LOVE PROTOCOL
by Tyas Wardani
**********
Cerita berikut adalah
fiksi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan peristiwa, itu semua adalah kebetulan semata.
*********
Chapter 1
Pukul 6.00 pagi, kota Oslo masih diselimuti
kegelapan. Pada awal musim dingin di bulan Oktober, matahari baru akan
menyinari kota ini sekitar pukul 8 pagi. Jalanan masih sepi, belum tampak
aktivitas yang berarti. Sebagian besar penghuni kota ini masih menikmati
lelapnya tidur dalam dekapan hangat buaian ranjang masing-masing.
Tapi tidak bagi gadis itu, di waktu sepagi
ini dia telah menyelesaikan hampir separuh tugasnya.. Menyikat ubin marmer dan
bath tub kamar mandi, mengganti handuk dan sprei, merapikan tempat tidur,
memeriksa kelengkapan peralatan mandi dan persediaan minuman di lemari
pendingin, membersihkan lantai dan karpet kamar utama, serta memastikan tidak
ada satupun noda dan kotoran tertinggal di semua sudut kamar hotel.
Hotel Grand Heritage adalah hotel paling
terkenal yang lokasinya ada di pusat kota Oslo. Gedung 5 lantai yang memiliki 290 kamar mulai dari standard room sampai Presidential Suite. Mengutamakan
kualitas layanan dan kenyamanan bagi para tamunya. Hotel ini menjadi tempat
menginap paling direkomendasikan terutama saat liburan musim panas dan dingin.
Katti, panggilan dari Kattirina Katic,
sudah bekerja di hotel ini selama hampir delapan tahun. Beruntung dia
mendapatkan pekerjaan di hotel mewah itu sebagai staf layanan kebersihan
mengingat statusnya adalah seorang imigran. Karena kebanyakan imigran yang ada
di negara ini bekerja hanya sebagai staf rumah tangga. Dengan catatan kerja
tanpa cela, dia mampu bertahan dan mendapatkan kepercayaan penuh dari pihak manajemen
hotel.
Sebagai tempat tinggalnya atau lebih
tepatnya sebagai tempatnya untuk tidur, Katti menempati sebuah flat sederhana
di pinggiran kota. Jarak antara flat dan hotel tempat kerjanya cukup jauh. Dia
harus berjalan sejauh empat blok lalu naik trem ke pusat kota dan berjalan lagi
sejauh lima blok untuk sampai di Hotel Grand Heritage. Total dia membutuhkan
waktu hampir satu jam perjalanan baik saat pergi maupun pulang kerja. Namun, tempat
itu dipilihnya karena lingkungan yang tenang dan cukup aman untuk ditinggali.
Flat sederhana itu adalah bagian dari sebuah
komplek apartemen berlantai 5. Sejak awal flat itu disewanya secara patungan
dengan teman wanitanya, seorang imigran dari Venezuela, Lola DeLucca. Lola
bekerja sebagai staf perawat pada sebuah rumah perawatan lanjut usia. Tinggal
dalam satu rumah selama bertahun-tahun, membuat hubungan keduanya sangat dekat.
Tapi meski begitu mereka tidak pernah mencampuri urusan pribadi satu sama lain,
terutama dalam hal asmara.
Justru satu hal itulah yang sering membuat
Lola heran pada sosok Katti. Mereka sama-sama masih muda, di awal usia 30-an,
Lola adalah gadis yang lebih terbuka, memiliki banyak teman hang out dan sudah
beberapa kali berkencan. Tipe gadis yang tetap berusaha menikmati hidup dalam
keterbatasan di perantauan. Bertolak belakang dengan Katti, kepribadiannya
sangat dingin, menutup diri dan menolak semua hal yang berhubungan dengan
percintaan. Selama mereka berbagi
apartemen, belum pernah satu kalipun Lola melihat temannya itu berkencan.
Jangankan berkencan, bahkan Lola pikir Katti tidak punya satupun teman pria di
luar rekan kerjanya.
Pernah suatu kali Lola mendesak Katti agar mau
mengungkapkan alasan di balik sikap antipatinya pada urusan asmara, tapi tidak
berhasil. Katti tetap bungkam. Lola sadar dia tidak punya hak mengatur jalan
hidup atau prinsip yang dipegang oleh Katti. Hanya saja sebagai teman, dia
ingin Katti juga menikmati hidupnya, sesekali berkencan, sesekali bertindak
konyol untuk bersenang-senang. Bukan melulu bekerja dan pulang hanya untuk
tidur. Karena seperti itulah kehidupan yang dijalani Katti selama ini. Bahkan
saat dia mendapat cuti dari hotel, Katti akan mengisinya dengan menerima
pekerjaan sekali jalan sebagai Display Girl dadakan saat ada event atau
exhibition. Sepertinya dalam otak Katti hanya terisi dengan kerja, kerja dan
kerja.
