Written By Bhavini Shah
Translate By Tyas Herawati Wardani
Setelah
mencium lembut bibir Sukanya, Surya menatapnya dalam-dalam penuh
hasrat...tangan kirinya masih melingkar kuat dan posesif di pinggang Sukanya...
Matanya dengan jelas menampakkan hasrat yang kuat untuk menciumnya lagi...rasa
dari sentuhan pertama bibir mereka membuatnya menginginkan lagi.
Impian
bertahun-tahun menjadi nyata...bibir Sukanya bergetar setelah tersentuh bibir
Surya yang lembut...tubuhnya menggelenyar dengan jutaan sensasi. Perlahan
dirinya melebur ke dalam pandangannya yang dalam; sementara itu dekapannya yang
kuat memberikan kehangatan yang memabukkan. Darahnya bergemuruh menyatu
dengannya. Kecupan ringan itu membuatnya terengah-engah dan perasaannya tak
menentu. Otaknya tak mampu berpikir, yang dia inginkan hanyalah merasakan
ciuman itu lagi.
Surya kembali
berbisik dan mendesaknya, “Sukanya, Kau mencintaiku? Kumohon katakan kau mencintaiku...Rasanya
hampir mati menunggumu mengucapkan tiga kata itu.”
Sukanya
tersenyum nakal, namun diputuskan dia belum ingin menuruti permintaan Surya.
Pria itu
menariknya makin dekat, menghapus jarak yang tersisa diantara tubuh mereka dan
berbisik di telinganya, “Aku akan menciummu hingga kau mengatakan kau mencintaiku...”
Sekali lagi,
Sukanya menatapnya menggoda, bibirnya melekuk kecil dan bergetar...perutnya
bergolak membayangkan ciumannya lagi...lirikannya mengirimkan desiran hangat di
sepanjang tulang punggung Surya.
Telapak
tangan Surya merayap ke lehernya, lalu dia tundukkan wajahnya hingga mencapai
bibir Sukanya, terakhir kali dia tatap wajahnya yang cantik, dan saat kelopak
matanya tertutup, saat itulah Surya tahu Sukanya juga mendambakan ciuman
ini.... tanpa membuang waktu lagi, Surya menciumnya lembut, seakan dia sedang
mencicipi manisan yang sangat lezat untuk pertama kalinya, perlahan, tanpa
terburu-buru. Surya berbisik, “Ohh bibirmu terasa sangat manis dan lembut,
Suku...” Kemudian Surya memperdalam ciumannya dan diselingi dengan
gigitan-gigitan kecil... dia berhenti sejenak, membuat Sukanya mengerang penuh
gairah, dan lidah Surya dengan bebas menyelinap masuk ke dalam mulutnya. Tidak
ada jarak lagi diantara tubuh keduanya...keduanya tenggelam dalam ciuman
pertama mereka, mata mereka terpejam, tersesat dalam dunia impian.
Di balik
pintu yang tertutup, Jalal masih berusaha menahan kucing liarnya dari usahanya
menggagalkan momen indah Sukanya...dia desak tubuhnya menempel ke dinding,
bibirnya menguasai mulut Jodha sambil terus menekan tubuhnya hingga wanita itu
tidak bisa berkutik, sedangkan kedua tangannya dicengkeram menempel ke dinding.
Jodha benar-benar ada dalam kuasanya, karena dia tak mampu bergerak sama
sekali. Jalal bisa melihat kemarahan dan keputusasaan dalam matanya... seketika
dia hentikan ciumannya, namun tangannya ganti menutup mulut Jodha
mengantisipasi seandainya dia berteriak. Jalal meminta, “Jodha, kumohon jangan
menyalahkanku tapi mereka sedang kasmaran dan aku berjanji mereka akan segera
dinikahkan, tapi kau sama sekali tidak berhak merusak momen romantis mereka.”
Mata Jodha
melembut, tubuhnya melemas. Jalal perlahan menjauhkan tangannya dari mulut
Jodha agar dia bisa bicara.
Begitu tangan
itu terlepas, Jodha langsung menghardiknya, “Shenshah, kau akan membayar semua
ini...”
Jalal
tersenyum,”Ohh, begumku mengancamku...hmmm...Junglee Billi, aku selalu menuruti
semua tantanganmu.” Lalu dengan nada lebih serius dia menambahkan, “Jodha, jika
kau memang salah, aku tidak akan mengalah dan kau tahu itu...akan kupastikan
kau berterima kasih padaku nanti.”
Jodha
menatapnya tajam dan berkata ketus, “Bisa kita keluar sekarang?”
Tiba-tiba
Jalal berteriak kencang, “Jodha, ayo kita pergi, cepatlah bersiap-siap...semua
orang pasti sedang mencari kita...” sambil menyeringai lebar pada Jodha.
Jodha
memberinya tatapan ‘Aku akan membunuhmu’... namun Jalal tetap melenggang ke
arah pintu sambil menahan tawanya.
Mendengar
suara lantang Jalal...bagai tersengat listrik, Surya dan Sukanya, keduanya
melompat menjauh pada saat bersamaan... mereka saling memandang ketakutan...belum
sempat meredam kepanikan mereka, muncullah Jalal dari balik pintu dengan rambut
acak-acakan...meregangkan tangannya tinggi-tinggi dan berlagak seolah terkejut
melihat keberadaan mereka.
Jalal
langsung bertanya tanpa basa-basi, “Sukanya, Apa yang kau lakukan di teras
kamar Jodha ini?” nada suaranya lebih terdengar mengancam daripada bertanya.
Jodha berlari
kecil menyusul di belakang Jalal tak lama kemudian dan melihat Sukanya yang
gemetar ketakutan.
Wajah Sukanya
memucat dan diliputi perasaan bersalah. Dia tergagap mencoba menemukan
kata-kata yang tepat untuk diucapkan...setelah beberapa saat dia menjawab
dengan suara pelan dan wajah tertunduk, “Jijasa...aku disini..” dia tergagap dan
mengulangi kata-kata yang sama, “Aku di sini...Aku di sini mencari Jodha
jiji...” sambil menelan ludah dan mengulanginya lagi, “Aku mencari Jodha jiji.”
Dengan
keheranan, Jalal ganti menatap Surya dan bertanya, “Apa yang kau lakukan di
teras kamar Begumku, Surya?”
Jodha masih
merasa kecewa pada Sukanya. Dia sangat marah pada adiknya hingga ingin sekali
dia menghardiknya saat itu juga. Jodha berkata agak kasar, “Sukanya, Shenshah
benar, kau tidak seharusnya ada disini hanya berdua dengan Surya. Jangan lupa
kita adalah gadis Rajvanshi dan kita tidak boleh melanggar tradisi kita...kita
adalah kebanggaan Ayah kita, ditambah lagi ada banyak tamu di istana, aku tidak
ingin satu orang pun yang menuduhmu macam-macam dan menghancurkan kehormatan
kita.” Suaranya terkesan lebih dingin dari yang dimaksudkannya.
Sukanya
gemetar melihat kemarahan Jodha...matanya mulai sembab dan sebutir air mata
muncul di balik bulu matanya. Dia tertunduk malu.
Jalal menatap
tak senang pada Jodha...dia berkata dalam hati..’akhirnya kau berhasil merusak
momen indahnya.’
Jalal
mendekati Sukanya, berujar sambil mengusap air matanya, “Air mata tidak cocok di
mata seindah ini dan kau kenal betul saudarimu...satu waktu dia bisa berubah
menjadi penyihir jahat.” Dia tersenyum menghiburnya.
Ganti Jodha
yang menatap marah pada Jalal.
Jalal balas
menatapnya dengan tak sabar dan kecewa...Jalal berkata sinis untuk menggoda
Jodha, “Sukanya, apa kau tahu sebuah peribahasa? 900 tikus takkan bisa
mengalahkan seekor kucing. Apa kau tahu bagaimana pertemuan pertama kami? Saat
itu dia menyamar sebagai pria dan bertarung pedang melawanku..”
Mendengar
cerita itu, air mata Sukanya perlahan mengering berganti dengan cengiran lebar
di wajahnya...dia memberikan lirikan ‘Kau ketahuan, jiji’ ke arah Jodha.
