LOVE PROTOCOL
By Tyas Wardani
Chapter 2
Mossef terpaku.
Katti memang tidak berteriak
atau melemparkan barang-barang ke lantai. Akan tetapi, tiap kata yang terucap
dari mulutnya terdengar begitu sengit, dingin menusuk, dan tajam, seakan
mampu mengiris lapisan kulit yang melindungi tulangnya.
Katti yang dulu dikenalnya tidak
pernah marah. Wanita yang selalu menerima apa adanya, itulah kebaikannya. Penuh
semangat dan keceriaan. Namun sekarang, yang ada di hadapannya adalah seorang
wanita yang dingin. Yang hatinya telah beku dan tenggelam ke dasar kegelapan.
Dan semua itu tidak lain karena dirinya.
“Baik... aku tidak akan mendekat
lagi.”
Mossef mengalah, dia mengambil
dua langkah mundur. Jika Katti bilang mereka tidak saling kenal, kali ini dia
mengiyakan saja. Tapi bukan berarti dia akan meninggalkan Katti. Sama sekali
tidak. Dia hanya ingin menghormati perasaan Katti.
Mossef merasa dirinya memang salah, terlalu terburu-buru. Entah bagaimana,
tiba-tiba saja dia merasakan hentakan impuls yang kuat dari dalam dirinya ingin
memeluk Katti. Mungkin karena dia sudah terlalu lama menahan semuanya.
Bayangkan saja, dia seorang pria yang sehat dan bugar, tapi sudah lama dia
tidak menyentuh wanita, satupun, selama tujuh tahun ini. Dan akibatnya, terjadi
hubungan arus pendek antara otak, hati dan bagian bawah tubuhnya.
Katti masih menatapnya tajam.
Dari posisi tubuhnya, sepertinya dia siap menghajarnya kapanpun dia bergerak
mendekat.
“Aku akan melanjutkan pekerjaanku.
Lebih baik anda meninggalkan kamar ini untuk sementara hingga aku selesai.”
kata Katti dingin.
Di telinga Mossef, kalimat itu
tidak terdengar sebagai permintaan, tapi lebih mirip perintah.
“Tidak, aku janji tidak akan
mengganggumu. Tapi aku tetap menunggu disini.”
“Terserah anda.”
Katti melanjutkan pekerjaannya
mengganti sprei, melakukannya senormal mungkin seakan perdebatan mereka baru
saja tidak pernah terjadi.
Mossef berdiri menyandar dinding
di samping pintu masuk sambil terus memandangi Katti. Dia akan memandanginya
terus sampai puas. Karena dulu yang bisa dilakukannya hanyalah memandangi gambar
dirinya saja, sekarang katti benar-benar hadir di depan matanya.
Meski begitu dia tak kuasa
tersenyum. Guratan penyesalan tampak jelas di wajahnya, melihat
kondisi Katti-nya sekarang.
Tidak selayaknya Katti melakukan
pekerjaan bergaji rendah seperti ini, merapikan ranjang yang ditiduri oleh
orang lain, menyikat toilet yang dikotori oleh orang lain, dan menyiapkan semua
kebutuhan orang lain. Bagi Mossef, Katti-lah yang layak dilayani bukannya
melayani, karena berkat tangan Katti-lah dia bisa menjadi Mossef seperti
sekarang ini. Berkat Katti-lah dia mampu membangun pabrik, hotel, dan
perkebunan. Tapi orang yang paling berjasa dibalik semua kesuksesannya, justru
masih harus bekerja keras seperti ini.
Mossef duduk membungkuk di sofa.
Punggungnya makin terasa berat karena beban yang tak terlihat. Dia menyusurkan
tangan pada rambutnya yang lebat karena frustasi. Tadi pagi dia sudah berdandan
rapi, mencukur cambangnya dan menyemprotkan parfum kesukaan Katti. Tapi
ternyata daya tariknya tidak mampu meruntuhkan dinding emosi yang dibangun oleh
Katti. Dia pasti terlalu percaya diri membayangkan Katti akan langsung luluh
pada pesonanya. Delapan tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk
menghilangkan jejak-jejak perasaannya pada orang lain.
