FROM
YM TO YOUR HEART
Part
13
PS: Mohon maaf yang sebesar-besarnya karena lamanya posting cerita ini. Hanya tersisa satu part lagi, semoga dalam minggu-minggu ini bisa saya posting. Terima kasih karena sudah setia membaca.
~~~~~~~~
Minggu, 29/05/13
Rashed Jalal : Jaga dirimu...
Aadhya Jodha : Apa kau benar-benar akan pergi?
Rashed Jalal : Ya.
Aadhya Jodha : Tidak bisakah kau menundanya?
Aadhya Jodha : Demi aku? Demi kita?
Rashed Jalal : Kukira ini yang kau inginkan. Karena,
jujur saja....setiap kali aku bersamamu, yang bisa kupikirkan hanyalah
menikahimu...
Aadhya Jodha : Tapi aku tidak pernah
ingin kau pergi
Rashed Jalal : Lalu apa gunanya aku disini? Hanya
menunggu...sampai kau selesai berpikir.... Itupun aku juga tidak tahu apa
jawabanmu...
Aadhya Jodha : Jalal, aku belum sepenuhnya yakin...
Rashed Jalal : Kau sendiri yang putuskan
~~~~~~~~~
Jodha menangis terisak di dalam kamarnya setelah membaca pesan
Jalal. Dia menutupi wajahnya dengan bantal agar isakannya tidak sampai
terdengar oleh Ibunya yang sedang menonton televisi di balik pintu.
Apa yang harus
kulakukan? Aku tidak ingin berakhir secepat ini? Jalal, kumohon...jangan
pergi....
Jodha tidak mendengar saat pintu kamarnya dibuka atau ada sepasang
kaki yang melangkah mendekatinya, tiba-tiba saja sudah dirasakannya sebuah
tangan lembut mengusap pelan rambutnya yang menutupi wajahnya. Jodha mendongak
dengan wajah sembabnya...
“Ibu.....” panggil Jodha memelas.
Nyonya Aadhya duduk di depan Jodha sambil tetap menggenggam tangan
putri kesayangannya.
“Apa kau sedih karena Jalal akan pergi?”
Jodha tidak menutupi keterkejutannya saat melontarkan pertanyaan,
“Bagaimana Ibu bisa tahu?!”
“Ibu bisa merasakannya..” jawabnya sambil menyeka air mata di
wajah Jodha.
“Apa Jalal mengatakan sesuatu pada Ibu?!”
“Dia mengatakan semuanya. Dia bilang dia pergi demi kebaikanmu.
Dia sangat menyayangimu, karena itulah dia berharap banyak pada hubungan
kalian. Tapi karena kau tidak memberikan jawaban yang dia inginkan, dia ingin
menjauh dulu agar kau bisa berpikir...”
Jodha menelan ludah, berusaha membersihkan tenggorokannya setelah
menangis dalam waktu yang cukup lama.
“Kenapa, Jodha?”
Jodha tahu maksud pertanyaan Ibunya, hanya saja dia kesulitan
menjawabnya. Setelah beberapa saat, akhirnya dia bersuara juga....
“Aku takut, Bu...” kata Jodha pelan, “Bagiku, memutuskan menikah
jauh lebih berat daripada menentukan janji kencan. Ini keputusan seumur hidup.
Andai kami kecewa saat kencan, tidak masalah kami mengakhirinya saat itu juga.
Tapi dalam pernikahan, kami akan terjebak selamanya, meski cinta itu mulai
mengikis dan hilang, kami terpaksa tetap bersama .....Aku melihatmu menderita
karena itu, Bu. Karena itulah aku tidak ingin mengalaminya..”
Jodha melihat ketenangan yang teduh di dalam mata Ibunya.
“Semua keputusan memang ada resikonya... Saat menikah dengan
ayahmu, Ibu juga tidak pernah terpikir akan menderita. Awalnya kami juga
bahagia, tapi manusia berubah karena banyak hal. Meski begitu, sedetikpun Ibu
tidak pernah menyesali keputusan Ibu menikah dengan ayahmu, apalagi berharap
bahwa Ibu bisa memutar ulang waktu dan menikah dengan pria lain.
