Setelah selesai mandi dan mencukur jambangnya, Jalal segera keluar dari
kamar mandi, begitu keluar dari pintu kamar mandi rupanya Salim telah berdiri
disana menatapnya dengan wajah polosnya, ternyata selama Jalal berada didalam
kamar mandi, Salim telah menungguinya sedari tadi didepan kamar mandi,
menunggui sosok yang selama ini dirindukannya, sosok yang selama ini selalu
menjadi pertanyaannya, figur seorang ayah yang sangat diinginkannya seperti
ayah teman temannya yang sering dilihatnya bila dirinya main kerumah teman
temannya, lama Salim menatap Jalal yang kali ini penampilannya telah berubah
sementara itu Jalal menatap Salim dengan mata berkaca kaca, Jalal benar benar
tidak menyangka kalau Jodha ternyata telah mengandung anaknya ketika dia
mengalami kecelakaan “Papa Jalal” Salim langsung menghambur kepelukan Jalal,
Jalal langsung duduk bersimpuh dan memeluk Salim erat, diciuminya anak semata
wayangnya itu, Jalal sangat bahagia karena akhirnya Salim bisa menerimanya setelah
Jalal merubah penampilannya seperti Jalal yang dulu yang persis seperti difoto
yang sering Jodha tunjukkan ke Salim
“Salim ... papa sayang sekali sama kamu,
sayang” Jalal terus menerus menghujani Salim dengan ciuman “Papa Jalal kemana
saja ? Kenapa papa nggak pulang pulang ?” sesaat Jalal tertegun tapi akhirnya
sadar kalau mungkin Jodha telah membuat sebuah cerita tentang dirinya ke Salim
“Papa harus bekerja, sayang ... jadi papa nggak bisa menemani Salim dan mama
setiap saat”, “Papa Jalal ...” Jalal segera memotong ucapan Salim “Panggil papa
saja sayang, nggak usah pake papa Jalal, Salim bisa ?” Salim mengangguk sambil
mengusap airmata yang membahasi pipi Jalal yang tirus “Papa ... menangis ...
seperti mama ...” Jalal tersenyum sambil menyeka airmatanya yang tersisa “Mama
suka menangis ?” Salim mengangguk dengan wajahnya yang polos “Salim sayang sama
mama ?” Salim kembali mengangguk “Apa mama juga suka marah ?”, “Kadang kadang”,
“Kalau mama marah biasanya karena apa ?”, “Salim nggak nurut sama mama” Jalal
tersenyum sambil membelai rambut merah Salim yang dibiarkan gondrong sehingga
mirip dirinya.
Dari kejauhan bu Meinawati terharu melihat keakraban Jalal dan Salim
“Biasanya kalau mama marah, Salim biasanya ngapain ?”, “Salim cium pipi mama”
bu Meinawati segera menghampiri mereka “Salim sudah nggak takut kan sama papa
?” Salim menggelengkan kepalanya sambil menatap kembali wajah Jalal dengan
tatapan matanya yang polos “Ya udah kalau begitu gimana kalau kita sarapan dulu
? Shivani panggil kakakmu untuk sarapan”, “Biar saya saja, bu ... biar saya
yang memanggilnya” ujar Jalal sambil berdiri memohon ke bu Meinawati, bu
Meinawati menghela nafas cukup dalam “Baiklah, memang lebih baik kalian
berbaikan dulu, Salim antar papamu kekamar mama ya ?” Salim langsung menganggukkan
kepalanya sambil menggandeng tangan Jalal dengan tangan mungilnya, Jalal
mengikutinya dibelakang. Sesampai dikamar Jodha, saat itu kamar Jodha tertutup,
Salim segera membukanya dengan berjinjit sambil memegangi handle pintu,
pintupun terbuka, Salim segera masuk kekamar Jodha sementara Jalal masih berada
diluar pintu, Jodha yang sedang terbaring miring segera bangun begitu melihat
anaknya masuk ke kamarnya “Ada apa sayang ?”, “Mama kenapa menangis ?” Jodha
segera menyeka pipinya yang basah “Mama nggak menangis kok, mama nggak papa ...
Salim sudah sarapan ?” Salim menggelengkan kepalanya sambil menunjuk Jalal yang
masih berada diluar pintu kamar “Ada apa sayang ?”, “Papa mau ketemu mama” ujar
Salim dengan wajah polosnya.