Jodha
membalas dengan ketus, “Shenshah, jangan berbohong. Aku tidak ingat semua itu.”
Jalal
terbahak melihat wajahnya yang cemberut, dia makin bersemangat mengoloknya,
“Kau tahu Sukanya, Kakakmu terlatih dengan baik untuk berbohong.”
Jodha menatap
frustasi pada Jalal.
Setelah
suasananya lebih tenang, Jalal kembali berkata dengan serius, “Bagaimanapun
Surya, aku cukup mengenalmu tapi hanya berduaan dengan seorang gadis cantik di
teras kamar pribadi bisa menimbulkan kesalahpahaman. Namun karena aku tahu
kalian sudah seperti Kakak Adik...jadi tidak akan ada masalah.”
Jodha, Surya dan
Sukanya, ketiganya membelalakkan mata mendengar pernyataan Jalal tentang KAKAK
ADIK. Sekilas, Jalal mengamati ketiganya dengan tatapannya yang tajam. Bola
mata Surya seakan mau melompat dan jatuh ke tanah. Sementara Sukanya menatap
Surya tak percaya. Di lain pihak, Jodha memberikan tatapan ‘Apa yang sedang kau
katakan?’ ke arah Jalal. Ingin rasanya Jalal tertawa terbahak-bahak melihat
ekspresi ketiganya. Akhirnya dia menoleh ke arah lain, berusaha keras menahan
senyum di mulutnya.
Sekitar tiga
puluh menit kemudian, Surya berkata dengan berat hati, “Shenshah, kami
berteman, aku bukan kakaknya.”
Jalal
berbalik dan berkata serius, “Kebetulan Sukanya, kau ada disini. Aku ingin
bicara denganmu sebelum diumumkan malam ini.” semua menoleh ke arah Jalal
dengan wajah penuh tanda tanya.
Setelah diam
sejenak, Jalal melanjutkan, “Sukanya, aku akan membicarakan masalah ini dengan
Raja Saheb, aku berniat meminangmu untuk Mirza, dan jika semuanya setuju, maka
kami akan mengumumkan penyatuan kalian malam ini saat upacara pertunangan kami.
Jodha pasti akan menjadi yang paling bahagia dari penyatuan ini...kau dan
kakakmu akan bisa terus bersama di istana yang sama seterusnya.”
Sukanya
berdiri membeku. Ini adalah hal yang tak terbayangkan dalam hidupnya... dia
menoleh pada Surya berharap dia akan mengatakan sesuatu, tapi seakan Surya juga
mematung dan hanya berdiri seperti orang bodoh yang tak mampu berpikir.
Menyadari
wajah kalut Sukanya, Surya berusaha menyangkal, “Shenshah, mengapa Sukanya
harus menikah dengan Mirza? Well, yang terjadi pada Jodha adalah pengecualian,
tapi kau sendiri tahu, budaya dan agama kita sangat berbeda dan Agra sangat
jauh jaraknya dari Amer.”
Jalal
menjawab dengan sedikit tidak suka, “Sukanya, sepertinya Surya tidak suka
dengan penyatuan ini, tapi aku menghargai alasannya. Awalnya, aku lebih memilih
Surya jika Sukanya memang harus menikah dengan seorang Raja Rajvanshi, namun
sayangnya semua Rajvanshi menyalahkan Raja Bharmal karena bekerja sama dengan
Mughal. Beberapa diantaranya masih berhubungan baik dengan Raja Saheb, itupun
hanya karena mereka ketakutan. Mereka semua tahu keputusan yang diambil oleh
Raja Saheb adalah demi kebaikan rakyatnya dan juga putrinya, tapi tak seorang
pun bersedia mengakui kesalahannya. Aku adalah bagian keluarga ini dan menjadi
tanggung jawabku juga mencarikan calon suami yang tepat untuk Sukanya dan
dengan bangga kukatakan aku tahu siapa Mirza, dia berhati baik, pemberani,
penyayang dan pria yang penuh perhatian. Hatinya terbuat dari emas.”
Ada jeda
sebentar sebelum Jalal melanjutkan, “Untuk masalah jauhnya jarak dan perbedaan
budaya serta agama, Surya, bisa kukatakan bahwa setelah menikah kehidupan
seseorang bisa berubah. Setelah menikahi Jodha, satu hal yang pasti, saat dua
orang saling mencintai maka tak perlu lagi memikirkan segala perbedaan budaya
dan jarak.” Jalal menarik napas sebentar sambil menatap Sukanya dan
Surya...lalu dia berujar dengan lebih keras..”Dan yang paling penting, Mirza
sendiri sangat ingin menikah denganmu Sukanya.”
Jodha bingung
menatap Jalal dan berpikir dalam hati, ‘Mengapa dia serius sekali mengenai
lamaran ini? Aku bahkan terkejut saat mendengar dia akan melamar Sukanya pada
Bapusa.’ Jodha memberinya tatapan ‘Apa yang sedang kau rencanakan?’
Menyadari
tatapan penuh tanda tanya di wajah Jodha, Jalal membalasnya dengan senyum
misterius.
Sebenarnya
Surya ingin mengatakan banyak hal namun kata-katanya tercekat di tenggorokan,
banyak yang sudah terjadi dalam beberapa jam terakhir ini. Bagaimana aku harus
menghadapi situasi ini? Seluruh keluargaku menentang Raja Bharmal, terutama
keputusannya bersekutu dengan Mughal, orang tuaku sangat menentang hal itu
bahkan mereka melarangku menghadiri pesta pernikahan Jodha yang pertama dan
juga kali ini aku harus berdebat dengan mereka saat kukatakan aku akan hadir di
pesta ini. Kalau mereka tahu aku jatuh cinta pada Sukanya, mereka pasti akan
menentang habis-habisan, satu-satunya orang yang mendukungku hanyalah Lila tapi
situasinya berbeda sekarang, saat pernikahan Jodha dulu, aku hanyalah seorang
pangeran dan sekarang aku adalah Raja dari tiga wilayah. Aku bisa mengambil
keputusan sendiri, tapi bagaimana caranya menjelaskan pada Sukanya aku butuh
tambahan waktu untuk menyelesaikan masalah ini.
Menyadari
Surya yang masih tertegun dan membisu, hati Sukanya hancur berkeping-keping.
Ditahannya air mata dan sakit hatinya kemudian berkata lirih, “Jijusa, aku juga
tahu Mirza adalah pria yang baik, tapi bisakah kau memberiku waktu satu jam
untuk memikirkannya?” Masih ada yang ingin dikatakannya tapi mustahil baginya
menahan air mata itu lebih lama lagi.
Hati Jodha
sedih melihat wajah sayu Sukanya. Dia menatap ke arah Surya sambil
menggeretakkan giginya karena emosi, lalu berkata, “Sukanya, aku juga bangga
pada Mirza, setidaknya dia bukan pengecut dan dia berani menunjukkan siapa
dirinya. Ayo, ikutlah denganku.”
Sebenarnya
ingin sekali Sukanya berbicara dengan Surya sebelum pergi tapi dia tidak bisa
menolak ajakan Jodha yang sedikit memaksa.
Jalal segera
menyadarinya, masih ada hal yang harus dibicarakan antara Sukanya dan Surya
berdua saja. Dengan datar dia berkata, “Jodha Begum, sudah hampir waktunya
untuk Upacara Sangeet, telah kusiapkan beberapa perhiasan untukmu, ikutlah
denganku agar kau bisa memilihnya.”
Jodha kesal
pada Jalal karena interupsi itu, tanpa bicara dia putuskan untuk pergi bersama
Jalal.
Sembari
melangkah pergi, Jodha dan Jalal masih sempat memergoki wajah Sukanya yang
memerah menahan emosi dan tatapan yang siap membunuh ditujukan pada Surya. Dia
sangat marah pada Surya yang tidak mampu menjelaskan pada Jalal perihal
cintanya dan keinginannya untuk menikahi dirinya.
Segera saja
Surya menyadari kemarahan Sukanya, jantungnya berdegup kencang dan wajahnya
memucat. Sungguh sulit dipahami betapa cepatnya keadaan berubah dan berbalik
arah, hanya beberapa menit lalu dia mengakui cintanya pada Sukanya dan
menedekapnya dalam tubuhnya, menciumnya penuh gairah dan tiba-tiba Jalal
meminta kesediaannya menikahi Mirza. Pastilah kebisuannya telah membunuh
perasaan Sukanya, emosinya mendidih terlihat dari matanya. Kemarahannya membuat
nyalinya menciut.