Sebenarnya sebagai sesama wanita, Katti
adalah seorang teman yang baik menurut Lola. Dia cukup sopan, loyal dan
pendengar yang baik. Sayangnya, sisi kepribadian itu hanya ditunjukkan saat
mereka berkumpul bersama teman-teman wanita mereka. Begitu berhadapan dengan
pria, sikap dinginnya yang ditampakkan. Bukan hanya dingin, Lola pikir perasaan
Katti berubah beku jika berkaitan dengan makhluk pria. Usaha Lola mengenalkan
Katti dengan teman prianya selalu berakhir dengan tangan kosong.
Entah apa yang ada dalam pikiran Katti.
Begitu sulitkah bersikap normal di depan pria? Apakah ada sesuatu yang dia
sembunyikan? Lola sering penasaran apakah Katti pernah mengalami trauma dalam
suatu hubungan di masa lalu yang mempengaruhinya hingga saat ini. Pernah
terbersit pikiran aneh dalam benaknya tentang kemungkinan temannya itu memiliki
orientasi seksual yang tidak biasa, tapi semua terbantahkan dengan sendirinya.
Well, sebenarnya itu sah-sah saja.
Menyimpang atau tidak, memilih sendirian atau berkencan, itu sepenuhnya hak
Katti. Jika Katti memutuskan untuk selibat seumur hidupnya, maka Lola hanya
bisa mendukungnya sebagai teman. Entah persahabatan mereka akan berlangsung
selamanya atau tidak, Lola hanya berharap temannya itu meraih tujuan hidupnya.
**************
Sementara itu, di belahan dunia lain,
seorang pria sedang duduk termenung di ruang kerjanya. Bias-bias cahaya mentari
sore menyeruak di antara celah-celah gorden yang tidak tertutup rapat.
Kehangatan udara di luar tak mampu menembus dinginnya suasana di dalam ruangan
itu, seakan memang ingin menggambarkan suasana hati pemiliknya.
Cahaya redup yang berasal dari sebuah lampu
meja tidak mampu menerangi keseluruhan tempat itu yang memang cukup luas. Suram
dan sunyi, yang terdengar hanyalah detik jarum jam di dinding. Sepertinya sang
pemilik ruangan memang ingin menikmati kesendiriannya. Sendiri dan sunyi,
sesunyi hatinya yang merindukan cahaya
dalam hidupnya.
Pria itu duduk di sebuah kursi bersandaran
tinggi di depan meja kerjanya. Postur tubuhnya membuatnya terlihat jauh lebih
tua dari usianya. Kepalanya sedikit menunduk dan bahunya jatuh membungkuk
seakan sudah bertahun-tahun dia menanggung beban dan dosa besar yang tak
terperikan dalam hidupnya. Wajahnya kusut dan muram di balik garis-garis
kemudaan dan keelokan parasnya. Andai saja bernapas itu bukan suatu keharusan,
mungkin saja dia sudah melalaikannya.
Matanya berkedip beberapa kali. Bukan
karena minimnya penerangan, tapi karena berusaha menahan air mata yang terus
memberontak ingin keluar. Seorang laki-laki pantang menangis, begitu pikirnya, apalagi
masih banyak dosa yang harus dia tebus. Dan penyebab kesedihannya ada di
hadapannya saat ini.
Di tangan kanannya, ada sebuah foto yang
sudah sejak satu jam yang lalu dipandanginya. Foto dirinya dengan seorang
wanita, yang seingatnya dipotret saat dia berusia dua puluh tahunan. Di dalam foto
itu, sang wanita terlihat sangat muda dan enerjik dengan rambut coklat
panjangnya yang terurai dan senyum lebar menghiasi wajah ovalnya, sedang
memeluk dirinya dari arah belakang. Kemudian matanya beralih ke tangan kirinya
yang sedang memegang sebuah berkas. Yang dilihatnya bukanlah tulisan-tulisan
dalam berkas itu, tapi pada sebuah foto identitas yang tersemat di ujung
berkas. Foto seorang wanita berambut lurus pendek sedagu. Ekspresi wanita di
foto itu datar dan dingin, tanpa senyum sama sekali. Benar-benar saling
bertolak belakang. Berulang kali dia membandingkan
wajah kedua wanita yang ada di foto tersebut agar lebih yakin.
