Written By Bhavini Shah
Translate By Tyas Herawati Wardani
Jodha sangat terkesan dan senang melihat pengaturan
yang indah itu...Dia tahu pria itu penuh perhatian dan bijaksana, tapi untuk
yang ini sungguh di luar bayangannya, dia melampaui semuanya. Penataan bagian
pinggir sungai lebih menarik daripada kamar pribadi saat malam pertama mereka
di Agra. Arus sungai yang dangkal mengalir dengan pelan dan
tenang...Burung-burung berkicau melantunkan lagu cinta di malam hari seakan
mereka menyadari perasaan Jalal dan Jodha...Kerlipan cahaya dari obor dan lilin
bersinar seperti perhiasan indah...Angin dingin berhembus membuat tubuh mereka
sedikit menggigil kedinginan....Semerbak harum dari bunga-bunga cantik menambah
keindahan dan kesyahduan tempat itu....Dalam sekejap, Jodha tenggelam dalam
anugerah yang diberikan oleh satu-satunya kekasih hatinya. Kerlip bintang dan
sorot rembulan menebarkan harmoni ketenangan pada sekitarnya....Keseluruhan
perpaduan itu membawanya dalam ketenangan surgawi....Dia pejamkan mata untuk
menyelami keindahan alam itu.
Jalal mendekatinya dengan sinar matanya yang
menawan....Daya tarik dan kepribadiannya makin terlihat seksi di balik redupnya
cahaya lilin dan api...Senyum tak pernah lepas dari wajahnya sambil melangkah
menuju batu besar itu...Pandangannya tertuju hanya pada Jodha...Ingin sekali
dia melihat ekspresi puas dan senang di wajahnya namun sayang wajah Jodha
tertuju ke arah lain....Bibirnya menyunggingkan senyum mengenang saat pertemuan
pertama mereka...Dia ingat betapa putus asanya dia mengharap satu tatapan saja
dari Jodha...dan saat berhasil menatapnya pertama kali, dia tenggelam dalam
kecantikannya dan terpukau pada keanggunannya tanpa berkedip untuk waktu yang
lama... Dia bergumam pelan, “Hari ini, meski sudah lewat satu tahun, namun aku
masih merasakan kegembiraan yang sama untuk dapat menatapmu...JODHAA!!! Kau
membuatku tergila-gila padamu....bahkan tak bisa kubayangkan tanpa dirimu
sementi saja...Kepribadianmu yang pemurah dan baik hati serta pengorbananmu
benar-benar memerangkapku....Pesonamu menyihirku...” Setelah beberapa saat, dia
keluar dari lamunannya dan menyadari dia hanya memandangi Jodha sejak
tadi....Lalu untuk mengalihkan pikirannya, dia berkata dengan suara rendahnya,
“Jadi kau mengakui kekalahanmu...Tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam adu
pedang..”
Jodha langsung menoleh ke arahnya....Teringat kembali
pada kata-kata yang sama...Dia terkejut karena mendengar kembali kata-kata yang
sama setelah satu tahun...Dia senang karena Jalal masih ingat pertemuan pertama
mereka...dia menjawab penuh cinta, “YA, aku mengakui kekalahanku setelah satu
tahun berlalu....Sekarang kau adalah bagian hidupku, maka kekalahanmu adalah
kekalahanku juga, jadi mana mungkin aku bisa melihatmu mengalah demi cintamu???
Tapi aku senang kau masih ingat pertemuan pertama kita...”
Jalal duduk di sebelah Jodha di atas sebuah batu besar
dengan pandangan penuh cinta dan mengomentari jawabannya yang penuh arti,
“Ohhh...Jodha...Bagaimana aku bisa lupa pertemuan pertama kita!!! Aku jatuh
hati sejak saat pertama melihatmu...Hanya sekali pandang, kau mengambil
tidurku, kedamaianku dan hatiku juga....Pertama kalinya seorang wanita berhasil
mempesona Shenshah Jalalluddin Muhammad...Keberanianmu, kecantikan dan
keluguanmu, keangkuhanmu dan lidahmu yang tajam membuatku terpana...”
Jodha menoleh dengan cepat lalu merangkul leher Jalal
dan mencium pipinya....kemudian menjawab sambil tetap menatap mata Jalal yang
indah, “Shenshah, aku juga terlena dengan pesonamu sejak pertemuan pertama
kita....Aku belum pernah terpesona pada pria manapun seperti itu dalam hidupku
sebelum aku bertemu denganmu... Aku tersesat pada kepribadianmu yang menawan
dan kepercayaan dirimu yang angkuh...”Jalal tersenyum konyol
mendengarnya....Setelah terdiam sejenak, Jodha bertanya penasaran, “Shahenshah,
mengapa kau tidak menyerangku saat pertandingan adu pedang??? Kalau aku tidak
salah, kau hanya melakukan jurus bertahan...mengapa???”
“Mengapa aku tidak menyerangmu...hmmm... Bahkan aku
juga heran pada diriku sendiri...Mungkin jiwaku sudah mengenali jiwamu....Namun
apapun itu, sesungguhnya aku sangat terkesan pada gerakanmu yang mantap dan
lincah...Kulihat kau menumbangkan satu demi satu prajurit yang kuat...dan aku
tidak bisa menahan diri...Aku benar-benar tak percaya aku sedang bertarung
dengan seorang wanita...” Jalal mengatakannya dengan sungguh-sungguh sambil
membelai wajah Jodha.
Jodha membalas dengan penuh perasaan, “Kau mungkin
hanya merasa tak percaya, sedangkan aku merasakan getaran dalam tubuhku, saat
aku menatap matamu pertama kalinya. Serasa kita sudah dekat sejak lama
sebelumnya....itulah yang kurasakan saat pertama melihatmu.”
Jalal menunduk dan mengecup kening Jodha...lalu sambil
menghela napas panjang dia menjawab, “Jodha...itulah saat-saat yang
indah...Meski ada banyak kebencian, pertengkaran dan bentokan ego diantara
kita, namun aku juga tertarik padamu pada saat yang sama....Hanya demi melihat
wajahmu sekilas, biasanya aku berlatih pedang sampai kau keluar dari kamarmu
untuk melakukan Tulsi pooja...Meski dalam kemarahanmu, kau mencuri pandang padaku
dan lirikanmu yang sekilas itu selalu memuaskan diriku.... Aku masih ingat saat
semuanya menjadi rutinitas diantara kita untuk saling mencuri pandang dengan
sembunyi-sembunyi....Namun dua minggu kemudian, saat kau tiba-tiba menghentikan
rutinitasmu melakukan Tulsi pooja selama berhari-hari dan Moti yang
menggantikanmu, aku tidak bisa tidur dan menjadi tidak sabaran yang membuat
pikiranku lama-kelamaan menjadi gila. Kemudian, aku menyadari mungkin kau
mengalami siklus bulananmu yang menghalangimu melakukan rutinitasmu....tapi
masih kuingat betapa putus asanya diriku untuk mencari tahu ada apa dengan
dirimu, hingga aku mengutus Rahim untuk mencari tahu keadaanmu...”
Jodha berdiri dengan tiba-tiba dari sampingnya sambil
mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan menjawab sinis, “Ohhh!! Jadi kau pura-pura
mengabaikan aku!! Kau tahu betapa liciknya dirimu?? Kau tahu seberapa dalamnya
kau menyakiti perasaanku??? Mungkin bagimu itu adalah saat-saat yang indah tapi
tidak untukku... Kau tidak melewatkan satupun kesempatan untuk menghina dan
mempermalukanku di depan orang-orang, dan bodohnya aku, meski kau telah
memperlakukanku dengan kasar dan menghinaku, aku masih berhasrat padamu....
