Written By Bhavini Shah
Translate By Tyas Herawati Wardani
Upacara Pertukaran Cincin
Upacara ini dilaksanakan dengan sangat meriah.
Ruangannya diatur mirip seperti Diwan E Khaas tapi dengan lebih banyak kursi
dan ditempatkan di aula yang jauh lebih luas. Satu sisi diperuntukkan bagi
orang-orang Mughal dan sisi lainnya untuk para Rajvanshi. Kursi utama
diperuntukkan bagi Jodha dan Jalal. Di dekat kursi mereka diperuntukkan bagi
keluarga Jalal dan keluarga Jodha.
Para kerabat dan sahabat mulai berdatangan dan
menempati kursi masing-masing. Satu per satu dengan didahului pengumuman,
masuklah Hamida Banoo, Mainavato, Sujamal, Maan Singh, Kakak-kakak Jodha,
Bhabhi, Bakshi Banoo, Salima begum, Surya, Leela, Sukanya, Shivani, Abdul,
Mirza dan kerabat kerajaan lainnya. Raja Bharmal juga telah hadir dan duduk di
sebelah singgasana.
Setelah semuanya siap, Jalal berjalan menuju kamar
Jodha, sesuai aturan, keduanya akan masuk ke dalam aula bersama-sama.
Jodha menatap cemberut pada Jalal dan berkata sinis,
“Siap untuk tantangannya Shenshah?”
Jalal tidak menjawab, hanya memandangnya lurus-lurus.
Keduanya berjalan bersama dalam diam.
Kebisuannya justru mengusik Jodha, dia bertanya dengan
marah, “Shenshah, aku sangat kecewa denganmu.”
Dengan suara berat, Jalal menjawab, “Aku tahu.”
Jodha bicara dalam hati, ‘Oh...apa yang sedang
dipikirkannya?? Apa yang direncanakannya??? Bagaimana nasib Surya dan Sukanya??
Lalu soal tantangannya??? Kenapa dia tenang-tenang saja??? Wajahnya tanpa
ekspresi...benar-benar tenang... bagaimana dia bisa seperti itu? Dia cukup
licik dan mengintimidasi. Sulit sekali menebak apa yang ada dalam
pikirannya???’
Jodha bertanya hati-hati, “Shenshah, apa yang akan kau
lakukan untuk tantangannya? Sepertinya kau sudah mengakui kekalahanmu.”
Jalal menatapnya dengan matanya yang gelap dan
menjawab dengan suara beratnya, “Oh Jodha begum, jangan kuatirkan aku, aku
sudah memutuskan apapun yang terjadi, aku akan mencium bibirmu di depan semua
orang sesuai keinginanmu, harapan dan tantanganmu. Aku benar-benar ingin
memberimu pelajaran jadi kau tidak akan lagi berani menantangku.” Tatapannya
cukup menakutkan, tersirat ada permainan rahasia di dalamnya.
Saat itu mereka sudah hampir sampai di aula. Jodha
merasa terancam dan terkejut mendengar keyakinan dalam kata-katanya. Dia ketakutan,
bahkan rasanya ingin kabur saja dari acara ini. Jalal menyadari langkah Jodha
yang melambat...tanpa kentara dia bersiap untuk melangkah balik... tapi sebelum
dia berhasil, Jalal sudah meraih pergelangan tangannya dan berkata, “oh
tidak...tidak bisa Jodha....Aku tidak akan membiarkanmu kabur lagi dari
hidupku.”
Jodha berkata marah, “Jalal, jika kau akan menciumku
dan mempermalukanku di depan orang-orang maka aku akan benar-benar lari dari
acara ini dan kali ini percayalah, kau tidak akan pernah menemukanku.” Tampak
jelas ketakutan dan kemarahan di wajah Jodha.
Pengumuman untuk kedatangan mereka telah
dikumandangkan.
Ekspresi Jalal masih tetap tenang...tapi senyumnya
jahatnya muncul di wajahnya. Dia
berbisik, “Oh...Jodha, kau hanya mengancamku, tantangan adalah tantangan. Kau
tidak bisa mundur dan aku sudah tidak sabar menggigit bibir merah mudamu itu.”
Jodha menggerutu, “Monster.”
Jalal menyeringai dan keduanya masuk ke dalam aula
bersama-sama.
Jodha tersentuh melihat begitu banyaknya yang hadir
dalam acara ini, lalu keduanya pun duduk di singgasana mereka. Jalal menyadari
wajah Jodha yang memucat dan suram, dia meyesal sudah membuatnya ketakutan. Dia
remas tangan Jodha lembut dan berkata pelan, “Jodha.” Dia tunggu sampai Jodha
melihat ke arahnya. Jodha menoleh dengan sedih. Tatapan Jalal melembut dan dia
meyakinkan Jodha dengan tenang, “Aku takkan mempermalukanmu seperti yang kau
pikir....jangan cemas dan percayalah padaku...semua akan baik-baik saja.”
