Love Protocol
by Tyas Herawati Wardani
Cerita ini adalah fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan peristiwa adalah kebetulan semata.
Chapter 3
Mossef tersenyum...
Memandangi white lilly yang berakhir
di tempat sampah seperti perkiraannya. Tidak masalah. Bahkan nasib bunga itu
masih lebih baik daripada dirinya.
Sambil menyetir kembali ke hotel,
Mossef mengerutkan keningnya dalam-dalam, berpikir keras cara paling tepat mendekati
Katti-nya, tanpa membuat gadis itu takut atau bahkan melarikan diri lagi dari
dirinya...
Hentakan alas kaki Katti
menggema di sepanjang lorong saat dia tiba di tempat kerjanya. Beberapa kali
dia berpapasan dengan rekan kerjanya, sesama staf hotel, baik yang menyudahi
giliran jam malamnya atau yang baru akan memulai pekerjaannya hari itu.
Katti berhenti di depan
lokernya. Tatapannya hampa. Tangannya bergerak secara otomatis membuka dan
menutup pintu loker, menyimpan barang-barang pribadinya dan mengeluarkan
seragam kerjanya. Atasan lengan panjang dipadu celana panjang berwarna biru langit
dengan detail garis putih di setiap ujungnya. Seragam resmi para staf cleaning service
Grand Hotel.
Diliriknya jam dinding di atas
pintu masuk, masih ada waktu 15 menit sebelum sif siang dimulai. Katti merapikan
penampilannya. Dipatutnya sekali lagi dirinya di
depan cermin yang menempel di bagian dalam pintu loker pribadinya. Wajahnya terkesan polos, hanya disapu bedak warna beige dan lipstick warna pink sewarna dengan
bibirnya. Rambutnya lurus pendek dan tak butuh usaha keras untuk merapikannya. Katti memang berusaha tampil tidak
menarik, sebisa mungkin menghindari perhatian dari orang lain, terutama pria.
Katti tidak sendirian di ruang
ganti itu, ada 3 orang rekan kerjanya yang juga tengah bersiap-siap. Mereka
mengobrol ringan tentang cuaca. Entah kenapa, siang ini Katti tidak bersemangat
menimpali obrolan mereka. Pikirannya seperti kosong.
“Miss Katic, tolong ke
ruanganku.”
Katti sedikit terlonjak dan
spontan menoleh. Rupanya manager hotel yang memanggilnya, dan langsung pergi
lagi tanpa menunggu jawaban dari Katti.
Sambil mengerutkan kening, Katti
mengunci lokernya kembali dan beranjak menuju ruangan sang manager hotel yang
terletak di bagian ujung lantai bangunan itu.
Katti terkesiap begitu membuka
pintu ruangan Mr.Jan Lundy, sang manager. Beruntung dia bisa menyembunyikannya
dengan baik di balik wajah dinginnya. Berdiri di sana, tepat di samping meja
Mr.Lundy, pria yang sejak kemarin terus ngotot mendekati dirinya dan mengusik
ketenangan hidupnya.
‘Apa lagi yang diinginkanya?!’
“Katti, perkenalkan dia Mossef.
Dia akan bergabung bersama timmu dan akan mulai bekerja hari ini juga. Kau yang
akan melatihnya, dan dia akan mengikuti semua arahanmu.”
“Baik.”
Mana mungkin dia menolak jika itu
perintah langsung dari managernya. Meski tidak suka, dia tetap harus
menurutinya. Katti melirik sekilas ke arah pria itu. Berdiri santai dengan
kedua tangan di belakang punggungnya, pria itu tersenyum, dan senyum itu juga
tampak pada mata yang menatap langsung ke arah dirinya.
‘Firasatku mengatakan dia yang mengatur ini semua, bukan Mr. Lundy...’
pikir Katti.