Lalu diperiksanya sekali lagi nama yang
tertera pada berkas itu, Katarina Voy Katic. Namanya memang berbeda dengan
wanita yang sedang dicarinya, tapi dia yakin kedua wanita itu adalah orang yang
sama. Delapan tahun boleh berlalu, tapi dia tidak akan lupa wajah gadis yang
pergi meninggalkannya akibat kesalahannya sendiri.
Benar, tak terasa sudah delapan tahun.
Waktu yang cukup lama tapi juga singkat. Terasa lama karena dia melewatinya
dalam kesendirian dan pencarian. Menutup hati dan pikirannya dari semua kesenangan
dunia. Berkubang dalam rasa bersalah dan penghukuman dirinya sendiri. Tapi saat
ini semuanya terasa singkat, karena dia tidak punya kenangan apapun selama tahun-tahun
penantian itu. Kenangan dan ingatannya terhenti sejak delapan tahun yang lalu,
saat wanita itu pergi meninggalkan hidupnya.
Pencarian yang sudah dia mulai sejak tujuh
tahun yang lalu, baru menampakkan titik terangnya saat ini. Itupun karena
sebuah ketidak sengajaan. Bagaimana tidak, dia menemukannya saat mendapat
tawaran untuk membeli saham sebuah hotel di Norway. Sebagai langkah awal
pertimbangannya, dia meminta informasi latar belakang perusahaan itu termasuk
semua data karyawannya. Saat itulah dia melihatnya, dan langsung yakin
sepenuhnya, tanpa keraguan.
Satu hal yang membuat pencarian ini sangat
lama, yaitu minimnya informasi. Uang dan kekuasaan yang dikerahkannya tidak
bisa membuatnya lebih mudah. Ironis, dia dan wanita itu pernah bersama selama
hampir 5 tahun, tapi dia tidak tahu apapun tentang latar belakang keluarganya.
Yang dia tahu hanyalah gadis itu adalah yatim piatu, imigran dari Kazakhstan.
Dan dari sanalah pencarian itu dimulai. Dia membayar detektif terbaik untuk
mencarinya ke seluruh penjuru Kazakhstan. Saat tidak menuai hasil, dia kemudian
memperluas wilayah pencariannya hingga ke negara-negara asia barat. Tapi jejak
gadis itu seperti lenyap ditelan bumi.
Jika Tuhan akhirnya menjawab doanya saat
ini, artinya inilah kesempatan yang harus segera diraihnya. Takdir mungkin
masih iba padanya dan membukakan sedikit celah agar dia bisa membawa gadis itu
pulang, menempatkannya kembali di posisi tertinggi dalam hidupnya.
Sebuah suara membuyarkan lamunannya....
Pintu ruang kerjanya diketuk dua kali. Pria
itu mengangkat wajahnya dan menjawab panggilan itu. Seorang pria muda lain
masuk ke dalam ruangan. Sikapnya sangat formal dan cara berjalannya terkesan
seperti terlatih secara militer.
“Anda sudah siap berangkat, Sir?”
Tanya pria yang baru masuk itu setelah
berada di seberang mejanya. Pria yang dia panggil Tuan tidak menjawab, hanya
mengangguk dan langsung berdiri merapikan foto serta berkas di tangannya ke
dalam tas kerjanya. Dimatikannya lampu meja di depannya dan berjalan
meninggalkan ruangan itu.
‘Tunggulah
aku. Sebentar lagi aku akan menjemputmu. Dan kita akan pulang....’
Selang 12 jam kemudian, setelah sempat
transit di Heathrow, kini pria itu sudah berdiri di depan meja resepsionis lobi
utama Hotel Grand Heritage. Dia menerima dua buah kunci untuk dua kamar,
masing-masing untuk dirinya dan pengawal pribadinya yang sengaja ikut dari Doha,
Raouf Maliq.
“Sir, apakah anda akan langsung melakukan
pertemuan dengan Direktur Hotel?”
“Tidak. Kau sudah tahu, tujuan utamaku kesini
bukan untuk itu. Aku hanya ingin menemukannya. Panggilkan saja manajer hotel ke
kamarku.”
Raouf Maliq mengangguk kecil, cukup
memahami ketidak sabaran di balik sikap atasannya itu. Dia tahu karena dia juga
terlibat dalam pencarian Tuannya selama lima tahun terakhir.
Lima belas menit kemudian, Raouf mengantar
manajer hotel ke dalam kamar yang ditempati atasannya.
