Written By Bhavini Shah
Translate By Tyas Herawati
Wardani
“Shahenshah, aku sudah mengatur
tiga pertemuan darurat seperti yang kau perintahkan.” Abdul melaporkan pada
Jalal sambil duduk di seberangnya, nada suaranya terdengar ragu dan bingung.
“Bagus!!” hanya itu yang dikatakannya, Abdul yakin dia
sedang memikirkan banyak hal.
“Bisakah kau katakan padaku masalah apa yang sangat
penting dan begitu mendesak ini, Jalal?” akhirnya Abdul menanyakannya langsung.
“Karena aku bisa merasakan badai yang akan segera
datang dan aku hanya bersiap-siap untuk mencegahnya...ketika waktunya tiba kau
pasti akan tahu, saat ini, semuanya hanya sebatas dugaanku saja. Apakah Bundi
Naresh Rao Surjan Singh sudah tiba? Aku hanya punya sedikit waktu, Abdul.”
Suaranya terkesan sangat tegas.
“Ya...seharusnya dia tiba disini beberapa menit lagi
dan Raja Bikaner juga akan tiba sekitar satu jam lagi, juga Raja Jaisalmer, Raja Rai Singh sedang
dalam perjalanan, untuk hadir dalam upacara pernikahan, dan aku akan berusaha
mengatur pertemuanmu denganny begitu dia datang.” Jelas Abdul dengan rinci.
“Apa dia datang bersama Putri Rupavati dan
keluarganya?” tanya Jalal penuh selidik.
“Uhhh...Shahenshah...biar kucari tahu.” Abdul hampir
gemetar dibawah tatapannya yang tajam.
“Mata-mata Shabir sudah kembali?” selidik Jalal,
ketidaksabaran jelas terdengar dari suaranya.
“Seharusnya dia tiba disini beberapa menit lagi,
Shahenshah.” Gumam Abdul sedikit tidak yakin.
“Awasi semuanya Abdul, perhatikan semuanya dengan
jeli, ini masalah penting.” Perintahnya tegas dengan suaranya yang berat.
“Berapa banyak pasukan kita?” selidik Jalal ingin
tahu.
“Kira-kira sepuluh ribu, tapi Shahenshah kita kemari
untuk sebuah pernikahan, lalu semua pertanyaan dan pertemuan ini, apa yang
terjadi?” dia tidak bisa menahan lidahnya lagi, pertanyaan itu meluncur begitu
saja.
Jalal meliriknya sekilas, Abdul tersentak dan
mengkerut di tempat duduknya...menyadari perangai temannya yang pemarah. “Aku
akan mencari tahu tentang RaoSurjan Singh.” Dia berkata agak segan sambil
bergegas keluar dari kamar Jalal.
‘Kemarahan Jalal sudah hampir memuncak saat ini, apa
yang terjadi?’ Semua kegusaran segera ditepis dari wajahnya begitu matanya
menangkap sosok Raja Bharmal sedang berjalan menuju ruangan Jalal dengan wajah
muram.
Dia membungkuk dan memberi salam, “Raja Bharmala,
selamat pagi.” Untuk sesaat, dia terpikir untuk memperingatkan dia akan
kemarahan Jalal tapi menyadari ekspresinya yang tidak jauh berbeda, akhirnya
dia memilih untuk diam.
“Apa Shahenshah sudah bangun?” tanyanya sopan sambil
tersenyum.
“Ya, dia sudah bersiap-siap beberapa jam yang lalu,
dan dia sendirian saat ini.” Jawabnya
sopan.
“Terima kasih, Abdul.” Jawabnya pelan lalu langsung
bergegas menuju ruangan Jalal. Tim delapan, para pengawal utama Jalal yang
bertubuh kekar, membungkuk hormat pada Raja Amer.
“Adaab Raja Sahib...” Jalal mengucapkan salam sambil menatap
lekat wajahnya yang gelisah.
Raja Bharmal menarik napas dalam-dalam dan otaknya
berputar memikirkan bagaimana cara untuk memberitahunya.
“Shahenshah, mat-mataku melaporkan bahwa Kunwar Pratap
berencana akan menyerang Amer, kemungkinan setelah pesta pernikahan untuk
menaklukkan Mughal dan bagian terburuknya adalah dia yakin akan kemenangannya
karena mendapat dukungan dari tiga Raja Rajvanshi yang punya pasukan dan
pengaruh kuat.”
“Duduklah dulu Raja Bharmal.” Tanpa basa-basi lagi,
Jalal memintanya untuk tenang.
Jalal langsung bisa merasakan kecemasannya, “Aku sudah
tahu Raja Bharmal.” Dia terdiam, menatapnya lurus, sambil menarik napas dengan
tajam dia melanjutkan dengan penuh tekanan, “Tengah malam tadi, aku mendapat
laporan dari mata-mata kepercayaanku dan aku sudah mengambil beberapa tindakan
pencegahan.”
“Tindakan?”
Bharmal bertanya heran...
“Dalam waktu lima sampai sepuluh jam, pasukan Mughal
akan mencapai perbatasan Bikaner dan Bundi, tapi mereka tidak akan menyerang
lebih dulu.” Jalal menerangkan sambil memperhatikan ekspresi Bharmal yang
terlihat panik. Dengan sengaja, Jalal berbicara singkat dan tegas.
“Apa kita tidak terlalu terburu-buru, Shahenshah?”
Bharmal bertanya tak yakin sambil memainkan jari-jarinya dengan gugup.
“Tidak, kita tidak terburu-buru, aku sudah
mempersiapkannya selama sepuluh hari terakhir dan sebelum aku meninggalkan
Agra, aku menyiagakan semua Mughal mansabdar (sekutu) yang wilayahnya berada di
sekitar Amer. Aku paham betul apa konsekuensi dari diselenggarakannya
pernikahan ulang di Amer dan aku sudah menduga sebelumnya bahwa koalisi antara
para Raja Rajvanshi yang hadir di Amer bisa menciptakan sebuah perang
besar....ketidaksabaran Kunwar Pratap makin bertambah hari demi hari disebabkan
makin luasnya daerah kekuasan Mughal, sementara itu para Raja Rajvanshi yang
tidak punya pengaruh kuat akan mencari dukungan dan perlindungan. Pelan-pelan
mereka sadar akan pentingnya satu orang pemimpin yang kuat sebagai pelindung
dan pesta pernikahan ini telah membangkitkan ketakutan mereka, apalagi saat
melihat kekuatan pasukan Mughal yang besar dan terlatih, mereka makin gentar.
Raja Sahib, hanya dalam satu tahun, keadaan kita sudah jauh berbeda. Jadi,
jawaban untuk pertanyaanmu adalah TIDAK!! Aku tidak akan memberi mereka waktu
untuk memperkuat pasukan dan sesuai dugaan bahwa pesta pernikahan ini akan membuat
para Raja Rajvanshi bersekutu, tapi
disaat yang sama beberapa dari mereka cukup mengerti arti pentingnya bergabung
dalam Kesultanan Mughal, perlahan mereka akan menyadari kemajuan Amer dalam
waktu singkat dan itulah keuntungan bergabung dengan Mughal. Setelah
persekutuan kita Raja Bharmal, beberapa Raja Rajvanshi akan mau menerima,
mereka hanya butuh sedikit bujukan dari Mughal.” Jalal menjelaskan dengan
lengkap dan tenang.
“Shahenshah, jika kau tahu konsekuensinya, lalu kenapa
tidak kau batalkan saja pesta pernikahan ini.” Selidik Bharmal.
Jalal tertawa sedih, “Kenapa?....Hamm...Karena anda
bertanya, aku akan ceritakan, aku ingat kata-kata dari mentorku yang sangat
kuhormati, Bhairam Khan....pernah dia berpesan padaku, di balik hampir semua
perang ada seorang Draupadi, hanya karena para pria terlalu lemah untuk
bertarung bersama cinta dalam hidup mereka.
Raja Bharmal membeku saat secara tidak langsung Jalal
merujuk pada Jodha atas semua kekacauan ini. Segera dia merasa menyesal sudah
menanyakan hal itu. Saat itu juga dia bisa meraba kegelisahan Jalal,
“Shahenshah, beritahu aku jika ada yang bisa kulakukan.”