Diam-diam Katti melirik lagi ke
arah Mossef. Ada perasaan sesak yang tiba-tiba dirasakannya. Apakah karena keberadaan
pria itu di dalam ruangan ini? Apakah itu karena sikap berdirinya? Ataukah
karena senyumnya? Seakan ada sesuatu dalam diri pria itu yang mengusik perasaan
Katti, membuatnya terdesak ingin melepaskan diri, namun juga menarik dirinya
dengan sangat kuat pada saat bersamaan.
Dan Katti tidak rela membiarkan
pria itu memporak-porandakan perasaannya lagi....
Tak ingin berlama-lama dalam
satu ruangan yang sama, Katti bergegas keluar setelah mengangguk singkat pada
Mr.Lundy. Dia melangkah cepat menuju gudang penyimpanan peralatan guna
mempersiapkan perlengkapan kerjanya. Gerakannya tergesa-gesa, berharap bisa
menghindar secepat mungkin dari pria itu. Namun keinginannya pupus. Selang tiga
menit kemudian, Mossef muncul dan telah berganti baju dengan seragam seperti
miliknya.
Tanpa bertanya-tanya, seolah
terbiasa melakukannya, Mossef langsung membantu Katti memasukkan
perlengkapannya ke dalam lori. Gerakannya sigap dan tidak canggung. Sesekali Mossef
mencuri pandang ke arah Katti. Dan Katti bisa merasakannya meski dia tidak
melihatnya. Beberapa kali pula tangan atau lengan mereka bersinggungan. Sepertinya
itu kebetulan yang disengaja oleh Mossef, mencari-cari kesempatan untuk
menyentuhnya.
Setelah semuanya siap, Mossef mendorong
lorinya dan dia mempersilakan Katti berjalan di depannya. ‘Semoga aku punya kesempatan bicara dengan Katti kali ini.’
harapnya dalam hati sambil memperhatikan punggung kecil Katti di depannya.
‘Dulu, aku sering memeluk punggung itu. Punggung yang lembut dan kuat.
Yang mampu menyangga semua keluh kesahku. Dan mampu mengangkat keputusasaanku.
Yang selalu menemaniku di bawah hujan dan terik. Dan itu menjadi sebuah
ke-biasa-an. Lalu aku lupa betapa berartinya dia dalam kehidupanku. Dan setelah
aku mengacaukan semuanya___.’
“Kamar 201.”
Katti memberitahu sambil memeriksa
daftar tugasnya dan membuat beberapa catatan di atas kertas itu.
“Katakan saja semua yang harus
kulakukan, biar aku yang kerjakan semuanya.”
Mossef berusaha membuka obrolan,
tapi Katti tidak membalas, sepertinya dia sengaja mengabaikannya.
Katti mengambil handuk dan sprei
bersih dari lori, lalu membuka kunci kamar 201.
“Katti, biar aku saja....”
Mossef mengambil alih sprei dan
handuk dari tangan Katti, namun kata-katanya menggantung di udara tatkala
dilihatnya keadaan di dalam kamar itu yang sangat berantakan. Sepertinya,
penghuni kamar ini menggelar pesta gila-gilaan semalam. Ada banyak botol anggur
kosong beserta gelasnya berserakan di atas meja kopi maupun di lantai di
dekatnya. Banyak sisa makanan menempel dan terjepit di sofa bahkan di atas
ranjang. Yang menjijikkan ada genangan mirip isi perut yang dimuntahkan
sepanjang lantai dari dekat ranjang mengarah ke kamar mandi. Dan yang paling
parah, ada tiga bungkus kondom bekas pakai beserta sehelai thong di atas nakas
samping ranjang.
Mossef tercengang...
Dia belum pernah menjumpai kamar
sekacau ini. Bahkan untuk beberapa saat, dia hanya bisa terpaku di tempatnya
berdiri...
