Written By Bhavini Shah
Translate By Tyas Herawati Wardani
Cuplikan
~ Chapter 40
Aku tidak menganggapnya sebagai pria yang terhormat
tapi sebaliknya, dia pria yang sangat cerdik...
“Well...tak diragukan aku memahami dilemamu, ijinkan
aku bertanya tipe calon pengantin seperti apa yang kau pikir sesuai untuk
putrimu.” Sambung Jalal melanjutkan diskusi mereka dengan pendekatan yang lebih
santai dan bersahabat.
“Aku lebih memilih pria sepertimu...yang punya
pemikiran tajam, pemberani, dan teguh.” Respon Raja Sabal dengan senyum tulus
dan nada penuh harap dalam suaranya.
“Aku tidak punya pilihan lain.” Ujar Jalal tenang
sebagai sesama orang terhormat.
Kehidupan seorang Raja penuh liku, dikelilingi oleh
banyak musuh dan dirongrong konspirasi.
Temperamen Jalal hampir meledak saat ini, apa yang
sedang terjadi??
Jalal tertawa sedih, “Mengapa?...Hmm...Seperti yang
kau tanyakan, aku ingat nasihat dari yang paling kuhormati Bhairam Khan,
guruku...pernah dia memberitahuku, di balik hampir semua perang ada seorang
Draupadi, hanya karena para pria terlalu lemah untuk bertarung bersama cinta dalam
hidup mereka.
Raja Bharmal membeku saat secara tidak langsung dia
merujuk pada Jodha...
“Lagipula Jiji...aku tidak menyalahkan Moti, mungkin
dia berpikir Jijusa akan dengan senang hati membantumu bukan hanya melepaskan
ikatan blusmu tapi juga yang lainnya...”katanya di sela tawa yang tertahan dari
mulutnya yang terus berkicau.
Tanpa membuang waktu, dia bopong tubuhnya ke dalam
lengannya...
Dengan lembut dia menyibakkan beberapa helai rambut
hitam dari wajah cantiknya dan menyelipkannya ke belakang telinganya.
“Berubah dari penggerutu menjadi sangat manis...dan
aku suka yang manis.” Katanya sambil terus memandang dengan mata penuh hasrat
untuk mencium bibirnya.
Apa? Apa itu hal baru untuknya? Setiap pria bangsawan
punya wanita di haremnya? Apa dia pikir aku malaikat?
Kakinya gemetar untuk sesaat, ada perasaan aneh yang
menyenangkan dari sentuhannya.
***********
CHAPTER
40
Tenggelam dalam pikirannya, dengan seulas senyum
terbayang di bibirnya, Jodha berjalan kembali ke kamarnya sambil mengingat
pertemuannya yang penuh gairah dengan Jalal. Satu ciuman penuh gairah darinya
mampu mengguncang seluruh tubuhnya dan caranya memohon agar Jodha tetap tinggal
untuk malam ini dan hasratnya yang hampir meluluhkan pendiriannya membuat
seluruh bergetar. Api gairah membakar jiwanya, membuatnya mendamba, lupa diri,
bersemangat, tidak sabar dan begitu menantikan malam berikutnya. Sejauh ini dia
masih mampu menjaga jarak darinya karena keyakinannya yang kuat bahwa semua masalah
yang hadir dalam kehidupan pernikahan mereka terjadi karena fakta bahwa mereka
menikah di hadapan dewa bukan demi cinta dan kebahagiaan, tapi demi meredakan
permusuhan dan tujuan untuk membalas dendam. Namun sekarang dia sepenuh hati
ingin menikah lagi dan mengabdikan hidupnya padanya atas nama Dewa Krishna dan
demi cinta dan kebahagiaan mereka, bukan kebencian.
“Jodha...” suara berat yang familiar menghentikan
langkahnya. Denting gelang kakinya yang berirama terdengar lebih keras dari
biasanya saat dia berbalik dengan tiba-tiba.
“Baaapu Sa!!” suara tertahan keluar dari dalam
tenggorokannya begitu dia berdiri di sana dengan gugup, mencengkeram ujung
chunni-nya.
“Jodha, apa yang kau lakukan di sini malam-malam
begini?? Apa semuanya baik-baik saja??” desaknya sambil memandangi posturnya
yang terlihat tegang.
“Ahh..Tidak...Tidak ada...Maksudku...Aku kemari untuk
menemuimu tapi kemudian kupikir sudah terlalu malam untuk mengganggumu, jadi
aku akan kembali ke kamarku...” bisiknya berusaha menyembunyikan ketegangannya.
Di bawah tatapannya yang menyelidik, Jodha menghela napas pelan-pelan, lega
dengan jawaban yang diutarakannya.
“Oh...tapi aku masih bangun...Lalu kenapa kau tidak
menyuruh pengawal saja??? Lagipula, aku ingin menghabiskan waktu denganmu.
Banyak tamu di istana hingga kita sulit sekali mengobrol dalam tiga hari ini,
dan besok kau akan kembali ke Agra.” Suaranya yang serak dipengaruhi oleh
gelombang emosi yang menghantam dadanya, namun dia mampu menenangkan dirinya
sendiri dan berkata, “Aku sangat gembira pada Sukanya dan Surya...tapi...” dia
terdiam dengan perasaan tertekan sambil menggerak-gerakkan jemarinya.
“Tapi apa Bapusa? Mengapa kau terlihat tidak yakin dan
sedang menghadapi sebuah dilema?” Jodha memperhatikan kegundahannya, dan ada
rasa takut dalam suaranya yang terdengar sedikit meninggi.
“Jodha...Kegelisahanku karena Rawal Harraj. Dia tidak
akan merestui dengan mudah penyatuan antara Sukanya dan Surya. Jujur padamu,
aku tidak menganggapnya sebagai pria yang terhormat tapi sebaliknya, dia sangat
cerdik...penipu, serakah dan pria yang materialistis. Alasan utama dia
menolaknya adalah karena aku pernah dengar dia ingin putranya, Raja Surya Vadan
menikahi putri dari Jaisalmer sejak dia masih anak-anak, dan akan mewarisi
seluruh kerajaannya...Oleh karena itu, aku yakin dia akan membuat banyak
masalah dan akan berusaha menggagalkan penyatuan ini. Kami sudah mengirimkan
undangan untuk pesta pertunangan Sukanya dan Raja Surya Vadan dan mari berharap
dia tidak akan merusak pesta pernikahanmu.” Jelasnya membagi dilemanya.