Jodha dengan gugup bercampur takut bertanya, “Janji, Jalal??”
Jalal menatapnya penuh cinta dan meyakinkannya kembali
denga remasan lebih kuat di tangannya, “Janji Jodha, kau tahu aku tidak bisa
membiarkanmu cemas meski hanya sedetik....untuk setitik senyummu saja aku
bersedia menyerahkan seluruh kerajaanku. Kau sangat berharga untukku.” Katanya
dengan serius.
Jodha lega mendengarnya.Wajahnya kembali ceria dan
tersenyum. Dia bertanya pelan, “Jadi kau tidak akan menciumku disini??”
Jalal menyeringai misterius, “Jodha, percayalah
padaku.”
Jodha merasa tenang setelah Jalal meyakinkannya tapi
tidak sepenuhnya juga....dia menggerutu dalam hati, “Kenapa dia membingungkan
sekali?? Dia akan menciumku atau tidak??’ Jodha menghela napas berat dan
bergumam dalam hati, ‘Ohh Kanha, kenapa kau menciptakan pria itu sangat manipulatif?’
Sukanya dan Leela duduk bersebelahan, sedangkan Surya
duduk tidak jauh dari mereka. Beberapa orang masih mencari temapat duduknya,
para pemain musik dan penari sudah siap di posisi mereka sebelum tampil.
Jalal berdiri dan menghampiri Sukanya, dan membuat
banyak orang bertanya-tanya. Dia bertanya pelan, “Sukanya, aku masih menanti
jawabanmu, sebentar lagi Raja Saheb akan mengumumkannya tapi aku harus memastikannya
denganmu.”
Sekali lagi Sukanya menoleh dengan sedih ke arah Surya
sebelum menjawab, “Jijasa, Maaf aku membuatmu menunggu, Kau dan Bapusa bisa
memutuskan apapun, yang terbaik untukku menurut kalian.” Dia paksakan sebuah
senyum kepada Jalal. Matanya mulai terasa panas...beberapa detik lagi semua
harapannya musnah.
Jalal berjalan menghampiri Mirza dan berbicara dengan
sangat pelan. Senyum lebar yang tiba-tiba muncul di wajah Jalal menyentak Surya
dengan sangat hebat. Kemudian Jalal berjalan kembali ke singgasananya dan
berbicara dengan Raja Bharmal. Tak satupun tindakan Jalal yang luput dari perhatian
Surya dan sedikit demi sedikit dia mulai menarik kesimpulan. Dia menduga Jalal
sedang membicarakan sesuatu yang ada hubungannya dengan lamaran Mira untuk
Sukanya dengan Raja Bharmal. Karena tiba-tiba saja Raja Bharmal terlihat sangat
senang dan bahagia.
Sukanya tak bisa leagi menahan air matanya, wajahnya
memucat, dia tundukkan wajahnya dalam-dalam. Leela meremas tangan sahabatnya
untuk menenangkannya dan memberikannya dukungan yang dia butuhkan, tapi Sukanya
sudah merasa seluruh tubuhnya mati rasa. Jalal dan Jodha, keduanya melihat
ekspresi hancur di wajah Sukanya. Jodha melirik kecut pada Surya. Sementara
Surya juga merasa otaknya akan meledak karena tekanan ini. Seakan-akan jiwanya
pergi dari genggamannya seperti pasir. Jantungnya berpacu cepat hingga rasanya
siap meledak karena rasa takutnya yang teramat sangat.
Raja Bharmal memanggil Mainavati ke pojok ruangan
untuk berdiskusi sebelum pengumuman. Akhirnya, Raja Bharmal kembali ke
tempatnya duduk dan mulai bicara dengan suara lantang, “Pertama-tama aku ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua orang karena telah hadir pada acara ini.
Kedua, aku ingin bersyukur pada Tuhan karena telah memberiku seorang Jamai yang
baik dan sangat rendah hati yang memperlakukan keluarga Jodha seperti
keluarganya sendiri. Hari ini Shenshah telah memutuskan akan menambahkan satu
lagi keluarga Amer menjadi anggota keluarganya. Aku benar-benar senang dan
bangga mengumumkan...”
Sebelum Raja Bharmal
selesai bicara, Surya memotong dengan lantang, “Raja Saheb, Kau tidak bisa
melakukannya. Kau tidak boleh menikahkan Sukanya dengan Mirza. Aku mencintai
Sukanya dan akan menikahinya.”