“Beberapa menit lalu aku sudah memerintahkan Jenderal
Amer untuk menyiagakan pasukannya. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.” Kata
Jalal sopan pada Bharmal.
“Oh...itu bagus.” Hanya itu yang bisa dikatakan Raja
Bharmal meski dia sedikit kecewa. Wajahnya terlihat memucat dan terlihat
selapis tipis keringat di keningnya padahal cuaca sangat dingin.
Saat Jalal menyadari pria itu hampir gemetar,
cepat-cepat dia berdiri dan duduk tepat di sampingnya sambil menepuk pelan
pundaknya, “Raja Sahib, aku tidak ingin kau memikirkan urusan politik apapun
hari ini. Amer bukan sekedar di bawah perlindunganku, tapi juga adalah
keluargaku. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi, termasuk saat Upacara
Pertukaran cincin Sukanya. Yakinlah padaku dan nikmati hari besar ini tanpa kekhawatiran.”
Emosi Jalal mereda bersamaan dengan senyum yang terukir di bibirnya.
Raja Bharmal menghela napas tajam dengan sedikit lega
dan berkata pelan, “Banyaka hal yang terjadi Shahenshah tapi aku percaya penuh
padamu dan itulah alasan aku bergegas menemuimu begitu aku menerima laporan
dari mata-mataku bukannya mengaturnya bersama Kunwar Bhagwan Das. Setelah
mengetahui strategimu yang tak biasa dan tindakanmu yang sangat cepat, aku
merasa lega. Aku yakin Ma Kali akan memberkati dengan kekuatan pada kita semua
dalam menghadapi masalah ini.”
“Amin.” Jalal menyetujui.
“Shahenshah, maukah kau menikmati sarapan bersamaku.”
Undang Bharmal.
“Aku berpuasa sesuai ritual pernikahan, aku tidak akan
makan sebelum begumku menyuapkan manisan padaku.” Senyum kecil tampak di antara
kerut cemas wajahnya dan akhirnya, muncul sikap malu-malunya dibalik kekerasan
wataknya.
Seorang pengawal masuk dan melapor, “Raja Bikaner
telah tiba dan menunggu untuk bertemu.”
Untuk sekian kali, ekspresi Raja Bharmal tampak murung
dan gusar.
“Aku butuh beberapa jam dan aku akan menjelaskan
semuanya Raja Bharmal.” Terang Jalal dengan sopan.
Setelah kepergian Raja Bharmal....tangan Jalal
menyisir rambutnya dengan gusar.
‘Bagaimana
caraku menjelaskan pada Raja Bharmal bahwa tujuanku bukan untuk bermusuhan
dengan Rajvanshi, melainkan untuk bersekutu dengan mereka, tanpa bantuan
mereka, aku tidak akan bisa mewujudkan mimpiku membawa Kekaisaran Mughal
sebagai kerajaan yang besar dan luas. Pada saat ini, semuanya terlihat kacau
dan perhatian utamaku sekarang adalah ayah dari Raja Surya Vadan, Rawal Harraj,
dan Raja Sabal Singh dari Jaisalmer. Keduanya cukup tangguh untuk ditaklukkan
karena mereka berlindung di dalam benteng mereka yang kecil namun kokoh dan
jika mereka mendapat dukungan dari Kunwar Pratap, maka akan kejadian seperti
Perang Panipat, ribuan orang akan
mati...Yaa Allah...berikan aku kedamaian...sudah sepuluh tahun berlalu sejak
aku turun dalam medan perang.... Mulai dari perang yang menentukan antara
Panipat dan Hemu saat aku masih berumur tiga belas tahun dan aku merebut
kembali kehormatan ayahku, merebut kembali tahta Delhi, sejak itu pedangku yang
haus darah tak pernah berhenti...Ya Tuhan, aku belum siap menghadapi perang
besar lagi...Aku ingin menghabiskan waktu bersama Jodha, bukan di medan
perang.’
***********
Setelah pertemuan pribadi dengan Raja dari Bikaner dan
Raja dari Bondi, Jalal segera mengumpulkan Abdul, Adgha Sahib, Mirza Maan Singh
dan Raja Todarmal di ruangannya.
“Aku sudah melakukan pendekatan pada Raja dari Bikaner
dan Raja dari Bondi untuk bergabung di bawah kekuasaan Mughal.” Jalal
mengumumkan pada mereka.
“Apa? Kenapa begitu terburu-buru Shahenshah?” Adhga
tidak bisa menahan keterkejutannya dan semuanya berpikiran sama.
“Aku tidak punya pilihan lain, seperti yang pernah ku
katakan sebelum meninggalkan Agra bahwa kita mungkin akan menghadapi perang dan
sepertinya situasi itu berkembang lebih cepat dari yang kuperkirakan... Kunwar
Pratap lebih lihai dari yang kita tahu selama ini. Dia juga punya visi jauh ke
depan dan bergerak dengan sama cepatnya. Kedua Raja itu sedang bernegosiasi
dengan Kunwar Pratap dan berencana menyerang Amer setelah pesta pernikahan,
tapi keuntungannya adalah aku bisa mendesak mereka dalam waktu yang tepat dan
mereka bersedia menerima kekuasaan Mughal.” Jalal menjelaskan dengan sikap
tenang pada para pejabatnya.
“Dalam hal apa mereka setuju?” Raja Todarmal bertanya,
tahu benar bahwa tidak mudah meminta mereka untuk setuju.
“Keduanya akan berada di bawah Mansabdari tingkat
kedua, namun Bondi Naresh tidak semudah itu setuju, jadi aku manfaatkan
kelemahannya dan menyuapnya dengan seratus selir.” Jawabnya berat hati.
“Dasar...playboy.” Kata-kata itu meluncur keluar tanpa
dipikir dari mulut Abdul.
“Sementara Raja dari Bikaner menginginkan lebih banyak
hasil bumi dari yang biasa kita berikan, mengingat situasi yang kita hadapi,
itu adalah pilihan terbaik.” Sambil menatap lurus pada raja Todarmal, Jalal
memerintahkan, “Siapkan perjanjiannya secepat mungkin dan dapatkan stempelnya,
lalu pastikan pasukan kita tidak meninggalkan perbatasan mereka hingga
kuperintahkan.”
“Shahenshah, bukannya merayakan kemenangan kita,
mengapa kau justru terlihat letih?” tanya Adgha Sahib setelah mengamati wajah
Jalal.
“Ini hanya permulaan...dan halangan terbesar akan
kuhadapi jika aku gagal meyakinkan Raja Sabal Singh, maka bersiaplah untuk
Perang Panipat berikutnya dalam dua hari ini.” Jelasnya pada para bawahannya
mengenai betapa gentingnya masalah yang akan dihadapi.
“Bisakah kau jelaskan Shahenshah?” tanya Abdul
penasaran.
“Sesuai laporan mata-mata kita, Bondi, Bikaner,
Jaisalmer dan ayah dari Raja Surya Vadan Singh yang mengendalikan seluruh
pasukan telah memutuskan berkoalisi dengan Raja Mewar Uday Singh dan putranya
Kunwar Pratap dan mereka berencana menyerang Amer, dua hari setelah pesta
pernikahan...Jika perang ini benar-benar terjadi, maka kita akan melawan tujuh
wilayah besar Rajvanshi.”
Keheningan menggelayuti tiap orang di dalam ruangan
itu, wajah mereka memucat membayangkan apa yang akan mereka hadapi.
“Baiklah semuanya, kita tidak punya waktu untuk
merenung ataupun terkejut...Saatnya mengambil langkah pertama, jadi
waspadalah...Simpan informasi ini jangan sampai bocor, jangan lupa kita disini
tujuan utamanya untuk berbahagia.”
Jalal menatap mereka satu per satu dalam diam, lalu
memberikan perintah, “Abdul, pertama kau bertanggung jawab mengawasi Raja Bundi
dan Raja Bikaner, tujuan kita adalah menjauhkan mereka satu sama lain. Pastikan
kedua Raja itu tidak bertemu dengan Kunwar Pratap. Sibukkan Bondi Naresh dengan
banyak selir, sebanyak yang dia mau dan buatlah dia mabuk, jika memang harus,
sementara itu, Raja Bikaner adalah orang yang relijius, bawa dia ke beberapa
kuil di luar istana dan tahan dia disana jika memang harus, atau lakukan apa
yang menurut kalian harus dilakukan. Pastikan mereka sibuk hingga pesta
pernikahan usai, tapi lakukan secara diam-diam.”