“Bapu Sa, Dewa Krishna tidak akan membiarkan hal buruk
terjadi dan kita semua mengenal Surya dengan cukup baik dan aku bisa memastikan
atas namanya kalau dia tidak akan mundur dan menghancurkan hidup Sukanya,
disamping itu dia sangat mencintai Sukanya.” Dia berusaha sebaik-baiknya
meredakan kecemasan ayahnya, namun saat dilihatnya ayahnya masih bingung dan
ragu, dia bertanya, “Bapu Sa, apa bapusa punya keraguan pada Surya?? bapusa
tidak menganggapnya sebagai pria terhormat?”
“Oh tidak...Jodha...aku percaya padanya, dia sangat
bertolak belakang dengan ayahnya, aku tidak meragukannya sedikitpun. Sukanya
terberkati mendapatkan suami seperti Surya, tapi dia masih dibawah pengaruh
kuat ayahnya bahkan setelah dia diangkat menjadi Raja dari tiga wilayah.”
Jelasnya dengan lebih tenang.
“Semuanya akan baik-baik saja Bapusa, kau terlalu
khawatir, aku akan meminta Masa untuk ke kamarmu.” Meliatnya sangat tertekan,
Jodha sadar ayahnya lebih membutuhkan dukungan mental dari Mainavati daripada
dirinya.
“Aku sudah mengirim pesan untuknya, dia akan sampai
beberapa saat lagi, aku juga punya hal lain yang harus kubicarakan dengannya.”
Katanya lembut.
“Bapusa kau tidak perlu khawatir selama ada Shahenshah
di sini. Aku yakin, dia akan menyelesaikan semua permasalahan ini.” Dia
berusaha menenangkan kegundahan hatinya.
“Aku setuju tapi tetaplah aku seorang ayah dari tiga
orang putri dan bagaimana seorang ayah bisa bersantai, anakku? Saat kau punya
anak, maka kau akan mengerti keprihatinanku. Aku tidak ingin melihat air mata
di wajah Sukanya.” Orang tua itu berusaha menahan emosinya.
“Lalu apa kau lupan, kau punya empat orang putra dan
satu Jamai dan yakin pada Kanah.” Hati Jodha sedih melihat pria sekuat ayahnya,
menjadi lemah dan gelisah, dengan lembut
Jodha memeluknya untuk menenangkannya.
“Ayah ingin aku terbuka pada Sukanya, jadi dia bisa
mengantisipasi?” tanyanya.
“Tidak...Jangan...Kuharap ini hanya dugaanku
saja...Aku tidak ingin membebani pikirannya...Ini adalah harinya...biarkan dia
beristirahat dengan nyaman.” katanya.
“Ohh...aku tidak akan melakukannya...tapi ayah juga
jangan khawatir dan yakinlah pada Maa Kali.” Tuntunnya.
Ketika mereka dengar langkah kaki dan dentingan pelan
dari gelang kaki, Jodha berkata, “Sepertinya Masa sudah datang.”
“Jodha, kau masih di sini...ini sudah sangat larut
anakku.” Mainavati menegurnya dengan caranya yang sopan.
“Ya Masa, aku baru saja akan kembali.” Gumam Jodha.
“Dimana Shivani?” Ratu Mainavati bertanya.
“Dia pasti sudah tidur di kamarnya, kau tahu betapa
keras kepalanya dia? Sebenarnya, kupikir kau, dadisa dan Sukanya akan menginap
di kamarku jadi dia kecewa karena tidak ada tempat lagi untuknya.” Jodha
menjelaskan sambil melirik Bharmal yang masih terlihat khawatir.
“Aku sudah lama tidak melihatnya, jadi aku hanya ingin
tahu. Dadisa sudah kembali ke kamarnya dan Sukanya menunggumu.” Mainavati
memberitahu dengan santai.
Jodha membungkuk memberi salam, “Pranam...Shubh
Ratri.”
Setelah menyadari kegelisahan ayahnya, perasaan Jodha
yang sebelumnya berbunga-bunga ikut berubah khawatir. Hatinya dipenuhi perasaan
cemas karena dia juga tahu orang seperti apa Rana Rawal Harraj
itu...Pendapatnya serupa seperti ayahnya. Langkahnya sedikit ragu saat menuju
ke kamarnya.
“Jiji, kenapa kau lama sekali? Dadisa dan Masa,
keduanya telah kembali ke kamar masing-masing.” Kata Sukanya bersungut-sungut.
“Aku tahu Sukanya...Masa sudah memberitahuku.”
“Jiji, katakan yang sebenarnya, apa kau pergi menemui
Jijasa?” tanya Sukanya sambil berbaring di atas ranjang dan memeluk erat sebuah
bantal.
“Sukanya, itu bantal, bukan Surya, jangan siksa bantal
itu.” Jodha bergura mengabaikan pertanyaannya, duduk di depan meja rias,
bibirnya tertekuk setengah tersenyum.
“Ohh...kuharap Jiji...dia udara sedingin ini aku ada
di dalam pelukannya seperti bantal ini...ahhh.” katanya sambil membayangkannya
dan terkikik geli sambil meremas bantal di lengannya.
“Gadis tidak tahu malu...biar kuceritakan pada Bapusa,
aku akan memberitahunya kau sudah tidak sabar untuk segera menikah dengan
Surya...”
“Oh...benarkah!!! Bisakah Jiji??? Kumohon...” Sukanya
melompat-lompat di atas ranjang dan tertawa dengan riang.
Jodha ikut tertawa melihat tingkahnya yang tidak biasa.
“Berhentilah menyiksa bantal yang menyedihkan itu dan
bantu aku melepaskan ikatan blus ini. Sepertinya Moti sudah pergi tidur.”
Pintanya dengan santai.
Sambil bersantai di atas ranjang, dia berdecak
mengolok-oloknya, “Lagipula Jiji...aku tidak menyalahkan Moti, mungkin dia
pikir Jijasa akan dengan senang hati membantumu bukan hanya melepaskan ikatan
blusmu tapi juga yang lain lain lainnya...” tawa renyah terdengar dari
mulutnya. Lalu Sukanya melompat turun dari ranjang untuk membantu Jodha.
“Aku harus bicara dengan Surya...Bhagavan Jaane...apa
yang sudah dia lakukan pada adik kecilku yang suci bak malaikat ini...dalam satu
hari dia berubah menjadi gila.” Ejek Jodha.
“Bisa kita bicara dengannya sekarang?” pekik Sukanya.
“Kau benar-benar tidak waras Suku...Kau sudah tidak
tertolong lagi.” Balas Jodha ikut terkikik sambil melepaskan anting-antingnya.
“Ohhh kakakku tersayang yang pemalu...Kau naif
sekali...Aku merasa kasihan pada Jijusa-ku tersayang...kau pasti terlalu keras
padanya, dan dia pasti sudah kelaparan menantimu.” Ungkapnya menyuarakan isi
hatinya dengan kegembiraan meluap-luap.
“Mengapa kau pikir aku sudah terlalu keras padanya?”