Semua orang terperangah dengan lamaran Surya yang
tiba-tiba. Leela memandang kakaknya dengan mulut terbuka lebar karena tak
percaya....dia bergumam kencang, “Ya Tuhan.”
Mata Sukanya melebar...sesaat tadi pikirannya tidak
dapat mencerna apa yang baru saja terjadi...tapi sejurus kemudian senyum sangat
lebar merekah di bibirnya.
Jalal dan Jodha saling bertukar pandang dengan
tersenyum simpul.
Ini benar-benar mengejutkan dan sulit untuk dipercaya
bagi Raja Bharmal. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Dia bahkan tidak
tahu alasan dibalik lamaran Surya yang mendadak di depan banyak orang dan ada
hubungan apa antara Sukanya dan Mirza. Otaknya berputar berusaha mencari
jawabannya.
Jalal berdiri untuk mengendalikan keadaan. Dia bicara
dengan tegas, “Surya Vadan Singh, kami semua sangat berkenan dengan lamaranmu
untuk Sukanya, tapi mari kita bicarakan ini secara pribadi.” Jalal menunjuk
pada para penari dan memerintahkan mereka untuk tampil.
Jalal meminta dengan sopan, “Raja Saheb, aku dan Jodha
ingin bicara dengan anda dan Surya Vadan Singh secara pribadi.”
Para penari tampil dengan diiringi musik yang penuh
semangat, berhasil mengalihkan perhatian para tamu.
Keempatnya memasuki ruangan pribadi Raja Bharmal.
Raja Bharmal bertanya ketus, “Surya, ada apa ini?
Teganya kau menghancurkan hidup Sukanya seperti ini? Kau mengumumkan
terang-terangan kau mencintai Sukanya....kau tahu bagaimana tanggapan
orang-orang pada kami dan Sukanya. Kami sudah menganggapmu seperti putra kami
sendiri, bahkan meski orang tuamu memutuskan hubungan, tapi kami tetap memperlakukanmu sama seperti sebelumnya, tapi
apa yang kau lakukan tadi tidak bisa kami terima.”
Menyadari suasana yang sedikit tegang, Jalal berusaha
menengahi, “Raja Saheb, sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Ketika akau
datang ke Amer, aku sadar beberapa Raja Rajvanshi tidak setuju pada keputusanmu
menikahkan Jodha denganku dan itulah kenapa tidak ada yang bersedia menikahi
Sukanya dan Shivani. Raja Saheb, keduanya sudah kuanggap adikku juga dan aku
tidak bisa melihat kalian cemas, jadi siang tadi sebuah ide muncul di kepalaku,
kenapa tidak mengatur pernikahan antara Sukanya dan Mirza dan aku kenal betul
siapa Mirza. Dia pasangan yang sempurna untuk Sukanya, sebelum aku
membicarakannya dengan anda, aku harus mencari tahu dulu apakah Sukanya
bersedia untuk penyatuan ini atau tidak. Siang tadi saat aku menanyakannya
tentang Mirza dan rencana lamaran itu, kebetulan Surya juga ada disana. Lalu
tadi saat kau akan memberikan pengumuman, Surya berasumsi bahwa kau akan
meresmikan perjodohan Mirza dan Sukanya.” Jalal terdiam sambil mengamati
ekspresi mereka semua...lalu melanjutkan, “Sukanya meminta waktu untuk berpikir
tentang perjodohan itu, lalu saat aku menanyakannya beberapa menit yang lalu,
terlihat jelas di matanya kalau dia menyetujuinya dengan berat hati, ditambah
lagi sebelum acara ini, Jodha begum juga menyampaikan padaku bahwa Surya
menyukai Sukanya dan berniat menikahinya, hanya saja dia butuh beberapa waktu
untuk meyakinkan keluarganya dan meminta agar rencana lamaran Mirza ditunda.”
Jodha membelalak menatap Jalal...dan berkata dalam
hati...’Ya Tuhan...dia sangat lihai...Aku tidak mengatakan semua itu tapi dia membuatku
terlihat sangat baik di mata Surya...’
Surya berterima kasih pada Jodha melalui ekspresi
matanya.
Sebelum ada yang menyela, Jalal kembali melanjutkan,
“Raja Sahib, Surya adalah seorang pemberani, pandai dan berhati baik. Dia juga
berasal dari keluarga kerajaan Rajvanshi dan Raja dari tiga wilayah. Tidak ada
jodoh yang lebih baik bagi Sukanya selain Surya. Dia berani menentang keluarganya demi Sukanya...aku yakin dia akan
menjaga kebahagiaan Sukanya.”