Lain halnya dengan Katti,ini
adalah pemandangan yang biasa untuknya. Bukan pertama kalinya. Karena itu dia
paham betul apa yang harus dikerjakannya. Dengan sigap, Katti mengenakan sarung
tangan plastiknya dan mulai memunguti kondom bekas itu ke dalam kantong sampah
yang dibawanya.
“Katti, kau tidak harus
melakukannya..”
Mossef tak kuasa melihat Katti
menyentuh barang kotor itu, bahkan dia memalingkan mukanya karena jijik...
“Katti, hentikan!..Kau duduk
saja, biar aku yang bersihkan semuanya!”
Mossef menahan tangan Katti yang
hendak memungut kondom terakhir , tapi gadis itu menepiskannya. Dia tetap
memungutnya, tak menghiraukan protes dari Mossef.
Pria itu tidak tahan lagi,
direbutnya kantong sampah yang dipegang Katti dan dilemparkannya menjauh, lalu
dia tarik tangan Katti dan menyuruhnya duduk di sebuah kursi pendek dekat
jendela, satu-satunya tempat duduk yang masih bersih.
Katti berusaha melawan dan
sekuat tenaga berusaha melepaskan tangannya dari Mossef.
“KAU..diam disini!!” perintahnya
tegas saat Katti dengan keras kepala berusaha berdiri lagi, “..atau aku akan
mengikatmu! Biar aku yang bersihkan semuanya! Tugasmu hanya menyuruhku!”
Mossef menatap lurus ke dalam mata
Katti, memastikan gadis itu menurutinya. Untuk beberapa saat, hanya ada kebisuan
di antara mereka___
Dan Katti balas menatapnya
dengan sengit. Bibirnya menipis menahan marah. Tapi pada akhirnya dia membiarkan
Mossef menang__
Aneh, Katti heran dengan
sikapnya sendiri. Bisa saja dia melawannya tadi... Tapi kenyataannya dia tidak
mampu melakukannya.
Ada sesuatu yang membuatnya tak
berdaya... lemah tak berkehendak untuk membantah.... Tapi apakah itu?
Pertanyaan itu tumpang tindih dengan logikanya yang terus berusaha menyangkal perasaannya.
Apakah karena tatapannya?!.... Katti
memang merasakan sesuatu pada saat mata mereka beradu tadi. Seperti ada
percikan yang menyengat kulitnya, menggelitiknya hingga ke temali sarafnya dan
membuat lututnya lemas... Atau mungkinkah karena sentuhannya?!.... saat Mossef
menarik tangannya tadi, walau hanya sesaat, ada getaran hangat yang menelusuk
ke dalam relung hatinya.
Rasanya TIDAK MUNGKIN. Mustahil pria
itu masih mempengaruhi reaksi tubuhnya. Tidak cukupkah waktu delapan tahun
untuk meniadakan semua perasaan itu? Bahkan Katti sudah tidak ingat, pernahkah Mossef
menatapnya sedalam itu...dulu...di waktu yang telah berlalu....
Katti tidak punya pilihan, dia
duduk dan memperhatikan semua yang dikerjakan Mossef. Pria itu memunguti semua
kotoran yang tersebar di lantai lalu mengganti penutup ranjang beserta spreinya
karena keduanya penuh noda. Kemudian dia beralih merapikan kamar mandi.
Lama-lamaKatti jengah, dia ambil
vacuum dan mulai membersihkan karpet....
“Duduklah..” perintah Mossef
pendek saat mengambil alih alat itu dengan cepat dari tangan Katti.
Sekali lagi Katti tidak
membantah, dia duduk kembali di tempatnya tadi hingga pria itu selesai
membersihkan semua sudut kamar.
“Sekarang kau bisa mengecek
hasil kerjaku. Kalau kau tidak puas, akan kuulangi semuanya.”
Katti berdiri dan berjalan ke
setiap sudut ruangan, memeriksa dan memastikan semuanya telah bersih. Sementara
Mossef berdiri diam menunggu komentar dari Katti, tapi gadis itu tetap bungkam
seribu bahasa.