Jodha menoleh dengan cepat dan berkata seakan membela dirinya sendiri.
“Sudah jelas Jiji...Pertama, kau meninggalkannya dan
kalian bertemu lagi setelah enam bulan...dan kau memaksa untuk menunggu hingga
setelah menikah ulang untuk bisa bercinta lagi...tidak adil untuk Jiju. Sejak
dia datang ke Amer, kalian berdua tidak pernah tidur dalam satu kamar dan semua
orang tahu itu.” Meski sudah berusaha ditutupinya tapi Jodha bisa merasakan ada
nada kecewa dalam suara adiknya.
“Kuharap kau bisa memberitahuku sebelumnya tapi sudah
terlambat sekarang...Adik kecilku mendadak bicara seperti wanita dewasa.” Dia
tahu Sukanya benar dan bahkan Jalal juga menyiratkan hal yang sama secara tidak
langsung.
“Ohh...Jiji...jangan terlalu kecewa...tunggu satu
malam lagi...tapi..tapi...kekhawatiranku hanyalah Jiji...” kegembiraannya
meredup menjadi gumaman, wajahnya juga berubah lebih serius.
“Kekhawatiran apa?” tanya Jodha serius.
“Apa lagi alasanmu besok...Dia tidak akan melepaskanmu
sepanjang malam...” ekspresi Jodha terlihat lucu. Mulutnya membulat
sempurna...Sukanya tertawa dengan keras melihatnya. Seketika wajah Jodha merona
merah dan dia menutupinya sambil tertawa malu-malu.
‘Sukanya, kegembiraanmu membuatku agak gugup
sekarang...Semoga tidak ada hal buruk yang akan terjadi dan kau bisa tetap
gembira seperti ini seterusnya.’ Diam-diam Jodha berdoa dalam hati.
“Sukanya, aku belum pernah melihatmu sebahagia ini
sebelumnya..Semoga dewa menjauhkanmu dari hal-hal buruk.” Doa Jodha.
Tiba-tiba saja, Sukanya meremas pundak Jodha sekuat
tenaga dari belakang dan berkata dengan ceria...senang...melayang...dan tanpa
beban, “Oh..Jiji...Aku tidak mampu mengungkapkan dalam kata apa yang sedang
kualami sekarang...Aku ingin terbang seperti burung...Aku ingin menari seperti
burung merak...Aku ingin basah kuyup dibawah hujan...Aku ingin menghancurkan
semua penghalang dan melarikan diri bersama Surya...Kebahagiaanku meluap-luap
karena beberapa tahun ini aku dirundung kesedihan...dan tiba-tiba...Tak pernah
kusangka, semua mimpiku akan jadi kenyataan...pagi tadi aku tidak punya harapan
tersisa dan sudah siap untuk menyerah pada takdirku yang menyedihkan...Tapi keajaiban
terjadi, Jiji dan benar-benar terjadi...Sekarang aku percaya bahwa Dewa
memperhatikan setiap makhluknya.” Kebahagiaannya terpancar dari matanya, dua
air mata bergulir di pipinya.
Jodha memutar tubuhnya dan memeluk Sukanya dengan
hangat, membayangkan apa yang akan datang membuatnya gemetar. Dia berdoa dalam
hati pada Krishan untuk menjaga kebahagiaannya, “Tetaplah yakin pada Dewa,
Suku, Dewa akan memberimu kekuatan untuk menghadapi segala rintangan...” hanya
itulah yang mampu dia panjatkan.
Perkataan Jodha yang terdengar ragu dan sedikit
khawatir membuat Sukanya bingung, “Jiji, ada apa? Mengapa kau terdengar murung
dan tegang?”
“Ohh! Tidak ada!Sukanya, aku hanya memikirkan Shivani,
dimana dia?” Jodha berusaha mengalihkan topik yang agak sensitif.
“Kau tahu dia Jiji, saat ini, adik kecil kita yang
lucu mungkin sedang menikmati mimpi ketiganya malam ini yang kemungkinan
tentang gudda dan guddi menikah dan sudah melahirkan tiga anak.”canda Sukanya
sambil terkikik geli.
Jodha tertawa dan mengangguk setuju, “Suku, aku punya
firasat kalau adik kecil kita sedang jatuh cinta pada Mirza.”
“Aku juga setuju soal itu Jiji...aku juga perhatikan
ketertarikannya pada Mirza...aku akan bertanya padanya besok.” Katanya
penasaran.
“Hari ini cuaca dan anginnya sangat dingin,
Sukanya...bisakah kau tambahkan kayu bakar ke parapian?” pinta Jodha sambil
berganti pakaian.
Alam selalu memiliki aturan sendiri, sama seperti
malam-malam di padang pasir, udara panas mengalir ke angkasa dan suhu udara
turun dengan drastis mengingat saat ini adalah musim dingin. Udaranya sedingin
besi yang beku dan angin berhembus kencang. Rembulan bersinar redup di balik
awan...Beberapa bintang berkelip di langit yang pekat, kesunyian malam ini
membuat suasana mencekam. Angin yang menderu menyapu dedaunan yang kering dan
mati, pohon-pohon besar meliuk-liuk tersapu angin...Seakan badai gurun akan
segera datang menambah dinginnya malam.
Dari kejauhan, saat pandangan Mirza menangkap sosoknya
sedang bergelung di atas bangku, perasaan ngeri merambat sepanjang punggungnya
dan rasa dingin membekukan jiwanya. Seorang gadis muda, remaja yang keras
kepala sedang menunggu maaf darinya, tidak mengerti apa yang sebenarnya dia
harapkan, bukan hanya maaf, tapi juga hatinya. Jauh di dalam hatinya, dia sedih
karena hampir menjelang saat kepergiannya. Tanpa disadari, jantungnya mulai
berdetak untuknya dan sikap acuhnya meluluhlantakkan dirinya.
Mirza melesat ke arahnya secepat yang mampu dilakukan
kedua kakinya sambil mengumpat dalam hati melihat kondisinya. Terakhir dia
lihat Shivani sekitar tiga jam yang lalu saat dia dengan sangat gigih dan
mendesak memohon maaf darinya disertai sebuah ancaman. Tak sedetikpun dia
menganggap serius ancaman itu, dia pikir dia hanya akan menyakiti dirinya
sendiri jika benar-benar melakukannya.
Rasa bersalah...penyesalan dan ketakutan berpadu
bersama napasnya yang memburu.
Rasanya butuh tiga menit yang sangat lama hingga
seakan tak berkesudahan hanya untuk bisa mencapai tempatnya berada. Tubuhnya
menggigil kedinginan dan panca inderanya seperti mati rasa karena dia bahkan
tidak bisa mendengar suara langkah kakinya yang berdebam saat
mendekatinya...dia berusaha menyembunyikan sosok mungilnya di antara kedua
lututnya...
