By: Sally Diandra
Sore harinya tanpa menunggu waktu lama, Jalal mengajak ibu dan kakak
kandungnya mengunjungi rumah ibu Meinawati untuk bertemu dengan keluarga Jodha
terutama Salim anaknya.
“Nyonya Hamida” ibu Meinawati menyambut besannya ini dengan penuh haru,
perpisahan selama kurang lebih 4 tahun membuat dua perempuan renta itu memiliki
perasaan yang sama.
“Nyonya Meinawati, apa kabar? Akhirnya kita bisa bertemu ya, aku sudah
mendengar semua ceritanya dari Jalal” ibu Meinawati hanya mengangguk angguk
sambil menyeka airmatanya
”Aku atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar besarnya atas apa yang
telah adikku Maham Anga lakukan terhadap Jodha, kami benar benar tidak tahu”
Ibu Hamida merasa tidak enak dengan ibu Meinawati
“Kami tahu dan kami bisa mengerti, nyonya Hamida ... kami sekeluarga sudah
melupakan semua itu, kami menganggapnya sebagai takdir yang tidak perlu
disesali” nyonya Hamida dan Salima merasa haru dengan ucapan ibu Meinawati
“Lalu dimana, Salim cucuku?” kedua bola mata ibu Hamida berbinar terang
sambil mencari cari keseluruh ruangan sosok mungil yang membuatnya penasaran
“Salim disini nenek” tiba tiba Jalal muncul dipintu depan sambil
menggendong Salim yang menggelanyut manja digendongannya, nyonya Hamida
langsung berdiri menghampiri Jalal dan memandang takjub ke Salim
“Jadi ini Salim? Apa kabar sayang? Dia mirip sekali sama kamu waktu kamu
kecil, Jalal ... lihat Salima, mirip sekali kan waktu Jalal kecil?” ibu Hamida
memegangi wajah Salim yang menatap kearahnya dengan wajahnya yang polos,
sementara Salima juga ikut berdiri untuk melihat Salim dari dekat
“Iyaaa, ibu ... mirip sekali sama Jalal, nggak ada yang dibuang” Jalal
hanya tersenyum sambil mencium pipi Salim yang chubby sementara Salim bingung
dengan kehadiran dua wanita yang tiba tiba muncul didepannya
“Salim, ini nenek Hamida dan tante Salima, ayooo Salim kasih salam dulu
sama nenek dan tante” sesaat Salim memandang wajah ayahnya yang mengangguk
kemudian mencium tangan ibu Hamida dan Salima bergantian
“Salim, sini gendong sama nenek” ibu Hamida sudah hendak menggendong Salim
tapi Jalal mencegah
“Jangan, ibu ... nanti pinggang ibu sakit, Salim ini meskipun terlihat
badannya kecil tapi ternyata tubuhnya berat, aku aja kewalahan menggendongnya”
ujar Jalal sambil menciumi anak semata wayangnya ini, semua yang hadir disana
tertawa senang, sementara Salim dengan wajah polosnya masih terlihat bingung
karena sejak papa Jalalnya datang dalam kehidupannya, rumahnya jadi tambah
ramai
“Ibu, bolehkah malam ini Salim menginap ditempat kami? Aku ingin
mengajaknya ke apartemenku sekalian besok ingin aku kenalkan ke Mirza Hakim
adikku dan Rukayah” ibu Meinawati segera mengangguk senang
“Kamu tidak perlu meminta ijin, Jalal ... kamu kan ayahnya tapi asal Jodha
juga tahu dimana Salim berada” Jalal tersenyum senang
“Rencananya nanti malam, sepulang dari tugasnya, aku akan mengajaknya ke
apartemenku, bu ... kebetulan Jodha belum bertemu dengan ibu dan kak Salima,
jadi aku ingin mengajaknya”
“Baiklah, kalau begitu ... ibu sih setuju saja, apa yang terbaik untuk
kalian berdua, ibu menurut saja” semuanya tersenyum senang
Sepulang dari rumah ibu Meinawati, Jalal langsung membawa Salim menuju ke
apartemennya bersama ibu Hamida dan Salima, namun sebelumnya Jalal mengajak
Salim jalan jalan terlebih dahulu, Jalal membelikan banyak mainan yang Salim
suka, nyonya Hamida dan Salima juga memanjakan Salim dengan baju baju dan
sepatu baru, semuanya hanya untuk Salim, hari itu merupakan hari yang
membahagiakan untuk Salim hingga tanpa terasa dirinya merasa lelah dan tertidur
dalam pelukkan Jalal.