Surya terpaku melihat kebesaran dan kerendahan hati
yang ditunjukkan oleh Jalal...Dia pikir ‘Jadi selama ini aku salah telah
menganggapnya sangat licik....ternyata dia sangat penuh pengertian, dia
senantiasa memikirkan masa depan Sukanya dan aku sempat kecewa padanya, tapi
lihatlah betapa dia mendukungku sekarang. Aku telah salah menilainya, dia pria
terhormat yang sangat rendah hati.”
Setelah penjelasan yang panjang, diam-diam Jalal
mengerling pada Jodha dengan matanya yang gelap itu....Jodha mulai paham
seluruh rencananya dan balas tersenyum penuh arti pada Jalal.
Raja Bharmal mulai tenang dan memahami
situasinya...Nada bicaranya juga mulai terkendali, “Shenshah, aku setuju pada
semua yang kau katakan, benar bahwa Surya adalah pasangan yang serasi bagi
Sukanya dan aku sangat senang menerima lamarannya tapi aku punya satu
permintaan, berhubung Surya
mengumumkannya di depan publik. Kami akan mengumumkan perjodohan kalian hari
ini juga, demi menjaga kehormatan Sukanya.”
Dengan rasa bersalah, Surya berkata, “Raja Sahib, aku
benar-benar minta maaf karena menyampaikannya denga terburu-buru di depan
banyak orang...aku siap untuk perjodohan ini. Adikku Lila dan suaminya juga
hadir disini jadi aku tidak keberatan sama sekali.” Dia terdiam kemudian
bertanya penasaran, “Shenshah, jika kau tidak keberatan, bolehkah aku
bertanya?”
“Silakan Surya.” Jalal menjawab pendek.
“Setelah kau bicara dengan Sukanya tadi, kau
menghampiri Mirza dan apa yang membuatnya tiba-tiba sangat senang. Kupikir dia
senang karena Sukanya menyetujui lamaran itu. Itulah sebabnya aku kehilangan
kesabaran.” Tanya Surya.
“Ohh..Surya, Maan Singh dan Mirza bersahabat sangat
dekat dan aku memberitahu Mirza kalau aku akan memberi kejutan pada MaanSingh
dengan mengangkatnya sebagai Raja di salah satu wilayah. Aku memberinya wilayah
kekuasaan dengan mempertimbangkan kejujuran, keberanian, dan kesetiaannya dan
itulah yang akan diumumkan oleh Raja Bharmal.” Jalal menjelaskan dengan sopan
untuk menutupi kegeliannya.
Surya meminta maaf, “Shenshah, kumohon maafkan aku,
aku selalu berpikir kau bukan pasangan yang baik bagi Jodha tapi aku senang
ternyata pendapatku salah. Kau benar-benar pria yang rendah hati.”
Jalal tersenyum senang dan merangkulnya hangat,
“Selamat datang ke dalam keluarga kami.”
Jodha tersenyum simpul dan berpikir, ‘Tak ada yang
lebih lihai bermanipulasi selain dia...dia terlalu licik, lihai, penuh intrik,
dan dramatis...dia mereka semua plot ini dalam kepalanya, pertama dia buat
Surya mengakui cintanya pada Sukanya dengan cara membuatnya cemburu... lalu
membuatnya sangat terdesak dan tertekan hingga dia melamar Sukanya di depan
publik, membuatnya tak punya pilihan untuk menariknya kembali....kemudian dia
membujuk dan meyakinkankan Bapusa hingga dia tampak sebagai pahlawan di mata
Surya...Oh Kanha...dia sangat lihai dan tahu caranya membuat orang lain tunduk
padanya bahkan tanpa mereka sadari...’
Keempatnya kembali ke tempat upacara berlangsung
dengan raut bahagia. Raja Bharmal menceritakan pada Mainavati tentang hasil
pembicaraan mereka, tepat saat penampilan para penari itu juga berakhir.
Setelah itu, Raja Bharmal memanggil Maan Singh dan
Baghvan Das ke hadapannya dan mendeklarasikan dengan suara lantang, “Shenshah
sangat terkesan dengan Pangeran Maan Singh atas kejujuran, keberanian, dan kesetiaannya. Oleh karena itu, dia
menganugerahi gelar Raja dan juga wilayah Masnabdari di Oddisa di bawah
kekuasaannya. Mulai sekarang dia akan bergelar Raja Maan Singh.” Jalal berdiri
dan memasangkan mahkota di kepala Maan Singh lalu merangkulnya hangat.
Setelah penobatan Maan Singh, Raja Bharmal meminta Sukanya
dan Surya untuk berdiri di depannya. Wajah Sukanya terlihat
berseri-seri....semua kegalauannya sirna berganti dengan rona kebahagiaan.