Bila koleganya melihat
penampilan Mossef saat ini, tidak akan ada yang percaya bahwa pria itu adalah
Mossef yang mereka kenal. Di mata dunia, Mossef Faraj Yazeed adalah pebisnis
tangguh dengan pemikiran secepat leopard. Dia bisa mengendus kelemahan lawan
bisnisnya dengan sangat cepat dan menaklukkannya. Dia membangun bisnisnya dari
nol dan melesat maju hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun. Wajahnya tidak tampan, tapi garis-garis keras di sekitar mulut dan matanya justru
menekankan sisi maskulin dari dirinya. Matanya setajam elang dikombinasikan
dengan alisnya yang tebal khas pria Timur Tengah. Mata itu menjadi magnet bagi
kaum hawa dan menjadi senjata pembunuh paling mematikan bagi lawan bisnisnya.
Siapa yang menyangka pria
sehebat ini tidak berdaya menghadapi gertakan seorang wanita Kazakhstan. Katti
benar-benar menguasai hidupnya. Hanya Ibu dan adik perempuannya yang tahu,
bagaimana dia menghabiskan malam-malamnya yang sepi selama bertahun-tahun ini
hanya dengan memandangi foto Katti. Tidak terhitung uang yang dihabiskannya
untuk menyewa detektif demi menemukan Katti. Keberuntungan mulai memihak
dirinya saat dia mempekerjakan Raouf Maliq, pengawal sekaligus asisten
pribadinya. Berkat Raouf-lah, ada titik terang dalam melacak keberadaan Katti.
Sementara Mossef tenggelam dalam
pikiran-pikirannya, Katti telah menyelesaikan semua tugasnya dan bersiap untuk
keluar dari kamar itu. Suara klik dari pintu yang dibuka, menyadarkannya dari
lamunan.
“Katti...”
Mossef buru-buru berdiri dan
memanggilnya.
Langkah Katti tertahan di
tengah-tengah pintu yang terbuka, tapi tubuhnya tetap membelakangi Mossef...
“Emmm....Katti, kenapa kau
memotong rambutmu?”
BLAM.
Katti tidak menjawab, malah
langsung menutup pintu di belakangnya.
Mossef merasa bodoh sekali, banyak
hal yang ingin ditanyakannya, tapi kenapa malah bertanya soal rambutnya?!
Merasa geram pada dirinya sendiri, Mossef makin keras mengacak-acak rambutnya
sambil mengerang dan merutuki kebodohan dirinya.
Begitu pintu tertutup,
cepat-cepat Katti mendorong lori peralatannya pergi. Dia tidak akan mengijinkan
dirinya sendiri untuk diam apalagi berpikir. Lebih baik dia terus bekerja agar
semua pertanyaan ataupun kenangannya bersama pria itu tidak muncul dalam
otaknya.
Hari sudah malam saat Katti selesai
dengan semua tugasnya, dan saatnya untuk pergantian sif. Dia terduduk lemas di
bangku panjang dekat lokernya, di ruang ganti pribadi karyawan hotel. Katti
belum juga mengganti seragam cleaning service-nya. Tubuh dan pikirannya terasa
lelah membuatnya malas untuk bergerak. Beberapa temannya sesama karyawan hotel
menyapa dirinya, tapi dia hanya balas tersenyum pada mereka.
Sebuah pesan singkat masuk ke
ponselnya. Dari Lola, mengabarkan bahwa dia sudah menunggu Katti di luar gedung.
Katti memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, meraih bajunya dan menuju
bilik di sudut ruang karyawan untuk berganti pakaian. Setelah itu dia bergegas menyusul
Lola di luar dan pulang bersama.
Suhu udara bulan Oktober di Oslo
sudah cukup menggigit tulang. Saat ini masih baru awal musim dingin, tapi salju
turun lebih awal. Saat pertengahan musim dingin nanti, suhu udaranya bisa jauh
di bawah 0 derajat. Katti merapatkan mantel hangatnya hingga menutupi seluruh
lehernya saat dia melangkahkan kakinya keluar dari Grand Hotel. Dilihatnya Lola
sudah menunggu di teras hotel.
Bersama-sama mereka berjalan
menuju perhentian trem terdekat. Tiba-tiba saja langkah Lola terhenti, membuat
Katti yang ada di sebelahnya ikut heran..