Sementara itu dirumah sakit, Suryaban yang merasa terganggu dengan
kehadiran Jalal dalam kehidupan Jodha kembali, mulai mempertanyakan kejelasan
statusnya bagi Jodha
“Jo, aku harap, kamu jujur sama aku, kamu masih cinta kan sama mantan
suamimu itu?” Jodha mengehela nafas sambil menikmati secangkir kopi sambil
menikmati waktu istirahatnya dikantin
“Dia belum jadi mantan suami, Surya ... dia masih suamiku, aku belum
bercerai dengannya” kernyitan dahi dokter Suryaban tergambar jelas disana,
menandakan dirinya bingung dengan ucapan Jodha
“Bagaimana bisa? Kamu sendiri bilang kan kalau kalian berdua telah
bercerai, bagaimana dia masih jadi suami kamu? Apa kalian berdua rujuk lagi?”
dokter Suryaban mencoba mencari kebenaran dari dua bola mata Jodha yang sangat
dinantikannya
“Pada kenyataannya kami belum bercerai, Surya ... surat cerai yang dibuat
oleh bibi Maham Anga itu menurut Jalal tidak sah dan tidak berlaku pada kami
karena diantara kami tidak ada yang mengetahuinya”
“Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu bisa mengerti perasaanku? Aku serius
ingin menikahi kamu, Jodha” ujar dokter Suryaban sambil memegang kedua tangan
Jodha, Jodha hanya bisa diam sambil memandang dokter Suryaban dengan pandangan
haru, sesaat mereka terdiam cukup lama
“Aku tidak bisa meninggalkannya, Surya ... dia masih suamiku, ayah anakku,
tidak mungkin aku menikah dengan laki laki lain sementara aku masih menjalin
pernikahan dengan suamiku, itu tidak mungkin, Surya ...”
“Apakah kamu masih mencintainya?” Jodha hanya bisa menghela nafas panjang,
sementara dokter Suryaban belum juga melepas genggaman tangannya dijemari
Jodha, dokter Suryaban masih bisa menyentuh lembutnya kulit Jodha yang mungkin
itu adalah kali terakhir dia bisa menyentuhnya
“Pada awalnya aku masih sangat mencintainya, namun setelah kehadiranmu dan
perhatianmu selama ini yang tulus pada kami berdua, aku dan Salim, rasa cintaku
padanya agak sedikit berkurang, akhir akhir ini aku mulai bisa menerima kamu,
aku mulai membuka pintu hatiku buat kamu tapi ...” dokter Suryaban semakin kuat
menggenggam jemari Jodha
“Apakah saat ini kamu baru menyadari bahwa kamu ternyata masih mencintainya?”
Jodha hanya bisa tertunduk lesu dan menganggukkan kepalanya lemah
“Aku merasa pada sebuah dilema yang cukup besar, Surya ... disaat aku mulai
bisa menerima kamu, disaat itu pula dia datang dalam kehidupanku kembali, aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku bingung ... apakah aku harus
memintanya cerai dan menjalin hubungan denganmu atau aku harus meninggalkan
kamu dan hidup kembali bersamanya tapi aku harus rela untuk dipoligami” dokter
Suryaban tersentak kaget sementara Jodha mulai menangis
“Apa kamu bilang? Dipoligami? Jadi selama ini dia telah menikah lagi?”
Jodha menggelengkan kepalanya sambil menyeka airmata yang mulai membasahi
pipinya
“Bukan begitu, Surya ... ceritanya sangat panjang, sebenarnya dia tidak
seperti yang kamu bayangkan selama ini” sesaat kemudian meluncurlah cerita
Jodha tentang Jalal yang harus memenuhi janjinya menikahi Rukayah, dokter
Suryaban hanya bisa menatap haru dan sedih pada kekasihnya yang sangat
diimpikannya ini.
Malam harinya, ketika Jodha selesai bertugas shift siang, Jalal sudah
menunggunya dilapangan parkir seperti yang sudah dia kabarkan melalui sms tadi
bahwa malam ini, ibu Hamida dan Salima hendak bertemu dengannya diapartemen,
kebetulan Salim juga ikut dengan Jalal. Sepanjang perjalanan menuju ke
apartemen Jalal, Jalal dan Jodha kembali seperti dua orang yang canggung yang
baru mengenal satu sama lain, yang tidak tahu harus berbuat apa, dan tak lama
kemudian akhirnya Jodha bertemu dengan ibu Hamida dan Salima.