Jalal menetapkan tugas pada masing-masing bawahannya
lalu membubarkan pertemuan itu.
Akhirnya, hanya tersisa Mirza yang masih ada di sana,
Jalal menghela napas dengan keras dan menyandarkan punggungnya. “Mirza, kau
baik-baik saja?” tanya Jalal saat melihat wajahnya yang lesu dan matanya tampak
yang lelah.
‘Tidak, aku tidak apa-apa, Bhai Jaan....aku hanya
ingin membicarakan tentang hubunganku dan Shivani...tapi kau kelihatan sangat
sibuk.’ Kata Mirza dalam hati.
“Bhai Jaan, aku baik-baik saja, hanya karena ada di
tempat yang asing, itu saja...aku tidak bisa tidur nyenyak.” Jawabnya sambil
menundukkan kepala.
“Bhai Jaan, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Mirza
sopan.
Jalal menganggukkan kepala.
“Bhai Jaan, hari ini adalah hari pernikahanmu....hari
yang sangat penting untukmu dan Bhabhi Jaan dan ada kemungkinan kau akan
meninggalkannya malam ini untuk berperang, tapi tetap saja, kau bersikap normal
seperti tidak ada apa-apa. Bagaimana kau melakukannya? Mengapa kau tidak pernah
menikmati semuanya dengan penuh kedamaian?” dia menanyakan hal itu setelah
mengetahui apa yang akan mereka hadapi...wajahnya berubah muram penuh kecemasan
dan tertekan.
“Mirza...ingatlah selalu, kehidupan seorang Raja itu
sangat berliku, dikelilingi oleh musuh dan dirongrong oleh konspirasi untuk
menjatuhkannya. Semua orang mendambakan hidup seperti diriku, mereka
mendambakan kekuasaanku dan kemewahanku, tapi mereka tidak tahu aku merasa
terperangkap dalam kehidupanku sendiri... Aku merasa terhimpit di kala
memandang wajah-wajah penuh harap dari rakyatku setiap harinya...setiap menit
dan setiap detik, ketika mereka berharap aku bisa memberikan jalan keluar dari
masalah mereka yang kadang aku juga tidak tahu caranya, harapan mereka padaku
seringkali membuatku takut tapi harapan dan keyakinan mereka juga memberikan
kekuatan pada diriku untuk terus berjuang demi mereka. Lebih tepatnya bila
kukatakan aku terpaksa belajar karena aku tidak punya pilihan lain. Jika
pasukanku mencium ketakutan dalam diriku, mereka akan tercerai berai, menjadi
seorang Raja kau juga harus bersikap seolah kau mampu mengatasi berbagai
masalah. Sekarang katakan padaku apa yang menjadi pikiranmu? Sepertinya Shivani
telah berhasil mengganggu mimpimu.” Ledek Jalal.
“Bukan seperti itu, Bhai Jaan, aku akan memeriksa
kesiapan pasukanku seperti yang kau perintahkan.” Mirza bergegas pergi untuk
menutupi masalah pribadinya.
Raja Sabal Singh dari Jaisalmer dan Jalal
Meski Raja Sabal Singh tidak terlalu berminat untuk
bertemu, tapi melihat sikap percaya diri Jalal dan daya tarik auranya sebagai
seorang penguasa, dia membungkuk dengan hormat dan mengucapkan salam dengan
sopan, “Shahenshah, aku sangat senang bertemu denganmu. Boleh aku bertanya
langsung apa maksud pertemuan ini?”
“Aku juga merasa senang bisa bertemu denganmu Raja
Sabal Singh...Aku sudah banyak mendengar tentang keberanianmu, kesetiaanmu dan
perhatianmu pada rakyatmu, tapi bukan hanya itu saja, aku juga sudah tahu
tentang semua perang yang telah kau menangkan dengan gagah berani. Prinsip dan
nilai moral yang kau junjung menunjukkan betapa terhormat dan berbudayanya
dirimu. Meski ada di bawah kekuasaan Mughal, kau tetap memperkuat pasukanmu dan
terus meningkatkan jumlahnya untuk disebar sepanjang perbatasan Jaisalmer.
Mughals punya kendali atas semua wilayahnya. Tetap saja, aku memutuskan untuk
berjabat tangan dengan Jaisalmer. Meskipun harus kuberitahu bahwa Mughal tidak
akan mengampuni seorang pengkhianat, tapi kami akan melindungi kerajaan yang
memberikan dukungan pada kejayaan Mughal.” Dengan sabar Jalal menjelaskan.
“Shahenshah, terima kasih atas kesopananmu, tapi
sayangnya, aku tidak mendengar hal yang sama tentang dirimu. Caramu memaksa
putri Amer menikah denganmu, sangat memalukan.” Raja Sabal Singh menolak
tawarannya dengan cara halus.
Meskipun Jalal tidak menyukai komentarnya yang tidak
sopan, tapi dia tetap menyampaikan pendapatnya dengan tegas. “Anda hanya
merujuk pada masa lalu, dan mengabaikan kenyataan saat ini. Kau lihat
perkembangan Amer selama setahun terakhir ini dan aku juga sangat menghormati
Ratu Jodha, aku menikahinya secara sah beserta semua konsekuensi dan
persyaratannya dengan sangat baik. Dia kubebaskan memeluk agamanya, meski aku
sudah menobatkannya gelar tertinggi sebagai Malika E Hindustan, aku tidak
pernah memakasnya untuk merubah keyakinannya. Tidak satupun dari kami berdua
menyesali keputusan kami menikah, lalu kenapa kau masih mengungkit masalah
itu??”
“Kau adalah pendatang yang ingin menguasai seluruh daratan
Hindustan, kenapa aku harus tunduk pada orang asing?” tanyanya penuh tekanan.
“Aku suka sekali dengan gaya pendekatanmu yang
terbuka, tidak seorangpun berani mengajukan pertanyaan ini langsung padaku
sebelumnya tapi aku dengan senang hati menjawabnya. Kau dan yang lainnya salah
besar Raja Sabal, generasi pendahuluku datang ke Hindustan seratus enam puluh
tahun yang lalu, kakek dan ayahku menghabiskan sebagian besar hidupnya di tanah
Hindustan dan seperti dirimu, aku lahir di tanah ini dan Hindustan ada dalam
darahku. Aku mencintai tanah ini sebesar dirimu, dan aku penganut setia teori
Chanakya yang mengatakan bahwa makin besar batas negaramu maka makin banyak kau
bisa menghimpun rakyatmu. Ja YA!!! Mimpiku adalah menyatukan Hindustan dan itu
akan baik bagi semua orang.” Jalal berusaha menutupi nada pahitnya.
“Aku adalah Rajvanshi Rajput, kami percaya lebih baik
bertempur di medan perang hingga tetes darah terakhir daripada menyerah sebagai
pengecut. Mengapa kami harus mengakui kedaulatan Mughal? Antara Hindus dan
Mughal tidak ada kecocokan...Kita sangat berbeda satu sama lain. Aku lebih
memilih mati di medan perang daripada menanggung rasa sakit dari rakyatku.” Tolak
Raja Sabal dengan keras kepala. Suasana di dalam ruangan itu mulai memanas.
“Raja Sabal Singh, aku tahu betul kebesaran nama
Rajvanshi Rajput yang melegenda. Aku menghormati kegigihan mereka, keberanian
dan bakti mereka pada ibu pertiwi. Meski begitu, aku tahu kau akan setuju untuk
menyerah Raja Sabal Singh, karena, kau adalah orang yang bijaksana dan pintar
di usiamu yang enam puluh tahun, seorang yang sangat berpengalaman yang tahu
apa yang terbaik untuk rakyatnya. Saat ini, kau tidak memiliki komandan pasukan
yang kuat ataupun seorang pewaris yang akan meneruskan pemerintahanmu dengan baik.
Selain itu juga, aku tahu bahwa perekonomian kerajaanmu sedang goyah karena
beberapa keputusan yang tidak tepat. Masalah finansial utamanya disebabkan
karena hubunganmu yang menegang dengan kerajaan tetanggamu, Bikaner, dan kau
tidak punya kekuatan secara fisik dan financial untuk menyatakan perang dengan
Mughal meski mendapat dukungan dari kerajaan lainnya.” Secara langsung Jalal
mengungkap informasi penting Kerajaan Jaisalmer sebagai usaha untuk mendesak
posisinya.