Dia bergumam dengan suara pelan sambil terengah-engah,
“Shivani.”
Ketika tak ada reaksi dari Shivani, dengan
berhati-hati dia makin mendekat dan mengulanginya dengan lebih keras,
“Shivani.”
Dengan sangat lambat, dia mengangkat wajahnya yang
menggigil dan tatapan matanya yang kosong tertuju pada dirinya. Melihat pipi,
hidung dan matanya yang membiru kedinginan membuatnya lemas. Dia duduk di
sampingnya...melihat jejak air mata di wajahnya, hanya tiga kata yang mampu
diutarakannya, “Aku minta maaf....” Rasa bersalah dan penyesalan yang dalam
bukan hanya terdengar dalam nada suaranya, tapi matanya juga menyiratkan hal
yang sama.
Shivani tersadar begitu dia mengangkat wajahnya, rasa
dingin telah merasuk hingga ke dalam tulangnya dan rasa panik mulai menghantui
dirinya saat sebuah pikiran terlintas, bagaimana seandainya tubuhnya tidak bisa
hangat lagi?
Tanpa merespon, Shivani berusaha menggeliatkan
tubuhnya sambil terus menatapnya.
Mirza memberanikan dirinya, menangkup wajahnya yang
dingin membeku dalam telapaknya yang hangat.
“Tolong maafkan aku...” dia memohon dengan penuh
penyesalan.
“Jadi kau sudah memaafkan aku?” desaknya pelan di
antara suaranya yang gemetar, bulu matanya yang lebat dan lentik berkedip pelan.
Mirza memicingkan matanya menyadari sifat keras
kepalanya, “Kau benar-benar gadis yang tidak peka dan aneh, Shivani...Bagaimana
bisa kau menghukum dirimu sendiri seperti ini? Apa yang akan terjadi,
seandainya aku tidak datang mengunjungi Bhabhi Jaan? Mengapa Shivani?”
bentaknya sambil mengusap air mata di pipinya yang pucat lalu menggenggam
tangannya yang sedingin es.
“Karena aku layak dihukum seperti ini karena telah
menyakitimu dan menghinamu dengan kata-kata buruk, di samping itu semua, kau
berpikir aku adalah orang yang kejam dan kau membenci dan jijik padaku.”
Ujarnya polos sambil terisak meski kakinya gemetar.
Bukan waktu yang tepat untuk memperpanjang pembicaraan
ini...dia terlalu lemah untuk bicara sekalipun...”Ayo, kita harus masuk,
terlalu dingin di luar sini.” Mengesamping amarahnya, Mirza mengajaknya dengan
lembut.
“Tidak...aku tidak akan masuk sampai kau memaafkan
aku.” Sekali lagi dia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya.
“Aku memaafkanmu Shivani...Sekarang...ayo masuk ke
dalam.” Mirza menggertakkan giginya dan hampir berteriak menghadapi sikap
kekanakannya.
Shivani tersentak dan mengangkat wajahnya dengan cepat
saat mendengarnya hampir berteriak marah.
“Aku tidak bisa...kedua kaki dan tanganku mati rasa
dan beku...aku tidak bisa menggerakkannya dam demi Dewa jangan berteriak padaku
seperti Bapusa.” Asap tipis dari udara dingin berhembus dari mulutnya setiap
kali dia berbicara atau lebih terdengar seperti menggerutu.
Seulas senyum terukir di sudut bibirnya mendengar
bantahan kecil dari Shivani, bahkan bola matanya yang berwarna biru turut
menari geli meski hanya sedetik, “Kau sangat keras kepala Shivani dan aku
bukannya marah padamu, aku khawatir padamu.” Perlahan dia melepaskan tangan
Shivani yang saling menggenggam dan menggosoknya pelan-pelan.
“Lebih baik?” tanyanya lembut sambil menatap matanya
yang masih sembab.
Shivani hanya bisa terbengong menatapnya sebelum
akhirnya dia ingat untuk menganggukkan kepalanya. Mirza terus menggosok telapak
tangannya dengan gerakan makin cepat.
Perhatiannya...penyesalannya...kemarahannya dan
sentuhan lembutnya telah mengguncang jiwanya... Dalam waktu singkat, dia memperoleh
rasa hormat yang tinggi dan kekaguman tak terbatas dari Shivani dan semua
keraguannya sirna tak berbekas...Sekarang dia yakin bagaimana perasaannya yang
sesungguhnya pada Mirza.
Dengan nada sesal dia bergumam, “Aku benar-benar
menyesal karena pernah tidak menghargaimu, Mirza...kau adalah tamu kami dan aku
sudah memperlakukanmu dengan buruk.”
“Kau masih gemetaran Shivani...kalau sesuatu terjadi
padamu, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.” Katanya sedih bercampur
cemas melihat kondisinya, dia masih mengabaikan permohonan maafnya.
“Aku akan membawamu masuk ke dalam istana. Kau harus
diperiksa oleh Hakim Sahiba secepatnya, hanya makin membiru...kondisimu juga
makin turun.” Ujarnya dengan tegas dan tak mau dibantah.
“Oh...tidak...Kumohon jangan...Masa akan marah besar
padaku, disamping itu beberapa tamu kerajaan ada di dalam istana. Tolong jangan
membuatku malu.” Dia memohon dengan cemas sambil menitikkan air matanya lagi.
‘Yah Allah...apa yang harus kulakukan? Apa yang dia
katakan benar.’sebelum sempat berpikir jauh, Shivani menyarankan dengan tatapan
memohon
“Bisakah kau membawaku ke ruang bermain anak-anak, ada
di samping taman....sebelah sana.” tunjuknya dengan gerakan kepala.
Tanpa membuang waktu lagi, dia membopong Shivani ke
dalam lengannya...Dia sangat ringan, dan bukan hanya tubuhnya, bahkan pakaian
yang dikenakannya pun terasa sedingin es.... dan kenapa dia menatapku sedalam
itu? Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya sambil terus melangkah ke ruang
bermain.
Di dalam ruang bermain cukup gelap, hanya diterangi
oleh cahaya pucat dari sinar rembulan yang masuk dari beberapa kaca berdebu,
perlahan Mirza membaringkannya di atas sebuah ranjang kecil.
“Di dalam lemari itu ada selimut.” Samar-samar Shivani
bergumam...meski dia merasa kedinginan, dia berusaha keras menahannya.
Dengan lembut Mirza menghela sejumput rambut dari
wajah cantiknya dan menyelipkannya di belakang telinganya. Lalu dengan cepat
dia menyelimuti tubuhnya hingga tiga lapis selimut dan menutup semua pintu dan
jendela. Ruangan itu kini lebih gelap, hanya diterangi seberkas cahaya dari
sela jendela dan panel kaca. Membuat keduanya mulai merasa hangat dan lebih
nyaman.