Berkali-kali aku menangis dan mengutuk diriku sendiri karena sangat
mencintaimu.... Berkali-kali pula, aku terpikir untuk bunuh diri namun hatiku
tetap saja terikat padamu hingga aku mengurungkan niatku hanya demi bisa berada
di dekatmu... Aku mulai membenci diriku sendiri karena tidak mampu
mengendalikan perasaanku padamu... Betapa putus asanya diriku ingin bisa bicara
denganmu meski aku sudah tahu kau selalu memanfaatkan kesempatan untuk
mempermalukan aku.... Saat itu aku merasa jijik sekali karena bisa-bisanya
mencintai seorang monster... Sulit bagiku menganggapnya sebagai saat-saat yang
indah...”
Jalal menjawab kaku, “Jodha, kau tidak pernah
menunjukkan sikap sekecil apapun kalau kau jatuh cinta padaku...malah kau
selalu menunjukkan sikap benci dan melukai egoku berkali-kali.”
“Jalal, jangan marah tapi saat itu benar-benar saat
yang sulit untukku. Kau punya segalanya, keluargamu, teman-temanmu, kerajaanmu
tapi sebaliknya aku sangat kesepian...Aku tidak punya siapapun yang bisa
menghapus air mataku...Setiap pagi aku bangun dalam ketakutan akan apa yang
bakal terjadi hari ini? Dulu aku adalah bahan gosip di harem para
begum...mereka menertawakan aku di belakangku....Satu-satunya penguatku adalah
Ammi Jaan, tapi ketika dia harus pergi untuk kunjungan politik selama satu
bulan, aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli padaku. Hari demi hari
berlalu, kekejaman dan kelicikanmu menghancurkan mimpi-mimpiku dan berhasil
membunuh rasa percaya diriku.”
Jodha menatap Jalal dengan sedih lalu bertanya,
“Jalal, pernahkah kau bayangkan sekali saja apa yang sudah kulalui??? Kau
memaksa menikahiku dan karena dirimu, aku membenci keluargaku, Kanahku, dan
bahkan diriku sendiri... Seringkali aku mempertanyakan pada Kanah (Tuhan)
mengapa dia memilihku untuk pengorbanan ini. Bahkan hari ini, saat aku kembali
mengingat hari-hari itu, tetap saja membuatku gemetar...Hari-hari itu adalah
mimpi buruk dalam hidupku....Menahan rasa sakit yang tak terperih melihat
kebencian di matamu...Aku tidak ingin kau membenciku lagi meski hanya sedetik,
tidak pula dalam mimpiku...” air mata menggenang di balik bulu matanya saat dia
mengakui ketakutan dalam dirinya.
Dengan sedih Jalal mengusap air mata itu lalu
merengkuhnya dalam pelukannya dan dengan penuh penyesalan dia berkata, “Jodha,
kumohon jangan menangis, aku tidak pernah berpikir dari sudut pandangmu...Aku
ingat dengan jelas, untuk menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya darimu,
aku menghinamu dan menghancurkan perasaanmu agar kau tahu rasanya sakit, namun
aku selalu berakhir dengan rasa sakit yang lebih dalam lagi...Dan aku
salah...Rasanya jauh lebih menyakitkan karena kau mencintaiku dan kau sudah
tahu sejak awal kalau kau jatuh cinta padaku...Tapi aku gila, aku
monster....Karena egoku, aku sudah sering menyakitimu, kau benar, saat itu
bukanlah waktu yang terindah, tapi aku tetap menganggap rasa sakit itu indah,
keputusasaan akan satu sama lain itu juga indah. Jodha, ingatkah kau pesta
pernikahan kita di Agra dan pada malam harinya adalah hari keempat kau berpuasa
lalu kau tak sadarkan diri???”
Perasaan Jodha langsung berubah dan dia menjawab
dengan lebih ceria, “Mana mungkin aku lupa, saat itulah pertama kalinya aku
menyadari bahwa dibalik kebencianmu kau masih peduli padaku...Pertama kalinya
kita tertawa bersama dan tertidur di ranjang yang sama setelah pernikahan
kita...Aku masih ingat kau menyuruh pelayan membawa makananmu pergi hanya
karena aku sedang berpuasa...”
“Hmmm!!! Jadi ternyata kau tidak terlalu
bodoh....Kupikir aku sudah berhasil menyembunyikan perasaanku...” Jalal
menjawab sambil bergurau.
Jodha membalas sambil tersenyum kecil, “Jalal, aku
sudah tahu sejak awal kalau kau punya sisi lembut di dalam hatimu hanya
untukku....kau kejam tapi juga penuh kasih sayang pada saat bersamaan.”
Dengan nada menyesal, Jalal berkata, “Tapi apa kau
tahu setiap kali aku coba mendekatimu, kau selalu mengusirku jauh-jauh...Sangat
menyakitkan saat keesokan harinya aku hendak menyuapimu manisan dan kau
menuduhku telah membubuhkan racun di dalamnya untuk membunuhmu, kau
menghancurkan perasaanku dengan tuduhanmu...Bukan hanya aku yang kejam, kau
juga kejam...Aku tidak bisa tidur malam harinya karena tuduhanmu itu...Aku
datang mencoba berdamai dan menyuapimu manisan demi sebuah awal yang baru,
namun kepahitanmu menyakiti egoku lagi.”
Jodha yang tersinggung menjawab, “Hmmm...Jadi sekarang
kau menyalahkan aku atas semuanya!!! Hanya untuk memberiku pelajaran, kau
berperang dengan Amer.... Kau memaksaku untuk menikah denganmu....Kau bahkan
memaksaku untuk tidur denganmu... Dan sekarang kau menyalahkan aku atas
semuanya...Setelah semua yang telah kau lakukan, apa yang kau harapkan?? Kau berharap
aku lari padamu dan memelukmu hanya karena menyuapiku manisan??”
“YA dan Ya...kadang kupikir, karena kebencian dan
kekasaran sikapmu, aku pun bersikap kejam padamu...Kau tidak menganggapku
suamimu, kau juga tidak menganggapku sebagai Shenshah...kau memancing
amarahku... Kau menentang egoku berkali-kali dengan lidah tajammu...Andai saja
kau makan manisan itu tanpa memakai lidahmu yang tajam dan getir....Kau tahu,
hanya untuk menyuapimu manisan itu, aku bersedia merendahkan diriku...
Kuhancurkan ego dalam hatiku dan datang padamu untuk berdamai... Kau tidak akan
menjadi pelampiasan dari luapan amarahku, namun karena sikap dan egomu, aku
juga terbakar amarah hingga berminggu-minggu... Anehnya, meski aku masih
dikuasai amarah, tapi aku juga rindu untuk bisa melihatmu.... Kau tahu kenapa
setelah hari itu aku tidak lagi mengusikmu??? Kuputuskan untuk memberi
kelonggaran padamu... kupikir amarah dan kebencianmu akan segera mereda dan kau akan datang padaku... Tapi
sayangnya egomu lebih besar dari itu Jodha... Bukannya datang padaku, kau malah
tidak keluar dari kamarmu sama sekali... Kau tidak lagi berpakaian selayaknya
Begum... Kau siap menjalani hidup sebagai pelayan biasa tapi tetap tidak mampu
menurunkan egomu dan menerimaku sebagai suamimu... Kupikir kau akan kalah dalam
kesendirianmu dan menanggalkan keangkuhanmu lalu menerimaku sebagai suamimu...
Pada minggu-minggu itu, tak seharipun aku tidak memikirkanmu... Kau bilang aku
punya segalanya sedangkan kau tak punya apapun, bahwa kau hanya sendirian...
Tapi kau tahu rasanya memiliki segalanya dan tetap merasa kesepian, perasaan
itu lebih menyakitkan dari tidak memiliki apapun dan juga kesepian...” Jalal
menjawab dengan nada pahit.
Dengan nada yang sama, Jodha menjawab, “Jika kau
benar-benar peduli padaku, lalu mengapa kau menghinaku di depan orang-orang?
Dan bagaimana aku bisa tahu kau datang untuk berdamai pada hari itu... Kau
mengundangku ke pesta di harem untuk melecehkan harga diriku dan menghancurkan
egoku dengan tidak menyediakan tempat duduk untukku... Apa kau pernah berpikir bagaimana
semua begum di harem akan merendahkan dan menertawakan diriku???”