Raja Jaisalmer menatap Jalal keheranan dan tak percaya
atas ketepatan informasi yang baru saja diutarakannya bukan hanya mengenai
keadaan ekonomi kerajaannya yang berusaha dia tutupi dari semua Rajvanshi, tapi
juga koalisi rahasianya melawan Mughal.
Setelah terdiam beberapa saat, Jalal mengambil
kesempatan dari kebungkaman Raja Sabal Singh dan mulai memaparkan keuntungan
jika Kerajaan Jaisalmer berkoalisi dengan Mughal, “Ijinkan aku menjelaskan
rencanaku jadi kau bisa memikirkannya dengan tenang. Jika kau bersedia
bergabung di bawah bendera Mughal, maka, aku akan menjadikan wilayahmu sebagai
Mansabdari, dan orang-orang kepercayaanmu akan mendapatkan posisi dalam
pemerintahan Mughal. Kau akan terus memimpin wilayahmu di bawah perlindungan
dan dukungan materi dari kami yang akan memperkuat kondisi kerajaanmu. Aku akan
jelaskan prinsipku agar kau bisa memahaminya lebih baik, aku berpedoman pada
kebebasan berpendapat dan mengijinkan rakyatku memeluk keyakinan mereka
masing-masing, meski aku seorang Mughal, aku menghormati semua agama lain dan
itulah alasannya aku menghapus pajak agama seperti Jaziya dan membebaskan para
peziarah Hindu dari paksaan membayar denda. Ditambah lagi, aku dengan keras
melarang perbudakan dan pernikahan gadis di bawah umur. Bukannya aku
menyombongkan diriku sendiri, tapi aku ingin kau melihat kenyataan yang
sebenarnya.” Sekali lagi Jalal menjelaskan dengan sikap tenang dan terkontrol.
“Aku bisa melihat dengan jelas Amer berkembang dengan
pesat di bawah kekuasaanmu dan aku juga sudah tahu kebijakan politik liberalmu
Shahenshah, aku menghormatimu karena itu dan itulah satu-satunya alasan aku
setuju dengan pertemuan ini. Aku sadar apa keuntungan dari penggabungan ini
tapi Shahenshah, ada satu alasan kuat di balik sikap keras dan penolakanku, dan
itu adalah, penyatuan dengan Mughal akan menghancurkan masa depan putriku
satu-satunya. Tidak ada bangsawan Rajvanshi yang akan bersedia menikahi putriku,
Putri Rupavati dan orang-orang Rajput akan memusuhi kami.” Dengan kata-kata
yang tegas, dia mengungkapkan dilemanya.
“Baiklah...tanpa keraguan aku mengerti dilemamu, boleh
aku tahu calon suami seperti apa yang kau harapkan untuk putrimu.” Sekarang Jalal
bersikap lebih santai dan ramah.
“Aku lebih memilih pria seperti dirimu, Shahenshah...
yang berpikiran tajam, pemberani, tangguh namun belum pernah menikah secara
resmi.” Jawab Raja Sabal dengan senyum tulus dan nada penuh harap.
“Kalau begitu...aku yakin kau mencari seorang pria
yang akan berkomitmen mencintai putrimu, jelas, kau harus mengubah keputusanmu
tentang Raja Surya Vadan yang telah mengikrarkan hatinya pada Putri Sukanya.”
Jalal menunggu reaksinya sebelum melanjutkan, “Kau mencari seorang pria seperti
diriku...anggaplah bayanganku...Adikku...Mirza Hakim punya semua kualitas yang
kau sebutkan dan tentu saja belum terikat dalam pernikahan. Aku akan senang
jika kita bisa mempererat hubungan kita bukan hanya sebagai Mansabdari tapi
juga hubungan kekerabatan.” Terang-terangan Jalal membuka kartunya untuk
memenangkan pertaruhan ini.
“Saudaramu adalah Raja Delhi saat ini, benar?”
tanyanya dengan penuh semangat.
“Ya...benar, jika kau berkenan menemuinya, aku akan
mengatur pertemuannya dalam satu jam, hanya untuk hari ini.” Jalal tersenyum
menyadari pertemuan ini akan memberikan hasil yang positif.
“Aku pernah melihatnya sekali, dan juga sudah sering
mendengar tentang keberaniannya, kehebatan dan ketangguhannya disamping juga
hatinya yang baik. Aku cukup puas dengan penawaranmu dan keuntungan dari
penyatuan kita juga akan baik bagi rakyatku, tapi sebelumnya aku butuh waktu
setengah jam untuk membicarakannya dengan keluarga dan putriku.” Raja Sabal
tidak bisa lagi menutupi kegembiraannya.
***************
Di ruangan Jodha
“Moti, kau datang untuk merapikan rambutku dengan
minyak??? Aku sudah mencucinya jadi usapkan loban dhoop untuk mengeringkannya.
Masa akan segera datang menjemputku untuk Ganesh Pooja.” Jodha mencerocos
dengan panik.
“Jodha...tenang dan nikmatilah hari ini, ini adalah
hari pernikahanmu, kenapa kau malah gelisah, kau masih punya waktu dua jam
untuk bersiap-siap, kan?” Moti mengingatkan dengan santai.
“Aku capek menghadapi dua gadis ini, keduanya masih
tidur, Shivani dengan dramanya seperti biasa, ‘Aku sakit Jiji’ dan Suku masih
saja bermimpi. Kapan mereka akan sadar, dua jam lagi Ganesh Pooja akan dimulai
dan sebelum itu Upacara pertunangan Sukanya... Ya Tuhan, banyak sekali tamu di
dalam istana, termasuk kerabat iparku.” Jodha mengoceh tak karuan.
“Jodha..Jodha...sayangku Jodha...kau harus bisa
tenang. Pertama-tama, tarik napas dalam-dalam dan duduklah di kursi lalu tutup
matamu.” Moti memahami ada sesuatu yang menjadi ganjalan dalam hatinya.
“Oke, baik, rapikan dulu rambutku...” Jodha menyadari
kegelisahannya lalu duduk di atas kursi.
Dengan langkah cepat Moti berjalan ke ruangan satunya
untuk mengambil Loban dhoop untuk mengeringkan rambut Jodha.
“Moti, apa yang kau tambahkan ke dalam sini? Kenapa
aromanya berbeda??” tanya Jodha sambil mengerutkan alisnya.
“Aromanya berbeda karena aku telah mencampurkan
melati, mawar, kayu manis dan kunyit, semua aroma eksotis khusus untukmu.”
Diam-diam Moti menyeringai dan matanya berkedip nakal.
“Tapi aromanya agak aneh...” Jodha memiringkan
kepalanya ke arah Moti dan tampak tidak yakin saat menghirup aromanya.
“Oh...kau tidak menyukainya?” tanya Moti tajam sambil
menggelengkan kepalanya.
“Bukan, aromanya wangi hanya saja berbeda, terasa
lebih kuat, dalam satu menit saja seluruh ruangan penuh dengan aroma manis
ini.” Dia bergumam tak yakin.
“Jodha, bahkan setelah satu tahun pernikahanmu, kau
masih saja tidak berpengalaman dan naif. Aroma spesial ini dipakai untuk merayu
para pria...Kau adalah Malika E Hindustan, kau harusnya tahu semua ini.” Moti
menyindirnya dengan halus, tapi kekecewaan di matanya terlihat jelas.
Jodha memejamkan matanya karena tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya, dia bergumam sendiri, “Ohh...aku tidak pernah tahu soal
itu tapi Shahenshah sering mengatakan aku beraroma seperti kayu cendana,
mungkin karena aku melakukan puja tiga kali dalam sehari, sehingga kamarku
selalu dipenuhi aroma dupa dari kayu cendana.”
“Jodha, kau harus mengakui kebaikan Shahenshah padamu.