Selepas
keheningan yang panjang...barulah dia berani mengangkat mukanya pada Sukanya,
yang sudah berjalan pergi menuju pintu dengan air mata terburai di wajahnya.
Segera saja Surya mengejarnya dan meraih tangannya untuk menahannya pergi.
Sukanya
berteriak sekuat tenaga, “Surya, lepaskan tanganku, jangan berani-beraninya kau
menyentuhku lagi.” Sambil mengibaskan tangannya dengan keras. “Kau memanfaatkan
aku, tidak hanya hari ini tapi setiap kali kau butuh sandaran untuk bersedih kau
datang padaku, baru saja kau bilang kau mencintaiku dan ingin menikah denganku...Ohh...rasanya
kau hanya mempermainkan perasaanku dan tidak pernah mencintaiku, jika memang
benar kau mencintaiku maka kau akan berani mengatakannya di depan Jiji dan
Jijasa. Kau hanya berdiri diam melihat Jijasa pergi menemui Bapusa untuk
melamarku demi Mirza. Tidak seharusnya aku membiarkanmu menyentuhku dan
menciumku, ooohhh...sungguh hebat drama yang kau mainkan hari ini...kau
memarahiku hanya karena aku mengobrol dengan Mirza, tapi sekarang kau hanya
diam di hadapan Jijasa saat dia membicarakan pernikahanku dengan Mirza. Kenapa
Surya, kenapa? Kenapa kau lakukan ini padaku? Kesalahan apa yang sudah
kulakukan padamu? Aku sudah bertahun-tahun mencintaimu, melihatmu mencintai
Jiji, melihatmu menangisi Jiji, aku hanya diam dan menangis dalam sepi hanya
karenamu, tapi tidak untuk hari ini, hari ini kebisuanmu menghancurkan hatiku.”
Sukanya menangis pilu hingga terduduk bersimpuh.
Di tempat
lain, Jodha berjalan di samping Jalal dengan kemarahan yang tertahan.
Dia menuruni
tangga dengan menghentakkan kakinya. Jalal bisa merasakam kemarahannya...
bergegas dia masuk ke dalam ruangannya lalu memuntahkan semua emosinya,
“Shenshah, aku sedang tidak tertarik denganmu, bajumu ataupun perhiasanmu...Aku
sudah menyiapkan semua yang akan kupakai untuk upacara malam ini.”
Jalal
menyeringai lebar melihatnya frustasi, “Ohhh!!! Jodha begum, percayalah padaku,
kau akan mengenakan baju yang kupilihkan untukmu.”
Jodha
menatapnya sambil bersungut-sungut, “Aww!! Aku tidak tahu kau mulai bermimpi di
siang hari...Shenshah yang malang.”
Jalal
tersenyum membalas, “Ini adalah tantangan Jodha begum, aku akan membuatmu
meminta maaf padaku atas perilakumu ini dan kupastikan kau akan mengenakan
pakaian yang kubawakan untukmu.”
Jodha
menyipitkan matanya, “Tantangan diterima. Lakukan apapun yang kau mau?”
Jalal
berbisik, “Jodha begum, mimpi kosong...hmm...diriku yang malang...lihat saja.”
Lalu keduanya
melihat Mainavati berjalan ke arah mereka dengan tergesa-gesa.
Mainavati
bertanya dengan nada tinggi, “Jodha, dari mana saja kau? Shivani mencarimu
berjam-jam dan apa-apaan ini? Lihatlah dirimu, rambutmu acak-acakan, make up mu
juga. Ada banyak tamu di dalam istana, apa pendapat mereka jika mereka
melihatmu seperti ini, seperti orang yang baru bangun tidur.”
Jalal hanya
tersenyum kecil pada Jodha teringat percintaan singkat mereka di teras.
Jodha
beralasan, “Tapi Masa...” tapi sudah didahului Jalal yang bercerita, “Jodha
begum bersamaku sejak tadi. Aku minta maaf kalian sudah repot-repot mencari
kami. Kupikir Ratu Jodha butuh sedikit bersenang-senang, karena di Agra dia
sangat tegang dan sibuk dengan tugas-tugasnya.”
Jodha
meliriknya kesal, “Shenshah, tugasku tidak ada hubungannya dengan perasaanku.
Dan akan selalu begitu.”
Mainavati
masih memarahi Jodha, “Jodha, berterima kasihlah pada Shenshah. Kami sangat
menghargai karena Jamaisa memberimu kedudukan di dalam pemerintahan.”
Jalal
membalas Jodha dengan seringai kemenangannya...lalu dengan suara kalem dia
berkata, “Meski begitu, aku harus selalu memaksa dia meski itu untuk
kebaikannya sendiri. Contohnya sekarang, aku harus merayu dia agar mau
mengenakan baju pilihanku.”
Mainavati
merasa tersanjung melihat Jalal begitu penuh perhatian pada Jodha. Dia
memberinya berkat seorang Ibu dan berkata, “Jodha, pergilah dengan Shenshah dan
turutilah dia, mengerti.”
Sambil
menunduk Jodha menjawab, “Baik, Masa...”
Jodha sedikit
cemberut namun tetap mengikuti Jalal masuk ke dalam ruangannya, emosinya masih
tinggi. Menyadari kemarahannya yang belum surut, Jalal bergumam sambil
berjalan, “Ya Tuhan, berilah aku kesabaran.”
“Jodha begum,
kau akan menyukai gaun ini.”
“Shenshah,
bagaimanapun aku tidak akan mengenakan gaun itu.” Jodha menggeram marah.
“Jodha begum,
tahukah kau, aku menghabiskan banyak waktu memilih baju ini.”
Jodha
menjawab dingin, “Aku tidak peduli pada bajumu dan dirimu. Di depan Masa kau
bisa membuatku meminta maaf, tapi bukan berarti kau menang.”
Jalal mulai
terusik, “Ok, aku akan memberikan gaun itu pada Masa, dia akan memastikan kau
memakainya.”
Jodha
menatapnya dengan mata gelapnya dan berkata, “Kau tahu...kau akan membayar
untuk setiap hal yang kau lakukan. Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku
hingga kita kembali ke Agra. Menjauhlah dariku. Saat ini aku hanya ingin menghabiskan
waktuku hanya dengan Masa dan kau akan tidur sendirian malam ini. Jangan
coba-coba masuk ke Upacara Sangeet malam ini. Untuk kau ketahui, Sangeet hanya
untuk para wanita, para pria dilarang masuk. Aku pasti akan mengenakan gaun
yang kau siapkan untukku tapi sayangnya...suamiku terkasih tidak akan bisa
melihatku dalam gaun itu.” Dia tersenyum sinis dan mengerutkan hidungnya pada
Jalal.
Jalal
bergumam kecewa, “Aww...para pria tidak boleh ikut upacara itu!”
Jodha
tersenyum lebar. “Ya Shenshah, dilarang keras dan kau tahu, aku akan menari dan
juga menyanyi di upacara itu.” Sambil mengedipkan matanya dengan polos untuk
menggoda Jalal.
Jalal
tersenyum penuh arti dan berpikir, ‘Ohh Voww...Jodha akan menari dan mana
mungkin aku akan melewatkannya? Ini kesempatan seumur hidup, tidak mungkin aku
melewatkannya.’
Jodha
menatapnya bingung dan bergumam sendiri...’Sepertinya dia melamun.’
Jodha
berteriak, “Shenshah, bangun...berikan padaku gaun itu dan perhiasannya.”
Jalal
tersentak dari lamunannya dan masuk ke dalam ruang gantinya mengambil kotak
baju dan perhiasan itu.
Mata Jodha
membelalak lebar melihat gaun berwarna oranye dan hijau beserta kalung senada
yang sangat indah dan pastinya mahal. Wajah Jodha berseri-seri. Jalal sudah
menduga dia akan menyukainya. Tanpa berkata apa-apa, Jodha mengambil baju dan
perhiasan itu dari tangannya.