Begitu melihat wajah Surya yang bahagia tadi, saat itulah dia yakin semuanya
baik-baik saja dan ayahnya menyetujuinya. Dia sangat bangga dan tersentuh atas
keberanian Surya mengakui cintanya dan melamarnya meski hal itu mengejutkan
semua orang. Meski ada setitik rasa malu saat mengingat cara Surya
mengatakannya di depan publik tadi...tetap saja dia merasa sangat senang!
Kini Raja Bharmal juga terdengar lebih mantap dan
senang...saat dengan bangga dia mengumumkan, “Dengan bangga aku menerima
lamaran Raja Suryavadan Singh untuk putriku Sukanya dan kami akan menampilkan
Tilak Rasam saat ini juga mengingat banyak hal baik terjadi hari ini.”
Jodha, Shivani dan Mainavati semuanya terharu karena
sangat bahagia. Sukanya dan Surya saling menatap dengan penuh cinta.
Raja Bharmal memanggil dengan hormat adik Surya,
Leela, beserta suaminya untuk melaksanakan Tilak Rasam.
Mainavati, Shivani Dadisa dan kelima kakak laki-laki
Jodha beserta istri-istri mereka maju bersamaan untuk melakukan Tilak Rasam.
Sukanya dan Surya, keduanya begitu kewalahan menghadapi keseluruhan hari ini
yang penuh emosi naik turun...mereka belum terbiasa dengan perubahan yang
begitu tiba-tiba dalam hidup mereka ini. Keduanya terbuai oleh mimpi tentang
masa depan mereka.
Jodha sangat berterima kasih pada Jalal atas
kebahagiaan yang dia berikan pada keluarganya...dipandangnya suaminya dengan
penuh cinta dan menangkupkan kedua tangannya sebagai tanda syukur. Keduanya
saling menatap penuh arti.
Akhirnya tiba waktunya upacara pertukaran cincin Jodha
dan Jalal. Seorang Pandit maju dan berkata, “Shenshah, jika anda sudah siap,
kita bisa memulai upacara rasam pertukaran cincinnya.”
Jalal tersenyum simpul dan berbisik di telinga Jodha,
“Saatnya menciummu di depan publik, Jodha begum.” Dengan tatapan misterius, dia
bangkit dari singgasananya dan berkata lantang, “Sebelum Upacara Pertukaran
Cincin, aku ingin memenuhi permintaan Malika E Hindustan.” Dia terdiam sejenak
sambil menatap wajah setiap orang.
Dengan mulut melebar, Jodha memohon pada Kanha tanpa
suara, ‘Ya Tuhan!! Ini dia....dia mulai lagi...Kanha, kumohon selamatkan aku
dari hal yang memalukan ini...’ dia menoleh kesana kemari mencari jalan keluar
terdekat, sehingga sebelum dia menciumnya, dia sudah bisa melarikan diri.
Dengan suara tegas, Jalal mengumumkan, “Tadi siang
Jodha begum memberi tantangan terberat dalam hidupku.” Dia terdiam sejenak demi
mendapatkan perhatian setiap orang, lalu melanjutkan, “Tantangannya adalah
bernyanyi di depan kalian sebelum Upacara Pertukaran Cincin dan mengungkapkan
seberapa besar cintaku padanya. Memang benar, dia hanya bermaksud menggodaku
dan sekedar bercanda, tapi setiap katanya...setiap keinginannya adalah
segalanya untukku.”
Semua orang tampak terpesona dan tersenyum kagum...
Hamida terkejut mendengarnya. Dia pikir, ‘Ya
Tuhan...Apa Jalal akan bernyanyi??? Bisakah dia??’
Mainavati dan Bharmal keduanya mengerutkan kenng dan
mengutuk Jodha dalam hati karena sikap kekanak-kanakannya.
Abdul dan Mirza sama-sama tersenyum pada Jalal.
Jodha merasa malu sekali dengan pengumuman yang dia
lakukan dan merutuk dirinya sendiri kenapa dia memberinya tantangan bodoh ini.
Cepat-cepat dia melirik ke arah Mainavati dan Bharmal dan mendapati wajah
mereka yang tampak tegang, lalu dia memohon lagi pada Kanha, ‘Tolong selamatkan
aku...’ kemudian dia melirik ke arah Hamida Banoo yang ternyata juga sedang
memperhatikan dirinya dengan mata membulat dan ekpresi tak percaya. Jodha
gemetar dan berkata dalam hati...’Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan??? ‘
Akhirnya dia melihat ke arah Jalal dan memohon dengan tatapannya, ‘Kumohon,
jangan permalukan aku.’ Jalal membalas dengan tersenyum tulus seakan meyakinkan
dirinya untuk tak perlu cemas, dan semuanya akan baik-baik saja.