Dia telah mengabdikan seluruh hidupnya untukmu, tapi kau terus saja menghindar
darinya. Meski saat kalian bersama-sama di Agra, kau terus saja memintanya
berdiri dua langkah darimu. Aku akan jujur padamu Jodha, dia sudah menderita
lebih dari yang bisa kau bayangkan dalam enam bulan terakhir ini...aku tidak
pernah sekalipun melihatnya tersenyum. Kau harus belajar caranya menyenangkan
suamimu...Dan di atas semuanya, tanggung jawabmu untuk memberikannya keturunan,
jangan buat dia putus asa hingga frustasi.” Suara Moti terdengar lebih keras
dari sebelumnya, dia menjelaskan sambil merapikan rambut ikal Jodha.
“Moti, aku tidak mengerti apa salahku, mengapa semua
orang menanggapiku salah, kau, Lila, Sukanya dan yang paling buruk dari
semuanya, bahkan Masa mempertanyakan hubungan intim kami, apakah kami sudah
bercinta atau belum. Sejak dia datang kemari aku selalu berusaha menyenangkan
dirinya, tapi selalu saja ada yang menginterupsi setiap kali kami berduaan.”
Ujar Jodha santai sambil merebahkan diri di kursi dengan mata tertutup.
“Kau harus merilekskan dirimu dan melupakan semua
kekhawatiranmu. Ini adalah hari besarmu...Pikirkan saja tentang pernikahan
impianmu dan malam-malam indahmu bersama Shahenshah yang akan datang.” Hibur
Moti saat dia memperhatikan kerutan di alis dan tangan Jodha yang berpaut
dengan gugup.
“Moti...dengar, semalam Shahenshah mengungkapkan bahwa
Ratu Rukaiya biasa melakukan berbagai hal erotis untuk menghiburnya.” Pada
akhirnya, Jodha membuka diri dan menyuarakan rasa penasarannya.
Langsung saja Moti menyipitkan matanya begitu
mendengar nama Rukaiya disebut-sebut, “Jangan lagi membicarakan penyihir jahat
itu...dan kenapa juga kau terdengar tidak yakin?? Shahenshah mencintaimu
Jodha...dan dia membenci Rukaiya. Kau hanya perlu memuaskan dahaganya dan
mencintainya saja.”
“Soal itu, kau salah besar Moti....tidak peduli apapun
yang dia katakan, tapi dia merindukan Ratu Rukaiya. Hatiku bisa merasakannya
kemarin, jauh di lubuk hatinya dia sedih memikirkan keadaannya.” Jodha
menjelaskan apa yang jadi beban pikirannya, kesedihan Jalal.
Dalam pikiran Moti terbayang kembali apa yang sudah
dilakukan oleh Rukaiya, hanya dengan begitu saja sudah membuat darahnya
mendidih, “Jodha...Jangan terlalu bersikap polos dengan memaafkannya. Demi
Tuhan, jangan hancurkan hidupmu sendiri Jodha. Ingat, dia adalah sahabat masa
kecil Shahenshah dan ratu pertamanya...Jauhkan dia dari suamimu.” Kata Moti
berapi-api mengingatkan sahabatnya itu.
Menyadari kemarahannya pada Rukaiya, Jodha sadar dia
tidak bisa membicarakan masalah ini dengan Moti. “Kau benar Moti, kita tidak
usah membicarakan tentang dia lagi hari ini...Ini hariku dan aku harus
menikmatinya dan hanya memikirkan tentang Shahenshah dan hanya dia saja...”
kata Jodha sambil tersenyum.
“Akhirnya, rambutmu sudah kering dan harum...aku akan
mengepangnya nanti, tapi sekarang, biarkan aku memijat tubuhmu dengan minyak
aromatik.” Moti menawarkan dengan sedikit ragu.
“Apa??? Apa kau sudah gila??? Pijatan tubuh dan barang
apa ini, hanya pelacur yang melakukannya, bukan seorang Ratu! Mengapa tiba-tiba
sikapmu aneh dan tidak biasa? Yang aku butuhkan pijatan di kepala, bukan
tubuhku.” Bentak Jodha sambil memutar tubuhnya ke arah Moti.
“Jodha, aku sudah mengira kau akan bereaksi seperti
ini...Sebenarnya, Masa mu yang memerintahkan ini dan memberiku sebuah kotak
berisi botol minyak beragam aroma...Ini adalah bagian aturan yang tidak
tertulis dalam sebuah pernikahan yang hanya diketahui oleh sang mempelai.” Moti
menjelaskan malu-malu.
“Ohh...sepertinya Masa juga ikut-ikutan jadi
gila...aku tidak tahu kenapa?” gumam Jodha...
“Jadi kau bisa menyenangkan suamimu Jodha...Kulitmu
akan bersinar dan harum.”
“Oh oke, tapi hanya tubuh atasku saja dan kaki di
bawah lututku...” Jodha menyetujui dengan persyaratan khusus.
“Biar kuhangatkan minyaknya dulu, sementara itu,
lepaskan bajumu dan kenakan penutup saja.” Bahkan Moti tahu semua ini tidak
penting, tapi dia harus mematuhi perintah Maharani Mainavati.
Sambil mencari di dalam lemari, ada satu pikiran
berkelebat dalam otaknya, ‘Mengapa Masa ingin aku merayunya, semua ini
kelihatan aneh dan janggal, bagaimana caraku mengatakan bahwa dia sudah sangat
mendambakan aku?’
Akhirnya, matanya tertuju pada sebuah kain sutra merah
polos yang terlihat begitu menawan. Ini adalah warna merah paling terang yang
pernah kupakai.... tekstur kainnya yang halus meluncur turun sepanjang punggungnya
dan mencetak jelas bayangan pinggulnya. Dia memutar tubuhnya dan memperhatikan
bahwa bagian depan baju itu mempertontonkan belahan dadanya dengan sempurna,
sementara bagian bawahnya sebatas beberapa inci dari bawah pinggulnya,
mengekspos kakinya yang jenjang dan mulus. Warna merah kain sutra itu makin
menonjolkan kulitnya yang cerah. Dia menatap bayangannya di cermin dengan
malu-malu sambil berpikir, ‘Bagaimana
bisa hanya sepotong kain tanpa perhiasan mampu memukau seperti ini...Terlihat
sederhana tapi cukup mewah. Jika dia tahu aku berpakaian seperti ini, dia tidak
akan bisa menahan diri. Bagaimana kalau aku memakainya malam ini dan membuat
kejutan untuknya?’ pikiran kecil itu memunculkan rona merah muda di
pipinya, serasi dengan warna kainnya. Rambut ikalnya yang panjang dan berwarna
hitam berayun di atas kelembutan kain itu.
“Cantik...” suara tarikan napas Moti menyadarkan Jodha
yang masih sibuk mengagumi bayangannya sendiri.
“Berbaringlah di ranjang Malika E Hindusta dan
bayangkanlah Rajamu yang sedang memijatmu.” Canda Moti sambil mulai melakukan
tugasnya.
***************
Sambil terus melangkah, pikiran Jalal terus berputar
menyatukan potongan-potongan kejadian yang sudah dilaluinya sejak pegi buta
tadi. ‘Satu masalah teratasi dengan
masalah lain yang lebih besar....Ya Tuhan, bagaimana aku akan merayu Mirza agar
setuju dengan penyatuan ini...bukan hanya dia tapi juga Jodha...? Dia bukan
hanya akan marah padaku tapi juga akan sedih soal Shivani dan Mirza. Sayangnya,
di antara semua Ratu-Ratuku, kurasa hanya Rukaiya, satu-satunya Ratu, yang bisa
meyakinkan Mirza dengan baik tanpa menyakiti perasaannya.... Kombinasi dari
sifat liciknya dan kedekatan hubungan mereka akan mengatasi masalah ini dengan
mulus. Aku suka cara-cara Rukaiya dalam berpolitik dan demi kepentingan
kesultanan, dia tidak akan membiarkan emosinya muncul di permukaan, tdak peduli
dalam hal apapun itu.’ Sekelebat pikiran tentang Rukaiya membuat keningnya
berkerut dan matanya tampak kembali sedih. ‘Yah
Allah sudah lebih dari lima bulan aku tidak melihat Rukaiya satu kalipun dan
juga tidak bicara dengannya, bahkan setelah semua yang terjadi, dia masih saja
muncul dalam pikiranku dan membuatku sakit hati.... Setiap kali mata-mataku
melaporkan kalau dia sudah bisa menerima kehidupannya sebagai orang biasa dan
menyembunyikan dirinya dalam sebuah kepompong,hal itu selalu membuatku hancur.