Selesai memeriksa semua sudut, Katti
langsung mengumpulkan alat-alatnya lalu keluar dari kamar itu, diikuti Mossef
di belakangnya.
“Lihat, kan?!Aku masih ingat
semua yang pernah kau ajarkan padaku.” Kata Mossef pelan sambil mendorong
lorinya di belakang Katti. “Aku juga masih ingat tiap momen saat kita sama-sama
bekerja di Imperium Hotel of Doha dulu... Itu adalah pekerjaan pertamaku dan paling berkesan
untukku, karena disanalah kita pertama kali bertemu... dan... masihkah kau
ingat pada Button dan Ponytail?.. Sepuluh tahun lebih, kau pasti sudah
melupakannya, tapi aku.... aku menjalani hidupku dengan berpegangan pada
kenangan itu__”
Mossef berharap
ada setitik emosi terlihat di wajah Katti, sayang sekali dia hanya bisa
memandangi punggung kaku gadis itu yang sedang berjalan di depannya. Tidak ada maksud lain
Mossef mengungkitnya, selain ingin menunjukkan betapa berartinya gadis itu dalam hidupnya. Betapa berharganya kenangan mereka, jauh
lebih berharga dari semua saham perusahaan
yang dimilikinya. Betapa bernilainya kebersamaan yang pernah mereka jalani dulu, dan dia menyimpannya di tempat
yang paling aman di dalam hatinya.
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Yang terdengar hanya detak sepatu mereka dan suara roda lori yang menggelinding sepanjang lorong.
Mossef menunduk sedih ____
Andai saja pria itu tahu apa
yang sebenarnya ada dalam pikiran Katti saat ini__
__Mossef, tahukah kau?! Aku masih ingat semuanya. Aku sudah berusaha
keras melupakannya dan rasanya makin menyakitkan. Hingga akhirnya aku menyerah
dan yang bisa kulakukan hanyalah mengendapkannya jauh di dasar__
Bagai melewati lorong waktu yang
sempit dan gelap, ingatan Katti melayang ke sepuluh tahun yang lalu...
‘Button’ adalah panggilan
olok-olok Katti pada Mossef. Berawal dari sebuah kancing kemeja
milik Mossef yang terlepas dan memantul dengan keras di keningnya. Saat itu Mossef
sedang memanjat sebuah tangga untuk mengganti sebuah lampu yang mati dan secara
kebetulan Katti lewat di bawahnya. Jeritan kecil yang tidak sengaja terlontar
karena keterkejutannya, mengagetkan mereka berdua dan membuat Mossef jatuh terjengkang.
Bukannya meringis kesakitan atau mulai saling menyalahkan, mereka berdua malah
terpingkal-pingkal menertawakan kekonyolan itu. Itulah awal pertemuan mereka.
Katti yang bekerja sebagai staf
layanan kamar dan Mossef di bagian perawatan, mulai sering bertemu sejak saat
itu. Hubungan rekan kerja berkembang menjadi sebuah persahabatan. Saat itu, Katti
adalah gadis yang sangat lincah dan cekatan, bertolak belakang dengan Mossef
yang cenderung pemalu dan tertutup. Kegemarannya mengikat rambutnya ala ekor
kuda, membuat Mossef memanggilnya ‘Ponytail’.
Membuka kembali lembaran ingatan
itu, berarti mengorek kembali luka dan sakit hati yang pernah dirasakannya...
“Katti, aku datang padamu
sebagai Button yang kau kenal... Maaf. Maaf atas semua sakit hatimu. Maaf aku
telah menghancurkan hidupmu. Dan ‘maaf’ karena aku meminta maaf darimu. Bahkan
permintaan maafku ini pasti akan terasa lebih menyakitkan untukmu. Hingga aku
tidak pantas mendapatkan maafmu.... ”
“Katti, aku akan memungut
kembali satu per satu rasa cint....”
“Kamar 381.”