Karena...menikah dengan ayahmu, Ibu jadi bisa melahirkanmu. Ibu memiliki putri
yang cantik dan berbakti sepertimu.”
Jodha memikirkan jawaban Ibunya dalam-dalam...dan akhirnya dia
memiliki keyakinan baru akan apa yang harus dilakukannya.
“Ibu, apa Jalal bilang kapan dia akan berangkat?”
Setitik senyum muncul di sudut bibir Nyonya Aadhya.
“Kenapa kau tidak menanyakannya langsung pada Jalal...?”
“Ehmmm...anggaplah, aku ingin memberinya kejutan, Bu..”
Nyonya Aadhya memicingkan matanya mendengar jawaban Jodha yang
sedikit dibuat-buat.
“Kalau tidak salah, Jalal bilang akan berangkat sekitar jam 2
sore, hari minggu ini..”
Jodha memutar kepalanya ke arah jam duduk di atas meja samping
tempat tidurnya. Matanya membelalak tak percaya. Jam 1.15 siang. ‘Astaga, sepertinya terakhir kali aku tadi
lihat masih jam 10 siang. Selama itukah aku menangis?!...Aargg..Gawat!.’.
Bergegas Jodha mengambil selendang untuk dililitkannya di leher
dan untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Dia tidak merasa perlu berganti
pakaian, yang dikenakannya sudah cukup sopan, lagipula sudah tidak ada waktu
lagi. Diraihnya dompet dari atas meja lalu tergopoh-gopoh keluar rumah, setelah
lebih dulu berpamitan pada Ibunya.
Nyonya Aadhya tersenyum simpul melihat tingkah putrinya, lalu dia
teringat untuk menelpon seseorang dan memberitahu bahwa rencana mereka
berhasil.
Jodha mengumpat penjang lebar dalam hatinya, tranportasi kota Mumbay
memang tidak bisa diandalkan untuk orang yang sedang dikejar waktu seperti
dirinya. Macet, panas dan berputar-putar.
Saat menjejakkan kakinya di bandara, sekilas Jodha melirik
arlojinya. Hanya tersisa lima menit sebelum jam 2, itupun kalau pesawatnya take
off jam 2 lebih. Saat-saat seperti ini, dia sangat mengharapkan pesawat itu
delay untuk beberapa menit atau bahkan beberapa jam juga tidak apa-apa. Doa
yang pasti akan ditentang oleh penumpang manapun di dunia, tapi itu
satu-satunya cara mencegah Jalal pergi.
Dengan napas terengah-engah, Jodha berjalan meliuk-liuk diantara
padatnya calon penumpang di bandara internasional Mumbay. Kakinya melangkah
cepat menuju terminal keberangkatan. Semoga saja Jalal masih antre di depan
boarding desk atau masih duduk di ruang tunggunya. Ya Tuhan, tolong jangan
biarkan cerita drama terjadi dalam hidupku, saat pemeran utamanya sekuat tenaga
mengejar sang kekasih yang akan pergi, dan ternyata dia sudah
terlambat...Semoga aku belum terlambat...
Akhirnya....
Disana.
Itu Jalal. Jodha melihatnya dan dia berteriak memanggilnya. Beberapa
orang yang berdiri di dekatnya ikut menoleh karena penasaran.
Dengan senyum terkembang di wajahnya, Jodha berjalan ke arah
Jalal. Namun senyum lebar Jodha rupanya tidak mendapat respon yang sama dari
Jalal. Wajah pria itu tetap kaku dan datar.
“Kau tidak perlu repot-repot mengantarku.”
“Aku datang bukan untuk mengantarmu...aku ingin menahanmu untuk
tidak pergi..”
“Untuk apa?”
“Kita masih punya urusan yang belum selesai.”
“Apa itu?”
“Jawabanku...”
“Kau bisa menjawabnya lain kali.”
“Tidak bisa. Harus sekarang.”
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Benarkah?! Apa itu penting?”
“Jangan terlalu sinis, Jalal. Jangan membuatku menyesal karena
sudah menghalangimu pergi...”
Jalal menarik napas panjang, seperti berusaha meredam emosinya
sendiri.