Jalal menjawab dengan tenang, “Jodha, kumohon jangan
marah, jika kita mulai membicarakan masalah ini maka biarkan aku menjelaskan
sesuatu, Aku tidak pernah mengundangmu ke Jashn di Harem. Terjadi
kesalahpahaman, dan pada saat itu juga aku baru mengetahui kau tidak
diperlakukan selayaknya Begum di Diwan E Khaas, Harem dan di istana-istana
lainnya, meski pernikahan kita resmi. Sungguh menyakitkan untukku melihatmu
duduk di lantai bersama para selir.... Setelah kau meninggalkan Jashn, aku juga
pergi ke kamarku... dan sepanjang malam
itu aku hanya berguling-guling di atas tempat tidurku tanpa mampu terpejam....
Air mata dan kesedihanmu menghantuiku selama berhari-hari....”
Jodha menjawab dengan suara pelan, “Jalal, entah
bagaimana aku sudah merasa kau tidak bermaksud untuk sengaja menyakitiku tapi
yang lebih menyakitkan justru kenyataan bahwa kau bahkan tidak mengundangku.
Kau pasti akan terkejut, saat aku menerima undangan darimu, aku sangat
bersemangat dan senang bahwa akhirnya untuk sekali saja kau memikirkan aku...
Namun, apapun yang terjadi selama di Jashn, menghancurkan perasaanku sekali
lagi... Aku menangis sepanjang malam, bukan karena hinaan itu tapi karena kau
tidak mengundangku. Aku tidak tahan menghadapi kebencianmu.... Jalal, aku tahu
sejak awal aku jatuh cinta padamu...Namun kebencianmu menggerogotiku sedikit
demi sedikit... Rasanya seakan napasku sendiri pelan-pelan mulai meninggalkan
tubuhku... Sungguh menyakitkan saat mengetahui orang yang kucintai, selalu
mencari kesempatan untuk mempermalukan diriku... Jalal, itu adalah hari-hari
yang buruk... Hanya mengingatnya saja membuatku takut...”
Jalal mengiyakan, “Aku setuju, kesalahpahaman itu
sungguh menyakitkan, tapi kau memang kelewatan hari itu... Di depan para Begum
kau menuduhku pembohong dan meninggalkan Jashn tanpa seijinku...”
“Kau tahu Jalal, kau sangat manipulatif dan pandai
memutar-mutar kata.... Bahkan setelah melakukan semua itu, kau bisa membuatku
tampak sebagai orang yang bersalah dan yang bertanggung jawab atas semuanya...
Jalal, malam yang paling menyedihkan dan terlalu pedih untuk kukenang adalah
saat aku memintamu untuk menyambut orang tuaku saat mereka datang ke Agra untuk
ritual Pag Phere dan kau mengambil kesempatan itu untuk membalas dendam
padaku.... Paginya kau memanggilku untuk datang ke kamarmu dan memperlakukanku
lebih rendah dari seorang pelayan... Aku menangis tapi itu tidak
menggoyahkanmu... Tanpa rasa malu, kau terus saja menikmati pijatan itu...Kau
nyaris mencabut nyawaku dengan menyuruhku makan sebelum berdoa pada Kanah...
Aku sangat yakin, kau pasti sudah punya alasan untuk menyalahkanku demi hal itu
juga.... Tapi sebelum kau mengatakannya, Shahenshah, aku mengakuinya sebagai
kesalahanku dan aku minta maaf...” Nada bicaranya mulai meninggi dan sinis.
“Jodha, aku tidak membela diriku sendiri, tapi jika
kau bebas mengatakan isi pikiranmu, kenapa aku tidak??? Aku hanya mengatakannya
dari sudut pandangku... Aku tidak menyalahkanmu untuk apapun... Jadi kau tidak
perlu emosi...” Jalal berkata tegas. Lalu setelah diam sejenak, dia melanjutkan
dengan lebih pelan, “Kuberitahu kenapa aku bisa sangat kejam hari itu. Ketika
kubaca surat dari orang tuamu mengenai ritual Pag phere, itu membuatku
frustasi... sudah lebih dari satu bulan sejak kita menikah... Sejak hari
pertama kita menikah, aku tidak tenang dan kalut bahkan aku tidak sekalipun
mengunjungi Haremku... Tidak ada yang bisa membuatku tenang dan kapanpun aku
coba mendekatimu, kau selalu lakukan hal yang memancing amarahku... Kalau kau
ingat, suatu hari kau memintaku melakukan Aarti dan karena ketidaktahuanku, aku
mengisi sindoor di maang-mu bukannya mengambil Aarti, tapi reaksimu,
seakan-akan aku telah melakukan dosa besar...
Sangat menyakitkan untukku mengetahui kau tidak mau aku mengisi
maang-mu... Kucoba untuk mengubur rasa sakitku dan terus maju... aku datang
padamu untuk memberitahu kedatangan orang tuamu.... Senyummu memberiku rasa
damai tapi saat kau memintaku—‘Bisakah aku meminta sesuatu padamu?’ dalam
sedetik kupikir kau akan menerimaku sebagai suamimu, namun kau justru memintaku
untuk berpura-pura kita adalah pasangan yang berbahagia demi kebahagiaan orang
tuamu... Aku sekedar bertanya—‘Mengapa kita harus berpura-pura??’ Dan kau
memberi alasan panjang lebar padaku... Aku masih ingat semua kata yang
menyakitkan itu darimu, --Shahenshah, kau tidak akan paham...Hari saat kau
mulai memahami kehidupan orang biasa , saat itu kau akan memenangkan hati
banyak orang... Kami bisa tetap bahagia dengan keterbatasan, tapi tanpa cinta,
kepedulian dan kasih sayang, tidak akan bisa bertahan hidup... Jika orang tuaku
tahu aku hanyalah hiasan tak bernyawa di istana ini, trofi kemenanganmu yang
terbaru dan tidak memperoleh cinta dan perhatian dari siapapun disini, bahkan
tidak darimu, maka mereka akan sangat sedih... Aku paham mengapa kau
mempertanyakanku... Tapi kau tidak akan mengerti semua ini karena kau tidak
punya hati untuk bisa merasakan kesedihan orang tua...’ Kata-katamu menyayat-nyayat
hatiku... Kau sama sekali tidak tahu, betapa dalamnya kau melukaiku...”
“Jodha, kata-kata itu masih menyakitkan untukku...
Secara tidak langsung kau menganggapku tidak layak menjadi orang tua dan makin
sakit rasanya karena aku juga tidak punya anak...Kau bilang aku tidak tahu soal
cinta, kepedulian dan kasih sayang.... Orang awam membenciku... Jodha, mungkin
apa yang kau katakan benar tapi caramu menyampaikannya sangat menyakitkan...
Aku tidak pernah bilang aku tidak akan menghormati orang tuamu, tapi kau
menyimpulkannya sendiri... Aku bereaksi hanya karena kegetiran dan egomu... Kau
tidak berpikir sebelum mengeluarkan kata-kata kasarmu pada Shahenshah
Hindustan... Aku setuju memainkan drama sebagai pasangan yang berbahagia
bersamamu... Dan demi ketenanganmu, aku sama sekali tidak menikmati
pijatanmu... Yang sesungguhnya, air matamu membuatku hancur... Aku membenci
diriku sendiri karena menghukummu dengan cara seperti itu. Biasanya kau
menyakitiku dengan kata-kata kasarmu tapi hari itu kebisuanmu jauh lebih buruk.
Untuk memecah kebisuanmu, aku makin bersikap kejam... Aku sungguh tak percaya
kau terus bertahan dengan kebisuanmu dan makan sebelum berdoa... Kukira kau
akan mati begitu kau selesai makan... Jodha, kau dulu benar-benar keras kepala...”
Jalal terdiam dan tersenyum lalu berbisik pelan, “Dan kau masih sangat keras
kepala...”
Jodha bergumam sambil mencibir, “Lagi-lagi aku...”
