Berderap di atas punggung kuda, Jalal mengenakan
kostum Rajvanshi dan Jodha menutupi wajahnya dengan cadar, keluar dari gerbang
istana.
“Shenshah, kita akan pergi kemana???” Jodha bertanya
di sela-sela tarikan napasnya.
“Tempat yang spesial.” Jawab Jalal penuh misteri.
“Shenshah, aku benar-benar tidak mengerti dirimu. Ini
sudah hampir malam dan beberapa saat lagi akan gelap. Tidak aman bagi kita
pergi sendirian seperti ini, di sekitar kita banyak musuh....kejutan apa lagi
sekarang.” Dia mencibir kesal.
Jalal menariknya mendekat dan berbisik, “Ini kejutan
untukmu, Jodha, jadi tutuplah mulutmu dan demi Tuhan, berhentilah menentang dan
berdebat denganku hanya untuk satu hari saja.”
Jodha menghembuskan napas dengan keras, “Shenshah, apa
kau ingin bilang kalau kita selalu bertengkar tiap hari?? Sepertinya kau mulai
lelah....Kau tahu, hentikan kudanya sekarang juga...Aku tidak ingin menikah
denganmu; aku akan berjalan kembali ke istana.”
“Lihat kan, kau sudah mulai lagi, kau suka sekali
bertengkar apalagi membantahku dan jangan cemaskan pernikahan kita, begum ku
sayang; jika kau tidak mau menikah denganku dengan sukarela maka aku akan
menculikmu dari istana dan selama seminggu penuh aku tidak akan membiarkanmu
keluar dari kamarku, dan aku bertaruh, kau tidak ingin tahu apa saja yang akan
kita lakukan di dalam sana.” Setelah terdiam sejenak, di berkata lagi, “Kau
tahu, lupakan semua itu, sebenarnya yang harus kau cemaskan adalah malam ini,
apa yang akan kulakukan padamu Jungle billi ku. Aku tidak akan melepaskanmu
hari ini. Sudah cukup aku menuruti keinginanmu...hmmm...bernyanyilah untukku
dan ciumlah aku di depan umum...sekarang aku tidak akan membiarkanmu tidur
malam ini.” Jalal tersenyum dengan manisnya.
Jodha berpikir...’Ya Tuhan...kemana dia akan
membawaku?...tujuannya pasti tidak baik. Ohhh...’ sambil menarik napas dengan
berat dia berpikir, ‘Sepanjang malam bersamanya....kedengarannya sangat
menggairahkan...tapi jika aku tidak kembali ke istana tepat tengah malam, Masa
akan membunuhku, karena nanti saatnya untuk Mehndi.’ Dia berpikir keras, ‘Apa
yang harus kulakukan? Oh...kucoba untuk menangis, siapa tahu dia tertipu.’
Belum sempat Jodha melakukannya, Jalal sudah bisa
menebaknya, “Tidak Jodha, menangis tidak akan menolongmu.”
Jodha makin kesal, “Jalal, bagaimana bisa kau selalu
tahu, apa yang akan kukatakan ataupun kulakukan, sepertinya kau sidah
mengguna-gunai aku.”
Jalal berbisik di teinganya, “Jodha, kaulah yang sudah
menyihirku...sudah hampir tujuh bulan dan aku belum melakukannya sama sekali.”
Jodha bertanya tak percaya, “Apa...tidak dengan
siapapun...Sama sekali??”
Jalal menyeringai, “hmmm.”
Jodha bertanya pura-pura cemas, “Ya Tuhan Shenshah,
kau tidak bisa melakukannya?”
Jalal baru paham maksud kata-kata Jodha, dia berbalik
membentak, “Apa? Kau sudah gila, Jodha? Benar-benar ya, kau pantas menerima
penghargaan atas caramu merusak momen romatis.”
Jodha menyeringai bodoh melihat Jalal yang frustasi,
membuatnya makin bersemangat menggodanya, “Jalal, aku tidak sedih, tidak
apa-apa, aku mengerti dan lagipula itu hal yang baik, kau tidak akan mampu melakukan apapun malam
ini dan begitu kita sampai di Agra, kau bisa menanyakan pada Hakim Sahiba
tentang masalah ini.”
Jalal berteriak kesal, “JODHA.”
Jodha tahu pria itu benar-benar marah...dia menoleh
untuk melihat wajahnya...dan saat melihatnya, dia tidak bisa menahan tawanya
lagi....Jodha tertawa terbahak-bahak.
Dengan kesal Jalal menangkup wajahnya dan mencium
bibirnya dengan liar...dia menggigitnya dengan hasrat yang dalam...lalu
berbisik dengan penuh gairah, “Apa kau ingin aku membukitikannya sekarang?”