“Sudah, aku tidak ingin berdebat lagi. Pulanglah dengan taksi....”
Jodha tergagap, mulutnya bergerak-gerak berusaha bersuara tapi
yang keluar hanya udara kosong tanpa arti. Jalal membalikkan badannya dan tak
lupa menyeret koper besar di samping kakinya.
“Selamat tinggal...Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi...”
pamit Jalal dengan suara pelan dan sedih.
Saat Jalal mulai melangkah, dirasakannya ada tangan yang menarik
kemeja di bagian punggungnya, membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh. Dia
berbalik dan melihat tangan Jodha yang menggenggam erat kemejanya dan
menariknya kuat-kuat. Kemudian pandangannya beralih pada Jodha, dilihatnya
wajah gadis itu sembab karena air mata. Dia menangis tanpa terisak, mungkin
gadis itu sendiri tidak sadar dia sedang menangis.
“Jangan pergi....”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Jodha.
Hati Jalal luluh, dia tidak tega melihat gadis tercintanya berurai
air mata di tempat umum. Orang akan menganggap dia pria tak berperasaan yang
tega menyakiti perasaan gadisnya begitu dalam. Lalu Jalal menuntun Jodha duduk
di salah satu bangku kosong di area tunggu bandara tersebut.
Dengan lembut, Jalal menyeka air mata di wajah Jodha dengan
jari-jari tangannya.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?!” tuntut Jodha tanpa membutuhkan
jawaban, “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan menangis lagi hanya
karena seorang pria. Jadi kenapa aku bisa menangisimu? Apa yang kau punya
hingga aku tidak bisa melepaskanmu?! Katakan padaku, Jalal, katakan, apa yang
sudah kau lakukan padaku...?!” ujar Jodha di sela isaknya, sambil
mengguncang-guncangkan kemeja Jalal yang masih digenggamnya.
Jalal hanya bisa menahan senyumnya mendengar pertanyaan-pertanyaan
Jodha.
“Karena hanya aku yang bisa menaklukkan hatimu dan logikamu yang
sekeras batu itu...”
Jodha terdiam beberapa saat, mencerna dalam-dalam jawaban yang
baru saja dilontarkan oleh Jalal.
“Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mengantarmu pulang
atau kau bisa pulang sendiri.”
“Jalal, dengarkan aku baik-baik. Kau boleh pergi....tapi nanti..
setelah kau setuju menikahiku!” Jodha menjawab dengan nada seolah mengancam.
Spontan tawa Jalal meledak mendengar jawaban penuh percaya diri
dari Jodha. Tak menyadari wajah gadis di depannya makin ditekuk kesal karena
berpikir Jalal sedang menertawakan dirinya.
“Ini tidak lucu.”
“Tidak, maaf..aku tidak bisa menahan diri...” kata Jalal di sela
tawanya. “Jadi ini lamaran atau ancaman?!”
“Keduanya.”
“Bagaimana kalau aku menolak?!”
“Kau hanya punya satu kesempatan.”
“Ironis sekali, sekarang keadaan kita berbalik. Kemarin aku yang
mendesakmu, sekarang kau yang mengancamku. Apakah seharusnya aku memasang wajah
ketakutan?.” pancing Jalal dengan nada yang lebih terdengar seperti ejekan di
telinga Jodha.
“Hentikan, Jalal. Aku tidak bisa sepertimu. Ya atau Tidak.
Sekarang. Aku tidak mau mati karena penasaran. Dan satu hal, meski kau
menolakku, tenang saja, aku tidak akan bunuh diri.”
“Aku selalu menyukai semangatmu.”
Jodha berhenti membalas, dia hanya menatap Jalal dengan sorot mata
yang sulit diartikan, perpaduan antara berharap, gusar,takut dan juga
menantang.
Jalal juga terdiam, mengatupkan bibirnya, namun matanya tak pernah
lepas dari wajah gadis di hadapannya.
“Baiklah..” kata Jalal akhirnya, “Ayo kita menikah.”
Tanpa sadar Jodha menarik napas lega dengan suara keras dan
tubuhnya jatuh terduduk tepat di kursi di belakangnya.