Jalal menangkup wajah Jodha dan berkata, “Jodha, tidak
peduli gara-gara kau atau aku.... Tapi itu benar, semuanya terjadi demi
kebaikan kita. Semua insiden memberi warna dalam hatiku yang beku...Setelah kau
pergi dari kamarku, aku memperhatikanmu dari jendela, duduk di sudut ruangan
dengan sedih... Kau mengira tidak ada yang melihatmu di sana, jadi kau
tumpahkan semua perasaanmu dalam tangisanmu... Tapi aku melihatmu yang hancur
dan mendengar tangisanmu yang menyayat perasaan... Aku tersadar betapa halus
dan polosnya hatimu... Demi ketenangan orang tuamu, kau menyakiti dirimu
sendiri dan merana setiap menitnya... Saat itu aku jadi sangat iri pada orang
tuamu... Aku ingin kau mencintaiku seperti itu, tanpa syarat. Pertama kalinya
dalam sejarah hidupku, Shahenshah yang kejam dan tak punya hati meneteskan air
matanya untuk Jodha... Jodha, entah bagaimana caranya, tapi hari itu kau telah
mengubah Jalaluddin Muhammad dari seorang monster menjadi manusia yang berhati...
Pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri...”
Jodha mendesak, “Jadi kau mengaku kalau kau dulu
seorang monster, Shahenshah yang kejam dan tak punya hati..”
Jalal tersenyum kecil melihat wajah cemberut Jodha,
“Aku tidak pernah menyangkal...”
“Kau tahu, kau benar-benar licik, licik, licik dan
licik...Aku butuh jawabanmu, Jalal.... Kapanpun kita bicara, kau menjawab
dengan satu atau dua kalimat bahkan kadang hanya dengan satu kata saja, tapi
hari ini untuk membeberkan kesalahanku, kau dengan suka hati menceramahiku
dengan panjangggg.” Keluh Jodha.
“Aku sadar kalau aku sangat diplomatis... Untuk
memerintah kerajaanku dengan baik, aku harus bisa menjadi orang yang lihai dan
licik... Dan Ya, aku memang cerdas dan licik karena aku harus senantiasa
membuka pikiran dan telingaku... Aku hidup sampai hari ini karena aku cerdas,
licik, lihai, manipulatif... Jika tidak, aku pasti sudah mati saat berumur tiga
belas tahun... Manipulasi adalah kunci untuk mempertahankan keamanan
kerajaanku... Aku tahu aku bukan orang baik, jujur dan lurus sepertimu...” ujar
Jalal kaku sambil memicingkan matanya.
Mendengar nada bicaranya yang dingin dan kaku, Jodha
mencoba menenangkannya,”Jalal, aku mencintaimu seperti apapun dirimu, tapi kau
belum menjawab pertanyaanku.... Katakan yang sejujurnya, apa aku orang bodoh
menurutmu??”
Jalal tersenyum dan menjawab diplomatis, “Baiklah,
JODHA!!! Aku tidak menjawab karena aku tidak mengerti maksud
pertanyaanmu....Kau mengeluh karena bicaraku yang panjang atau yang singkat???
Tapi bodoh??? Tidak mungkin JODHA...kau terlalu pintar dan keras kepala.... Kau
tahu caranya membuatku menuruti keinginanmu...tapi di saat yang sama kau juga
sangat berterus terang...”
Jodha membalas dengan agak frustasi, “Lihat kan,
itulah masalahmu...Kau suka berputar-putar dengan kata-katamu dan hanya
menjawab semaumu...”
“Coba katakan, aku ingin tahu....Setelah malam pijatan
yang mengerikan itu... Jantungku mulai berdetak untukmu, tapi apa yang
tiba-tiba terjadi di bawah pohon itu??? Jodha, kau tahu, setiap kali aku
memikirkan tentang kita yang tertidur dengan nyaman di bawah pohon dan ciuman
pertama kita, semua kekhawatiran dan keteganganku mendadak hilang... Kau tidak
memberiku petunjuk kalau kau mulai menyukaiku... Itu sungguh kejutan yang
menyenangkan..” kata Jalal sambil meliriknya.
Jodha menatapnya jengkel dan berkata dalam hati –‘Ya Tuhan!! Dia licik sekali...Dengan pintar
dia menyalahkanku atas semuanya dan sekarang bertanya padaku tanpa malu, meski
dia tahu benar itu adalah kesalahan fatal dan semua karena pesonanya.’
Jodha, berusaha mengganti topik pembicaraan, berkata
tiba-tiba, “Jalal, aku dingin sekali...” lalu berdiri mengabaikan pertanyaan
itu dan berjalan ke tungku api dan duduk di sofa.
Jalal tersenyum menyadari keraguan Jodha dengan
mengubah topik pembicaraan.... Dia berjalan mendekatinya sambil matanya tak
lepas dari Jodha... Dia bisa membaca keengganan di wajahnya... Jalal duduk
sangat dekat dengannya dan bicara dengan sangat mesra, “Ahmmm Jodha...aku bisa
menghangatkanmu bahkan juga bisa memanaskan tubuhmu...”
“Tidak perlu, tungku api ini sudah cukup hangat
untukku...”jawabnya sambil tak kentara menggeser tubuhnya menjauh.
Diam-diam Jalal tersenyum melihat Jodha yang marah dan
terusik.
“Jodha begum, aku masih menunggu jawabanmu...” dia
bicara sambil melepaskan jepit di rambut Jodha.
“Jalal...apa yang kau lakukan?? Jangan buat rambutku
berantakan...” Jodha menjawab datar dan meliriknya gugup.
Pelan-pelan Jalal merapatkan tubuhnya ke dekat Jodha
dan berbisik, “Ohhh Jodha!!! Rambutmu harum sekali...Aku tidak tahan lagi...”
Wajahnya makin dekat dan berbisik sambil mendesah, “Jodhaaa, aku masih menunggu
jawabanmu...aku ingin tahu bagaimana perasaanmu saat itu..”
Jodha melirik sekilas dan menjawab malu-malu, “Jalal,
kau biasanya pintar membaca pikiranku...Tanpa perlu kukatakan kau sudah tahu
bagaimana perasaanku, lalu kenapa sekarang kau butuh kata-kata??” tubuh Jodha
menegang... Embusan napas Jalal di wajh Jodha membuatnya bergetar.
Jalal menaikkan alisnya dan memaksakan senyum di
wajahnya, “Kau sudah belajar bermain dengan kata-kata... Aku tahu benar
bagaimana perasaanmu tapi aku ingin mendengarnya dari mulutmu...”
Jodha tidak bisa lagi berpura-pura...Rayuannya bisa
membuatnya gila... Rona di wajahnya tak bisa dielakkan, lalu menjawab dengan
kesal, “Kumohon jangan memaksaku, Jalal... Aku tidak bisa memberitahumu...
Terlalu pribadi...”
“Tidak ada yang terlalu pribadi diantara kita
Jodha...” Jalal menjawab pelan sambil merebahkan kepalanya ke atas pangkuan
Jodha...
Jodha tersenyum sambil memilin-milin rambut Jalal dan
ganti menggoda, “Kalau begitu katakan, berapa banyak begum yang pernah tidur
denganmu??? Aku ingin tahu saat pertama kalinya bagimu....Kalau kau mau cerita
maka aku akan menjawab pertanyaanmu...” Jodha tersenyum sendiri...Dia yakin
Jalal tidak akan mau menjawab.
Jalal menjawab dengan mesra, “Huhhh Jodha... Kau
memang tantangan yang sulit...Hmmm... Jadi kau ingin tahu secara DETAIL bagaimana
saat pertamaku??? Baiklah, sesuai keinginanmu, aku menceritakan
selengkap-lengkapnya...” Jalal terdiam sejenak lalu melanjutkan dengan sedikit
bercanda, “Kalau dihitung...aku tidak tahu persis berapa banyak wanita yang
pernah tidur denganku sebelum dirimu. Hampir setiap minggu aku tidur dengan
begum yang baru... Dan pertama kalinya adalah dengan Rukaiya...”