“Ibu minta maaf, Jodha ... atas semua yang kamu alami selama ini, dengan
apa ibu harus membalasnya?” Jodha hanya menggelengkan kepalanya mendengar nada
penyesalan dibibir ibu mertuanya ini
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, ibu ... semuanya sudah saya anggap sebagai
takdir hidup saya, saya bisa bertemu ibu dan kak Salima juga mempertemukan
Jalal dengan anaknya juga merupakan takdir hidup saya, jadi tidak ada yang
perlu disesali, saya bisa menerimanya dengan ikhlas” ibu Hamida langsung
memeluk Jodha erat dengan deraian airmata yang tak mampu dibendungnya lagi
“Ibu tahu hatimu sungguh mulia, nak ... Ibu sangat bersyukur Jalal memilih
kamu sebagai istrinya dan tetap mempertahankan tali pernikahan kalian, asal
kamu tahu saja, Jalal tidak pernah menceraikan kamu, jadi kamu masih istrinya
yang sah” Jodha mengangguk lemah “Aku memang istrinya yang sah tapi kali ini
aku harus mengalami kenyataan pahit bahwa suamiku akan menikahi wanita lain”
bathin Jodha dalam hati
Setelah beramah tamah dengan ibu Hamida dan Salima, akhirnya mereka
berempat masuk ke kamar masing masing, kebetulan malam itu Salim tidur bersama
neneknya, mau tidak mau Jodha masuk ke kamar Jalal, dikamar yang bisa dikatakan
sebagai kamar standard, umumnya sebuah kamar, Jodha tidak melihat banyak pernak
pernik disana, yang ada hanya sebuah foto pernikahan mereka berdua yang
diletakkan Jalal didinding dekat pintu kamar, sehingga bila terbaring ditempat
tidur, foto tersebut bisa terlihat dengan jelas
“Cuma itu kenang kenangan darimu yang aku punyai selama ini” suara Jalal
tiba tiba saja menyadarkan lamunannya
“Iya aku tahu, semua foto kita aku bawa semua saat itu, yang aku pulangkan hanya
barang barang pribadimu ke bibi Maham Anga” ujar Jodha sambil menoleh kearah
Jalal, hingga mata mereka beradu satu sama lain, Jalal menggandengnya dan
memintanya untuk duduk diatas tempat tidur, Jodha menuruti kemauan Jalal
“Kamu sudah mengantuk?” Jodha mengangguk pelan “Lebih baik sekarang kita
tidur” Jalal kemudian menyibakkan selimut yang menutupi tempat tidurnya, Jodha
segera beranjak masuk kedalam selimut, Jalal menutupkan selimut itu ditubuh
Jodha lalu berjalan mengitari tempat tidur sambil mematikan lampu hingga hanya
penerangan sebuah lampu tidur berwarna biru dikamar itu hingga menimbulkan efek
romantis diseluruh ruangan, kemudian Jalal tidur disisi sebelah Jodha, entah
mengapa jantung Jodha berdegup sangat kencang, hal ini seperti pertama kali
ketika Jalal mulai mendekatinya dulu ketika mereka baru pertama kali bertemu,
kemudian Jodha memiringkan tubuhnya membelakangi Jalal dengan maksud agar Jalal
tidak melihat kegelisahan hatinya, namun Jalal yang sudah sangat rindu pada
Jodha langsung memeluknya dari belakang dan mulai menciumi leher Jodha yang
jenjang dan mencium aroma wangi rambut Jodha yang semakin membuatnya bergairah,
Jodha hanya terdiam sambil memejamkan matanya, entah mengapa tiba tiba bayangan
Rukayah dan Suryaban datang silih berganti dipelupuk matanya, kemudian Jodha
membalikkan tubuhnya hingga wajah Jalal berada tepat diatasnya, lama mereka
berdua saling memandang satu sama lain, Jalal tersenyum sambil membelai wajah
Jodha dengan lembut
“Jodha, aku sangat mencintaimu” ucapan Jalal membuat Jodha merinding tapi
rasanya malam ini Jodha belum bisa menjadi istri sepenuhnya bagi Jalal, Jodha
merasa gamang dengan perasaannya sendiri
“Jalal ... aku juga sangat mencintai kamu, tapi rasanya malam ini aku belum
siap melayani kamu sebagaimana layaknya seorang istri, apakah kamu bisa
mengerti?” Jalal yang tadi kaget mendengar ucapan Jodha, akhirnya mencoba
mengerti perasaan Jodha yang mungkin masih perlu beradaptasi lagi dengan
dirinya setelah sekian tahun lamanya mereka berpisah
“Aku bisa mengerti, aku tahu kalau aku tidak boleh memaksakan keinginanku,
aku akan menunggu, Jodha ... sampai kamu siap” ujar Jalal sambil mencium
kening, kedua mata Jodha, pipi dan bibir tapi Jodha tidak bereaksi apa apa,
hanya diam seribu bahasa sambil memejamkan matanya
“Lebih baik sekarang kita tidur, kamu pasti lelah sekali” Jalal kemudian
merebahkan tubuhnya disamping Jodha, Jodha hanya bisa tetap diam dan tidak
berkata apa apa
“Kamu tidak marah, Jalal? Maafkan aku” ujar Jodha sambil menoleh kearah
Jalal, Jalal hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata “Selamat malam,
tidurlah” Jodha hanya bisa tersenyum masam mendengar ucapan Jalal .
“Yaaaa Tuhan, apa yang telah aku lakukan tadi, aku telah menolak suamiku
sendiri, maafkan aku ya Allah” bathin Jodha dalam hati
kemudian memiringkan kembali tubuhnya membelakangi Jalal yang sudah terpejam.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~