“Kenapa kau malah duduk?! Ayo kita pulang. Kita harus menyiapkan
pernikahan kita...”kata Jalal dengan bersemangat membuat Jodha tertegun melihat
sikapnya yang tiba-tiba berubah.
Kemudian pria itu mengulurkan tangannya dan secara otomatis Jodha
menyambutnya. Bahkan Jodha menurut saja saat Jalal menarik tubuhnya berdiri dan
berjalan menuju pintu keluar.
“Tunggu! Bagaimana dengan penerbanganmu?! Pekerjaanmu?! Apa tidak
masalah kau membatalkannya begitu saja?!” tanya Jodha sedikit cemas.
“Tenang saja. Aku akan mengatur ulang semuanya.”
“Begitu saja?” Jodha menyipitkan matanya dengan penuh curiga
sambil terus berjalan di belakang Jalal.
“Tentu.” jawab Jalal tenang.
Tiba-tiba Jodha menarik lepas tangannya dari genggaman Jalal dan
menghentikan langkahnya, membuat Jalal menoleh ke belakang, tatapannya disambut
dengan wajah Jodha yang kaku. “Jadi kau
mempermainkan aku!?”
Jalal pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan Jodha.
“Tidak...hanya saja penerbangan Mumbay-Delhi hanya butuh beberapa
puluh menit saja. Aku bisa melakukannya lain waktu.” Jawab Jalal tenang sambil
menahan senyum.
“Delhi?! Hanya ke Delhi?! Dan aku sudah membuang waktuku, menangisi
kepergianmu, yang ternyata hanya ke Delhi?!.....”
Jodha menggertakkan giginya dengan kesal.
“Tidak perlu kesal seperti itu..”
“Jadi kau sudah merencanakan semua ini?!”
Jalal hanya tersenyum bodoh sambil mengangkat bahunya acuh, “Aku
akan melakukan apa yang memang harus kulakukan.”
Dan Jodha tidak terkejut pada jawaban yang didengarnya. Dia yakin
Jalal memang orang seperti itu, sangat gigih untuk mendapatkan keinginannya.
Dalam hati Jodha tidak keberatan pada sikap mendominasi seperti itu, hanya saja
dia masih sulit percaya semua ini terjadi pada dirinya, gadis sederhana dari
keluarga biasa, tanpa kelebihan yang menonjol, hanya prinsip dan kepribadiannyalah yang bisa
dibanggakannya.
Masih banyak yang ingin ditanyakannya, tapi dia bisa menahannya
untuk saat ini. Hanya demi menikmati momen ini. Momen sederhana tapi cukup
manis untuk dikenang.
Ada kelegaan luar biasa saat mengetahui Jalal tidak akan pergi
meninggalkannya, seperti meneguk segarnya air di bawah teriknya hari. Bahkan
saat inipun yang bisa dirasakannya hanyalah genggaman hangat tangan Jalal di
jemarinya. Fakta bahwa pria itu sudah melakukan kebohongan kecil dan sempat
membuat perasaannya jungkir balik, semua itu terlupakan.
Jodha tidak sadar kapan mereka mulai berjalan meninggalkan bandara
atau kapan dia masuk ke dalam mobil Jalal, atau bahkan ke arah mana Jalal
membawanya pergi. Dia seperti melayang di tengah mimpi indah. Tiba-tiba saja
dia sudah berdiri di depan sebuah pintu sebuah apartemen.
Seorang gadis menyambut mereka begitu Jalal membuka pintu itu.
Jodha teringat, gadis itu pernah dilihatnya bersama Jalal di lobi kantor
beberapa waktu lalu. Monita, adik perempuan Jalal, yang pernah salah
disangkanya sebagai kekasih pria itu.
Gadis itu tersenyum dengan lebar sambil memandanginya, membuat
Jodha canggung dan bingung, “Jadi, rupanya misi kakakku berhasil..?”
“Eh...?”
Jodha tidak mengerti arah pertanyaan gadis itu, membuatnya hanya
bergumam ah-eh tidak jelas.
“Kakakku bilang, dia pergi untuk membawa calon istrinya datang
kemari...” Monita bicara sambil melirik ke arah Jalal yang sedang melewatinya
sambil membawa masuk koper besarnya.