Akhirnya Jalal meneriakkan “Musik” dan musikpun mulai
berdendang. Jalal menghampiri Jodha. Wanita itu masih menundukkan wajahnya
dengan beragam emosi...untuk menarik perhatiannya, Jalal berkata keras, “Jodha
begum, lagu ini untukmu.” Dengan malu-malu, Jodha mengangkat wajahnya dan
mulailah Jalal bernyanyi dengan suara merdunya tanpa mengalihkan pandangan dari
dirinya.
Tu hi to jannat meri, tu hi mera
junun
(Kau surgaku, kau impianku)
Tu hi to mannat meri, tu hi ruh ka
sukun
(Kau harapanku; kau ketenangan
jiwaku)
Tu hi ankhiyo ki thandak, tu hi dil
ki hai dastak
(Kau keteduhan mataku; kau degup
jantungku)
Aur kuchh na janu main, bas itna hi
jaanu
(Aku tak tahu hal lainnya, yang
kutahu hanya ini)
[Jalal duduk bertumpu pada lututnya dan bernyanyi
sambil membentangkan lengannya. Sinar matanya menampakkan cinta yang
tulus....Jodha terharu...Semua orang terpana melihat kesungguhannya
mengungkapkan rasa cintanya di depan semua orang...kata-katanya penuh makna dan
magis....semua orang terpana pada kejujurannya]
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
Sajde sar jhukta hai, yaara main kya
karu
(Kepalaku tertunduk memujamu, aku
harus bagaimana)
[Jalal meletakkan tangan di dadanya dan menundukkan
sedikit kepalanya dan bernyanyi baris berikutnya]
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
[Dia bernyanyi sambil terus menatap Jodha tak
berkedip....memperlihatkan seluruh perasaannya. Setelah baris itu selesai,
sesuai perintah Abdul dan Mirza, semua penari berdiri di belakang Jalal dan
mulai menari. Hamida Banoo juga terkejut mendapati Jalal bisa bernyanyi dengan
bagusnya, tak pernah terpikir olehnya, putranya bisa bernyanyi dengan indah dan
memiliki suara semerdu itu. Dia tahu Jalal sangat tertarik pada Seni dan Musik,
tapi dia juga berbakat dalam bidang itu, hal itulah yang dia tak pernah tahu.]
Kaisi hai yeh duri, kaisi majburi
(Jarak apakah ini, kenapa tak terperihkan?)
Maine najaron se tujhe chhu liya
(Kusentuh dirimu dengan tatapanku)
[Jalal mengarahkan telunjuknya pada Jodha dan
menyanyikan lirik Kaisi Yeh duri Kaisi majburi dengan keras...Jodha tersipu dan
menunduk malu-malu]
Kabhi teri khushbu, kabhi teri baatein
(Kadang harummu, kadang bicaramu)
Bin maange yeh jahan pa liya
(Tanpa meminta, aku dapatkan
semuanya)
Tu hi dil ki hai raunak, tu hi janmo
ki daulat
(Kau cahaya hatiku; kau harta dalam
hidupku)
[Jalal menghampiri tempat Jodha duduk dan dia mengulurkan
tangannya...Jodha menatap sekelilingnya dengan malu-malu sebelum menyambut
uluran tangan Jalal...Dia kembali ke tengah-tengah ruangan dengan Jodha di
sampingnya sambil masih terus bernyanyi]
Aur kuchh na janu, bas itna hi janu
(Aku tak tahu hal lainnya, yang
kutahu hanya ini)
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
Sajde sar jhukta hai, yaara main kya
karu
(Kepalaku tertunduk memujamu, aku
harus bagaimana)
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
[Kedua puluh penari menari makin cepat sesuai hentakan
musik mengelilingi Jalal dan Jodha yang berdiri di tengah-tengah. Penari wanita
menari sambil memegang bendera Amer dan penari prianya memegang bendera
Mughal....Jalal melemparkan senyuman pada Mirza dan Abdul]
Vasdi
vasdi vasdi, dil di dil vich vasdi
Nasdi
nasdi nasdi, dil ro ve the naasdi rab ne bana di jodi haay...
Chham
chham aaye, mujhe tarsaaye
(Kapanpun
kau ada, godaan untukku)
Tera
saaya chhed ke chumata
(Menggoda,
bayanganmu mengecupku)
[Jodha sepenuhnya terbuai....air matanya jatuh karena
luapan kebahagiaan mendengar lirik-liriknya yang penuh makna. Mereka ada di
tengah-tengah dikelilingi para penari...hanya para penari yang bisa melihat mereka.