Jalal berujar
dengan semangat, “Jodha, aku ingin melihatmu dalam gaun ini nanti malam. Sejauh
ini aku sudah memenangkan semua tantangan jadi kita akan melewatkan malam ini
berdua. Jodha, aku tidak bisa menunggu lagi....Kesabaranku sudah habis.”
Jodha merona
dan menjawab, “Suamiku tersayang, ini saatnya pembalasan....silakan bermimpi
nanti malam....Aku tidak akan membiarkanmu menang di taruhan terakhir... Bahkan
aku tidak bisa membayangkannya jadi malam pertama kita hanya akan terjadi di
Agra.”
Jalal
bertanya jengkel, “Apa tantangannya Jodha?”
Jodha
menjawab nakal, “Kau harus bernyanyi dan menyatakan cintamu serta mencium
bibirku di hadapan semua orang saat upacara pertunangan.”
Jalal
mengerutkan kening mendengar tantangannya. Jodha terkikik melihat wajahnya.
“Kau sudah
gila, Jodha??? Tantangan yang tidak masuk akal.” Jalal berkata marah.
“Begitulah
Shenshah...kau bisa menyebut ini tantangan, harapanku atau keinginanku tapi aku
ingin kau bernyanyi untukku dan menciumku di hadapan semua orang. Jika kau
penuhi permintaanku, aku akan menjadi milikmu nanti malam.” Jodha berkata
ceria.
“Kau ingin
aku bernyanyi di hadapan semua orang.” Dia bertanya memastikan.
Jodha
tersenyum penuh kemenangan, “hmmm...” dia mengangguk membenarkan.
“Kau ingin
aku menciummu tepat di bibirmu di depan Ammi Jaan...Raja Saheb, Masa mu??” dia
bertanya lagi.
Jodha
mengedipkan matany beberapa kali dengan genit lalu menganggukkan kepalanya
lagi. Lalu berkata, “Oh...kau lihat, Aku sungguuuh....kekanakan seperti yang
kau katakan pada Masa tadi!!! Jadi....tantanganku juga
kekanak-kanakan....mengerti.”
Jalal mulai
marah, “Jodha, tantangan ini tidak adil. Tidak mungkin aku melakukannya.” Dia
diam sebentar lalu menggeram, “Jodha, aku bisa mengumumkan dan mengatakan pada
semua orang aku mencintaimu, tapi aku seorang Shenshah, aku tidak mungkin
bernyanyi di depan banyak orang, dan ciuman, tidak akan.”
Jodha
membentak, “Aku tahu....tapi kau juga tahu semua sah dalam perang dan cinta.” Dia
tersenyum jahat dan menambahkan, “Biarkan aku bersiap-siap untuk Sangeet dan
kau silakan menghitung bintang nanti malam. Beritahu aku ada berapa bintang
yang bisa kau hitung.” Kata Jodha sambil terkikik dan keluar dari sana.
Jalal
mengikutinya dan berteriak keras, “Dasar penipu...aku tidak akan melepaskanmu
Junglee penjebak Billi.”
Jodha tertawa
makin keras melihat Jalal frustasi dan marah.
DI tempat
lain, Sukanya marah dan mendorong Surya, lalu berteriak padanya, “Jangan
coba-coba menyentuhku.”
Surya balas
berteriak, “Sukanya....dengarkan aku dulu...Bagaimana bisa kau menuduhku
mempermainkan perasaanmu, kau tega sekali??? Aku mencintaimu lebih dari
hidupku, yang kubutuhkan hanyalah sedikit waktu lagi.”
Sukanya
tersadar kalau sikapnya terlalu keras pada Surya. Akhirnya dia bersedia
mendengarkan Surya.
Surya
mendekat dan menyeka air mata di wajah Sukanya, lalu berkata, “Sukanya, cobalah
mengerti keadaanku, aku tidak bisa mengungkapkan cintaku atau yang lainnya saat
ini, karena pertama-tama aku harus meyakinkan keluargaku. Kau tahu keluargaku
menentang keluargamu sejak Jalal menikahi Jodha, seperti halnya Rajvanshi yang
lain, keluargaku juga tidak yakin mau bersekutu dengan Raja Bharmal... bahkan
mereka tidak suka aku datang kemari, mereka melarangku menghadiri pesta
pernikahan Jodha, sejujurnya mereka juga tidak mau aku datang kemari merayakan
holi dengan Jodha setelah pesta pergnikahannya, bahkan mereka tidak suka tiap
kali aku datang kemari untuk menemuimu. Aku butuh waktu untuk menjelaskan pada
mereka tentang kita!! Aku butuh waktu untuk meyakinkan mereka.” Surya
menjelaskan dengan panjang lebar.
Sukanya sedih
dan terisak setelah mendengar penjelasan Surya. Dia berkata datar, “Aku
mengerti Surya, aku tahu kau menyayangi keluargamu dan mereka sangat berarti
untukmu dan kau tidak ingin menentang mereka, dan aku juga menghargai sikapmu
itu, tapi jawablah satu pertanyaanku, mengapa kau memberiku mimpi-mimpi itu?
Mengapa kau ungkapkan cintamu??? Mengapa kau mendekatiku hingga aku tidak bisa
lagi membiarkan pria lain menyentuhku sekarang. Oh ya...mungkin kau lupa
meminta persetujuan keluargamu sebelum menciumku. Setelah semuanya terjadi,
barulah kau ingat pada keluargamu. Sayang sekali Surya, kupikir kau pria jantan
yang akan berjuang menghadapi masalah apapun, tapi aku salah. Kau tahu Surya, silakan
kau nikmati waktumu dan yakinkan keluargamu...mungkin satu atau dua tahun lagi
aku sudah punya beberapa anak dengan Mirza. Masih kuingat lamaranmu yang juga
terlambat pada Jodha jiji. Jadi aku sudah tidak berharap kita akan bersama di
masa depan.”
Surya
menjawab marah, “Sukanya, kau tidak mau mengerti keadaanku dan hanya sibuk
mengejekku.”
“Ohhh!!
Surya, cobalah mengerti keadaanku juga... seperti dirimu, aku juga menyayangi
keluargaku dan tidak ingin menyakiti mereka! Ayahku sudah lama berusaha
mencarikan calon suami untukku. Ibuku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan
masa depanku, dan jika Jijasa melamarku untuk adiknya lalu Bapusa menyetujuinya
maka aku tidak mungkin menentang mereka, Aku tidak punya pilihan selain
menuruti mereka! Aku tidak mau egois menolaknya dan menghancurkan kehidupan
Jiji. Sekarang semua terserah padamu, hidup kita ada di tanganmu, masa depan
kita bergantung padamu. Kau adalah Raja dari tiga wilayah; pastinya kau bisa
mengambil keputusan sendiri demi masa depanmu. Semoga Tuhan memberimu
keberanian tepat pada waktunya, paling tidak untuk saat ini.” Sukanya berkata
sedih dan berbalik pergi.
Dengan
lunglai Surya memperhatikan Sukanya pergi. Gadis itu menoleh untuk yang
terakhir kali sebelum meninggalkan teras, menatap sedih pada Surya lalu
berjalan pergi membawa amarah dan kesedihan di matanya, meninggalkan Surya yang
hanya bisa terpaku tak bergerak!!
Butuh
beberapa detik bagi Surya untuk tersadar dari kekosongan pikirannya, sungguh
tak bisa dipercaya dia meraih dan kehilangan cintanya hanya dalam beberapa
menit. Dia harus melakukan sesuatu secepatnya karena pastinya, kali ini dia
tidak ingin terlambat. Surya memutuskan untuk meminta bantuan pada Jodha. Dia
pikir, Jodha sudah tahu betapa dia mencintai Sukanya dan senang akan hal itu,
jadi Jodha pasti akan membantunya. Dia bisa menyampaikan pada Jalal tentang
diriku dan Sukanya dan menghalangi rencananya meminang Sukanya untuk Mirza. Ya,
aku harus bicara dengannya secepat mungkin... saat ini juga, sebelum Jalal
punya kesempatan untuk bicara dengan Raja Bharmal. Dengan harapan bahawa Jodha
akan menolongnya, Surya bergegas pergi mencari Jodha.
Surya melihat
Jodha keluar dari ruangan Jalal. Berpikir ini adalah kesempatan terbaiknya, dia
berlari menyusul Jodha dan bicara dengan sedikit memohon di depannya, “Jodha,
aku ingin sekali bicara denganmu.”