“Ada apa?”
“Sepertinya ada yang mengikuti
kita!”
“Benarkah?!”
“Ya, dan kurasa dia sudah
mengikuti kita sejak keluar dari Grand Hotel.”
Katti mengatupkan bibirnya dan
berpikir, tidak terbersit siapa orang yang sedang membuntutinya.
“Jangan takut. Bersikaplah biasa
saja. Mungkin itu hanya salah satu penggemar rahasiamu.” kilah Katti agar Lola
tidak ketakutan.
“Lebih baik tidak punya
penggemar daripada membuatku ketakutan seperti ini.”
“Tenang saja... Dia tidak akan
berani macam-macam di tempat terbuka. Sebaiknya kita jalan lebih cepat dan tetap
berbaur di kerumunan...”
Lola mengangguk dan keduanya
melanjutkan berjalan dengan langkah cepat sejauh dua blok lagi hingga sampai di
perhentian trem.
Hufft... nyaris saja... Mossef
menarik napas lega. Hampir saja dia ketahuan. Sejak Katti keluar dari kamar
hotelnya tadi siang, dia terus memikirkan cara untuk mendekati gadis itu.
Berjalan mondar-mandir di dalam kamar, tidak juga berhasil membuat otak
briliannya bekerja. Tidak satu carapun ditemukannya.
Dan malam ini dia berakhir
dengan membuntuti Katti. Tidak seperti Raouf yang lihai membuntuti targetnya,
Mossef belum pernah membuntuti siapapun. Hanya keinginan untuk selalu dekat dan
memastikan keselamatan gadisnya, yang mendorongnya melakukan aksi konyol
seperti ini. Semoga saja Katti tadi tidak ketakutan, harapnya cemas..
Raouf tadi sempat menawarkan
diri untuk menemaninya, tapi dia menolaknya karena ingin menikmati momen ini
sendirian. Memandang cara Katti berjalan, melihat rambutnya bergerak-gerak
tertiup angin musim dingin, dan menghirup jejak-jejak aroma tubuh Katti yang
menguar di udara. Hal sekecil ini saja bisa membuatnya hidup, apalagi jika impiannya
menjadi nyata, bisa bergandengan tangan dengan Katti menikmati musim demi musim
berdua.
Jauh di depannya, Katti dan
temannya sudah naik ke atas trem dan berbaur dengan penumpang lain. Mossef tidak
ambil resiko dengan ikut naik trem, karena dirinya akan mudah terlihat oleh
Katti. Dia tidak ingin Katti menghilang dan menjauh lagi dari jangkauannya. Akhirnya
dia menelpon Raouf...
Tujuh menit kemudian, Raouf
sampai di tempatnya...
“Maaf Raouf, kau bisa kembali ke
hotel. Aku akan bawa mobil ini.”
“Apa anda akan tidur di luar,
Sir?”
Mossef hanya mengedikkan bahunya.
Raouf mengerti, dia tidak bertanya apa-apa lagi...
Mossef mengendarai mobil
sewaannya ke arah selatan kota. Dia bukanlah warga kota ini, jalan inipun juga baru
pertama kali dilewatinya. Meski begitu, tanpa canggung dan bingung Mossef mengikuti
dengan tepat petunjuk yang diarahkan Raouf tadi siang. Pikirannya hanya tertuju
pada satu titik tujuan.
Mobilnya berhenti di seberang sebuah
gedung apartemen. Dia parkirkan di antara jajaran mobil di pinggir jalan.
Dimatikan mesinnya dan dia duduk termangu di dalamnya. Sistem penghangat mobil
bekerja dengan baik, membuatnya cukup nyaman berada di dalamnya..
Dari balik jendela mobilnya yang
tertutup dan berembun karena perbedaan temperatur udara di luar dan di dalam
mobil, Mossef memandang ke arah gedung di seberangnya. Satu.. dua.. tiga...
Lantai tiga, jendela paling kanan. Itulah kamar flat Katti, sesuai petunjuk
Raouf. Sejak mereka datang kemarin, Mossef langsung memerintahkan Raouf
menyelidiki semua hal yang berkaitan dengan Katti-nya. Mulai dari rutinitas
pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan teman-temannya. Terutama teman prianya.