Sesuai rencana ketika Jalal sampai pada baris lirik itu...Chham
chham...serempak semua penari merentangkan bendera, berlari berputar
membelakangi keduanya, menghalangi pandangan dari para penonton. Jalal dan
Jodha seakan terhalang total. Tidak ada yang bisa melihat mereka, bahkan tidak
Mirza dan Abdul. Tanpa membuang waktu lagi....Jalal menarik tubuh Jodha
mendekat, membungkukkannya sedikit dan mencium tepat di bibirnya dengan gigitan
ringan di sela-selanya. Dia mencium dan mengakhirinya dengan cepat hingga
bahkan tidak ada yang sadar apa saja yang mereka lakukan dalam sepuluh detik
itu. Mulut Jodha membulat dengan ekspresi yang agak aneh. Tepat ketika dia
sadar Jalal menciumnya di depan publik tanpa seorang pun mengetahuinya.
Jantungnya berhenti berdetak beberapa saat. Rasanya seluruh tubuhnya mati
rasa.]
O
o tu jo muskaaye tu jo sharmaaye
(Saat
kau tersenyum, saat kau malu-malu)
Jaise
mera hai khuda jhumta
(Seakan
dewi ku sedang menari)
[Setelah beberapa detik, barulah Jodha memahami apa
yang baru saja terjadi, rasanya malu sekali...dia tak bisa menahan rona yang
muncul di wajahnya. Jalal menatapnya nakal dengan senyum terkulum. Matanya
menari-nari menggoda.]
Tu hi meri hai barkat, tu hi meri
ibaadat
(Kau masa depanku, kau pujaanku)
Aur kuchh na janu, bas itna hi janu
(Aku tak tahu hal lainnya, yang
kutahu hanya ini)
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
Sajde sar jhukta hai, yaara main kya
karu
(Kepalaku tertunduk memujamu, aku
harus bagaimana)
Tujhme rab dikhta hai, yaara main kya
karu
(Kulihat dewi dalam dirimu, aku harus
bagaimana)
Vasdi vasdi vasdi, dil di dil vich
vasdi
Nasdi nasdi nasdi, dil ro ve the
naasdi rab ne bana di jodi haay...
Akhirnya misi terselesaikan. Jalal mengakhiri
nyanyiannya dengan ceria sambil berjalan kembali ke singgasananya bersama
Jodha. Setiap orang seakan bisa merasakan betapa dalamnya cinta mereka berdua.
Seluruh Rajvanshi kini tahu betapa dalam cinta dan kasih Jalal kepada Jodha.]
Jodha dan Jalal kembali duduk....tepuk tangan
membahana dan menggema di seluruh aula. Sekali lagi Jalal melirik Abdul dan
Mirza...mereka berdua tersenyum padanya atas keberhasilannya. Dengan seringai
kecil dia berkata pelan, “Jodha begum, kira-kira apa yang akan terjadi padamu
nanti malam??” sambil memandangnya penuh gairah.
Jodha tersadar dari mimpi indahnya dan kembali pada
kenyataan saat berkata, “Kau curang Shenshah...tantangannya adalah menciumku di
depan semua orang tapi kau tidak...jadi tidak ada yang menang.”
Jalal menatapnya dalam, lalu menundukkan wajahnya ke
arah Jodha dan berbisik, “Aku setuju, Jodha begum. Tapi belum terlambat...aku
masih bisa menciummu di depan semua orang seperti keinginanmu.”
Jodha menjawab gemetar, “Jangan..kumohon jangan.”
Jalal mengedipkan matanya dengan polos, “Tapi Jodha
begum, bagaimana aku bisa menang, kalau aku tidak menciummu??”
Jodha menjawab kesal, “Kau menang, kau menang. Puas
sekarang??”
Jalal bertanya sekali lagi, “Ulangi lagi. Kau
mengatakan apa??”
Jodha mengerutkan hidungnya, menyipitkan matanya dan
berkata dengan geram, “Kau memenangkan tantangannya Shenshah!!!.”
Semua anggota keluarga maju ke depan untuk
melaksanakan ritualnya. Raja Bharmal dan Mainavati, keduanya merasa sangat
bahagia mengetahui betapa besarnya cinta Jalal kepada Jodha.
Pandit melakukan tilak di kening Jalal dan Jodha, lalu
dia merapal beberapa mantra dan meminta Jalal menyematkan cincin di jari manis
tangan kiri Jodha. Jalal membuka kotak berisikan sebuah cincin berlian Kohinoor
yang besar dan menyematkannya di jari Jodha. Lalu pandit meminta Jodha
menyematkan cincin di jari manis tangan kanan Jalal. Jodha menyematkannya
dengan bahagia.