Jodha menjawab pelan dengan malu-malu, “Jalal, aku
hanya menggodamu dan kau jadi marah padaku.”
Jalal berkata serius, “Jodha, aku tidak bercanda, aku
sangat serius, aku menginginkanmu sekarang...saat ini juga...aku sudah lama
menantimu dan duduk sedekat ini denganmu sekarang, membuatku gila...aku sudak
tidak bisa tahan lagi.”
Wajah Jodha memucat, dia melirik ke kanan kiri dengan
gugup sebelum berkata, “Shenshah,” dia terdiam sejenak, “Kita ada di tengah
jalan, meski jalanan ini kosong, tapi tetap saja ini tempat umum...Tidak mau!!”
Jalal bersikeras, “Jodha, kumohon jangan katakan
tidak....lihat pohon besar itu, bagaimana kalai di balik pohon itu saja??”
Jodha gemetar karena takut dan dengan nada menyesal
dia menjawab, “Jalal, kumohon...jangan...jangan sekarang...jangan disini.”
Tiba-tiba Jalal tertawa keras melihat ekspresi Jodha
dan berkata, “Kena kau...Junglee billi.”
Jodha menghela napas dalam-dalam dan melirik cemberut.
Jalal melingkarkan tangannya ke tubuh Jodha sambil
tetap mengendalikan kekang kudany dan berkata serius, “Jodha, kau tidak bisa
bayangkan apa yang sudah kulalui dalam enam bulan ini, tidak ada gairah tersisa
dalam diriku. Hidupku tanpa warna. Aku tidak punya keinginan mengunjungi begum
ku yang lain, bahkan jujur saja, aku sudah tidak bergairah dengan wanita lain
selain dirimu setelah malam pertama kita. Aku bahkan tidak bisa membayangkan
akan mencium atau menyentuh wanita lain, sungguh hancur perasaanku bila harus
menghibur wanita lain selain dirimu. Aku merasa jijik jika ada begum yang coba
merayuku. Sebenarnya aku tidak berniat menceritakan ini padamu, tapi karena
sekarang Rukaiya tidak lagi penting dalam hidupku, aku merasa bebas untuk
menceritakannya padamu... hanya demi membuat Rukaiya senang, aku tidur
dengannya dan memenuhi kewajibanku sebagai suami sebelum kau pergi saat itu,
tapi tujuanku hanyalah untuk menghiburnya saja, sementara hatiku hanya tertuju
padamu.”
Mata Jodha mulai basah karena air mata menyadari
betapa dalamnya cinta Jalal, membuat hatinya sangat tersentuh. Diam-diam dia
menangis dalam kebahagiaan. Dan pertama kali dalam hidupnya, kata-kata yang
ingin dia ucapkan tercekat di tenggorokan. Dia mengingat kembali lirik yang
dinyanyikan oleh Jalal beberapa saat lalu, “Tujhme Rab dikhta hai yaara main
kya karu...sajde sar jhukta hai yaara main kya karun” (Aku melihat dewi dalam
dirimu, aku harus bagaimana....Kepalaku tertunduku memujamu, aku harus
bagaimana) Air mata yang tidak diinginkannya, tak bisa ditahan lagi membanjiri
wajahnya menyadari betapa beruntungnya dia sebagai wanita....Jalal selalu
memenuhi semua keinginannya dan memberinya lebih... Jalal ingin Jodha juga
menang dalam kompetisi memanah....Jalal selalu menahan keinginannya sendiri
demi memenuhi keinginan Jodha...tanpa dikatakan Jalal tahu Jodha sangat
merindukan Sujamal bhaisa, dia meyakinkan Bapusa hanya demi membuatku
senang....air matanya mengalir makin deras...dia benar-benar bahagia...ingin
dia memeluk Jalal dan menyerahkan diri sepenuhnya demi membuat Jalal
bahagia....ingin dia katakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama dengan
Jalal, hanya saja dia tidak mampu mengungkapkannya...tapi dia merasa sangat
bahagia hingga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dia tenggelam dalam
perasaannya sendiri.
Jalal heran karena Jodha diam seribu bahasa, mereka
sudah melewati kuil dan mencapai tempat tujuan mereka tapi Jodha tetap
diam...ditariknya tubuh Jodha makin merapat dan memeluknya erat, di gesekkannya
pipinya dengan pipi Jodha yang terasa basah...dan saat itulah dia tahu Jodha
menangis tanpa suara.