Aku tahu dia sangat mencintaiku, tapi rasa cintanya muncul bersamaan dengan rasa
hausnya akan kekuasaan dan keinginan untuk menguasaiku... dia ingin memiliki diriku
sepenuhnya tapi satu fakta yang gagal dia pahami yaitu bahwa persahabatan kami
memiliki tempat istimewa di hatiku, aku menempatkan Jodha dan Rukaiya sejajar,
keduanya terpatri dalam hatiku dengan cara yang berbeda. Meski aku sudah
mencabut gelarnya... kekuasaan dan kemewahan dari hidupnya, dia masih ada dalam
pikiran dan hatiku... Masih kuingat hari saat tangan mungilnya membelai rambutku.
Saat aku kalut dan sedih dia adalah kekuatanku....Kehangatan dalam
persahabatannya menjagaku untuk bertahan di antara hari-hari penuh perang berdarah...Memperlakukannya
sebagai Ratu biasa sangat menyakitkan. Meninggalkannya sendirian di Agra
sementara kami semua disini berpesta, hal itu menghancurkan hatiku.’
“Shahenshah...” sebuah suara yang terdengar sopan
menyadarkannya kembali dari lamunannya.
“Raya Surya Vadan, Selamat pagi!” cepat-cepat Jalal
mengatur kembali pikirannya dan membalas salamnya sambil menatapnya lurus.
“Aku baik-baik saja Shahenshah, bagaimana perjalanan
ke tempat temanmu semalam?” tanyanya langsung tapi tidak bisa menyembunyikan
nada canda di baliknya.
“Tak terlupakan!” bibir Jalal melengkung tersenyum.
“Aku lebih tertarik dengan perjalananmu ke kuil bersama adik iparku.” Jalal
balas menggoda.
“Kau punya pengetahuan yang tepat berkaitan dengan Para
Putri Amer, Shahenshah...sangat sulit dan cukup menantang hanya untuk membuat
hatinya senang...” ujar Surya sambil menyeringai.
Jalal memotong, “Bagus, kau memahaminya dengan
cepat....Kita berdua berlayar dengan kapal yang sama, jadi mari menangis bersama-sama.”
Keduanya tertawa karena gurauan mereka sendiri.
“Jadi, sudah siap dengan hari ini Raja Surya Vadan.”
Tanya Jalal sambil menilai ekspresinya.
“Ini hari yang sangat penting, Tuhan tahu bagaimana
hari ini akan berakhir....Aku ingin jujur padamu, aku tidak yakin lagi aku siap
menghadapi masalah yang akan datang.” Jawabnya penuh keraguan.
“Bhaiya...”panggil Leela dari balik punggungnya.
Jalal dan Surya sama-sama menoleh ke arah Leela.
“Pranam Shahenshah.” Dia mengucapkan salam dengan
sopan, Jalal tersenyum membalasnya.
“Bhaiya, dia (suaminya) ingin bicara denganmu.” Leela
memberitahu.
“Aku akan menemuimu di upacara pertunanganmu Raja
Surya Vadan.”
“Ya Shahenshah.” Jawab Surya sopan.
‘Aku perlu
bicara dengan Jodha mengenai Surya...dan Rawal Harraj, ayah Surya yang licik
dan tamak...Ya Tuhan...masalah itu masih belum terselesaikan.’ Dia menghela
napas kecewa sambil melanjutkan langkahnya dengan cepat. ‘Paling tidak, aku merasa lega setelah berhasil berkoalisi dengan tiga
Raja, sekarang Rana Pratap tidak akan berani menyerang Amer... Aku sangat yakin
Raja Surya Vadan akan bersedia bekerja sama dengan Mughal, tapi masalahnya dia
masih dikendalikan oleh ayahnya. Dia harus tahu betapa rendahnya ayahnya
sendiri yang tidak akan segan-segan membelot dan menghkhianati putranya
sendiri, hanya dengan cara itu matanya bisa terbuka dan dia akan sukarela
bergabung dengan Mughal.’
Reva dan pelayan lainnya sedang mengobrol di depan
kamar Jodha. Mereka langsung berdiri begitu melihat Shahenshah mendekat, dia
berhenti dan bertanya dengan santai, “Ratu Jodha ada di dalam?” Reva hanya
mengangguk dan sebelum dia sempat menjawab, Jalal membuka pintu dan berjalan
masuk, lalu telinganya menangkap suara cakap-cakap antara Moti dan Jodha
‘mengapa kau membiarkan pintunya terbuka, tutuplah dulu’.
‘Tenang Jodha, jangan buka matamu dulu, aku hampir
selesai dengan bagian depannya dan Reva ada di luar kan, dia tidak akan
membiarkan siapapun masuk, tapi aku akan menutup pintunya untukmu.’ Moti
meyakinkan.
Moti berjalan menuju pintu dan melihat Jalal sudah
berdiri di sana, matanya penuh hasrat dan nafsu ke arah Jodha. Moti terus
berjalan karena Jalal memerintahkannya untuk pergi, dia bergegas keluar dari kamar
itu sambil menutup mulutnya menahan geli. Sepuluh detik kemudian telinga Jalal
mendengar suara wanita terkikik pelan.
Dengan senyum nakal di wajahnya, Jalal menutup pintu.
Terdengar suara Jodha berteriak memanggil Moti karena
belum juga kembali dari menutup pintu saja, “Moti, cepat kembali dan selesaikan
pijatanmu, sudah hampir waktunya Ganesh Pooja.”
Ya Tuhan...apa aku sedang bermimpi??? Dalam waktu
singkat...Semua kekhawatirannya lenyap...Jantungnya berdetak begitu kencang
menatap Jodha yang hanya berbalut selembar kain penutup...belahan dadanya yang
mulus, yang bergerak naik turun, bentuk tubuhnya yang menawan yang seakan
memanggilnya untuk menikmati tubuhnya. Hanya sekelebat khayalan tentang
tubuhnya yang bergerak sepanjang kakinya membuat darahnya mendidih. Tak perlu
lagi berusaha menyalakan gairahnya. Dia bergerak mendekat selangkah demi
selangkah sambil menanggalkan cincin-cincinnya dan mahkotanya satu per satu.
Dengan lembut Jalal membelai paha Jodha.
Kakinya gemetar untuk sesaat, tanpa tahu siapa yang
menyebabkan sensasi menakjubkan itu. Matanya menelusuri setiap jengkal
kulitnya...Sekali lagi, tangannya kembali bergera, tapi kali ini, berhenti di
ujung bawah kain penutup itu. Bersentuhan dengan kulitnya yang hangat dan
lembut menyalakan api gairah dalam tubuhnya. Tatapan polosnya membangkitkan
keliaran dalam dirinya. Tanpa sadar, dia menggenggam pahanya terlalu kencang.
“Ouch...Moti...pelan-pelan...dan kenapa kau memijat
kakiku lagi? Pijat leher dan bahuku...dan gunakan minyak aroma
mawar...Shahenshah suka sekali mawar.”
Bibirnya langsung tersenyum lebar. Matanya bersinar-sinar
mendengar kata pijatan di leher. ‘Hmmm....kau mencoba untuk membuatku senang,
cintaku...Mawar huh..’
Jalal mengendus beberapa botol dan menemukan minyak
mawarnya, lalu meneteskannya dua kali dan mulailah jari-jarinya yang
berpengalaman memijat dengan penuh kelembutan sambil memancing titik gairah
Jodha.
“Ahh...Moti...Seakan-akan tanganmu berubah dengan
ajaib...Terus lakukan seperti tadi...rasanya luar biasa...” kakinya bergetar
lembut dan erangan pelan meluncur lagi dari mulutnya ‘Ahhh..’
Erangannya yang seksi dan reaksinya yang tak
dibuat-buat karena pijatan itu membuat mata Jalal membelalak terkejut, bahkan
dia berusaha keras menelan ludahnya sendiri.
Jalal melanjutkan pijatan lembutnya selama beberapa
menit, dilanjutkan menggosok bagian-bagian pribadi lainnya dengan diam-diam
sambil menikmati pemandangan kulitnya yang mulus dan bersinar.