Jodha
menjawab kesal karena kecewa padanya, “Surya, apa yang kau inginkan sekarang?”
“Ini tentang
Sukanya dan hubungan kami. Aku benar-benar butuh bantuanmu, Jodha.” Dia mulai
terdengar tidak sabar.
Melihat
keputusasaan di wajahnya, Jodha mengalah dan menyilakannya bicara. Dengan
serius Surya menjelaskan, “Jodha, aku dan Sukanya saling mencintai. Tolong
bantu kami.”
Jodha
menjawab dingin dan membentaknya, “Jika kau mencintai Sukanya, lalu kenapa kau
tidak mengatakan apapun saat Shenshah berencana menikahkannya dengan Mirza. Kau
menutup mulutmu rapat-rapat, apa itu cinta menurutmu? Tega-teganya kau
melakukan ini pada Sukanya? Dan sekarang kau datang meminta bantuanku, apa lagi
yang bisa kulakukan untukmu Surya?”
Dengan penuh
penyesalan dan rasa malu, Surya berkata pelan, “Jodha, semuanya terjadi begitu
cepat, dan kau tahu sendiri orang tuaku juga menentang Amer seperti Rajvanshi
lainnya. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk meyakinkan orang tuaku.
Bisakah kau jelaskan keadaanku pada Shenshah dan menunda pertunangan itu untuk
beberapa waktu?”
Jodha
menjawab tenang, “Surya, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa; pesta pernikahan
kami besok dan besok juga kami akan pulang. Pada dasarnya kau tidak punya
banyak waktu lagi. Lalu bagaimana jadinya jika pada akhirnya kau tidak bisa
menikahi Sukanya karena orang tuamu, bagaimana masa depan Sukanya? Kau harus
putuskan mana yang kau inginkan. Ini adalah saatnya bagimu, jika kau minta aku
bicara pada Bapusa dan menjelaskan kalau kau mencintai Sukanya dan berniat
menikahinya, aku bisa melakukan itu, tapi aku tidak bisa menggagalkan rencana
Shenshah hanya dengan pikiran bahwa suatu hari kau akan menikahi Sukanya.”
Jodha melanjutkan, “Surya, aku harus bersiap-siap untuk upacara Sangeet dan aku
juga harus menemui Sukanya, dia pasti merasa hancur. Semoga kau bisa mengambil
keputusan yang tepat sebelum terlambat dan juga kau bisa membicarakan ini
dengan adikmu Lila dan Jijasa. Saranku, ceritakan pada mereka yang sebenarnya.”
Jodha berjalan pergi menuju ruangannya sendiri.
Surya mulai
panik dan tertekan menyadari dia tidak punya pilihan tersisa...dia harus
mengambil keputusan akhir dalam dua jam ini sebelum upacara pertunangan.
Jalal sungguh
bingung dan panik disebabkan oleh tantangan dari Jodha. Ini adalah tantangan
terberat; bahkan dia masih tidak percaya Jodha memintanya mencium dirinya di
depan semua orang. Jalal memanggil Abdul dan Mirza secepatnya untuk datang ke
ruangannya.
Keduanya
datang bersamaan dan memergoki wajah Jalal yang kebingungan. Mirza bertanya
penasaran, “Bhai Jaan, semuanya baik-baik saja? Kenapa kau terlihat putus asa?”
Jalal
menjawab kesal sambil memandang wajah keduanya, “Jodha begum menantangku
untuk...” dia berhenti sejenak dan melanjutkan dengan suara agak bergetar,
“Jodha begum menantangku bernyanyi untuknya di hadapan semua orang...dan...”
dia berhenti lagi.
Mirza
bertanya tidak sabar, “Dan apa?”
“Dan
menciumnya di hadapan semua orang saat upacara pertunangan.” Jalal berkata
dengan wajah kosong dan malu.
Abdul dan
Miza melongo keheranan karena tidak percaya...beberapa detik kemudian Mirza
mulai tertawa terbahak-bahak, sedangkan Abdul tetap diam.
Jalal terusik
dan menatap mereka, “Mirza...”
Mirza berkata
dengan serius tapi sebenarnya dia mengolok kakaknya, “Bhai Jaan, tapi kalau kau
menang, apa hadiahnya??”
Jalal
memicingkan matanya pada Mirza.
Abdul mencoba
menahan senyumnya dan bertanya, “Shenshah, bagaimana kami bisa membantumu
mengenai ciuman dan nyanyian ini?”
Mirza juga
menggodanya, “Maaf Bhai Jaan, aku tidak bisa membantu soal ciuman, tapi kami
akan bernyanyi untukmu jika kau mau.”
Jalal
berteriak kesal, “Aku akan membunuhmu Mirza jikakau tidak berhenti mengolokku.”
Setelah beberapa saat Jalal kembali bertanya bingung, “Abdul, aku harus
memenangkan tantangan ini bagaimanapun caranya...tapi rasanya mustahi dan Jalal
tidak suka kalah. Tapi bagaimana caraku menciumnya di depan Raja Saheb dan
Dadisa...”
Mirza masih
mengoloknya, “Dan Ammi Jaan, Fufi Jaan, dan... Salim begum, Rahim..”
Jodha
menggeram kesal, “Mirza...hentikan..”
Abdul dengan
nada serius bertanya, “Shenshah, bagaimana soal bernyanyi? Tidak masalah
untukmu? Kau bisa melakukannya??”
Jalal
menjawab bingung, “Aku bisa bernyanyi tapi tidak pernah kulakukan di depan
orang.”
Mirza
mengoloknya, “Bhai Jaan, aku pernah mendengarmu bernyanyi di kamar mandi...
suaramu lebih bagus dari Guru Tansen.”
Jalal
berteriak, “Mirza, sekali lagi kau bercanda, kau keluar dari ruanganku.”
Mirza mulai
merasa takut...jadi dia menjawab dengan pelan, “Iya Bhai jaan.”
Setelah
melewati diskusi selama setengah jam, Jalal mulai merasa frustasi, “Kalian
berdua pikirkan rencana konyol itu dan jika kalian menemukan sesuatu, segera
beritahu aku. Aku harus menemui Raja Bharmaal sebelum Sangeet untuk
membicarakan tentang sebuah pengumuman penting.”
Mirza
bertanya penasaran pada Abdul, “Kapan Sangeet ini dilakukan? Kenapa aku tidak
diundang?”
Abdul
tersenyum dan menjawab, “Sangeet akan dimulai beberapa menit lagi dan upacara
itu hanya untuk para wanita, para pria dilarang ikut serta. Dalam upacara ini,
sepertinya para putri akan menari dan bernyanyi, itulah kenapa para pria tidak
boleh ikut.”
Mirza
tersenyum nakal dan berpikir ‘Vow...berarti Shivani akan menari dan bernyanyi
juga. Aku harus mencari tahu soal ini.’
Jalal melihat
Surya sedang duduk gelisah di hall utama. Dia merasa kasihan karena melibatkan
Surya dalam masalah ini. Dia berkata dalam hati, ‘Aku tahu benar siapa ayahmu,
Surya, betapa berpengaruhnya dia, meski kau seorang Raja yang pintar dan
pemberani yang menguasai tiga wilayah, tapi tetap saja Ayahmu yang menentukan
keputusan-keputusan penting dalam hidupmu dan pemerintahan. Jika kau tidak
berani memperjuangkan cintamu hari ini...keluargamu tidak akan pernah tunduk
padamu. Kita lihat saja seberapa dalam cintamu pada Sukanya.”
Upacara Sangeet
Sangeet
dihelat di sebuah aula berlantai marmer yang sangat luas dan indah. Seluruh
sudut ruangan dihiasi bunga berwarna
kuning dan oranye Merigold beserta karpet merahnya. Keharuman dari bunga-bunga
itu menciptakan suasana pernikahan tradisional dan mencerahkan seluruh lantai
dengan keceriaan. Hanya para wanita dan anak-anak yang boleh mengikuti upacara
ini... disediakan banyak divan untuk duduk, yang diatur melingkar. Bagian
tengahnya diperuntukkan bagi yang akan tampil. Bangku terdepan disediakan untuk
anggota keluarga dari mempelai pria dan wanita. Dalam upacara ini, hanya
kerabat terdekat yang diundang namun tetap saja ruangan itu dipenuhi oleh musik
dan celoteh seputar pernikahan. Para putri sudah tidak sabar untuk segera
tampil.