Kata-kata Mossef dipotong dengan
cepat oleh Katti. Kebetulan mereka sudah sampai di depan pintu kamar 381 dan
Katti juga tidak ingin mendengar kalimat Mossef yang selanjutnya...
Mossef menghela napas dengan
berat.
Tidak ada doortag yang tergantung
menandakan penghuninya sedang keluar. Dibukanya pintu kamar menggunakan kunci
pas karyawan dan dia masuk ke dalam diikuti Mossef. Kamar itu relatif masih
rapi, kotoran yang terlihat hanyalah piring dan perabot makan bekas pakai di
atas meja. Tapi dia belum memeriksa kamar mandi.
Mossef lebih dulu bekerja, dia
mulai mengumpulkan piring kotor dan membersihkan mejanya. Sedangkan Kattibergerak
mengecek kamar mandi. Hanya ada handuk basah dan toilet yang tidak disiram
dengan benar. Mossef menyusul ke dalam kamar mandi dan memberi isyarat agar
Katti keluar, dia sendiri yang akan membersihkan tempat itu.
Katti sedang merapikan posisi
gorden saat tiba-tiba pintu kamar dibuka dan masuklah seorang pria paruh baya
dengan tinggi sedang dan tubuh agak gemuk. Wajahnya terlihat pucat seperti
jarang terkena sinar matahari. Katti mengangguk singkat dan pria itu membalas
dengan senyum lebar yang menurut Katti terlihat sedikit berlebihan.
“Teruskan pekerjaanmu. Aku ingin
kamarku bersih karena nanti malam aku mengundang tamu penting kesini.”
“Ya, Sir.”
Beberapa menit berikutnya, Katti
sedang membungkuk untuk membersihkan sekitar sofa dan meja kopi. Dia sama
sekali tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya dari belakang.
Tiba-tiba saja ada sepasang
tangan meraba pinggulnya...
Bersamaan dengan pekik kecil terlontar
dari mulutnya...
Seketika itu juga Katti
membalikkan badannya dan berhadapan dengan pria gemuk, si penghuni kamar...
“Tuan, tolong jangan ket...”
Belum sempat Katti menyelesaikan
kalimatnya, tubuh pria itu seperti tertarik ke belakang dan jatuh terjerembab
ke atas sofa.
‘Mossef...’
Mossef mendekati pria itu dengan
langkah pelan, seperti seekor singa mendekati mangsanya. Wajahnya gelap
tertutup kabut amarah, membuat lawannya meringis ketakutan..
“Jangan pernah sekalipun menyentuhkan
tangan kotormu pada Katti-ku!” ancamnya dengan suara mendesis yang keluar diantara
giginya yang terkatup rapat sambil mencengkeram kerah kemeja lawannya kuat-kuat
hingga tubuh pria gemuk itu terangkat berdiri.
Mossef mendekatkan wajahnya
hingga hanya berjarak beberapa senti saja.
“Kau... kau mau apa?..Ja..jangan
macam-macam, aku tamu VIP!..A..a..Aku bisa membuatmu dipecat!” pria itu coba
mengancam balik, tapi suaranya terdengar mencicit menghadapi tatapan mematikan
dari Mossef.
Katti hanya terpaku di tempatnya
berdiri, bukan karena tindakan tak senonoh yang diterimanya tadi, melainkan
karena apa yang terjadi di depannya. Seingatnya, Mossef yang dulu dikenalnya
bukan pria pemarah apalagi punya nyali bertindak sekasar ini. Dari mana munculnya
kekuatan sebesar itu? Apa dulu dia menyembunyikannya atau dia telah berubah? Rasanya,
dia tidak kenal dengan Mossef yang sekarang berdiri di depannya...
“Cepat minta maaf padanya!!”
Ditariknya tubuh pria itu hingga
berhadapan dengan Katti. Katti terkejut dan spontan melangkah mundur.
“Dia cuma seorang pesuruh...”