Dalam ketenangan dan kedamaian, pikirannya melayang ke
masa lalu, ‘Aku pernah melihat Ratu
Rukaiya mengenakan penutup tubuh seperti ini dua kali di dalam kolam mandi dan
sekali dia pernah melihat Jalal bergabung bersamanya di dalam kolam. Aku bahkan
tidak pernah memperbolehkannya melihatku berganti pakaian....Hubunganku dengan
Jalal selalu memiliki jarak, aku masih sering merasa aneh jika dia menyentuhku
di depan orang lain dan sebaliknya Rukaiya bersikap biasa saja...Setiap kali
Jalal kembali dari perjalanannya, dia selalu memeluknya penuh kerinduan tanpa
sungkan dan aku selalu melihat mereka dengan iri dan aku harus menunggu Jalal
untuk datang ke kamarku.’
“Kau tahu Moti aku setuju denganmu....Aku terlalu
naif, dan aku harus mulai belajar cara-cara untuk merayunya seperti yang
dilakukan Ratu-Ratu lainnya...Karena itu aku putuskan malam ini aku akan
mengenakan penutup tubuh ini untuk merayunya, aku bertaruh dia akan
tergila-gila.” Ocehnya dengan polos.
Sekarang mustahil untuk Jalal bisa menahan tawanya
lagi. ‘Oh, rayuan dan
Jodha...mustahil...Apa dia bahkan tahu apa artinya merayu itu?’ pikirnya.
“Kenapa kau diam Moti?’ tanya Jodha.
Diam-diam tangan Jalal bergerak meraba ke bagian bawah
lehernya...Tubuh Jodha menegang nikmat karena sentuhan itu, begitu juga
ekspresi di wajahnya.
Saat dia pikir penantian Jodha sudah berada di
puncaknya, saat itu juga, Jodha berteriak “Moti...” bulu matanya
mengerjap marah tapi langsung membelalak lebar karena terkejut....mulutnya
membulat O sempurna lalu menutup dan membuka beberapa kali...
Perlahan...penuh perhitungan...sensual..sebuah
senyuman jahat terukir di bibirnya, melihat sikap gugupnya. Matanya yang tajam
dan menusuk menari-nari dengan nakal.
Jantung Jodha berdetak sangat kencang hingga seakan
tiap degupnya bisa didengar oleh telinganya. Pipinya merah padam karena menahan
malu dan bulu matanya yang panjang dan tebal bergerak-gerak canggung, beberapa
kali dia mencoba tersenyum meski agak terpaksa.
Dengan suara rendahnya, dia mengajak “Ayo rayu aku
Jodha...”
Dengan tertunduk malu, Jodha mencoba mengangkat
matanya yang indah... Jalal memperlebar senyumnya, ujung ibu jarinya bergerak
lembut membelai pipinya, kemudian turun ke ujung bibirnya. Senyumnya mengembang
dan matanya menggelap berselimut gairah...
Gairahnya, tatapannya yang tajam dan sentuhannya yang
sensual membuat tubuhnya bergejolak, sekali lagi matanya menunduk ke bawah, dia
tidak mampu membalas tatapannya yang posesif.
Sekali lagi Jalal menuntut, “Aku menunggu Jodha...rayu
aku.”
Kata ‘rayuan’ sangat jauh dari pikiran Jodha...bahkan
dia tidak mampu menahan tatapan Jalal yang tajam.
Jari-jari Jalal bergerak ke bawah dagunya dan
mengangkat wajahnya agar melihat dirinya. Dia membisikkan kata-kata,
“Singkirkan selimutnya.”
Senyumnya merekah...dengan gerakan lambat Jodha
mengeluarkan tangannya dari dalam selimut.
“Aku menunggu Jodha.” Tuntut Jalal.
Pelan-pelan, Jodha mengangkat wajahnya dan melepaskan
genggamannya pada selimut itu. Wajahnya merona merah.
Kedua kakinya tetap tersembunyi di bawah selimut.
Jalal menarik napas dengan berat melihat keindahan tubuh di depannya itu.
Sambil terus menatap Jodha, dia kembali menyuruh
Jodha, “Singkirkan semuanya Jodha.”
Jodha memejamkam matanya sebagai tanda penyerahan
dirinya dan menuruti permintaannya untuk menyingkirkan selimut yang menutupi
tubuhnya. Mata Jalal bergerak-gerak dari menatap mata Jodha yang terpejam ke
pipinya yang merona...lalu turun ke lehernya dan berhenti sejenak di dadanya
yang terlihat penuh, kemudian makin turun menatap pinggulnya dan kaki
jenjangnya.
Tangan Jalal bergerak sensual dari ujung kaki Jodha
bergerak ke atas dan berhenti sejenak di ujung dari kain penutup tubuhnya,
kemudian bergerak makin berani ke atas.
Merasakan sentuhan tangannya di sela-sela pahanya,
Jodha mendesis terkejut, “Jaalaal.” Secepat kilat Jodha bergulung ke sisi lain
tempat tidurnya dan berdiri.
Jalal mengikutinya dan terus mendekatinya dengan nafsu
yang tampak jelas di wajahnya membuat Jodha bergumam, “Tolong Jalal....”
dadanya yang hanya tertutup sebagian tampak jelas bergerak naik turun seiring
langkahnya mundur menjauhi Jalal, lehernya yang polos tanpa tertutup perhiasan
mengundang Jalal untuk mencicipinya. Tangannya bergerak-gerak gelisah berusaha
menarik ujung bawah kainnya agar menutupi kakinya dari tatapan lapar Jalal.
Dalam gerakan cepat, Jalal berhasil memerangkap tubuh
Jodha di antara dinding dan tubuhnya sendiri. Kekuatan otot lengannya memaku
kedua tangan Jodha ke dinding, makin membuatnya tampak berkuasa atas tubuh
Jodha. Bibir Jodha terperangkap di antara gigi-gigi Jalal tanpa
ampun...dilahapnya dan diserangnya. Jalal menggesekkan bagian depan pinggulnya
pada pinggul Jodha sementara tangannya meremas lembut bokong Jodha. Butuh waktu
satu menit bagi Jalal untuk mengendalikan keliarannya itu. Wajahnya menunduk,
dan dia melepaskan cengkeramannya di tangan Jodha. Masih terengah-engah, dia
berkata sedikit mengancam, “Jangan pernah memancing singa lapar, sangat
berbahaya...Saat ini juga, aku ingin merobek kain sutra ini dan menancapkan
diriku dalam kehangatanmu dan melahapmu hingga rasa laparku terpuaskan...Aroma
kamar ini yang memabukkan dan aromamu yang menggoda ditambah dengan rambut
panjangmu dan kain sutra merah yang seksi ini membuatmu terlihat sangat
nikmat...yang kau lakukan ini, tidak bisa dibenarkan.”
Cengkeraman Jodha mengeras merasakan gairah Jalal yang
menggebu, dia memeluknya dan mendekatkan wajahnya ke telinga Jalal, “Seperti
biasanya, mengapa kau menyalahkan aku, aku tidak memintamu kesini untuk kurayu
dan aku sama laparnya seperti dirimu dan sudah tidak sabar menunggu malam ini.”
Bisiknya di telinga Jalal dengan menekankan kalimat terakhirnya.
Jalal menarik napas dengan tajam saat dirasakannya
lidah Jodha menjilat cuping telinganya lalu turun ke pipinya, “Ya...ini semua
salahmu, kecantikan dan kemurnianmu bisa membuat pria paling bijak sekalipun
jadi tergila-gila.” Secepat kilat, Jalal menundukkan kepalanya dan menguasai
bibir Jodha sepenuhnya dan sebelum Jodha sempat membalas, kedua tangannya
bergerak ke bawah dan meremas bokongnya sekali lagi. Tiba-tiba Jalal mengangkat
tubuh Jodha dari tanah dan membopongnya di dalam bahunya yang lebar lalu dengan
lembut membaringkannya di tengah ranjang.
“Kau sadar kalau kau sedang menyiksaku?” protesnya
dengan suara pelan tapi tersirat emosi tertahan dibaliknya. Sambil tetap
menatapnya, Jalal merebahkan diri di atas bantal di samping tubuh Jodha.
“Kali ini kau tidak adil Jalal...aku bahkan tidak
sedang mengharap kehadiranmu.” Sentak Jodha.