Ohhh... Satu begum baru setiap minggu...Jodha terkejut
dan tak percaya Jalal mau menjawabnya...Dan keingintahuannya makin memuncak,
sekarang dia ingin tahu tentang malam pertamanya...Jodha bertanya dengan
lembut, “Jalal, aku ingin tahu detailnya...”
“Jodha, kenapa kau bermain api??? Suatu hari kau bisa
terbakar dengan nyalanya...” Jalal menjawab sambil menatap lurus
matanya...Dengan keras kepala Jodha tetap diam dan menunggunya menjawab.
Jalal menyerah dan berkata, “Terserah kau...JODHAA..
Itu adalah pengalaman yang menakjubkan dan tak terlupakan, aku dan Rukaiya
sama-sama masih sangat muda dan tak punya pengalaman... Malam pertama kami
adalah saat dia berusia tiga belas dan aku empat belas tahun... Pertama kalinya
aku menyentuh seorang wanita dengan sensual... Aku benar-benar kehilangan
kendali.... dan menjadi liar... Sangat memuaskan...Setelah malam pertama kami
itu, kami tidak tidur beberapa malam... Aku akan mengaku dengan jujur, aku
sangat menikmatinya hingga aku ketagihan melakukannya dengan wanita berbeda
tiap malamnya. Tapi, apa kau tahu perbedaan malam pertamaku dengan Rukaiya dan
malam pertamanku denganmu? Sepanjang malam Rukaiya sibuk memuaskan diriku
sementara saat kita berdua melakukannya, akulah yang sibuk memuaskanmu...
Rukaiya selalu berusaha memuaskanku di atas tempat tidur dengan bermacam-macam
cara. Tidak peduli bagaimana suasana hatiku saat itu, dia selalu berhasil menyalakan api hasrat dalam tubuhku... Aku
adalah dunianya saat itu namun seiring tahun berlalu, prioritasnya mulai
berubah, begitu juga ego, kekejaman dan amarahnya... Prioritasnya adalah
kekuasaan, bukan lagi diriku... Kadang kupikir dia bersedia tidur denganku
hanya demi memenuhi ambisinya demi kekuasaan yang lebih besar... Setelah
bertahun-tahun, hubungan kami menjadi jenis hubungan yang saling
menguntungkan... Tapi kau sangat berbeda dari dirinya... Kau tahu aku sanggup
memberimu seluruh dunia hanya dengan satu kata darimu...Tapi kau tidak meminta
apapun selain diriku... Kau tinggal di ashram selama enam bulan meninggalkan
segala kemewahan hanya demi janjiku... Tidak ada begum ku yang lain yang
sanggup menjalani semua yang sudah kau lakukan untukku...”
Jodha merasakan sengatan kecil di hatinya saat
mengetahui Rukaiya memberinya malam-malam penuh kepuasan... Dia tak bisa
menyembunyikan kesedihan dan kecemburuannya... Lalu dia berkata pelan,
“Shahenshah... jika kau tidak keberatan, boleh aku bertanya??”
Jalal bisa membaca emosinya...dia menjawab, “hmmm...”
“Menurutmu aku tidak cocok denganmu di tempat tidur???
Kedengarannya seperti kau tidak puas denganku karena kau punya pengalaman yang
lebih memuaskan dengan Rukaiya Begum...” Jodha bertanya dengan risih dan sedih.
“Ohhh tidak JODHA...” Jalal tiba-tiba bangkit dari
pangkuan Jodha saat menjawabnya...Dia tangkup wajahnya dengan penuh cinta dan
kelembutan lalu menambahkan, “JODHAAA, tidak seorang pun yang lebih baik di
atas tempat tidurku selain dirimu...Tapi...” dia berhenti sejenak...kemudian
melanjutkan..”Meski setahun sudah berlalu, aku merasa kau tidak mudah
kudapatkan...dan aku masih merasa seperti pengantin baru... Kadang kau
mengusikku hingga memancing amarahku... Kau membuatku mendambakan dirimu.
Setiap kali aku menyentuhmu, bagiku itu adalah saat-saat yang berharga, tidur
dengan wanita lain seperti nafsu tanpa cinta, seperti manisan tanpa gula...
Bulan tanpa sinarnya. Tidak satupun begumku mampu memberiku kepuasan dan
kedamaian seperti yang kau berikan JODHA. Kau tahu Jodha, setelah malam
pertamaku dengan Rukaiya, aku menjadi seperti pemuja wanita... hampir setiap
minggu aku menginginkan wanita baru... Mungkin itu karena ketidak puasanku atau
karena ketidaktahuanku tentang cinta. Lambat laun aku memperlakukan wanita
sebagai barang pribadiku dan alatku untuk bersenang-senang.... Aku tidak bisa
dekat dengan siapapun secara emosional.... perlahan-lahan aku mengisi haremku
dengan ribuan wanita cantik...siapapun wanita yang kuimpikan bertekuk lutut
padaku dan menganggap dirinya sebagai wanita yang terpilih...tapi segalanya
berubah setelah kau masuk dalam kehidupanku dan setelah malam pertama kita, aku
hanya memimpikan satu wanita dan wanita itu adalah kau, Jodha... Ingatlah
selalu, tanpa Jodha, Jalal tidaklah sempurna.. Kaulah yang melengkapi
hidupku...”
Air mata Jodha mulai menggenang, “Hatiku sangat
bahagia dengan bermacam-macam perasaan...Tak bisa kujelaskan betapa
beruntungnya diriku... Aku selalu melihat cintamu yang tulus di dalam matamu
tapi hari ini aku merasakannya dalam setiap kata yang terucap darimu...” Air
matanya mulai menetes...dia melanjutkan dengan suara pelan, “Jalal, aku
benar-benar menyesal membuatmu menunggu dan mendamba begitu lama... Tapi aku
berjanji, setelah pernikahan kita aku tidak akan biarkan kau mengeluh lagi.
Bukan karena aku tidak mendambakan dirimu, tapi sejak kita menikah, kita sudah
melalui begitu banyak masalah naik turun... bukan hanya karena keadaan tapi
juga karena kebencian dan ego kita yang membuat kita terpisah..”
Jalal mengusap air mata Jodha lalu mengecup keningnya
dan berkata, “Jodha, janganlah menangis...aku juga menyesal...tidak seharusnya
aku mengungkapkan semuanya...aku tidak bermaksud menyakitimu...Entah kenapa aku
banyak bicara hari ini dan mengungkapkan semua isi hatiku padamu. Enam bulan
perpisahan kita telah menghancurkanku dan mengingat kembali saat-saat manis
kita bersama lagi dan lagi membuatku bertanya-tanya pada diriku sendiri,
benarkah aku dulu seperti itu?? Dan akhirnya, aku menemukan jawabannya Jodha,
bukan kau...akulah yang terus menyakitimu demi menyembunyikan perasaan dan
cintaku padamu...”
Jalal terdiam sejenak sambil menatap Jodha dengan
penuh cinta lalu dia tangkup wajahnya dan berkata, “Jodha, terima kasih sudah
mencintaiku dengan tulus...Aku sudah sering bertindak kejam dan menyakitkan
meski setelah pengakuan cinta kita...Aku tidak berpengalaman soal cinta... Aku
masih sangat egois dan hanya memikirkan diriku sendiri... Masih teringat jelas
pada malam setelah penobatanmu sebagai Malika E hindustan, ketika kau berkeras
untuk kembali ke kamarmu sendiri dan itu sangat mengusik egoku... Dan aku
bersikap sangat kejam padamu... Tapi sekarang aku sadar aku salah...Aku
bersikap seperti itu karena aku terbiasa bersikap seperti pada semua begumku.
Aku merasa aku sudah sepenuhnya memilikimu begitu aku menobatkanmu sebagai
Malika E hindustan... Aku mengumumkan di depan banyak orang bahwa kau sudah
menguasai hatiku tapi kau tetap tidak mau menyenangkan diriku seperti begumku
yang lain... Tapi kemudian aku paham, bagimu semua itu tidak penting... Kau
tidak haus kekuasaan maupun berhasrat menjadi istri spesialku... Kau bersikap
biasa saja, tidak berpura-pura seperti yang lain. Yang kau harapkan hanyalah
waktuku dan cinta yang tulus. Jodha, aku belajar semuanya dari kesalahanku...