Lila sempat
memperhatikan wajah Sukanya yang terlihat pucat dan gelisah. Dia bisa merasakan
bahwa Sukanya berusaha keras menutupi kesedihannya dengan senyum yang
dibuat-buat. Dengan sopan, dia memanggil Sukanya ke salah satu sudut dan
bertanya hangat, “Sukanya, semuanya akan baik-baik saja, Surya sudah
menjelaskan semuanya padaku, Tak bisa kukatakan betapa senangnya aku mengetahui
kau akan menjadi Bhabhi-ku (Kakak ipar). Cerialah bhabhi...dan percayalah pada
kakakku...semuanya memang terjadi begitu cepat jadi dia agak panik, tapi
percayalah padanya, dia tidak akan membiarkanmu menikah dengan orang lain. Aku
bisa lihat di matanya betapa besar cintanya padamu. Jadi, jangan khawatir dan
tenanglah Bhabhisa-ku tersayang.”
Mendengar
Lila memanggilnya ‘Bhabhi’.....rasanya ribuan kupu-kupu menari-nari di dalam
perutnya...tubuhnya bergetar dan merinding...wajahnya mulai terlihat hangat.
Rona merah mulai tampak saat dia malu-malu berkata, “Lila jiji, jangan dulu
memanggilku bhabhi.”
Lila menjawab
sambil tersenyum, “Suku, sebentar lagi aku hanya boleh memanggilmu Bhabhi...”
dia terkikik melihat wajah Sukanya yang merah padam.
Sukanya
merasa lega dan senang mengetahui Surya telah menceritakan tentang cinta
mereka, setidaknya pada adiknya.
Shivani
berteriak, “Sukanya jiji...Apa yang kau lakukan? Hari ini kau sudah membuatku,
kakak dan Jodha kerepotan. Dan sekarang aku masih harus mencari-cari kalian
berdua. Cepatlah, acara akan segera dimulai.”
Lila dan
Sukanya sama-sama tertawa mendengar komentar Shivani.
Jodha
mengenakan choli lengha berwarna kuning dan chunni hijau serta
perhiasan-perhiasan yang sangat cantik. Perlahan dia melangkah memasuki aula
bersama Sukanya, Lila dan Shivani beserta putri-putri yang lebih muda. Karena
upacara ini hanya dihadiri oleh para wanita, jadi Jodha tidak perlu menutupi
wajahnya. Rambutnya yang panjang dan ikal diikat dan dipilin dengan sangat
manis dihiasi pula dengan Maang tikaband. Dia terlihat sangat menawan; tak ada
yang bisa menyandingi kecantikannya. Perpaduan busananya yang indah membuatnya
makin terlihat menawan. Semua wanita terpana melihat kecantikannya. Sambil
berjalan pelan dan malu-malu menghampiri Hamida Banoo, terlintas dalam pikiran
Jodha..’Kuharap Jalal bisa melihatku dalam busana ini.’ Dia mengagumi
pilihannya... ‘Dia punya selera bagus soal baju dan perhiasan.’ Tak sadar Jodha
tersenyum saat wajah Jalal yang putus asa karena tidak boleh ikut dalam upacara
ini terlintas dalam ingatannya.
Lila menoleh
pada Jodha dan memergokinya sedang melamun, “Jodha, kenapa wajahmu merona dan
senyum-senyum sendiri hanya karena akan bertemu Ibu mertuamu.”
Jodha
terlompat keluar dari lamunannya dan mengatur ekspresinya kembali.
Jodha memohon
berkat dari Hamida Banoo lalu duduk di sebelahnya. Upacara diawali dengan
penampilan para gadis cilik dan tepuk tangan membahana di seluruh ruangan. Lalu
beberapa lagu tradisional tentang pengantin pria dan wanita mulai mengalun.
Hamida Banoo cukup tahu mengenai adat dan tradisi ini, jadi dia sudah berlatih
dengan cukup baik dalam mempersiapkannya. Jodha sampai merona mendengar
komentar-komentar lucu seputar pengantin pria dan wanita.
Jalal berdiri
di luar aula, sedang menunggu para agen rahasianya yang akan memberikan
informasi tentang apapun yang terjadi di dalam sana.
Sekelompok
gadis kecil keluar. Jalal berbisik memanggil mereka, “Ada kabar apa, Putri
kecil?”
Putri kecil
itu menjawab, “Shenshah, kami tidak bodoh. Pertama, mana hadiah kami...”
Jalal tertawa
membayangkan gadis kecil ini pasti sudah dilatih dengan baik oleh Jodha. Dia
memberi mereka semua kotak hadiah yang sudah dipersiapkannya sebelumnya sesuai
janjinya pada mereka.
Pimpinan dari
kelompok kecil itu maju dan berkata, “Shenshah, acaranya sudah dimulai dan
Jodha jiji mulai gila...dia tersenyum sendiri tanpa alasan.”
Jalal
membalas dengan berbisik, “Aku setuju, kadang aku juga merasa dia seperti itu.”
Dia kembali memikirkan soal tantangan itu dan tersenyum, lalu dia bertanya
lagi, “Apa kau tahu ada jalan rahasia
agar aku bisa masuk?”
Salah satu
Shehzadi (putri kecil) dengan lugu menjawab cepat, “Ya..” tapi pemimpinnya
menukas, “shhh diam...Aku sedang bicara dengan Shenshah.” Dia berkata lagi,
“Shenshah, kami tahu ada jalan rahasia agar kau bisa masuk ke dalam aula, tapi
ini pekerjaan yang besar jadi kami minta banyak manisan sebagai hadiah dan kau
harus berjanji akan merahasiakan ini dari orang tua kami.”
Jalal sungguh
terkejut gadis sekecil sudah pandai bernegosiasi, dengan senyum tertahan Jalal
menjawab, “Untuk kalian berlima, aku akan memberikan dua kota manisan. Jika
kalian setuju aku akan menyiapkannya, jika tidak maka aku akan mencari jalannya
sendiri.”
Putri kecil
itu terlihat bingung saat mendebat Jalal, “Hmmm..Shenshah, sebenarnya kami
berenam...Satu orang lagi mengawasi di dalam aula...bagaimana kalau tiga kotak?
Lebih mudah membaginya, kan?.”
Jalal menarik
napas dengan berat dan tersenyum, “Ok, kesepakatan diterima Shehzadi.”
Kemudian
Shehzadi kecil berkata, kali ini seolah dia memerintah Jalal, “Shenshah, jangan
lupa untuk menjaga rahasia ini dari orang tua kami.”
Jalal
menjawab sambil tertawa, “Kau jaga rahasiamu, maka aku juga akan tutup mulut.”
Dia bicara dalam hati, ‘Gadis kecil ini ternyata negosiator ulung.’
Gadis itu
membalas, “Baiklah, kami akan memberitahumu bila waktunya Jodha jiji mulai
tampil.” Dan semuanya pergi dengan senang, berlari ceria masuk kembali ke dalam
aula. Mirza berusaha masuk ke dalam aula, tapi dicegat oleh seorang penjaga.
Dengan bantuan Rahim, akhirnya dia bisa masuk ke dalam dengan menyamar
mengenakan burkha hingga takkan ada seorang pun yang mengenalinya.
Surya ingin
menemui Sukanya sebelum upacara pertunangan, karena itu dia masuk melalui pintu
rahasia, dia tutupi wajahnya dengan chunni milik Lila dan berdiri di dekat
pilar.
Waktunya tiba
untuk penampilan utama. Sukanya sedang tidak ingin untuk ikut tampil, meski
setelah mengobrol dengan Lila, pikirannya masih kalut dan mencemaskan tentang
apa yang akan terjadi malam nanti. Dia meminta Shivani untuk tampil lebih dulu
dengan alasan sakit kepala. Shivani maju dan bersiap tampil. Mirza sudah tidak
sabar melihat penampilan Shivani. Musik mulai mengalun dan Shivani mulai menari
sambil bernyanyi.
