Jalal telah kembali ke Indonesia berada di depan Apartemen
Jo, langsung masuk ke dalam. Bukan tanpa mengetuk pintu, Jalal telah puluhan
kali mengetuk pintu dan meneriaki nama Jo yang akhirnya membuat tetangga Jo
mememarahinya karena telah membuat keributan. Tapi kosong tak ada siapapun.
Kemana dia? Benar kan ia telah pulang? Atau ia pergi ke rumah orangtuanya? Tak
mungkin, aku telah menghubungi mereka dan aku yakin mereka tak tahu masalah
ini.
Lelah berfikir tapi tak juga membuahkan hasil itu yang
Jalal dapat setelah lama berdiam diri di dalam kamar Jo. Jauh-jauh dari Milan
ke Jakarta mengambil jam penerbangan pertama pada hari itu, tapi apa? Jo tak
juga berada disini, lalu pergi kemana dia? Apa mungkin ini karma yang kudapat
setelah mengabaikannya.
Hari-hari Jalal lalui tanpa Jo, berat? sudah pasti tapi
pekerjaan membuatnya menghilangkan semua masalah yang dihadapi kini. Jalal
telah berada di dalam Apartemen Jo untuk yang kelima kalinya setelah kejadian
itu. Jalal tahu ini memang tak sopan tapi mau bagaimana lagi Jalal terlalu
merindukan Jo. Bingung bukan kenapa ia bisa masuk? Tentu karena Jo memberikan
kunci cadangan apart nya kepada Jalal. Itu juga atas desakan Jalal setelah
beberapa menit berdebat.
Jalal sedang duduk di sofa apartemen Jo, dengan kekacauan
pikirannya. Di satu sisi ia sangat marah kepada Jo, tapi di sisi lain
perasaannya khawatir sebagai seorang kekasih akan keadaan Jo saat ini. Dan saat
Jalal sedang memejamkan mata menyenderkan bahunya di sofa, pintu terbuka.
Wanita yang berbadan seperti Jodha muncul dibalik pintu menyandang ransel besar
miliknya dan perban dikening.
“Jalal? Apa yang kau lakukan disini?”tanya Jo yang kaget
melihat Jalal sedang merebahkan dirinya di sofa.
“Dari mana saja kau? Aku terbang jauh dari Milan-Jakarta
dan memilih penerbangan jam pertama untuk menemuimu disini. Tapi kau tak ada !”
“Maaf, beberapa hari terakhir aku sibuk dengan urusan
lain. Sehingga harus pulang mendadak. Sebenarnya aku ingin memberitahu akan
kepulanganku,” Jo diam sejenak menatap laki-laki didepannya.“Tapi sepertinya
kau sibuk atau mungkin mengacuhkanku” Jo mendengus.
“Apa kesibukkanmu sehingga tidak bisa memberi kabar padaku,
bahkan ponselmu tidak aktif berhari-hari,”Jalal mendekati Jo.
Jo melangkah mundur, “Aku fikir kau tak mau kuhubungi.
Kau instropeksi dirimu dulu Tn.Zavier, berapa kali kau acuhkan panggilanku?
Berapa kali juga kau tak pernah balas pesanku. Jadi, apa penting jika aku
menghubungimu?”
“Tentang itu… tentu saja aku..” Jalal baru akan menjawab
sebelum Jo memotong ucapannya. “Tentu saja kau tak mementingkannya kan? Kau
terlalu cemburu padaku.”
Jalal kaget “Cemburu? Untuk apa aku cemburu? Apa yang aku
cemburui? Aku tak mengerti apa yang kau maksud, jika tentang kebersamaanmu
bersama laki-laki setengah bule itu. Tentu saja tidak!” Jalal menentangnya.
“Sudah kuduga” Jo bergumam, “Kau melihatnya kan? Jadi itu
yang menyebabkanmu mengacuhkanku?”
Jo sadar saat ia bertemu Leon. Tepat pada saat Leon
tiba-tiba memeluknya, Jo merasakan seseorang tengah mengintainya, sebelum Jo
memeriksa sesuatu dibalik dinding, orang itu telah pergi. Tadinya Jo belum
sepenuhnya yakin jika orang itu adalah Jalal, tapi semenjak Jalal
mengacuhkannya lengkaplah keyakinan Jo jika Jalal cemburu. Terbukti jika hari
ini Jalal sendirilah yang mengatakan dari mulutnya itu.
“Tapi Jo sepertinya itu tak terlalu penting. Bagaimana
jika kau katakan darimana kau mendapatkan luka dikeningmu itu?” Jalal
mencurigainya,
“Pekerjaanmu TNI-AD, jika aku mencurigai kau ikut dalam
sebuah pertempuran. Apa aku salah?”
Jo berjalan menuju sofa empuknya, “Tidak! Kau berlebihan!
Aku ini kan wanita, aku hanya membantu menyiapkan keperluan dan tak sengaja aku
tersandung lalu terjatuh. Masuk akal bukan? Daripada fikiran konyolmu itu.”
“Baiklah aku mengerti. Sana pergi bersihkan dirimu lalu
istirahat lah dan jangan lupa obati lukamu. Aku akan pergi sekarang. Fikri
telah menunggu di lobby”
Jalal meninggalkan Jo sendiri.
“Pria yang aneh,
tadi memulai perdebatan dan sekarang dia entah perduli atau sok perduli
denganku karena itu beda tipis”batin Jo.