“Ya Dewa...gelap sekali di sini, aku tidak bisa
melihat apapun.” Shivani mulia mengoceh ketakutan.
“Jangan takut Shivani, aku ada di sini...duduk di
samping ranjang...Beberapa saat lagi, kegelapan akan berlalu dan matamu mulai
bisa menyesuaikan.” Jawabnya dengan nada menenangkan untuk meyakinkan Shivani.
Kegelapan menyelubungi mereka dalam diam, sedikit demi
sedikit Mirza mulai bisa melihat sinar matanya di wajah cantiknya.
Setelah beberapa menit berdebat dalam hati, “Mengapa
Shivani?” dua kata yang mencekik tenggorokannya akhirnya mampu dia utarakan
meski dia merasa tidak nyaman. Rasa sakit meledak dalam hatinya. Dia berhasil
menyembunyikan matanya yang sembab di balut kegelapan tapi isakan masih bisa
meluncur dari tenggorokannya dan berpadu dalam suaranya menyerukan perasaannya
yang terdalam.
“Tolong maafkan aku.” Sekali lagi Shivani minta maaf
dengan penuh rasa sesal.
“Untuk berapa banyak kesalahan kau akan minta maaf
Shivani? Kau sudah menyakitiku sebelumnya dengan kata-kata kasarmu dan sekarang
kau menyakitiku dengan tindakanmu. Perlu kau tahu, aku tidak tahan melihat
keadaanmu yang seperti ini...lagipula, kau tidak akan mengerti, kau masih
kekanakan.” Akhirnya dia ungkapkan kesedihannya dengan suara pelan.
“Semua orang memperlakukanku seperti anak kecil dan
bahkan kau juga menganggap aku terlalu kekanakan. Aku tahu, aku tidak bisa
mengerti karena aku bodoh...benar??” balasnya kaku, rasa nyeri merambati
punggungnya...tubuh mungilnya berguncang seirama isakannya.
Dengan cepat Mirza bangkit dari lantai dan duduk tepat
di sampingnya di atas ranjang kecil. Dengan gerakan lembut, tangannya mengusap
pipinya yang basah karena air mata, lalu dia menunduk dan mengecup
keningnya...dengan suara serak di bergumam, “Aku tidak bermaksud menyakitimu
Shivani, tapi aku tidak tahan melihatmu dalam keadaan begini karena
kebodohanku. Semua ini salahku...sejak pertama kali melihatmu aku sudah
menyukaimu, tapi aku berusaha mengabaikanmu dan mencurahkan perhatianku pada
Sukanya agar kau cemburu. Meski akhirnya, melihatmu dalam keadaan begini, aku
sadar aku bukan hanya menyukaimu tapi aku mencintaimu. Aku belum pernah punya
perasaan seperti ini pada siapapun dan kata-katamu membuatku kacau, aku bukan
seorang playboy. Aku menginginkanmu...hanya dirimu dan bukan yang lain.” Mirza
terkejut dirinya akhirnya mengakui semua perasaannya pada Shivani. Dia belum
pernah sejauh ini dengan gadis manapun, degup jantungnya begitu keras hingga
seakan bisa didengarnya. Namun ketika lama tidak ada reaksi dari Shivani, rasa
frustasinya makin menumpuk ditambah kenyataan dia tidak bisa melihat bagaimana
ekspresi gadis itu karena gelapnya ruangan.
Pengakuannya yang tiba-tiba membuat Shivani kehilangan
pegangan. Kesunyian mengisi jarak diantara mereka berdua saat dia masih
berusaha merenungkan semua kata-katanya. Pipinya merona karena pengakuan itu
meski dia masih sangat kedinginan. Saat itu juga, ada perasaan aneh seperti ada
jutaan kupu-kupu menari di dalam perutnya. Tak pernah terbayangkan olehnya,
Mirza akan dengan sangat berani mengakui perasaannya secara langsung, padahal
dia sudah cukup merasa tersanjung dengan semua perhatian dan cintanya. Senyum
malu-malu tersungging di bibirnya.
Mirza makin menunduk, wajah mereka makin dekat hingga
napas keduanya bertukaran di udara. “Kau mencintaiku Shivani?” bisiknya sambil
mengusap lembut rambutnya.
Jawabannya terlalu cepat, tanpa menunggu waktu,
terdorong oleh gairah yang sama, “Ya...aku juga mencintaimu.”
Untuk sedetik dia tidak mempercayainya...”Kau yakin?”
tuntutnya.
“Aku belum pernah seyakin ini dalam hidupku.” Ujarnya
dengan penuh keyakinan.
“Boleh aku menciummu?” tanyanya sedikit ragu.
“Tiga kata dalam pengakuanku telah mengubah hidupku
selamanya. Aku adalah milikmu dan aku menyerahkannya padamu untuk menjaga
kesucianku. Aku telah mengabdikan diriku padamu, jadi kau tidak butuh ijinku
lagi, apakah kita menjadi bagian satu sama lain setelah pengakuan ini?” jawabnya
menyetujui permintaan Mirza sambil terus memandangnya.
“Kau selalu mengejutkanku setiap waktu. Aku hanya akan
mengabdikan diriku hanya padamu, aku berjanji.” Mirza menunduk dan mencium
pipinya...Pipinya yang dingin mengirimkan getaran sejuk ke seluruh tubuhnya.
“Kau masih kedinginan?” tanyanya penuh perhatian.
“Ya, aku masih kedinginan, tapi sudah lebih baik,
sekarang aku sudah bisa menggerakkan lututku, tapi tanganku sepertinya
menyerah. Aku ingin memelukmu, tapi aku tidak bisa menarik atau menggerakkan
tanganku keluar dari selimut ini.” Jawabnya lemah dan terdengar sedih.
Dengan cepat Mirza menangkup wajahnya dan berbisik,
“Jangan takut, kau akan segera membaik.” Dia bertanya serius setelah terdiam
sejenak, “Kau percaya padaku, Shivani?”
“Apa aku masih harus menjawabnya?” tanyanya balik
penuh percaya diri.
Terkadang dia sulit dijangkau dan tak bisa ditebak...
Hanya beberapa jam yang lalu, dia ragu-ragu, bimbang dan menjengkelkan. Di
samping itu, dia mempermasalahkan kepribadianku, lalu mendadak semuanya
berbalik, sekarang dia mempercayakan hidupnya padaku... Sinar mata dan nada
suaranya mengisyaratkan kesungguhan dari semua kata yang diucapkannya, dia
terdengar sangat yakin dan tak tergoyahkan. Ya Tuhan, gadis ini membuatku
tehenyak dengan kepercayaannya yang begitu tak terduga padaku. Apa aku pantas
menerimanya?