Mere hathon
mein nau-nau chodiyan hai, thoda thahro sajan majbooriyan hain
(Shivani
mendekati Jodha dan mendongakkan dagunya dengan ujung telunjuknya, lalu dia
lanjut bernyanyi sambil menari.)
Milan hogan abhi ik raat ki dooriyan hain
Mere haathon mein nau-nau choodiyan hain
Mere haathon mein nau-nau choodiyan hain, thoda thahro
sajan majbooriyan hain
(Jodha merona
membayangkan malamnya berduaan dengan Jalal, sedangkan Mirza tersenyum melihat
Shivani menari..)
Lambi lambi te kaali-kaali raaton mein
Kaahe choodiyan khanakti hain haathon mein
Lambi-lambi, ho lambi-lambi te kaali-kaali raaton mein
Kaahe choodiyan khanakti hain haathon mein
Na aanaa tu nigodi choodiyon ki baton mein
Lambi lambi te kaali-kaali raaton mein
(Shivani
menarik Sukanya agar ikut menari.
Sukanya berhasil melupakan sakit hatinya untuk sementara dan ikut menari
bersama Shivani. Mirza tidak dapat melihat Shivani dengan jelas karena
terhalang oleh Sukanya...jadi agar dapat melihat Shivani lebih jelas, dia
membuka cadar wajahnya. Sementara itu, Surya bahagia bisa melihat Sukanya
menari dengan riang.)
Le jaa vaapas tu apni baaraat mundeyaa
Main nahin jaanaa, nahin jaanaa tere sath mundeyaa
Le jaa vaapas, ho le jaa vaapas tu apni baaraat mundeyaa
Main nahin jaanaa, nahin jaanaa tere sath mundeyaa
Sataayegaa jagaayegaa tu saari raat mundeyaa
Le jaa vaapas, le jaa vaapas tu apni baaraat mundeyaa
Main nahin jaanaa, nahin jaanaa tere sath mundeyaa
(Semua orang
menggoda Jodha dan menikmati tariannya. Mirza ikut terlena dan benar-benar lupa
kalau dia bisa terpergok sewaktu-waktu...bahkan dia hampir saja melompat keluar
menghampiri Shivani. Pandangan Surya menangkap keberadaan Mirza yang sedang
memandangi Shivani, tapi justru dia salah sangka dan beranggapan Mirza sedang
memandangi Sukanya...tak pelak hal itu makin membuatnya cemburu...)
Aate jaate gali mein meraa dil dhadake
Mere peechhe pade hai aath-das ladke
Ve le jaayen kisi din ye sapere naagin phadke
Tere peechhe pade hai aath-das ladke
Haay mere ghutnon de lambi, haay meri choti hai
Haay meri aankh shatranj ki goti hai
Mere ghutnon se lambi, meri choti hai
Meri aankh shatranj ki goti hai
Mere baabul na phir kahnaa abhi tu chhoti hai
Tere ghutnon se lambi, teri choti hai
Teri aankh shatranj ki goti hai
(Makin lama
Mirza makin lupa diri...akhirnya dia lupa dengan penyamarannya dan berdiri
melihat tarian Shivani. Sambil menari, tak sengaja Shivani melihat Mirza sedang
memandangi dirinya. Dia segera menghampiri Hamida dan menunjuk ke arah Mirza
yang sedang berdiri di balik burkha nya dan memandang terpesona pada dirinya.
Semua orang mengikuti arah tunjuk Shivani...dan serempak semuanya tertawa
melihat keberadaan Mirza disana. Hamida menghampiri Mirza dan menjewer
telinganya lalu mengusirnya keluar. Shivani mengerutkan hidungnya menertawakan
Mirza.)
Mere darzi se aaj meri jang ho gayee
Kal choli silaai aaj tang ho gayee
Oye shaavaa shaavaa
Mere darzi se aaj meri jang ho gayee
Kal choli silaai aaj tang ho gayee
Kare vo kyaa tu ladaki thi ab patang ho gayee
Tere darzi se aaj teri jang ho gayee
(Sukanya juga
memergoki Surya yang berdiri tersembunyi di balik pilar sedang memandangi
dirinya yang sedang menari... dia merasa senang sekali melihat pria
itu...sambil bernyanyi matanya tak lepas memandangi Surya.)
Mere sainyaa kiyaa ye buraa kaam tune
Kore kaagaz pe likh diyaa naam tune
(Surya
melemparkan senyum pada Sukanya dan tatapannya memberi keyakinan agar dia tidak
terlalu khawatir. Tatapannya yang menyejukkan mengirimkan rasa damai pada
Sukanya. Setelah merasa bahwa Sukanya mulai tenang perasaannya, Surya berjalan
pergi dari aula sebelum dia terpergok seperti Mirza.)
Kahin kaa bhi nahin chhoodaa mujhe haay Ram tune
Mere sainyaa kiyaa ye buraa kaan tune
Mere haathon mein nau-nau choodiyan hain, thodaa thahro
sajan majbooriyaan hain
Mere haathon mein nau-nau choodiyan hain, thodaa thahro
sajan majbooriyaan hain
Shaavaa oye shaavaa oye shaavaa shaavaa shaavaa
Tarian itu
berakhir dengan suka cita dan kesenangan. Tarian tadi menambah semangat dan
membujuk semua orang untuk ikut menari. Tepuk tangan riuh membahana untuk
Shivani dan Sukanya.
Dengan
bantuan putri kecil, Jalal berhasil masuk ke dalam aula dan berdiri di dekat
pilar. Jodha sedang dikelilingi oleh para wanita....Jalal tidak bisa
melihatnya.
Tiba saatnya
untuk penampilan puncak oleh Jodha. Jodha merasa malu menari di depan keluarga
iparnya, karena itu dia menolak untuk tampil.
Lila
berteriak membujuk, “Jodha, ini kesempatan seumur hidup, kapan lagi kau akan
bebas mengeluh dan memuji suamimu pada Ibu mertuamu...”
Jodha dengan
malu-malu menjawab, “Shh..Lila.” namun semua yang hadir di sana justru
mendukung Lila dan membujuk Jodha agar mau menari. Akhirnya, Hamida berdiri dan
berucap, “Jodha, ayolah...tidak perlu malu, Jalal kan tidak ada disini...hari
ini kau boleh mengeluh soal apa saja. Semua orang termasuk aku ingin melihatmu
menari.” Akhirnya Jodha mengangguk dan setuju untuk menari.
Lila berdiri
dengan senang dan mengumumkan, “Sekarang Jodha dan Shenshah alias Shivani akan
tampil.”
Semua orang
kembali duduk rapi. Jodha mengenakan penutup kepalanya dan bersiap dalam posisi
duduk di tengah-tengah lantai. Shivani datang dengan berpakaian seperti Jalal. Semua
orang mulai tertawa melihat penampilan Shivani yang mirip Jalal.
Jalal melihat
Jodha duduk tapi dia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena terhalang oleh
penutup kepalanya yang panjang. Dia tersenyum senang karena Jodha mengenakan
gaun yang dipilihkannya.
Lalu Jodha
mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu...
Maiyya yashoda, yeh teraa kanhaiyya
(Dia
melepaskan penutup kepalanya. Jalal terpesona melihat
kecantikannya...jantungnya berdetak cepat...)
Maiyya yashoda, yeh teraa kanhaiyya
Panghat pe meri pakde hai baiyyan
Tang mujhe karta hai sang mere ladta hay
(Dia berdiri
sambil tetap bernyanyi dan tangan menunjuk pada Shivani-Jalal. Lalu
Shivani-Jalal menyambar pergelangan tangan Jodha...)
Ramji ki kripa se mai bachi
Ramji ki kripa se
Ramji ki kripa se mai bachi
Ramji ki kripa se
(Melihat
Shivani-Jalal yang berakting menggoda Jodha membuatnya terpingkal-pingkal. Dia
memberikan berkatnya kepada Jodha. Jalal tersenyum melihat aksi Jodha menari
dan caranya yang manis dalam mengeluh. Jalal ingin Jodha melihat ke
arahnya...jadi dia melemparkan beberapa pucuk bunga ke arah Jodha tapi sayang
dia tidak menyadarinya.)