Hal berikutnya yang terjadi
sungguh tak terduga. Tubuh pria itu kembali terjungkal ke belakang dan jatuh
berguling-guling setelah Mossef meninju wajahnya dengan keras. Didekatinya lagi
tubuh pria itu yang masih telentang di lantai, lalu dihujaninya dengan pukulan
bertubi-tubi ke arah wajah dan perutnya. Persis yang dilakukan seorang petinju,
hanya saja lawannya bukan dalam posisi yang sama-sama berdiri.
Katti membeku untuk beberapa
saat. Otaknya terlalu shock untuk mencerna. Tubuhnya mematung, tapi gemetar
hebat. Dia ingin berteriak untuk menghentikan Mossef menghajar pria itu, tapi
yang keluar dari kerongkongannya hanyalah udara kosong.
Pria itu sudah babak belur, tapi
Mossef belum berhenti juga...
“Hentikan!” jeritnya setelah
berhasil menguasai kesadarannya.
Mossef menghentikan serangannya,
tapi tangannya masih mencengkeram dengan kuat kerah kemeja pria itu, membuat
tubuh atasnya sedikit terangkat sedangkan tubuh bawahnya sudah lemah lunglai
tak bertenaga.
Buru-buru Katti mendekat, membebaskan
pria itu dari cengkeraman Mossef dan mendorong tubuh Mossef menjauh. Kemudian
dia berlutut di samping tubuh pria itu untuk membantunya duduk.
“Sir, kau tidak apa-apa? Maaf,
ini semua hanya salah paham...” kata Katti terbata-bata sambil memeriksa
kondisi pria itu. Katti masih belum tahu siapa namanya.
“Dengar, aku akan menuntut
kalian! Dan hotel ini! Aku tidak terima sikap kurang ajar ini...! Lihat saja!” balas
pria itu dengan suara tidak jelas di antara mukanya yang babak belur.
“Katti, kau tidak perlu minta
maaf!! Pria seperti ini tidak perlu dihormati!! Aku akan menghajarnya lagi
kalau dia macam-macam...”
Mossef berbicara hampir
bersamaan dengan pria itu, bahkan dia sudah siap melayangkan tinjunya sekali
lagi andai saja Katti tidak meliriknya tajam dan mengacungkan tangannya
menghentikan langkah Mossef yang hendak mendekat..
“Sir, biar kulakukan sesuatu
untuk meredakan sakitmu...”
Katti menawarkan bantuan sambil
memapah tubuh pria itu yang berusaha berdiri, tapi tangannya ditepis dengan
kasar...
Mossef berdiri gelisah dan tak
tenang melihat Katti merendahkan dirinya pada pria tak sopan itu yang hampir
melecehkan dirinya tadi... Untung saja Mossef tepat waktu saat melihat tangan
pria itu mulai meraba pinggul Katti. Dan untung saja hari ini dia menemani
Katti, seandainya Katti tadi sendirian.... dia tidak sanggup membayangkannya...
“Ada apa ini?! Aku terima
laporan dari kamar lain ada keributan disini...”
Sang manager, Tuan Jan Lundy
sudah berdiri di tengah pintu memperhatikan ketiganya.
“Bagus, apa kau yang bertanggung
jawab atas karyawan rendahan ini?!”
“Ya, Sir.”
“Kau lihat wajahku! Lihat apa
yang dia lakukan padaku! Aku akan menuntut hotel ini! Aku tidak terima
diperlakukan begini! Kau pasti dipenjara!!” katanya berapi-api sambil
menunjuk-nunjuk Mossef.
“Em, Mr. Thorsen, aku yakin kita
masih bisa menyelesaikan dengan cara baik-baik. Anda tidak perlu kuatir. Atas
nama hotel, aku minta maaf jika mereka telah mengganggu anda...”
Mr. Lundy berusaha menenangkan
pria itu, yang ternyata bernama Mr.Thorsen, tapi sepertinya dia mengabaikannya
karena dia sedang sibuk menelpon...polisi...