“Kaubawa daftar nama yang kuminta?”
“Ini Sir."
Sebenarnya permintaannya hanyalah kamuflase
saja, tapi demi menghindari kecurigaan orang lain, dia berpura-pura memeriksa
daftar nama yang diberikan oleh manajer hotel. Tanpa butuh waktu lama, dia
langsung menemukan nama yang dicarinya.
“Selama aku disini, yang boleh membersihkan
kamarku hanya Nona Katarina Voy Katic saja.”
“Boleh saya tahu kenapa harus dia, Sir?”
“Kulihat dia yang paling lama bekerja
disini, jadi dia pasti bisa dipercaya. Apa ada pertanyaan lain?”
Alasan yang sungguh dibuat-buat, tapi dia
yakin manager hotel tidak akan berani membantahnya. Dia hanya berharap
rencananya berjalan lancar karena dia sudah tidak sabar menunggu esok tiba.
Sejak saat dia menemukan nama itu di antara
daftar staf Hotel Grand, jantungnya tak pernah berdetak pelan lagi, seakan ada
suntikan nyawa baru dalam jiwanya. Tentu saja, dia memang kehilangan inti
kehidupannya, molekul paling penting yang bisa menghidupkan kembali gairah
hidupnya. Hidup tapi mati, mati tapi hidup. Itulah rasanya bila tiap hari
bangun, bekerja dan bernapas tapi ada lubang besar yang kosong dalam jiwanya.
Saat dia sudah sendirian lagi di kamar itu,
dikeluarkannya kembali foto yang kemarin dilihatnya. Seulas senyum terukir di
bibirnya, membuat wajah tampannya yang sudah ditumbuhi cambang pendek, sedikit
melembut.
‘Malam
ini akan terasa sangat panjang. Aku sudah tidak sabar menunggu datangnya pagi.
Menunggu saat kau kembali menyinari kehidupanku....’
Dan nama itu kembali dibisikkannya.
“Katti...”
Katti sedang menyiapkan peralatan keesokan paginya, saat manager hotel menghampirinya dan memberitahu perubahan jadwal kerja
yang harus dijalaninya.
“Hanya kamar 273? Lalu sisanya?”
“Kau bersihkan dulu kamar 273, setelah itu aku
akan memberitahu tugasmu selanjutnya.” Jawab Jan Lundy, sang manager, tak suka
dibantah.
Katti mengangguk mengerti. Hal biasa soal
perubahan jadwal yang mendadak seperti
ini. Tanpa curiga, Katti mendorong lori peralatannya menyusuri sepanjang lorong
lantai 2 untuk menuju ke kamar 273.
Berhenti di depan pintu, diperhatikannya
tidak ada door tag yang tergantung, kemungkinan penghuni kamar ini baru saja
check out. Dibukanya kamar 273 dengan kunci pas karyawan. Katti masuk dengan
membawa sprei dan handuk baru di satu tangan, sedang alat pel di tangan
lainnya.
Baru saja Katti membentangkan sprei baru di
atas tempat tidur, tiba-tiba dia merasa ada seseorang sedang berdiri
mengawasinya dari belakang. Belum sempat dia menengok, orang itu sudah
menyebutkan sebuah nama....
“Katti......Katti-ku......akhirnya aku
menemukanmu....”
Tangan Katti membeku di udara selama dua
detik. Aliran darahnya seakan meluncur bebas dan berkumpul di kakinya. Otaknya
tumpul. Pandangannya kabur. Telinganya berdenging dengan keras. Jantung yang
diharapkannya mampu memompa darah baru ke seluruh tubuhnya, sekali ini menolak
untuk bekerja. Akibatnya tubuhnya seakan mati rasa. Dia akan tersungkur ke
lantai jika saja dia tidak mengerahkan semua tenaga yang tersisa untuk menahan
tubuhnya.
Panggilan itu... Suara itu... Suara yang
dengan mati-matian berusaha dia lupakan... Suara yang berusaha dia jauhi hingga menyeberangi dua benua dan
akhirnya terdampar mengasingkan diri di negara bersuhu rendah ini.... Suara
yang menghantui mimpi-mimpi buruknya...
‘Ya
Tuhan, kenapa...? Kenapa dari semua tempat di dunia, suara ini kembali kudengar
disini? Kenapa setelah kulepaskan semua mimpi dan harapanku, suara ini kembali
hadir dalam hidupku? ...Apakah ini hukuman untukku? Hukuman karena telah dengan
lancang memiliki mimpi bersamanya?’