Gokul ki galiyo me jamuna kinare
Wo toh hai kankanriya chhup chhupke mare
Natkhat adaye surat hai bholi
Holi me meri bhigaye woh choli
Baiyyan naa chhode, kalaiyya marode
Baiyyan naa chhode, kalaiyya marode
Paiyyan padu phir bhi pichha naa chhode
Mithi mithi batin me mujhko phasaye hay
Ramji ki kripa se mai bachi
Ramji ki kripa se
Ramji ki kripa se mai bachi
Ramji ki kripa se
(Jalal
kembali melemparkan bunga,kali ini lebih besar, untuk menarik perhatian
Jodha....dan berhasil, Jodha memutar kepalanya dan melihat Jalal melempar bunga
ke arahnya sambi tersenyum manis memperhatikannya menari. Kehadiran Jalal
membuat segalanya sempurna. Jodha merasa sangat senang dan bahagia. Tatapan Jalal
yang dalam mampu membuat Jodha tersesat di dalamnya dan melupakan keberadaan
dirinya yang masih berada di tengah-tengah banyak orang. Dia terus saja
bernyanyi dan menari dengan suka cita sambil tak melepaskan pandangannya dari
Jalal.)
Jab jab bajaye mohan muraliya
Chhan chhan chhanakthi hai meri payaliya
Neinon se jab woh kare chhedkhani
Dil thame reh jaye prem divani
Sudh budh gawayi, ninde udayi
Sudh budh gawayi, ninde udayi
Jo karne baithi thi woh kar naa payi
Badi mushkil se dil ko sambhalahay
Ramji ki kripa se maih bachi
Ramji ki kripa se
Ramji ki kripa se maih bachi
Ramji ki kripa se
Orang-orang
mulai penasaran pada arah tatapan Jodha yang hanya tertuju pada satu titik.
Jalal dan Jodha sama-sama terbuai dalam tatapan masing-masing. Shivani dan Sukanya
menarik Jalal bersama-sama dan mendudukkannya tepat di sebelah Hamida.)
Nada suara
Jodha mulai terdengar penuh perasaan, dia menari dengan gemulai dan bernyanyi
dengan sangat mendayu-dayu...Tatapan Jodha hanya tertuju pada Jalal...lalu
dengan malu-malu dia memuji Jalal.)
Gokul kaa kanha re dil me samaya (Dia tutupi wajahnya sedetik.)
Mai bhagyashali inhe maine paya (Jalal tersenyum bangga)
Mana ki sabke hain yeh kanhaiyya
Kehlayenge par tumhare hi maiyya
Pyara piya hain tumne diya hai
(Dia menunjuk
pada Jalal dengan tatapan tersipu malu. Dengan penuh perasaan Jalal menatap
Jodha.)
Pyara piya hain tumne diya hai
Charno me tere o ma hamko rehna hai
Mamta ka aanchal me hamko liya hai
(Hamida dan
Mainavati sama-sama terharu mendengar syairnya.)
Ramji ki kripa se han jee han
Ramji ki kripa se
Ramji ki kripa se han jee han
Ramji ki kripa se
Sebagai
penutupnya, Jodha bersimpuh bertumpu pada lututnya dan membungkuk untuk meminta
berkat dari Hamida dengan penuh keharuan. Hamida menghapus air matanya dan
memberkati mereka berdua, Jalal dan Jodha bersama-sama.
Jalal
melemparkan senyum kemenangan pada Jodha. Kesempatan bagus itu dimanfaatkan
oleh Jodha untuk membalasnya tepat di hadapan Ibunya dan Hamida Banno.
Jodha
menyipitkan matanya marah pada Jalal dan berkata dengan tenang dan sopan di
depan Ibunya dan Hamida Bano, “Shenshah, Tolong jangan tersinggung, tapi tidak
seharusnya kau ada di sini. Kau adalah Raja dari Raja dan jika kau tidak
menaati peraturan maka tidak ada seoranpun yang akan menaati peraturan. Dengan jelas
sudah kuberitahukan padamu, kau tidak boleh datang ke upacara Sangeet, hanya
para wanita yang boleh, lalu mengapa kau tetap saja datang kesini??”
Jalal
tersenyum dan berkata dalam hati, ‘Ohhh Jodha, kau pikir kau
pintar..hmmm...tunggu...Aku tahu siapa dirimu dengan sangat baik.’
Dengan sangat
sopan, Jalal menjawab, “Pranam Masa dan Addab Ammi Jaan, aku sangat setuju
dengan yang dikatakan oleh Jodha begum, kuharap tadi aku tahu sangeet
dilaksanakan di ruangan ini, aku punya waktu luang dan sesuai janjiku pada para
tuan putri kecil untuk bermain petak umpet bersama mereka. Aku sedang bermain
dan tiba-tiba saja aku sudah masuk ke wilayah terlarang ini.” Lalu dia menunjuk
pada para gadis kecil dan memanggil mereka dan meminta salah satunya
menjelaskan permainan mereka tadi. Sesuai rencana, putri kecil itu menjelaskan
dengan lugu, “Jijusa kami adalah Jiju yang terhebat di dunia, dia memberi kami
banyak hadiah dan mau bermain petak umpet bersama kami. Kami semua menyayangimu
Jiju.” Lalu putri-putri kecil itu mengelilingi Jalal.
Jalal menatap
Jodha seperti menantangnya. Jodha hanya balas tersenyum sebagai cara menahan
emosinya.
Mainavati
merasa menyesal dengan sikap Jodha dan berkata, “Jodha, sebelum kau menegur
suamimu, kau harus mencari tahu kebenarannya dulu dan kau tidak seharusnya
menegur suamimu di depan kami. Jika ada yang ingin kau sampaikan padanya,
sampaikanlah secara pribadi lain kali.”
Hamida
berusaha membela Jodha, “Mainavatiji, jangan khawatirkan Jodha, dia adalah
gadis yang peka perasaannya dan jauh lebih dewasa daripada Jalal dan ini
hanyalah salah paham, jadi Jodha sama sekali tidak bersalah.” Lalu dia mencium
kening Jodha penuh kasih sayang.
Mainavati
bertanya, “Jodha, kau sudah siap untuk upacara pertunanganmu??”
Jodha
menjawab manis, “Ya Masa, aku sudah siap, tapi coba kita tanya Jamaisamu, dia
sudah siap atau belum!”
Salah seorang
pelayan istana datang mengabarkan pada Mainavati bahwa satu grup penari
beranggotakan sekitar dua puluh orang baru saja datang dan akan tampil pada
Uapacara Pertunangan nanti.
Jalal
teringat dia juga harus segera menemui Mirza dan Abdul untuk memeriksa apakah
mereka sudah menemukan rencana jitu.
Jodha
senyum-senyum melihat ekpresi cemas di wajah Jalal. Dia yakin Jalal tidak
mungkin menang kali ini. Jodha bergumam sendiri, “Tak peduli apapun yang kau
rencanakan, kali ini akulah yang akan menang dan kupastikan kau tidak akan bisa
menyentuhku hingga kita tiba di Agra....Kau mau berlagak pintar
denganku...hmmm...kita lihat siapa yang menang. Aku yakin kau tidak akan bernyanyi
dan melamarku di depan begitu banyak orang, kau terlalu malu untuk bernyanyi di
depan umum tapi soal ciuman...Ya Tuhan dia tak tahu malu.Tidak pernah
terpikirkan dia akan mencium di depan semua orang.” Hanya dengan memikirkan
situasi memalukan itu membuatnya gemetar.
Abdul dan
Mirza, keduanya menghampiri Jalal dengan senyum kemenangan di wajah mereka.
Mereka ceritakan semua rencananya pada Jalal. Setelah mendengar penjelasan
mereka, senyum nakal terukir di bibir Jalal dan dengan penuh perasaan dia menarik
napas lega.
Lila dan
Surya berjalan menuju ke aula upacara. Lila bertanya frustasi, “Kapan kau akan
bicara dengan Raja Bharmal, Surya? Sekarang Sudah waktunya untuk upacara
pertunangan.”
Surya
menjawab bingung, “Lila, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan??? Jika
aku melamar Sukanya maka Bapusa tidak akan pernah memaafkan aku, sebaliknya
jika aku tidak bertindak sekarang, maka semuanya akan berakhir. Lila, aku harus
memilih antara cintaku atau Bapusa.”
**************