“Ya, aku ingin sebuah jawaban...Kau sungguh percaya
padaku?” sekali lagi dia berbisik di telinganya selagi membelai rambut ikalnya
sambil terus menatap matanya.
“Ya...aku percaya, lebih dari hidupku.” Yakinnya
sambil balas menatapnya lurus dengan penuh perasaan.
Wajah Shivani masih membiru dan meski sudah diselimuti
hingga tiga lapis, dia masih gemetar kedinginan. Ya Tuhan!!! Apa yang harus
kulakukan? Tubuhnya harus dibuat hangat, tapi haruskah kulakukan itu? Mampukah
aku mengendalikan diriku? Jika terjadi kesalahan, aku tidak mungkin bisa
menghadapi Bhai Jaan dan Bhabhi Jaan.
“Boleh aku ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk
tubuhmu?” tanyanya ragu dan sedikit tegang.
Untuk sesaat, pertanyaan itu mengejutkan dirinya,
rasanya terlalu gugup dan malu untuk menjawabnya.
“Kau tidak harus mengiyakan, aku mengerti...Aku hanya
ingin menularkan panas tubuhku jadi kau bisa segera merasa lebih baik.”
Terangnya dengan agak canggung.
Ketika Shivani memperhatikannya salah tingkah,
cepat-cepat dia menjawab dengan bisikan pelan, “Aku ulangi, aku adalah milikmu
dan kesehatanku juga adalah bagian dari tanggung jawabmu.” Matanya bersinar
mendambakan sentuhan mesranya.
“Kau benar-benar sulit ditebak Shivani dan
kepercayaanmu yang tiba-tiba padaku membuatku takut. Tolong katakan ya atau
tidak...” tanyanya dengan suara tertahan sambil membelai wajahnya.
“Sekali seorang wanita menyerahkan hatinya pada
seorang pria, maka yang lainnya jadi tidak penting dan dia akan mencurahkan
seluruh perasaannya padanya dan percaya pada semua keputusannya yang
berhubungan dengan dirinya. Mungkin, aku terlihat sulit ditebak, tapi saat
sesuatu terasa salah, aku ingin kau tahu, lebih baik aku mati daripada
membiarkan pria lain menyentuhku. Karena itu, aku tidak takut, selain itu, kau
akan menjadi satu-satunya pria yang boleh menyentuhku, sekarang dan nanti.”
Katanya tegas sambil menatap lurus matanya.
Makin aku mengenalnya, makin aku tergila-gila
dibuatnya. Beberapa jam lau dia bertingkah seperti anak kecil yang lugu dan
keras kepala dan sekarang sikapnya bertolak belakang dari sebelumnya...sangat
dewasa dan percaya diri.
“Kau mirip seperti Bhabhi Jaan, aku tidak pernah
mengira kau sangat berani, teguh dan percaya diri sepertinya dan aku tidak
membiarkan hal buruk terjadi padamu dan jika memang terjadi, aku akan selalu
ada di sampingmu, selain itu, aku yakin Bhai Jaan dan Bhabhi Jaan akan merestui
hubungan kita.” Dia terdiam lalu mencium keningnya.
Dengan gerakan ringan dia menjauhkan wajahnya hanya
untuk bisa melihat kedalaman cintanya yang terpancar dari matanya. Mereka
saling berpandangan dan kesunyian seakan menyambar mereka berdua.
“Shivani, aku takut seandainya aku tidak bisa
mengendalikan hasratku??? Karena sejak aku melihatmu, sejak itu pula aku
memimpikan hal seperti ini...Kau tak bisa membayangkan betapa aku
menginginkanmu!! Aku tidak bisa mempercayai diriku sendiri, dan jika aku
kehilangan kendali, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri.” Dengan
jujur dia mengakui dilemanya.
“Cinta mengalahkan segala ketakutan...Percayalah pada
dirimu dan lakukan apa yang menurutmu benar.” Bisiknya dengan bijak sekali
lagi.
“Shivani, aku bisa bertarung dengan siapapun termasuk
dengan diriku sendiri, tapi tetap saja aku butuh dirimu sebagai bagian dari
keputusan ini...ya atau tidak?”
“Perlukan kujelaskan lagi, tidak bisakah kau melihat
di dalam mataku apa yang sebenarnya kuinginkan?” rona merah menjalar di
wajahnya karena pengakuan itu, bibirnya yang pucat dan membiru pun ikut memerah
malu.
Sikapnya telah berubah, Mirza tidak perlu diyakinkan
lagi. Dia bangkit berdiri sambil tetap menatapnya, lalu membuka kancing
bajunya. Di lain pihak, Shivani menutup matanya dan memalingkannya ke arah
lain... Bahkan di bawah tiga lapisan selimutnya, masih terlihat bentuk dadanya
yang penuh... Setengah tersenyum, dengan cepat dia melepaskan baju atasannya
dan meluncur masuk ke bawah selimut meletakkan setengah bobot tubuhnya sambil
melindungi tubuh Shivani di bawah tubuhnya yang tegap.
Begitu tubuh mereka saling bersentuhan, keduanya
sama-sama tersentak dan menahan napas, mata Shivani masih tetap tertutup namun
seulas senyum muncul di bibirnya tak mampu dia sembunyikan.
Uff...dia sangat lembut dan mungil...dan terasa pas di
bawah tubuhnya...wanginya seperti kelopak mawar...pasti dia telah berendam di
dalam air mawar...ini adalah saat paling menakjubkan dalam hidupnya...seakan
aku tengah bermimpi dan menikmati mimpi indahku itu.
Kulitnya seakan mencair di bawah dadanya,
dibenamkannya bibirnya ke bawah lerhernya. Keheningan menguasai
mereka...Satu-satunya suara yang terdengar jelas adalah bunyi napas mereka.
Awalnya, dia ragu-ragu dan dan merasa tegang tapi lama-kelamaan pertahanan
dirinya mulai kendur. Sentuhan lembut antara kulit mereka dengan mudah
membangkitkan insting alaminya. Keduanya saling memeluk dengan erat. Dalam
waktu satu menit, darahnya yang sebelumnya terasa beku mulai menghangat karena
gairah... Bibirnya yang masih menempel di bawah leher Shivani mulai memercikkan
api gairah. Hanya karena ingin merasakan yang lebih, Shivani mengangkat
lehernya menyambut kecupannya.
Perlahan, sedikit demi sedikit, perasaan gairahnya
yang pertama membuat Mirza makin bersemangat, tanpa sengaja tangannya mulai
menjelajahi lekukan tubuhnya. Tiba-tiba, tangannya meremas bagian tubuhnya yang
montok, dadanya yang lembut, dan tubuhnya memperingatkan otaknya untuk menahan
gairahnya. Tak diduga, aksinya berhenti dan dia meminta maaf dengan tulus
melalui matanya, “Maafkan aku...aku tidak bermaksud untuk...”