Butuh beberapa saat bagi Jodha untuk memahaminya, “Oh, apa dia
terlihat sangat yakin saat mengatakan itu?! Apa jadinya kalau misinya gagal?”
“Sebaiknya kalian berdua jangan terlalu akrab. Mulut besar adikku
ini bisa membongkar semua rahasiaku...” potong Jalal pura-pura ketus.
Jodha dan Monita sama-sama terkikik geli, menandai persekongkolan
baru diantara mereka.
Jalal masuk ke sebuah kamar, meninggalkan Jodha berdua dengan
Monita di ruang tamu.
“Maafkan aku, karena begitu gembira aku sampai lupa menyambutmu.
Selamat datang di rumah ini, Kakak.” Ucap Monita dengan kegembiraan yang tulus.
“Terima kasih. Aku ingin balas mengundangmu ke rumahku, tapi
apartemenku jauh lebih kecil dari ini.” Jawab Jodha dengan suara makin pelan
sambil memperhatikan setiap sudut apartemen mewah itu. Ruangan yang luas
dihiasi dengan perabot yang sangat mahal,
jauh dari yang mampu dibelinya meski dengan jumlah gajinya seumur hidup.
Menyadarkannya kembali betapa berbedanya dirinya dengan Jalal.
“Bukan masalah. Kita akan jadi keluarga. Cukup kau menganggapku
seperti adikmu sendiri, itu sudah lebih dari apapun...” jawab Monita, membuat
Jodha terharu.
“Jodha, kemarilah...aku ingin bicara,” panggil Jalal dari sebuah pintu,
memotong pembicaraannya dengan Monita.
Wajah Jodha langsung merona mendengar Jalal memanggilnya, apalagi
Monita ada di sebelahnya.
“Se...sebaiknya kau saja yang kesini.” Balas Jodha dengan suara
sedikit gugup.
“Kak Jodha, kau masuk saja kesana. Aku akan pura-pura tidak
melihat atau mendengar apapun.” ujar Monita sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Eh...jangan...itu...” Jodha gelagapan, tapi Monita tetap pergi
meninggalkannya.
Akhirnya, dengan langkah kesal, Jodha berjalan menuju tempat Jalal
memanggilnya.
“Apa yang begitu penting hingga harus....bicara di sini...” suara
Jodha perlahan menghilang begitu dia menyadari ruangan apa yang sedang
dimasukinya.
Kamar pribadi Jalal.
Tanpa sengaja, pandangannya langsung tertumbuk ke arah ranjang
super size tepat di ujung ruangan. Spontan wajahnya merona saat khayalan tak senonoh
terlintas di pikirannya, membayangkan tubuh maskulin Jalal rebah di atas
ranjang itu. Buru-buru dia mengalihkan pandangannya, dan langsung bertatapan
dengan mata Jalal yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Aku ingin mengesahkan kesepakatan kita.” Ucap Jalal dengan suara
lebih berat.
“Kesepakatan?”
“Pernikahan kita.”
Jalal merogoh ke dalam saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah
kotak kecil berwarna hitam. Sebuah cincin terdapat di dalamnya dan langsung
disematkan pada jari manis Jodha, sebelum gadis itu terpikir untuk menolaknya
dengan berbagai alasan tak masuk akal menurut Jalal.
Jodha memandangi jarinya yang tersemat cincin dengan berjuta
perasaan saling tumpang tindih.
“Apa kau yakin?” tanya Jodha ragu.
“Apa aku harus mencari perbandingan dengan wanita lain dulu?”
“Maksudku, kenapa aku?”
“Apa aku butuh alasan untuk jatuh cinta?”
Jodha tersenyum kecil mendengar jawaban itu.
“Kenapa secepat ini? Apa kau tidak ingin pelan-pelan mengenalku
lebih dulu?... Dan...Bagaimana jika suatu saat kau merasa telah salah menikah
denganku? Bagaimana seandainya cinta ini tidak kau rasakan lagi?” tanya Jodha
hampir menangis.
“Jika memang itu yang terjadi, maka kau harus berusaha membuatku
jatuh cinta padamu lagi. Karena aku juga akan selalu membuatmu jatuh cinta
padaku setiap hari...”