“Tidak, kau yang lebih tidak adil...kau tahu aku sudah
bersumpah pada diriku sendiri sebelum aku bisa menemukanmu, aku tidak akan
menyentuh Ratu lain dan aku sudah bersikap tidak adil pada mereka dan yang
terburuk adalah setelah aku menemukanmu, aku tidak menginginkan yang lainnya
lagi, dan kau perlu tahu, seorang pria butuh pelepasan dan sangat sulit menahan
diri bila kau punya begitu banyak wanita yang terus-menerus berusaha merayumu
dan menuntut hak mereka. Dalam tujuh hari ini, kau sudah membuatku gila...Berkali-kali
kau menarikku hingga ke ambang batas. Menanti malam ini rasanya terlalu lama
tapi keinginan dan harapanmu adalah segalanya untukku.” Sekali lagi Jalal
menyiratkan bahwa dia mengendalikan nafsu dan hasratnya, semata demi Jodha.
“Aku bisa merasakan frustasimu, tapi ada sebuah
kekuatan yang menahanku dan beberapa firasat buruk terus menghantuiku....Aku
tidak pernah mengatakannya pada orang lain, tapi pagi hari setelah hari
pertemuan kita kembali, saat aku merapikan diri, botol Sindoor lepas dari
peganganku lalu beberapa menit kemudian aku perhatikan beberapa manik-manik
lepas dari Mangal Sutraku....Saat itulah kuputuskan untuk menikah kembali
denganmu di hadapan Tuhan.” Wajahnya perlahan memucat saat dia menceritakan
semua itu.
Setelah mendengar alasannya, bukannya memaklumi, Jalal
justru berteriak marah dan perasaan kecewa terpancar jelas di matanya, “Aku tidak
percaya dengan semua firasat bodoh ini, aku tidak setuju dengan kepercayaanmu
dan di samping itu, sebagai Malika E Hindustan, kau percaya dengan semua
firasat buruk itu. Tidak bisa kuterima. Aku selalu menghargai kesetiaan dan
kepercayaanmu pada Tuhan tapi aku tidak mau kau percaya pada firasat buruk dan
ramalan masa depan dan semua kegilaan itu...”
Jodha berusaha keras menahan air matanya agar tidak
jatuh mendengar kata-kata kejamnya, dengan tercekat, dia menyangkal, “Jangan
berteriak padaku...Aku khawatir, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi
padamu?”
Menyadari perasaannya yang tertekan dan
kekhawatirannya, sebelum Jodha menyelesaikan kalimatnya, Jalal membelai lembut
pipinya dan berusaha menenangkannya, “Kenapa harus mencemaskan hal yang tak
bisa kita kendalikan...Biarkan takdir berjalan seperti seharusnya.”
Sentuhan hangatnya membobol pertahanan dirinya, tetes
demi tetes, air mata meluncur turun di wajahnya. Jodha menjawab di antara
isakannya sambil membalas tatapan Jalal, “Aku sadar aku telah gagal menjadi
seorang istri tapi aku sangat mencintaimu dan aku mempercayai apapun dan bisa
melakukan apapun demi keselamatanmu dan umur panjangmu.”
Hati Jalal luruh melihatnya menangis dan dia menyesali
sikap kasarnya. Dengan lembut dia belai wajah Jodha, jari-jarinya menghapus
jejak basah di pipinya...”Maafkan aku, tolong maafkan aku karena tiba-tiba
marah tadi dan jangan pernah katakan kalau kau gagal sebagai istriku. Jodha,
aku merasa sangat beruntung dan terberkati karena kau menjadi istriku.
Kebahagiaan yang kau berikan padaku, tidak bisa dibandingkan dengan siapapun.
Aku tidak pernah merasa sebahagia itu di harem saat mereka mencoba merayuku,
semuanya terasa palsu, aku menikmati setiap saat bersamamu karena kita semakin
dekat satu sama lain melebihi cinta sejati itu sendiri.”
Jodha bergerak ke atas tubuh Jalal, sambil memeluknya
dia bergumam, “Kau benar-benar sulit dipahami. Kau tahu sejak kau menyebutkan
tentang Ratu Rukaiya, bagaimana dia selalu menyenangkan dirimu, kadang kupikir
kau mungkin... “
Dengan gerakan cepat, Jalal membalik posisi tubuh
mereka, sekarang Jalal yang menguasainya..Sambil menatapnya, tangan Jalal
menyusuri samping tubuh Jodha, dan dia berbisik “Ingatlah, aku hanya
mencintaimu, jangan pernah merasa terancam atau cemburu gara-gara wanita lain
dan untukku, Rukaiya hanyalah kuanggap sebagai sahabat masa kecilku dan tidak
lebih. Kau memiliki hatiku Jodha.” Tubuh Jodha bergetar ditatap setajam itu
dengan penuh gairah. Hembusan napasnya terasa hangat di wajah Jodha.
“Aku juga mencintaimu...” balasnya pelan sambil
membalas ciumannya, sekali lagi, bibir Jalal menguasai bibir Jodha.
Pelan-pelan Jodha mengangkat matanya yang berwarna
hazel.
Sambil menangkup pipinya, Jalal berkata, “Aku menginginkan
Jodha yang polos dan naif malam ini, bukan sutra yang menggoda ini. Kau tidak
perlu merayuku karena aku sudah terpesona padamu dan hanya butuh satu senyum
malu-malumu, cukup untuk membakar gairahku.”
“Oh...kau tidak suka aku memakai ini.” Kata Jodha kaku
dan ragu sambil membelai wajah Jalal.
“Kau naif sekali...Aku tidak mau kau memakai ini
karena membuatmu terlihat lezat sekali. Aku ingin menikmati momen pribadi kita
dan meresapi setiap detiknya, tapi jika kau mengenakan ini, aku tidak akan bisa
lama-lama menahan diriku.”
“Jadi kau mengakui aku terlihat cantik memakai kain
ini.” Matanya berkedip nakal dan telinganya meremang mendengar pujian dari
Jalal.
“Ya, aku mengakuinya, kucing liarku terlihat sangat
menggoda di balik kain sutra ini...kau benar-benar layak dijuluki sebagai
‘Registan Ka Gulab’.” Melihat senyum tipis di bibir Jodha membuat gairahnya
terangkat sekali lagi, mulutnya turun dan menggigit leher Jodha yang terbuka.
“Ouch...aku akan membunuhmu Jalal.” Jalal hanya
tersenyum mendengar namanya disebut di antara bibir Jodha yang terkatup menahan
gairah.
“Aku hanya ingin memastikan apakah warna merah di
lehermu ini sesuai atau tidak dengan warna sutranya.” Godanya sambil menatap
wajah kesal Jodha.
“Kau tahu, aku akan menggigit pipimu kuat-kuat hingga
kau tidak bisa lagi menunjukkan wajahmu pada orang-orang.”
Alis Jalal terangkat menantang, “Kenapa juga aku harus
menyembunyikan wajahku, aku hanya perlu mengatakan pada mereka kalau Jungle
Billi ku... maksudku Ratuku ini cukup liar dan dia suka sekali mencakarku
seperti seekor kucing.” Sambil tersenyum jahat, dia menjawab berlagak acuh.
“Dasar tidak tahu malu...” Jalal terbahak-bahak
melihat ekspresi Jodha yang terlihat masam. Namun beberapa saat kemudian Jodha
ikut terpingkal juga.
“Omong-omong, aku tidak tahu kau cukup ahli dalam
memijat, apa kau juga memijat Ratu yang lainnya?” Jodha bertanya curiga.
Jari-jari Jalal kembali membelai rambut ikal Jodha,
dia berbisik mesra sambil memaku tatapannya pada mata indah Jodha, “Kita belum
pernah mencoba hal-hal lain saat bercinta, jika kau mengijinkan, aku akan
membawamu terbang ke surga, cintaku.”
“Aku siap berpetualang dalam perjalanan kita...
Perjalanan menuju nirwana.” Jodha meniru suara Jalal sambil terus menatapnya.
“Lalu apa yang kita tunggu, ayo kita mulai
pemanasannya sekarang juga.” Pancing Jalal.
Cepat-cepat Jodha memberikan alasan begitu melihat
wajah serius Jalal, “Tidaak...aku tidak ingin merayumu lagi. Sudah hampir
waktunya Ganesh Pooja.”
“Junglee Billi...Sejak pertama kali aku melihatmu, sejak
itulah aku siap, tidakkah kau rasakan itu? Kerusakan sudah terjadi.”
**********************