Sebelum Mirza bicara lagi, tangan Shivani yang dari
tadi tak bergerak, tiba-tiba memeluknya ringan, “Shivani, kau begitu
baik....Sungguh, kau sama sekali orang yang berbeda.” Gumamnya sambil menatap
lurus pada bibirnya yang bergetar dengan tatapan penuh gairah ingin
menguasainya.
“Berubah lebih baik atau buruk??” tanyanya.
“Berubah dari pahit menjadi sangat manis...dan aku
suka yang manis.” Bisiknya penuh gairah sambil terus menatap bibirnya dan
hasrat yang tak tertahankan untuk mencium bibir Shivani.
Keduanya sama-sama terdiam tapi diselimuti
gairah...”Bolehkah aku...?” pintanya memohon dan itu membangkitkan gairah
Shivani. Pandangannya yang penuh damba dan gairah telah menghipnotis Shivani,
seluruh tubunya berdesir penuh gairah, tatapannya hanya tertuju pada bibir
Shivani yang bergetar, napasnya yang berat mengirimkan sensasi yang memabukkan
saat jemarinya mengusap lembut bibir bawah Shivani dengan keinginan untuk mengecap
rasanya.
Begitu jari Mirza menyentuh bibirnya...milyaran
sensasi menggelitik perutnya, di bawah sentuhannya, tubuhnya membeku dan
tangannya mencengkeram tubuh Mirza dengan lebih kuat. Bibirnya otomatis terbuka
saat napas Mirza berhembus di wajahnya. Dengan sebuah tatapan yang
mengisyaratkan persetujuan, Shivani menghapus jarak diantara bibir mereka dan
memejamkan matanya dalam penyerahan dan menanti saat mimpinya menjadi
kenyataan.
Begitu Shivani menyerahkan dirinya, sebuah kesadaran
menghantamnya...’Ya Tuhan dia masih sangat muda untuk disentuh dan dicium meski
itu untuk membuat dirinya lebih baik, tapi aku tidak tahan lagi...suatu hari
dia akan menjadi milikku dan kami saling mencintai’. Pertentangan batin antara
gairah dan otaknya membuatnya seakan berada di ujung tanduk. Belum sempat dia
memutuskan, Shivani makin mendekatkan dirinya...
Tanpa menunggu lagi, Mirza menunduk dan sesaat sebelum
dia menguasai bibirnya yang bergetar, dia masih berusaha bertahan, “Kau masih
sangat muda dan rapuh untuk disentuh Shivani.” Bibirnya yang hangat bersentuhan
dengan bibir Shivani yang dingin, hanya sedetik saja dia bersikap lembut, dan
detik berikutnya dia tak bisa mengendalikan dirinya dan lupa kalau ini adalah
ciuman pertama Shivani... dia terlena dalam sentuhan lembutnya, gairahnya mulai
terbakar dan mulai membangkitkan getar-getar nafsu dalam tubuhnya. Rasa
laparnya akan sentuhan Shivani membuatnya gila, dan tak ada waktu untuk
diam...bersabar...cemas...dia mencumbu...menghisap...dan mencecapnya dengan
penuh hasrat seakan tak ada lagi hari esok... Lengannya memeluk bahunya dengan
erat dan mulutnya memerangkap Shivani di bawahnya. Ciumannya yang tiba-tiba dan
dirinya yang tak punya pengalaman membuat Shivani terperangah...dia tidak tahu
bagaimana caranya merespon sebuah ciuman, untunglah Mirza juga merasakannya dan
dia memahami dilema Shivani. Lalu dengan lembut...pelan-pelan dia memisahkan
bibir mereka...lidahnya bergerak dengan sensual di sekeliling bibir Shivani
yang bengkak, “Cium aku Shivani.” Bisiknya.
Saat Shivani tidak bergerak menuruti permintaannya,
Mirza terdiam dan kembali berbisik, “Shivu, cium aku.” Gumamnya merayu.
Tangan Shivani mulai berpindah dari punggung ke
belakang leher Mirza...dan perlahan dia membalas ciuman Mirza.
Mirza makin mempererat pelukannya dan dia berkata
dengan nada meminta, “Berjanjilah kau tidak akan menyakiti dirimu sendiri
seperti ini dalam keadaan apapun.”
“Selama kau mencintaiku. Aku berjanji.” Yakinnya.
Keduanya terseret dalam pusaran gairah di balik
selimut itu dan terbelit dalam pelukan selama satu jam. Mirza menciuminya tanpa
henti di bibirnya...pipi...cuping telinganya...dan lehernya, dia tidak bisa
bertahan di satu tempat tapi beberapa kali tangannya ditarik untuk menyentuhnya
dengan sensual.
“Bagaimana keadaanmu, lebih baik kan?” dia bertanya
penuh perhatian.
“Menakjubkan.” Jawabnya langsung sambil tersenyum
puas.
‘Ya Tuhan!!! Dia masih sangat muda, baru enam belas
tahun...Dia bahkan belum tahu nama lengkapku. Kenapa aku menyentuhnya dengan
tidak pantas... Apa yang telah kulakukan? Sudah dua jam dia bergelung dalam
pelukanku... tidak mengerti betapa sulit dan menyakitkannya bagi seorang pria
untuk menahan nafsunya pada tingkat ini... Aku menginginkannya sekarang...Kalau
dia mengulum cuping telingaku lagi, aku tidak akan mampu menahan diri lagi...
Aku takut akan menuntaskannya saat ini juga. Di lain pihak, dia sedang merasa
takjub dan bagian terburuknya aku tidak ingin memisahkan diriku dari dirinya.’
“Kau tahu jalan rahasia menuju ke kamarmu?” tanyanya
tiba-tiba.
“Ya...tapi aku tidak ingin kembali.” Jawabnya yakin
sambil mempererat pelukannya , kembali mengecup bawah lehernya. Mirza mengerang
frustasi.
“Harus, ingat saat kau bilang kau adalah tanggung
jawabku...Jadi tidak ada pilihan...Ayo, aku akan mengantarmu.” Perintahnya tegas.
“Kau tidak bisa menyuruhku seenaknya.” Balasnya kesal.
“Ya..aku bisa sayangku...Sekarang hampir jam 3 pagi
dan ada banyak tamu di dalam istana. Jika kau tidak mau aku menggendongmu
melewati pintu utama, maka sebaiknya kau bangun sekarang juga dan tunjukkan
jalan rahasianya.” Perintahnya tegas.
“Baik...kenapa kau tiba-tiba jadi kesal dan
marah-marah?” sungutnya sambil menguap dan meregangkan tangannya keluar.