Pandangan Mossef terus melekat
pada jendela itu. Matanya menerawang jauh, seolah bisa menembus dinding tebal
gedung apartemen. Dan dia membayangkan apa saja yang sedang dilakukan Katti di
dalam sana. Lampu kamarnya masih menyala, pertanda Katti masih belum tidur.
Mungkin dia masih memasak makan malam, atau mungkin dia masih menonton TV, atau
bahkan mungkin dia sedang membersihkan badannya. Bayangan tentang Katti yang
sedang membersihkan tubuh rampingnya membuat hormon testosteronnya sedikit
terpompa. Tidak mengherankan, gairahnya sudah tertahan selama bertahun-tahun.
Dan sekarang gairah itu mendesak keluar dari tubuhnya. Namun hanya Katti yang
bisa memuaskannya.
Hingga pagi, Mossef tidak
memejamkan matanya sama sekali. Badannya terasa pegal dan kram di kedua kakinya
karena duduk di dalam mobil semalaman, ditambah udara yang sangat dingin. Pagi
ini, dia sudah merencanakan sebuah kejutan manis untuk Katti. Meski dia tahu,
kejutannya akan berakhir di tempat sampah. Tapi setidaknya Katti tahu, bahwa
Mossef masih mengingat setiap detail, hal yang disukai dan tidak disukai oleh
Katti.
Sementara itu, seseorang mengetuk pintu apartemen Katti. Lola yang baru saja mandi, bergegas membukanya.
Seorang pria berdiri di luar
pintu.
“Ya?”
“Bunga untuk Nona Katti..”
Lola mengangkat alisnya. Penasaran...
“Dari siapa?”
“Tidak dicantumkan nama
pengirimnya. Silakan tanda tangan disini.”
Si pengantar langsung pergi
setelah Lola membubuhkan tanda tangannya. Gadis itu membolak-balik buket bunga
itu berharap ada petunjuk tersembunyi di dalamnya. Tidak ada. ‘Bunga yang indah. Dari seorang penggemar
rahasia?’ Tanyanya dalam hati. Baru kali ini Katti menerima kiriman
bunga...
Kemudian dia berteriak memanggil
Katti yang masih berada di dalam kamarnya.
“Katti, ada bunga untukmu.”
“Bunga?!..... Dari siapa?”
Katti melongok dari dalam
kamarnya.
“Tidak tahu. Di kartunya juga
tidak ada namanya..”
Penasaran, Katti mendekat.
Diambilnya bunga dari tangan Lola dan dibacanya tulisan yang terselip di
buketnya. ‘Untuk Katti’. Hanya itu saja, tanpa nama pengirim.
`White Lilly...hanya satu orang yang tahu aku suka bunga ini.` tebak
Katti dalam hati.
Dipandanginya lekat-lekat bunga
itu. Warna putih kesukaannya. Bunga yang melambangkan kesederhanaan dan
kesucian. Bukan mawar yang mewah atau anggrek yang mempesona.
White Lilly.
Ingatannnya melayang ke sepuluh
tahun yang lalu saat dia menceritakan bunga pilihannya yang akan menghiasi
upacara pernikahan mereka. Pria itu mendengarkan... Hanya mendengarkan..
dirinya yang sedang bercerita dengan perasaan berbunga-bunga. Tak berkomentar.
Tidak juga membantah.
Kenyataannya, bunga itu tidak
pernah diantarkan ke tempatnya. Tidak pernah ada bunga... Tidak pernah ada
pesta pernikahan... Dan white lilly pun terlupakan....
‘Lalu.. kenapa sekarang?.. Benarkah dia mencariku?... Apa pertemuan
kemarin siang memang sudah direncanakannya?... Untuk apa? Dia sudah punya
segalanya... Untuk apa lagi mencariku yang tidak punya apa-apa?...
Merindukanku? TIDAK MUNGKIN... Dulu tidak ada... sekarang juga tidak ada...’
“Kau tahu siapa kira-kira yang
mengirimnya?”
Pertanyaan Lola membuyarkan
lamunannya..
“Tidak tahu. Mungkin teman-teman
di hotel iseng mengerjaiku...”
Dimasukkannya buket bunga itu ke
dalam kantong sampah di bawah konter
dapur.