Jalal tersentak dan meloncat turun dari kudanya untuk
memeriksa wajah Jodha dan terlihatlah wajahnya yang penuh air mata.
Jodha tahu mereka sudah sampai tapi dia belum bisa
menghentikan tangisnya. Jalal mengulurkan tangannya pada Jodha untuk
membantunya turun dari kuda.
Jalal bertanya panik, “Jodha...ada apa? Mengapa kau
menangis?”
Jodha belum bisa menenangkan dirinya sendiri... karena
itu dia belum bisa menjawab. Dia peluk Jalal dengan eratnya dan terisak di
dadanya makin keras.
Jalal tidak tahan setiap kali melihat Jodha
menangis...kali ini dia bahkan dia tidak tahu apa yang menyebabkan Jodha
tiba-tiba menangis. Wanita itu menggodanya beberapa saat lalu dan sekarang dia
menangis tersedu-sedu. Sepertinya Jodha ingin mengatakan sesuatu tapi mulutnya
tidak mampu berbicara...dia terus saja menangis...Jalal hanya bisa membelai
lembut kepala dan punggungnya untuk menenangkannya.
Setelah beberapa waktu, tangis Jodha mereda dan hanya
tersisa isakan pelan. Jalal melepaskan pelukannya dan bertanya lembut, “Jodha,
mengapa kau tiba-tiba menangis....apa yang terjadi? Kau ingin kembali ke
istana, ayo kita kembali, tapi kumohon berhentilah menangis.”
Jodha menjawab terbata-bata, “Jalal aku menangis
karena cintamu yang begitu besar padaku...dan kau bisa mengungkapkannya,
sementara aku tidak, Jalal...aku sangat mencintaimu. Aku juga melihat wajahmu tiap
kali aku berdoa pada Kanah...tanpa Jalal, Jodha tidaklah ada...kau melengkapi
diriku, Jalal.” Sekali lagi Jodha memeluknya sambil berucap, “Jalal, aku akan
mencintaimu selamanya.”
Jalal terpana sekaligus merasa lega, ternyata Jodha
menangis adalah untuk mengungkapkan cintanya...Jalal sedikit menjauh hanya
untuk mengusap air mata di wajah Jodha, “Awww, Jodha, aku tahu kau sangat
mencintaiku dan kau tidak perlu mengatakannya. Jodha, cinta adalah sebuah
rasa....kau bisa merasakannya tapi tidak bisa kau tuangkan dalam kata-kata.
Jodha, jiwa kita telah terhubung sejak lama...dalam enam bulan ini, beberapa
kali jiwa kita bertemu dan saling bicara. Kita adalah bagian satu sama lain dan
aku sudah tahu kau sangat mencintaiku.”
Jodha bersikeras, “Jalal, aku terharu karena itu aku
menangis dan sebaiknya kau dengarkan aku...aku mencintaimu lebih dari kau
mencintaiku dan titik, jangan mendebat lagi...atau aku akan menangis lagi.”
Jalal tertawa memperhatikan wajah cemberutnya, “Ohh
Jodha!! Kadang-kadang kau bertingkah seperti anak umur lima tahun dan kadang
kau tampak dewasa seperti wanita lima puluh tahun.”
Jodha tersinggung, “Oh, jadi kau ingin mengatakan aku
berumur lima puluh tahun...hmmm.”
Setelah sama-sama diam beberapa saat, lalu keduanya
tertawa bersama-sama.
Jalal mengikatkan tali kudanya ke pohon terdekat.
Jodha bertanya ringan, “Jalal, disini gelap sekali, kemana kau akan membawaku?”
Jalal memberikan tatapan penuh misteri dan berkata,
“Jodha, kau belum bisa menebak kemana kita akan pergi?”
Jodha melihat sebuah kuil di dekat situ dan bibirnya
menyunggingkan senyum lebar kegirangan.
Jalal ikut tersenyum dan berkata, “Jodha, aku sudah
sejak lama ingin mengunjungi tempat ini lagi, di tempat inilah pertama kalinya
aku melihat wajah cantikmu.”
Keduanya melangkah mantap di sela-sela pepohonan dan
tiba di pinggir sungai. Jodha terpana melihat sekeliling tempat itu yang
bercahaya karena sinar dari ratusan obor. Di tengah-tengahnya, diatur
sedemikian rupa sebagai tempat duduk mereka dan dihiasi dengan bunga mawar
merah di sekelilingnya. Ada sebuah tungku api kecil di dekatnya. Melihat betapa
indahnya pengaturan tempat ini, Jodha benar-benat terpesona, lalu berlari kecil
menuju sebuah batu besar tempat dulu dia biasa duduk di atasnya.
*********