Namun kau tetap berada di sampingku...Cintamu tersembunyi di balik
kesederhanaanmu... Kau tidak pernah mengumbar kekuasaan... Meski aku
menyerahkan kekuasaan seluruh Harem padamu, kau tetap menghormati Rukaiya....
Meski kau berbakat dalam semua bidang, kau tetap sederhana dan rendah hati...
Kau mengajariku cara menjadi orang yang baik...Rakyatku mencintaiku karena kau
menuntunku di jalan yang benar... Dalam enam bulan terakhir, setiap kali aku
menghadapi masalah yang rumit, sebelum aku mengambil keputusan, aku selalu
membayangkan bagaimana Jodha mengatasi masalah ini... Jodha, kau telah melebur
dalam pikiranku...darah dan nafasku...Kesederhanaanmu telah menyentuh
jiwaku...Tidak peduli seberapa sering kita bertengkar dan berdebat, cintaku
tumbuh makin besar tiap detiknya...”
Mata Jodha lembab karena berbagai emosi dan dia begitu
bahagia dengan cintanya... Dia rebahkan kepalanya ke dada Jalal dan
melingkarkan tangan memeluk tubuhnya, lalu membalas, “Jalal, hari ini tidak ada
keluhan dariku...Kau selalu bicara dengan kalimat-kalimat singkat
padaku...Butuh satu tahun kau bisa membuka dirimu padaku dan aku sangat
bersyukur kau mencintaiku dengan begitu besar... Aku bisa merasakan kesungguhan
dari setiap katamu hari ini... Aku sangat puas dan senang bisa mengobrol
seperti ini denganmu...”
“Jodha...aku sudah berbagi semua rahasia pribadiku
denganmu seperti permintaanmu....Sekarang aku ingin tahu mengapa kau tiba-tiba
melenyapkan semua batasanmu pada hari itu di bawah pohon dan menyerahkan dirimu
padamu. Saat itu benar-benar tak terduga dan tak pernah kubayangkan... Mungkin
itulah kenapa kenangan itu begitu terpatri dalam hatiku...” Jalal bertanya
ingin tahu.
Jodha melepaskan diri dan menjawab malu-malu, “Jalal,
kau harus berjanji tidak akan menggodaku nanti..”
Jalal tersenyum dan menjawab, “Jodha begum, Tidak ada
janji-janji lagi...Sebaiknya kau jawab segera atau Shenshah E Hindustan akan
memerintahkan Malika E Hindustan untuk menjawab..”
Jodha menjawab dengan suara pelan, “Jalal...bahkan aku
sendiri tidak tahu apa yang tiba-tiba terjadi padaku hari itu... Tapi kupikir
itu dimulai saat kau datang untuk meminta maaf, aku melihat penyesalan di
matamu dan caramu mengatakan bahwa posisiku sejajar denganmu bukannya pelayan,
jantungku berdetak cepat. Sikapmu padaku yang tiba-tiba berubah memberiku
kebahagiaan tak terkira yang tak bisa kujelaskan....lalu kau menyelamatkanku
saat hampir jatuh dari kuda... Aku tersentuh dengan tindakanmu karena seorang
Raja yang selalu meraih kemenangan telah memilih untuk mengalah demi
menyelamatkanku dan masih kuingat dengan jelas caramu menggenggam tanganku
seakan aku ini milikmu yang paling berharga dan menatapaku dengan matamu yang
menawan dan penuh cinta, aku bisa merasakan dengan jelas kekhawatiran dan
perhatianmu padaku dari mata itu...Saat aku meneriakkan kemenangan dan kau
jawab ‘Tuhan tahu siapa yang menang dan
kalah!!!’.... Menyentuhku dengan sangat dalam... Seperti mimpi yang tidak
pernah kubayangkan bisa menjadi nyata... Lalu kau mengundangku duduk di
sampingmu, kulihat kau memejamkan mata dengan sangat rileks. Kau terlihat
sangat polos dan tak berdosa... Lalu saat kau berkata (dengan mata tertutup) ‘Tidak seorang pun boleh datang kesini,
bahkan tidak Rukaiya begum...’ Perasaanku sangat bahagia...saat itulah aku
sadar kau telah jatuh cinta padaku dan saat mata kita bertatapan seakan kau
ingin aku mengerti kata yang tak terucap darimu, pertama kalinya aku merasa
menjadi bagian penting dalam hidupmu...dan d..an..” Jodha menunduk tak mampu
meneruskan kalimatnya, lalu memalingkan tubuhnya ke arah lain untuk
menyembunyikan rona di wajahnya.
Jalal menatapnya dengan penuh gairah dan bertanya,
“Dan...apa JODHA????” Dia putar kembali wajah Jodha ke arah dirinya, mengangkat
dagunya dengan ujung jarinya dan mendesak sekali lagi, “Dan..”
Jodha merasa tidak nyaman ditatap sedalam itu...dia
halangi mata Jalal dengan tangannya dan menjawab pelan, “Dan...kau sangat
menawan dan mempesona hingga semua gadis akan meleleh dalam pelukanmu dan...”
sebelum Jodha berkata lebih jauh...
Jalal sudah tidak mampu menahan dirinya... dengan
lembut ditepisnya tangan Jodha yang menghalangi matanya dan bertanya ingin
tahu, “Dan”
Jodha menambahkan dengan malu-malu, “Dan aku juga
begitu, aku merasakan hal yang sama...tapi hari itu kau menghancurkan
perasaanku dan melenyapkan semua harapanku saat kau memperlakukanku lebih buruk
dari seorang pelayan....lalu kau meminta maaf dengan sungguh-sungguh...begitu
kau mulai menganggap diriku penting, hatiku melupakan semua pahitan yang pernah
kau lakukan padaku... Sesungguhnya, yang kuinginkan hanyalah sedikit cinta dan
kepedulianmu... Aku menginginkan perhatianmu...Aku sangat mengharapkan
cintamu... aku ingin merasakan sentuhanmu... Aku berusaha keras menekan dan menahan
hasratku dan jatuh tertidur di sampingmu di bawah pohon itu dan bermimpi... Dalam
lelapku aku tidak tahu bagaimana dan kapan aku tersesat dalam pelukanmu...
Sikapmu yang posesif membuatku lupa diri dan kehilangan kendali...Hatiku
menguasai pikiranku meski pikiranku tahu aku sudah bertindak bodoh tapi aku tak
berdaya akan cintaku...”
Tatapan Jalal mengandung percikan gairah saat dia
menjawab dengan sedikit merayu, “Jodha...Saat itu adalah momen yang sangat
indah ketika kau berada dalam pelukanku... Seperti mimpi yang jadi kenyataan...
Tidak pernah terbayangkan suatu hari kau akan luluh dalam pelukanku seperti
itu. Hatiku tahu aku tidaklah pantas untukmu... Hatimu sangat suci dan murni
sedangkan aku sangat kejam dan licik... tidak ada persamaan diantara kita, tak
pernah terpikir kau akan menyerahkan dirimu padaku dengan sukarela... Jodha,
saat itu adalah momen yang indah, ketika cinta berpadu dengan gairah maka
hasilnya akan sangat menakjubkan... Jodha, aku tahu kau selalu menganggap aku
adalah seorang yang sok kuasa tapi pada kenyataannya cintamu lah yang menguasai
aku. Kau sepenuhnya mengendalikan hati dan pikiranku...Jodha, tidak ada hal
yang lebih penting selain dirimu.”
“Jalal, aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama
karena kau satu-satunya pria yang mampu menguasai diriku dengan akalmu dan kau
pria yang sesungguhnya... Kekuatanmu, kepandaianmu, kepribadianmu yang
menonjol, kemampuanmu mengambil keputusan dengan cepat membuatku tergila-gila
padamu...Kau selalu percaya diri dan aku mencintaimu karena semua hal yang ada
pada dirimu...”