Pandit memberkati mereka berdua lalu menyuruh mereka
meminta restu dari yang lebih tua. Jalal menggandeng tangan Jodha dan
menghampiri Dadisa untuk memohon restunya, kemudian berurutan pada Hamida
Banoo, Raja Bharmal dan Mainavati.
Mirza dan Abdul melangkah maju untuk mengucapkan
selamat pada Jalal. Mirza bertanya nakal, “Bhai Jaan, apa kau memenangkan
tantangannya??”
Jodha langsung menoleh pada Jalal dengan mulut
ternganga. Dia jewer telinga Mirza dan memarahinya, “Jadi kau yang membantu
bhai jaan mu memenangkan tantangan ini.”
Shivani melihat
Jodha menjewer telinga Mirza, turut mendukungnya, “Bagus Jiji, aku tidak tahu
apa yang sudah dia lakukan tapi kau bisa menjewer telinganya untuk bagianku
juga...dia mengganggu sekali dan merecoki aku sepanjang hari.”
Jodha membela Mirza, “Shivani, ini hanya antara Bhabhi
dan Devar (kakak dan adik ipar) dan Devar ku adalah yang terbaik di dunia, dia
pemberani dan berbakat. Hatinya seperti emas.”
Shivani tersenyum manis pada Mirza.
Usai acara, sebagian besar tamu undangan menuju ke
meja hidangan.
Sukanya dan Surya menghampiri Jalal dan Jodha. Mereka
saling mengucapkan selamat.
Jalal menggoda mereka, “Surya, sekarang aku yakin kau
dan Sukanya bukanlah kakak adik.” Keempatnya terkikik geli dengan gurauan itu.
Surya membalas, “Aku perlu menanyakan itu secara
pribadi pada Sukanya, sebenarnya hubungan kami itu apa??” mereka tertawa makin
keras.
Sukanya menatap kesal dan berkata kesal, “Surya,
jangan menggodaku.”
Wajah Sukanya tampak berseri-seri setelah perjodohan
mereka. Dia terus saja tersenyum....kebahagiaannya tampak pada semua hal yang
dilakukannya, cara jalannya, bicaranya dan senyumannya. Surya juga terlihat lebih
tenang dan bahagia. Dia ingin bicara berdua dengan Sukanya, tapi mereka
dikelilingi banyak orang, sama sekali tidak punya kesempatan.
Jalal menjawab ringan, “Jangan khawatir, Surya, aku
akan memastikan kau bisa menanyakan itu pada Sukanya hari ini.” Sambil
mengedipkan sebelah mata, “Ikut denganku. Akan kuatur semuanya.”
Keempatnya berjalan mendekati Raja Bharmal, Jalal
menyampaikan sebuah permintaan, “Raja Saheb, Ini adalah hari penting bagi
Sukanya dan Surya. Jodha begum menyarankan agar mereka berdoa pada dewa atas
permulaan yang baru ini, jadi jika anda mengijinkan aku akan mengatur
perjalanan mereka ke kuil. Sekarang sudah hampir waktunya Aarti malam. Mereka
bisa kembali dalam beberapa jam.”
Raja Bharmal mengijinkan mereka tanpa beban. Karena
dia juga sangat mendukung ide tersebut.
Surya melemparkan tatapan terima kasih pada Jalal.
Mereka saling tersenyum penuh arti.
Kemudian Jalal juga memberitahukan hal yang lain,
“Raja Saheb, aku ingin mengajak Jodha begum keluar untuk beberapa jam. Salah
satu sahabat dekatku tinggal tak jauh dari sini...dia bukan seorang Raja tapi
kami bersahabat cukup dekat. Karena terburu-buru, aku lupa mengundangnya datang
ke pesta pernikahanku, jadi aku berencana mengunjunginya dan memberi kejutan
untuknya. Kami pasti akan kembali sekitar empat jam lagi, sekitar tengah
malam.”
Raja Bharmal menjawab cemas, “Shenshah, sangat
berbahaya untukmu keluar malam-malam...keadaannya makin gelap dan besok adalah
hari pernikahan. Apa kau yakin??”
Jalal menjawab cepat, “Jangan khawatir, Raja Saheb,
aku sudah menyiapkan pengawal dan bila Jodha begum ada bersamaku, maka aku
tidak perlu mencemaskan keselamatanku lagi.” Sambil melirik penuh arti pada
Jodha.
Raja Bharmal tertawa karena lelucon itu, “Tentu
Shenshah, aku setuju...tapi rahasiakan perjalananmu
ini. Jangan sampai banyak orang tahu.”
Jalal menyetujuinya dan pergi bersama Jodha.
***********