kau sampai dengan aman di apartemenmu.”
**********