“Jodha, katakan dengan jujur, apa kau masih merasakan
hal yang sama seperti sebelumnya...Apakah keberadaanku masih memberikan efek
yang sama???” Jalal bertanya dengan senyum tertahan di bibirnya.
Dengan polosnya Jodha masuk perangkap pada permainan
kata-katanya dan menjawab polos, “Shahenshah, yang kurasakan sekarang lebih
dari sebelumnya...”
Jalal menunduk ke arah Jodha dan menjawab dengan
hangat dan ceria, “Benarkah Jodha begum, kalau begitu buktikan kalau kau
tergila-gila padaku... bahkan hari ini kau masih bergairah karena sentuhanku...
caramu membuatku mendambakan dirimu... karena sepertinya perasaanmu tidak sama
lagi.” Matanya menggelap dan seulas senyum terukir di sudut bibirnya.
Kupu-kupu mulai terasa menari-nari di perutnya karena
ditatap sedalam itu...’Ya Tuhan, dia
tetap mampu mempengaruhi gejolak tubuhku dengan cara yang sama... hangatnya
embusan napasnya menggelitikku dan membuatku lupa diri... Rasanya aku ingin menghamburkan
tubuhku ke dalam dekapan lengannya yang berotot.’ Jodha bergerak mendekat
dan berbisik dengan mesra di telinganya sambil menggesekkan pipinya pada pipi
Jalal..”Hmmm...Aku bisa membuktikannya, Shahenshah, tapi aku harus
memperingatkanmu karena kau sudah menggangguku sepanjang hari dan membuktikan
bahwa aku juga bersalah, aku masih sangat marah padamu...jangan salahkan aku
nanti...”
Jalal menyeringai nakal dengan tatapannya yang mampu
membakar gairah Jodha, dia berkata dengan suara berat, “hmmm..Ahh..Aku tidak
sabar melihat seberapa marahnya dirimu??? Aku suka kucing liar yang marah..”
matanya bersinar penuh gairah... Mereka berdua sangat dekat, napas mereka
saling beradu...Keduanya sama-sama merasakan desiran dalam tubuh mereka...
Jodha menggigit mesra cuping telinganya dengan giginya
yang tajam dan bergumam, “Hukuman karena menggangguku di depan Masa.” Jalal
mendesis nikmat sambil memejamkan matanya...senyum kecil terbayang di
bibirnya... Jodha menenggelamkan jarinya ke dalam kelebatan rambut Jalal dan
menariknya mendekat lalu mengecup lehernya dengan beberapa gigitan manis dan
bergumam, “Yang ini karena kau menyelinap ke upacara Sangeet...” Jalal
menyeringai dan merebahkan tubuhnya ke sofa membawa serta Jodha di atasnya lalu
balas berbisik, “Jodha begum, jangan lupakan gaun yang kupaksa untuk kau
kenakan...”
Jodha memberinya tatapan galak dan mengingat kembali
cara Jalal mempermainkan dirinya, dia menjawab, “Mana mungkin aku lupa?” dan
kembali menggigitnya kali ini dengan lebih kuat.
Jalal mengerang kesakitan, “Ouchhh...Jodha...aku tidak
akan melepaskanmu sekarang...Junglee Billi.” Tiba-tiba dia mempererat
pelukannya dan memutar tubuh mereka hingga sekarang ganti Jodha yang berada di
bawah tubuhnya. Jalal menahan tubuh Jodha dengan membiarkan bobot tubuhnya
menjadi penghalang sambil merespon ciumannya dengan liar dan gairah yang sama
dan berbisik, “Aku tahu caranya menjinakkan macan yang liar...”
(Jodha)
Saansein ye teri hai, dhadkan bhi teri hai
(Nafasku milikmu;
detak jantungku juga milikmu.)
Jeevan yeh tera huwa, tere hi chunne se
(Hidupku milikmu
sejak kau menyentuhku dengan dalamnya cintamu)
Tan man sajaa mera
(Tubuh dan hatiku
berdesir dengan sentuhan mesramu)
Huyi main parineeta
(Sentuhan mesramu
membuat seorang wanita menikah hari ini)
Jiya dole haule haule...kyon yeh dole jaanu na
(Hatiku menari, pelan,
pelan...Mengapa bisa menari, aku tak tahu)
Jiya dole...kyon yeh dole...jaanu na
(Hatiku
menari...Mengapa menari...aku tak tahu)
Aroma wanginya bunga di atas sofa membuat mereka
terlena, angin dingin menciptakan gelombang gairah dalam tubuh hangat mereka...
Jalal menghentikan ciumannya dan mengatur napasnya yang terengah-engah dan menunggu Jodha membuka matanya...
perlahan Jodha membuka matanya dan langsung menatap ke dalam matanya yang
dalam...dan berkata, “Jalal...aku sangat mencintaimu. Hanya satu orang yang
bisa menaklukkan diriku dan itu adalah kau.”
Jalal membalas dengan berbisik mesra, “Jodha, kau tahu
benar, caranya menyulut api dalam tubuhku...kau tahu cara membuatku
tergila-gila padamu.” Dengan lembut dia menyentuh bibir Jodha... dan Jodha bisa
merasakannya...dia tarik tubuh Jalal mendekat dan mengaitkan jemarinya di
rambut lembut Jalal. Kemudian Jalal melanjutkan aksinya mengulum bibir Jodha,
dan saat Jodha mengerang, Jalal meluncurkan lidahnya masuk ke dalam mulut
Jodha...keduanya sama-sama memejamkan untuk meresapi gairah dalam ciuman
mereka... ciuman penuh cinta...jiwa mereka saling berpaut dengan
erat...Perlahan api gairah mulai memercik...Yang terdengar hanya desah napas
mereka yang memburu...
Tak sengaja pandangan Jalal tertuju pada bulan di atas
langit dan memperkirakan waktu mereka saat ini, dia teringat janjinya pada Raja
Bharmal untuk kembali sebelum Mehndi... Dia pandangi bulan itu sekali lagi dan
menentukan perkiraan waktunya... Dia berkata dengan menyesal, “Jodha...kita
harus segera kembali, kalau tidak kau akan terlambat untuk upacara Mehndimu...”
Jodha balik merayu, “Jalal, bahkan hari ini aku masih
merasakan gairah yang sama...aku ingin kau rengkuh diriku dan menjadikan diriku
milikmu sekali lagi...Aku tidak bisa menunggu lagi...Aku tidak peduli jika kita
terlambat...”
“Jodha, aku sudah menantikan kesempatan ini sejak lama
dan kerinduanmu juga membuatku gila...tapi aku sudah berjanji pada Raja Saheb
kita akan kembali ke istana sebelum Mehndi dan kau sudah menghabiskan banyak
waktu kita yang berharga hanya untuk bertengkar, dan kegemaran favoritmu untuk
mengeluh dan mengomeliku...jadi semuanya salahmu, kita harus pergi sekarang
untuk Mehndi atau aku akan memenuhi keinginanmu saat ini juga, tapi sekali kita
memulainya maka aku tidak akan melepaskanmu selama berjam-jam...sekali saja
tidak akan cukup untukku...kau yang putuskan!!”
Tiba-tiba Jodha tersadar dari mantra rayuannya dan
menyadari betapa terlenanya dirinya...dan apa yang baru saja dia minta...Dia
teringat seandainya dia terlambat maka Masa akan marah besar padanya.
“Ohhh jadi lagi-lagi itu salahku... Kau tahu Jalal,
otakmu seperti otak seekor rubah...ayo kita kembali ke istana sekarang.” Kata
Jodha memberengut kesal.
Jalal menghela napas dengan berat dan berkata dengan
kecewa, “Ahhh ummm...Jodha...sejak aku sampai di Amer...berulang kali kita
mengalami situasi seperti ini...sesuatu terjadi dan kita urung melanjutkan
lebih jauh lagi...aku sama sekali tidak mengerti takdir kita ini akan seperti
apa. Aku sudah tidak sabar kembali ke Agra dimana tak seorang pun akan
mengganggu kita dan aku sudah lelah dengan semua ritual yang harus kujalani..”