Cepat-cepat Katti menarik napas panjang,
usaha satu-satunya untuk menekan emosinya. Dia bisa mengatasinya. Dia yakin dia
bisa mengatasinya. Dia tidak akan kalah dari emosinya lagi. Akal sehatnya pasti
bisa mengambil alih.
“Maaf Sir, anda memanggil saya?”
Bahkan dirinya sendiri tak percaya, dia
mampu menguasai dirinya dengan cepat. Pertanyaan yang keluar dari mulutnya
terdengar datar dan dingin.
Kini mereka berhadapan. Mata Katti menatap
lurus ke arah pria itu, seakan ingin menantangnya.
Sejenak pria itu sepertinya tertegun, tidak
menyangka akan respon yang didapatnya dari Katti. Apa yang dia harapkan? Katti
akan berteriak dan menangis histeris? Atau Katti akan meracau tiada henti? Atau ada luapan emosional disertai
sedikit vandalisme ala wanita? Tidak, ini diluar perkiraannya.
“Katti, ini aku.....Mossef.” katanya sambil
menunjuk dadanya.
Katti tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Wajahnya terlalu datar, terlalu dingin, bahkan lebih dingin dari gunung es di
ujung bumi.
“Haruskah aku mengenal anda, Sir?”
“Katti...”
“Nama panggilanku memang Katti. Tapi kupastikan,
aku bukan Katti yang anda cari.”
Hampir saja Mossef percaya. Hampir saja dia
mundur, berpikir dia memang salah mengenali orang. Tapi mata itu, memandang ke
kedalaman mata itu, menyedot ingatan Mossef kembali ke masa-masa indah yang
telah lalu. Mata cokelat yang sama, yang pernah mendampinginya dalam
tahun-tahun perjuangannya mengukir nama Mossef Faraj Yazeed, dari seorang
pemuda ingusan tanpa nyali menjadi sebuah nama yang diperhitungkan dalam
industri tekstil di Timur Tengah.
Dia tidak boleh mundur. Ini adalah langkah
awal perjuangannya mendapatkan kembali sang matahari, satu-satunya yang mampu
menghangatkan jiwanya.
“Katti, kumohon...jangan berpura-pura
seperti ini. Aku bisa mengerti kalau kau menghapus ingatanmu akan diriku.
Setelah semua yang kulakukan padamu, aku memang tidak layak untuk dikenang. Dan
aku menyesal. Aku berdosa. Bahkan kematianku tidak akan bisa menebus
kesalahanku padamu. Karena itu aku mencarimu, Katti... Katti-ku.... Aku akan
mempersilakanmu menghukumku dengan cara apapun yang kau mau. Aku bisa menerima
semua kemarahan dan kebencianmu. Aku juga akan diam jika kau ingin
menyumpahiku. Aku memang pantas menerimanya. Tapi setelah itu, kumohon
dengarkan aku... Aku mencarimu selama hampir sepuluh tahun ini, dan kini aku
tidak akan pergi meski kau mengusirku... Aku terlambat menyadari kebodohanku
dan kini aku yang akan berjuang mendapatkan kembali cinta..”
“Hentikan!” Katti mengacungkan telapak
tangannya ke depan, menghentikan kata-kat Mossef.., “Sir, kau sudah melantur terlalu
jauh. Dan aku tegaskan sekali lagi, AKU bukanlah wanita yang kau cari.”
Mossef menggeleng-gelengkan kepalanya
membantah penyangkalan Katti. Seribu persen dia yakin wanita di hadapannya
adalah Katti-nya.
“Katti...”
Merasakan sebuah dorongan kuat di dalam
perasaannya, Mossef melangkah maju, tangannya terulur seakan ingin meraihnya...
“Diam di tempat anda,Sir!”
Katti menghentikan langkah Mossef dengan acungan
telunjuknya tepat di depan wajah pria itu, menjaga jarak antara mereka tetap
jauh.
“Sir, saat ini aku menghormati anda sebagai
tamu hotel. Tapi jika anda melewati batas, aku tidak akan segan-segan
bertindak! Jika ada komplain soal hasil kerjaku, silakan hubungi manager
hotel.”
Sekarang Katti benar-benar marah, dia
berkata dengan menekankan setiap kata yang diucapkannya. Pupil matanya
menggelap dan melebar. Napasnya terengah-engah. Wajahnya memerah, kontras
dengan warna salju yang mulai turun di luar gedung.
Mossef terpaku.
*******
PS: Penulis berhak mengubah isi cerita sewaktu-waktu..