“Ingatkan aku untuk membuang
sampah ke bawah!”
Lola tidak terkejut melihat
temannya itu dengan entengnya membuang buket bunga seindah itu. Dia tidak
berkomentar apa-apa, tapi rasa penasaran tetap menggelitik pikirannya...
Katti menawarkan secangkir kopi
yang baru diseduhnya, dan Lola tidak menolaknya. Rasanya nikmat sekali
menikmati secangkir kopi panas di cuaca sedingin ini. Mereka berdua duduk
menyesap kopinya dan masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri...
Sesekali Lola melirik ke arah
Katti yang sedang memandang keluar dari jendela yang buram... Menurutnya, Katti
tidak terlalu jelek untuk ukuran seorang wanita. Kulitnya putih halus khas daratan
Asia, rambutnya hitam gelap meski itu bukan warna aslinya. Kontur wajahnya
sangat feminin dengan bibir mungil dan mata yang berwarna coklat hangat. Itu
saja sudah cukup membuat beberapa pria menoleh ke arahnya. . Jadi, wajar saja jika ada
seseorang yang tertarik padanya. Hanya saja sikap
dinginnya yang membuat mereka berbalik menjauh. Dan Lola yakin, yang mengiriminya bunga itu
adalah seorang PRIA...
Setelah menghabiskan kopinya,
Katti masuk kembali ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap. Kamarnya berukuran
kecil dan memang hanya diperuntukkan untuk satu orang saja, hanya ada lemari
pakaian dan satu tempat tidur single di dalamnya. Dirasakannya udara dingin dari
luar dengan keras kepala menembus masuk tembok-tembok di dalam kamar ini.
Membuatnya teringat pemanas di apartemennya harus segera diperbaiki agar mereka
berdua tidak mati beku saat puncak musim dingin nanti.
Itu artinya dia harus segera
berangkat agar jam kerjanya tidak terpotong. Tadi, sempat terpikir untuk
mengambil jatah cutinya hari ini demi menghindari pertemuannya lagi dengan pria
itu, tapi diurungkannya. Pria itu bukan siapa-siapa, dia hanya salah satu tamu
hotel. Dia tidak akan merelakan gajinya dipotong hanya demi seorang pria ‘bukan
siapa-siapa’. Gajinya sangat berharga untuk membayar ongkos perbaikan pemanas
ruangan.
Katti menguatkan tekadnya, jika
mereka akan bertemu lagi hari ini, biarkan saja semuanya terjadi. Mereka dua
pribadi asing yang tidak saling mengenal. Aku bukan Katti-nya.
Katti berjalan keluar dari
apartemen sambil menenteng kantong sampah yang dia ingat untuk dibuangnya.
Diletakkannya kantong itu diantara sampah-sampah lain di tepi jalan, tempat
truk sampah biasa mengangkutnya.
Saat dia hendak melangkah pergi,
pandangannya dengan tidak sengaja tertumbuk pada sebuah mobil di seberangnya.
Bukan mobilnya yang menarik perhatiannya, tapi orang yang ada di balik
kemudinya. Kaca mobilnya terang membuat orang yang duduk di dalamnya dapat
terlihat jelas dari luar. Katti mematung. Pria itu membuka pintu dan keluar.
Dia tersenyum dan melambai dengan canggung ke arah Katti.
‘Jadi dia sudah tahu tempat tinggalku... Berarti yang mengikuti kami
semalam..?’
Katti berbalik dan terus
melangkah pergi. Tidak menghiraukannya, apalagi membalas lambaiannya. Dia
anggap pria itu tidak ada di sana.
‘Mossef, apa yang kau harapkan? Dia akan membalas senyumanmu? Dia akan
berterima kasih atas kejutanmu? Dia akan ikut naik mobilmu?... Jangan bermimpi
terlalu tinggi, kawan..’ itu suara hati Mossef yang memarahi dirinya
sendiri..
Mossef menyalakan mesin
mobilnya. Saat memutar dan melewati tumpukan sampah di depan apartemen Katti,
dia sempat melihat setangkai white lilly menyembul dari salah satu kantong
sampah itu.
Dia tersenyum....
*************
PS: Penulis berhak mengubah isi tulisan sewaktu-waktu