Mr.Lundy mulai panik saat
Mr.Thorsen menyebut-nyebut polisi. Katti dan Mossef adalah tanggung jawabnya,
dan sampai saat ini dia tidak tahu akar permasalahan dari keributan itu. Dia
menoleh ke arah dua bawahannya. Katti menundukkan kepalanya, sedangkan Mossef
masih terlihat emosi. Dia harus bicara dengan keduanya.
“Mr.Thorsen, secara pribadi aku
akan mengantar anda ke Rumah Sakit untuk mendapat perawatan.”
“Tidak perlu! Aku sudah
menghubungi 112 (policecall) dan 113 (ambulancecall).” Potongnya cepat dengan
nada sengit.
“Mr.Thorsen, anda tidak perlu
sejauh itu...”
“Aku tidak peduli! Bawa mereka
keluar dari kamarku!”
“Baiklah, tapi akan kupanggil staf
yang lain untuk merapikan kamar ini lagi.”
“Tidak! Semua ini akan kujadikan
bukti tingkah berandalannya pada polisi!”
Mr.Lundy tidak bisa bicara lagi,
dia menyuruh Katti dan Mossef keluar. Dia menghadapi masalah yang cukup rumit
disini jika melihat bukti-bukti fisik di wajah Mr.Thorsen. Dan jika media
sampai mengendus masalah ini karena sudah melibatkan pihak kepolisian, maka
nama besar hotel yang dipertaruhkan.
Katti dan Mossef berdiri
bersebelahan, dan di depannya Mr.Lundy sedang mondar-mandir dengan gelisah.
“Sebenarnya ada apa ini?!” desaknya
dengan nada tak sabar.
“Aku tidak bisa membiarkan Nona
Katic dilecehkan oleh babi gendut itu!” jawab Mossef membuat Mr.Lundy melotot
marah.
“Kau harus jaga bicaramu anak
muda....”
Belum juga menyelesaikan kalimatnya,
dua orang polisi dan dua orang paramedis datang ke arah mereka.
“Kami menerima laporan tentang tindak
penyerangan dan pemukulan. Siapa diantara kalian yang bernama Sven Thorsen?”
tanya salah seorang polisi berseragam itu.
“Dia ada di dalam. Silakan lewat
sini.”
Mr.Lundy menunjukkan kamar
Mr.Thorsen. Dia tetap di dalam, selama polisi itu melakukan interogasi.
Sementara di luar, Katti menunggu dalam diam. Disandarkan punggungnya ke
dinding dengan lemas.
“Katti, jangan khawatir. Akan
kuselesaikan masalah ini. Kau tidak akan terlibat sama sekali.” Bisik Mossef
meyakinkan Katti.
Katti diam saja, tidak
menunjukkan reaksi apapun.
Beberapa saat kemudian,
paramedis membawa keluar Mr.Thorsen di atas brankar. Dia akan mendapat
perawatan lanjutan di Rumah Sakit. Dua orang polisi itu juga menyusul keluar,
diikuti Mr.Lundy di belakangnya.
“Mr.Mossef Yazeed?” panggil
salah satunya dan Mossef langsung maju, “Tolong anda ikut kami ke kantor untuk
memberikan keterangan.”
“Ya.”
Katti melihat salah seorang
polisi memborgol tangan Mossef, dan saat itulah dia merasakan sengatan rasa
sedih....
Tiba-tiba ada seorang pria
muncul entah dari mana dan berhenti di dekat Mossef. Wajahnya datar dan kaku......
“Sir?”
“Urus semuanya.”
“Ya, Sir.”
Pria itu mengangguk hormat pada
Mossef.
Katti mengerutkan kening.
Penasaran dengan hubungan keduanya juga arti percakapan mereka barusan.
****************
PS: Penulis berhak merubah isi cerita sewaktu-waktu.