“Pakailah Jama-mu dulu, dan omong-omomg aku tidak tahu kalau kau tiper orang
yang suka mendominasi.” Protesnya kesal.
“Sepertinya kau lebih cocok ada di luar dalam cuaca
dingin ini...bisa mendinginkan temperamenmu.” Bentaknya sambil mengenakan baju
atasannya, tapi dia tidak bisa menyembunyikan canda di matanya.
“Kenapa tiba-tiba kau terasa menjauh dan ingin segera
berpisah? Sepertinya tidak masalah bagimu kau akan pergi hari ini.” Shivani
juga turun dari ranjang dan merapikan pakaiannya dengan kesal.
“Memangnya aku harus bagaimana, menangis?” tanyanya
manis.
“Aku merasa sedih tapi kau tidak.” Ujarnya sedih
dengan nada yang dilebih-lebihkan.
‘Bagaimana caranya aku memberitahumu kalau semuanya
terjadi dengan cepat...? Bahkan aku tidak bisa menjelaskan pada diriku sendiri.
Bahkan aku sendiri masih tak percaya...Bagaimana caraku memberitahumu kalau aku
butuh beberapa waktu?’
“Aku tidak terbiasa mengumbar perasaanku dalam
kata-kata tanpa bukti, bukan itu yang kucemaskan atau yang kupikirkan.” Dia
memutar otaknya dan mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi bahkan kata-kata
yang ingin dia ucapkan terdengar asing di telinganya sendiri...
“Tapi mengapa kau terlihat sama sekali tidak peduli.
Kau tidak memujiku meski hanya sekali saja...Aku ragu kau sungguh-sungguh
mencintaiku atau hanya menganggapku cantik saja. Kau benar-benar serius
denganku?” tuduhnya kasar tanpa berusaha untuk memahami dilemanya.
Mirza memiringkan kepalanya, menatap Shivani dengan
kekecewaan yang tertahan dan tersirat jelas di matanya.
‘Dia gadis yang sangat aneh, beberapa jam yang lalu
dia mempercayakan hidupnya padaku dan sekarang dalam sekejap dia merasa tidak
punya keyakinan.’
Dengan lembut Mirza menangkup wajah Shivani dan
membelainya lembut, “Mengapa tiba-tiba kau merasa tidak yakin? Mengapa kau
meragukan aku? Dengar, jangan khawatir, aku butuh beberapa waktu untuk
merenungkan ini semua. Aku tidak bisa berjanji akan membawamu ke Agra hari ini
sampai aku dapat ijin dari Bhai Jaan, dan Shivani, aku tidak tahu caranya
memuji...aku punya seratus lebih wanita di haremku tapi tidak satupun yang
kusukai seperti aku terpikat padamu...Aku belum pernah mengatakan cinta pada
seorang wanita...tapi Shivani, aku telah mengakui cintaku padamu...”
Sambil menelan ludah dan menarik napas dengan cepat,
Shivani mengulangi kata-katanya...”Ohh tidak...kau punya seratus lebih
wanita...” Matanya melebar dan alisnya naik karena terkejut.
‘Apa? Apa itu hal baru untuknya? Setiap keluarga
bangsawan punya seorang wanita di haremnya. Dia pikir aku seorang malaikat atau
apa?’
“Ya...kupikir kau cukup berpikiran terbukan dan cukup
dewasa untuk mengetahui informasi kecil ini, jadi aku tidak menjelaskan
apa-apa, dan lagipula tidak satupun yang kuanggap penting dalam hidupku. Jadi,
demi Tuhan, tak perlu bereaksi seperti itu. Kau tahu sebagian besar dari mereka
adalah demi kepentingan politik dan aku pun tidak menikahi satupun dari mereka
secara resmi atau terikat pada satu wanita...Aku tidak punya anak dari mereka
jadi kumohon jangan kecewa.” Mirza membela dirinya sendiri dengan nada sedih.
“Pertama, ini bukan informasi kecil, pakai otakmu, aku
bukan Mughal dan para pria Rajvanshi tidak memiliki yang kau sebut Kemewahan
Harem dan hampir semua pria tidak berteriak padaku. Coba katakan, saat kau
menciumku, apa kau membandingkan aku dengan wanita lain milikmu? Kau masih bisa
merubah keputusanmu jika kau pikir aku tidak cukup berpikiran terbuka dan tidak
cukup cantik untukmu...” katanya hampir menangis.
“Shivani, kau sangat marah dan kau lupa...aku belum
mengatakan apa-apa tapi kau sudah memusuhiku. Bagaimana bisa kau berpikir aku
membayangkan orang lain saat aku menciummu? Kau tahu Shivani....Aku mencintaimu
dengan sepenuh hati tapi sepertinya itu tidak cukup untukmu...tak dapat
disangkal lagi kau belum cukup dewasa untuk bisa memahami rasa cintaku padamu.
Kau sudah memberiku satu ultimatum...dan jelas kau sudah mengambil keputusan.”
Sikap Shivani yang angkuh membangkitkan amarahnya hingga pada satu titik
dimana, nada suaranya terdengar datar meski emosi menguasai dirinya.
“Baik, aku tahu jawabanmu, tidak perlu ada penjelasan
lagi. Sepertinya aku memang terlalu kekanakan untuk seleramu...Terima kasih
sudah menyelamatkan hidupku Jenderal Mirza, aku tidak ingin melihat wajahmu
lagi sampai kapanpun.” Katanya dengan tajam, keras dan bernada pahit.
‘Apa? Begitu saja...dia sangat sombong.’ Kata-katanya
telah menorehkan luka di hatinya, setelah beberapa saat kesunyian yang
memekakkan telinga, Mirza menjawab dengan sikap manis yang dibuat-buat,
“Baiklah...sesuai keinginanmu sayangku, aku akan mengantarmu.” Egonya sebagai
laki-laki telah terluka dan dia tidak berniat untuk merayunya lagi.
“Aku bisa melakukannya sendiri, kau sudah banyak
membantuku dan aku akan mengingatnya seumur hidup...dan omong-omong, aku sudah
enam belas tahun bukannya lima tahun.” Teriaknya sengit.
Mirza mengerang dalam hati dan belum sempat dia
bersiap-siap, Shivani sudah berjalan keluar dengan marah.
Mirza berjalan di belakangnya sambil membawa selimut.
“Shivani...pakai selimutnya, di sini sangat dingin.” Teriaknya.
Shivani memutar tubuhnya dengan kesal dan menjawab
sinis, “Seperti yang kau katakan tadi, cuaca dingin bagus untuk
temperamenku...jadi biar saja.”
Dengan berat hati, Mirza menatapnya pergi di bawah
cahaya bulan yang pucat hingga dia menghilang, masuk dengan aman ke dalam
istana.
*********