***
1 Mei
Tepat pukul 19.00 WIB Jo melajukan audi S6 white
miliknya, menelusuri jalanan ibukota bersama Ulfah. Sebelumnya, ia terlihat
sibuk menghubungi beberapa orang. Dan kini mobil itu telah terpakir, Jo turun
lalu masuk kedalam rumah yang berdiri megah dihadapannya. Perlahan ia melangkah
dan melewati setiap ruangan disekitarnya, Jo pun sampai di depan kamar Jalal.
Mempersiapkan diri untuk berbicara di depan Jalal, dengan ekspresi yang cukup tegang,
mungkin.
“Tok…tok…tok”Jo mengetuk pintu dan tak lama pun Jalal
keluar.
“Loh Jo, ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu datang kesini
tanpa memberitahuku terlebih dahulu”tanya Jalal yang bingung kenapa Jodha
datang ke rumahnya
“Gak, aku cuma mau bertamu aja. Emangnya gak boleh
ya?”tanya Jodha dengan wajah datarnya
“Yaudah, silahkan masuk nona”jawab Jalal mempersilahkan
Jo masuk kedalam kamarnya.
Jo takjub melihat kamar Jalal yang besar di dominasi
warna hitam dengan beberapa figura yang menempel di dinding. Meja, sofa, lemari,
tentunya kasur dan beberapa alat musik tertata sempurna di sudut ruangan.
Terdapat pintu menuju teras kamar yang di desain se-sempurna mungkin. Karena
ini kali pertamanya ia masuk kedalam kamar Jalal.
“Jalal, aku ingin bicara serius denganmu” ucap Jo yang
membuka pembicaraan setelah duduk di sofa bersama Jalal.
“Ada apa Jo? Wajahmu tegang. Penting banget ya, sampai segitunya”
goda Jalal.
“Iya, aku ingin membicarakan hal yang sangat serius. Jadi
kumohon jangan bercanda atau menggodaku” tegas Jodha.
“Oke, sekarang katakan maksud kedatanganmu”
Perlahan Jo berdiri dari sofa dan membelakangi Jalal, ia
menutup mata dan mengatur ritme pernafasannya. Dengan penuh keyakinan Jo
memulainya.
“Jalal, tolong maafkan aku, keputusan ini telah ku
perhitungkan secara matang apa akibatnya untuk ku, kau dan orang disekitar kita”
katanya tetap tenang, “Aku ingin memutuskan hubungan denganmu sebagai seorang
kekasih. Karena aku tidak yakin bisa melanjutkan hubungan kita ke arah yang
lebih serius. Dan aku minta kau lupakanlah aku mulai detik ini, jangan pernah
hubungi atau temui aku” jelas Jodha yang membuat Jalal tercengang.
“Jodha, maksud kamu apa? Memutuskan semua hubungan yang
sudah kita jalani setahun terakhir ini. Kamu gak lagi bercanda kan? kamu lupa
susahnya aku mendapat perhatian kamu. Pertemuan pertama kita, hari dimana aku
melamar mu dan semuanya. Sekarang kau minta aku untuk melupakan mu? TAK AKAN”
Jalal menarik nafas, “Dan TAK AKAN PERNAH KU LAKUKAN” ulangnya. Jalal
mencengkram kedua bahu Jodha.
Jo berusaha melepaskan pegangan Jalal dibahunya,“Tapi ini
keputusanku Jalal, aku mulai merasa tak nyaman dengan hubungan kita. Dan kau
tidak bisa memaksakan kehendakku. Suatu hubungan yang hanya ada 1 perasaan didalamnya
tak bisa disebut ‘Cinta’ ” Jo memberikan penjelasan.
“Aku mengerti Jo, tapi atas dasar apa kamu minta aku
melakukan semua hal yang kamu katakan tadi. Menyetujui keinginan bodohmu itu,
tidak akan pernah kulakukan” kata Jalal tetap pada pendiriannya.
“Terserah keyakinanmu sajalah, sebelumnya aku sudah
membicarakan hal ini dengan ibu dan ayah. Mereka menyetujuinya dan ini bukan
keinginan bodoh melainkan keputusan dari dalam hatiku. Dan jangan lah bersikap
egois dengan memikirkan perasaanmu saja”
“Mau itu keputusan dari hatimu atau apapun aku takkan
menerimanya. Ini bukan suatu keegoisan Jo ”
Jo menatap sengit ke arah Jalal, “Jika ini bukan suatu
keegoisan. Kau anggap apa suatu itu?” Jo mendesak. “Suatu kebaikan dan
membiarkan aku hidup bersama orang yang tak aku cintai. Oh atau suatu..” Jo
berfikir, “Suatu keinginan dalam hubungan dan tak akan pernah ada pernikahan!”
Jo menjauhi Jalal.
Jalal mulai mendekatinya, “Tentu tidak Jo. Jika kau tak
seperti ini pasti akan ada pernikahan dalam hubungan kita”
“Kita? Bukan kita Jalal. Tapi antara aku dan dia (laki)
juga antara kau dan dia (perempuan). Bukan antara KITA” Jo menegaskan
kata-katanya dan semakin menjauh.
“Siapa yang kau maksud DIA? Tak ada siapa-siapa selain
aku dan kau!”
Jo bersikeras “Sekarang memang tak ada, tapi siapa yang
tahu waktu kedepan Jalal?”
“Aku,” Jalal menunjuk dirinya “Kau,” Jalal menunjuk Jodha
“Kita,” Jalal menunjuk dirinya dan Jo bergantian “Memang tak ada yang tahu
bagaimana kehidupan yang akan datang. Tapi yang aku tahu, kau tetap akan
bersamaku”
“Egois! Itu namanya Egois! Kau menafsirkan hidupmu
sendiri. Aku tak suka itu”
TBC