Lalu Jalal menambahkan sambil meraih kedua tangan Jodha ke dalam genggamannya,
“Dalam kehidupan pernikahan kita, aku lebih memilih kita bertengkar, berdebat
dan saling berteriak karena itu menunjukkan adanya gairah dan perasaan yang
nyata di antara kita, daripada kita saling diam, tertutup dan menyimpan rahasia
dari pasangan karena hubungan seperti itu adalah kepura-puraan yang sia-sia...”
Akhirnya Jodha merasa lega, dia bisa yakin Jalal tidak akan
meninggalkannya meski nanti mereka akan menghadapi masalah dalam rumah tangga
yang akan mereka bangun.
“Hanya satu yang tidak akan kutolerir.... Aku tidak tahan jika kau
memikirkan pria lain selain aku, karena itulah secepatnya aku akan menikahimu,
jadi kau tidak akan punya kesempatan membandingkan diriku dengan pria lain,” tegas
Jalal.
Jodha tidak mampu berkata-kata, dia hanya bisa tersenyum dan
membalas genggaman tangan Jalal dengan sama eratnya.
“Dan kesepakatan ini harus disegel....dengan ciuman...” kata Jalal
Seketika raut wajah Jodha berubah sedikit panik begitu mendengar
kata ‘ciuman’ disebut.
“A...apa?!”
“Hanya sebuah ciuman. Kenapa kau kelihatan panik?! Apa kau takut?!
Atau jangan-jangan kau belum pernah.....” cecar Jalal sambil mendesak tubuh
Jodha hingga merapat dan menempel pada pintu yang tertutup.
Jodha yang terdesak mencoba berdalih, “Takut?! Untuk apa aku
takut?! Ciuman itu hal biasa... aku sudah berpengalaman.....”
Hanya sampai di situ kata-kata yang bisa diucapkan mulut Jodha
karena detik berikutnya mulut itu sudah tertutup dan dikulum dengan nikmat oleh
Jalal. Satu detik pertama, Jalal hanya ingin mencecap rasa manisnya, tapi dia
belum merasa puas, berlanjut sepuluh detik untuk meresapi kekenyalannya, tapi
dia belum juga merasa puas. Hingga entah berapa detik atau menit berlanjut saat
mereka berdua saling menikmati dan memuaskan kerinduan yang telah mereka tahan.
Tubuh mereka saling menempel, napas mereka saling berpadu, lidah mereka bermain
di dalam mulut mereka yang saling bercumbu. Jalal memperhatikan kelopak mata
Jodha yang tertutup dan ada gairah kuat dalam dirinya yang ingin mencium
kelopak mata itu, namun ditahannya kuat-kuat. Karena jika dia tidak berhenti
saat itu juga, maka semuanya akan lepas kendali.
Dengan napas yang masih berat, Jalal menghentikan kecupannya dan
menjauhkan tubuhnya dari Jodha, hanya beberapa centi saja, memberikan cukup
ruang bagi udara segar untuk masuk di antara mereka.
“Kau wanita yang berbahaya. Kau lihat sendiri bagaimana kuatnya
pengaruhmu pada tubuh dan pikiranku.” Ujar Jalal di sela napasnya yang terengah-engah,
“Besok, kau buat surat pengunduran diri....”
Jodha tidak siap dengan perubahan arah pembicaraan yang tiba-tiba
ini.
“A...apa..apa maksudmu?!” tanya Jodha.
“Kau harus berhenti bekerja.”
“Kenapa?!” tuntut Jodha
“Aku tidak bisa bekerja dalam satu ruangan denganmu, karena kau
bisa mengganggu konsentrasiku. Belum lagi kalau nantinya ada pertentangan
kepentingan di antara kita, itu akan memperngaruhi keputusan yang harus kubuat
untuk perusahaan. Menikah denganku, kau tidak perlu bekerja pada orang lain,” jawab
Jalal dengan lebih lunak.
“Aku akan memikirkannya. Kita akan membicarakannya lagi nanti,” elak
Jodha.
“Besok kau buat surat pengunduran dirimu atau....Aku akan
memecatmu,” tegas Jalal.
*************