Jodha bertanya, “Jalal, aku tidak tahu bagaimana
caramu mengendalikan hasratmu saat ini...dan omong-omong... ini hanya masalah
satu malam saja.”
Jalal tersenyum kecut dan berbisik sambil memeluknya,
“Jodha, kau sudah melatihku cukup baik tentang bagaimana caraku mengontrol hasratku
saat ini... dan ini bukan sekedar masalah satu malam saja....kita tidak perlu
menunggu selama itu, setelah Mehndi, kau datang ke kamarku untuk menghabiskan
waktu sepanjang malam denganku sesuai janjimu...Aku akan menjadikanmu milikku
sepanjang malam...dan aku juga tidak akan membiarkanmu tidur sepanjang malam...
Aku akan memenuhi keinginan Malika E Hindusta untuk merengkuhnya ke dalam
diriku...”
“Malam ini...Jangan...Ja..ngan...Setelah Mehndi...Apa
kau sudah gila Shahenshah...Mana mungkin aku datang ke kamarmu di depan banyak
orang dan lagipula malam ini Masa akan tidur denganku. Tidak mungkin aku
datang.” Jodha menolak dengan tegas.
“Kalau kau tidak datang, aku yang akan pergi ke
kamarmu dan di depan Masa-mu, aku akan membawamu ke kemarku.”ujar Jalal dengan
serius dan ekspresi bersungguh-sungguh.
Jodha merespon dengan agak memohon, “Jalal, ini hanya
masalah satu malam saja...Kau sudah menunggu lama jadi tunggulah satu malam
lagi...kumohon...lagipula tanganku akan penuh dengan Mehndi jadi aku tidak akan
bisa menyentuhmu sama sekali malam ini.”
Senyum misterius tersungging di wajah Jalal,
“Ohh...aku bahkan tidak berpikir ke arah sana...wow...menakjubkan...Tanganmu
akan penuh dengan Mehndi...artinya Jungle billi yang liar akan sepenuhnya di
bawah kendaliku dan aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan...hmm...Mana
mungkin aku melewatkan kesempatan ini...Ummm... Aku sudah tidak sabar menunggu
Mehndi mu selesai...Dan ditambah lagi, ini adalah hukuman yang tepat untukmu
atas semua kerinduanku dan kau akan membayarnya malam ini juga...” Jalal
menjawab penuh semangat.
Jodha memicingkan matanya dan berteriak frustasi,
“J..ala..l, kau tahu sendiri bobotmu lebih berat dari seekor gajah, lepaskan
aku...buka telingamu dan dengarkan aku, aku tidak gentar padamu...dan aku tidak
akan datang ke kamarmu malam ini. Kau bisa melakukan apapun dan aku tidak cukup
bodoh untuk berpikir kalau kau akan benar-benar datang ke kamarku dan membawaku
tanpa tahu malu ke kamarmu...”
Memperhatikan wajah Jodha yang kesal dan marah, Jalal
menyeringai geli sambil berdiri lalu menjawab, “Jodha, ingat saat kau mengira
aku tidak akan menyanyi dan menciummu di depan banyak orang.”
Jodha berpikir, ‘Oh
Kanha, mana mungkin aku lupa, dia sanggup melakukan apapun dimanapun...Pastinya
dia juga akan datang ke kamarku dan membawaku ke kamarnya sendiri di depan
semua orang. Sebaiknya kututup mulutku dan tidak menantangnya lagi...dan
bodohnya aku, aku sendirilah yang menantangnya dan menjanjikan jika dia menang
maka aku akan menghabiskan malamku bersamanya. Oh Kanha...apa yang harus
kulakukan sekarang...Dadisa, Masa, Sukanya, Shivani...semuanya ingin tidur di
kamarku malam ini.’
Jodha bangkit mengikuti Jalal lalu melingkarkan
tangannya ke sekeliling lehernya dan berkata dengan nada manis dan merayu,
“Shahenshah, kumo..hon..demi Jodha-mu...dan ini hanya satu malam
saja...Sebenarnya kau tahu Dadisa...Masa...Sukanya dan Shivani akan tidur di
kamarku...dan juga, ini adalah hari terakhirku bersama mereka karena besok
setelah pernikahan, kita akan pergi jadi kumohon mengertilah, suamiku yang
tampan dan menawan...”
“Oh jadi sekarang aku tampan dan menawan...lalu
mengapa tadi kau bilang aku lebih berat dari seekor gajah...Maaf, kau harusnya
berpikir sebelum bertaruh...” Jalal menyembunyikan senyumnya dibalik suaranya
yang serius.
Dengan kesal Jodha menatapnya dan berbisik keras,
“Jallad.” (kejam)
Jalal pura-pura marah saat bertanya, “Apa yang baru
saja kau katakan Jodha??”
“Ohhh tidak ada Shahenshah...Aku bilang ‘Kau adalah
dewaku’...Bisa kita pergi sekarang kalau tidak kita akan terlambat untuk
upacara heena.” Jodha menjawab dengan senyum dipaksakan dan menekan emosinya.
Jalal dan Jodha pergi kembali ke istana...Jalal bicara
dalam hati...’Oh Jodha!! Aku tahu ini
adalah hari terakhirmu bersama keluargamu di Amer dan di depan begitu banyak
orang kau tidak akan datang ke kamarku....dan lagipula aku ingin kau
menghabiskan waktu dengan keluargamu tapi aku mana mungkin aku melewatkan
kesempatan untuk menggodamu...wajah kesalmu selalu membuatku gemas.’
Jodha bertanya bingung, “Shahenshah, ketika kau
menantangku apakah aku masih memiliki hasrat yang sama seperti sebelumnya...kau
sudah tahu kita tidak punya cukup waktu...kau tahu..”
Jalal menyeringai geli dan menjawab datar, “Cukup
waktu untuk apa Jodha?”
Jodha berteriak kesal, “Ja..laal..”
Jalal tergelak keras dan menjawab, “Ya..aku tahu..”
“Oh, jadi kau tadi hanya merayuku...”kata Jodha
kecewa.
“Tidak Jodha...kapanpun aku bisa merayumu...dimanapun,
tapi kupikir daripada tidak sama sekali... anggap saja itu sajian pencuci mulut
yang manis untukku...Aku akan bertahan sambil
menikmatinya hingga kau datang padaku.” Jalal berbisik mesra di telinga
Jodha.
Jodha berkata kesal, “Ingatkan aku saat kita sudah di
Agra...kita harus menemui hakim untuk membicarakan masalah pencuci mulutmu...”
Tawa Jalal terlepas, dia terbahak-bahak dengan keras.
Jodha berkata dengan galak, “Berhenti menertawakanku,
Shahenshah, aku merasa kedinginan..”
Jalal melepaskan syalnya dan melilitkannya pada tubuh
Jodha lalu menarik tubuhnya mendekat dan melingkarkan tangannya dengan erat ke
sekeliling pinggang Jodha.
“Shahenshah, aku sudah pakai syal dan kau akan terkena
flu tanpa syalmu...ambil kembali punyamu.”
“Jodha, aku baik-baik saja tanpa syal dan jika aku
memang terkena flu, tidak masalah karena malam ini kau akan datang ke kamarku
untuk mengusir flu-ku jauh-jauh..” kata Jalal menggoda.
Jodha memilih diam dan merebahkan kepalanya ke dada
Jalal lalu memejamkan matanya dan pura-pura mengeluh, “Shahenshah, kau suka
sekali menggodaku.”
Jalal menjawab dengan seringai geli di wajahnya, “Dan
kau selalu membuatku mendambakan dirimu.”
“Shahenshah, aku tidak mau bicara lagi, setiap kali
kau selalu membalik kata-kataku.”
Jalal membalas, “Sejujurnya, aku menikmatinya setiap
kali menggodamu, tidak ada hal lain yang bisa membuatku senang.”
Jodha berbisik, “Jallad.” Jalal tertawa...selama
perjalanan, mereka terus saja saling melempar kata dalam kehangatan pelukan
masing-masing.
*********