Jalal mulai memasuki kamar Jodha, Jodha jadi salah tingkah begitu Jalal
berada didepannya “Salim, lebih baik Salim sama nenek dulu yuuuk ... biar papa
ngobrol dengan mama dulu ya” ibu Meinawati yang menyusul Salim ke kamar Jodha
segera mengajak Salim untuk keluar, Salim menurut mengikuti neneknya keluar
dari kamar Jodha dan Jalal segera masuk kekamar Jodha dan menutup pintunya
rapat, sementara Jodha masih terduduk ditempat tidurnya “Hai ...” Jalal menyapa
Jodha dengan sapaan khasnya “Hai ...” Jodha menjawab lemah, Jalal segera duduk
disebelah Jodha “Ibu sudah menceritakan semuanya ke aku”, “Aku sudah tahu”
jawab Jodha singkat “Kalau ternyata selama ini kamu tidak bersalah, kenapa
setiap bertemu denganku kamu selalu menghindar ?” Jodha menatap wajah Jalal
dengan tatapan yang tajam “Aku masih terikat kontrak untuk menghindari kamu,
Jalal ... kamu nggak tahu kan apa yang aku alami selama 4 tahun ini, bagaimana
aku mengandung anakmu dan menjalani kehidupanku tanpa kamu, kamu nggak tahu kan
?” tangis Jodha pecah, Jalal segera merengkuhnya dalam pelukkannya, Jodha
memukuli tubuh Jalal, “Aku tahu, aku
tahu, Jodha, aku bisa merasakannya, aku bisa merasakannya” ujar Jalal sambil
terus memeluk Jodha dan ikutan menangis “Lagian buat apa sih kamu mencari aku ?
Buat apa ?” tangis Jodha semakin melengking “Karena kamu masih istriku, Jodha
... selama ini aku nggak pernah percaya pada omongan bibi Maham Anga, memang
aku sempat berfikir seperti yang dikatakan oleh bibi Maham Anga tapi aku yakin
kamu itu tidak seperti yang dikatakan oleh bibi Maham Anga, untuk itulah aku
mencari kamu, aku ingin jawaban dari kamu” Jalal mencoba menenangkan Jodha
“Kalau kamu mencari aku selama ini lalu kenapa kamu merencanakan untuk menikahi
Rukayah ? Kamu akan menikahinya kan ?” Jodha berusaha mencari kebenaran dimata Jalal.
Jalal melepaskan pelukkannya sambil menghembuskan nafas panjang “Ceritanya
panjang, Jodha ... pada intinya, selama aku dalam masa terapi setelah siuman,
Rukayahlah yang merawat aku, aku ... aku memang berhutang budi padanya, oleh
karena itulah bibi Maham Anga menyuruh aku untuk menikahinya, Jodha” Jalal
menatap Jodha dengan pandangan haru dengan matanya yang berkaca kaca “Aku minta
maaf, Jodha ... aku tidak bisa berbuat apa apa, aku sudah berjanji padanya
untuk menikahinya, sebenarnya berat bagiku untuk melakukan ini, tapi aku sudah
berjanji padanya, tapi percayalah, Jodha ... aku tidak mencintai Rukayah, aku
hanya mencintai kamu, apalagi saat ini ada Salim, aku sangat menyayangi kalian
berdua, tidak ada yang lain selain kalian berdua, tapi ...” tiba tiba Jalal
menghentikan ucapannya “Jodha, apakah aku boleh menikahinya ?” cukup lama
mereka terdiam dengan fikiran mereka masing masing, Jalal merasa salah tingkah
didepan Jodha.
Sementara itu dirumah sakit, Rukayah telah dipindah ke kamar, keluarga Rukayah
dan keluarga Jalal telah datang kesana, ibu Hamida, Salima dan kedua orang tua
Rukayah telah menemani Rukayah ketika mulai siuman “Rukayah ...” Rukayah
menatap wajah wajah yang tidak asing baginya yang berada didepannya kali ini
“Papa ... Mama ...” kedua orang tua Rukayah langsung memeluk anak semata wayang
mereka “Kamu yang sabar yaa ...”, “Mama ... aku nggak punya kaki, mama ...
bagaimana aku bisa berjalan ? Bagaimana aku bisa, ma ?” Rukayah terus menangis
meratapi kedua kakinya yang hilang “Sabar, Rukayah ... ikhlas” ibu Hamida ikut
menimpali “Lalu dimana Jalal, Rukayah ?” kali ini Salima yang ikut angkat
bicara “Aku tidak tahu, kak ... semenjak aku siuman tadi, aku tidak melihat
Jalal, aku malah melihat Jodha” Rukayah keceplosan menyebut nama Jodha didepan
ibu Hamida dan Salim “Jodha ?” keduanya serentak menyebut nama Jodha “Jodha ada
dirumah sakit ini, Rukayah ?” Rukayah merasa bodoh sekali menyebut nama Jodha
didepan mereka. “Iyaa ibuu aku melihatnya, dia berdiri disampingku ketika aku
siuman, dia mengenakan pakaian perawat tapi aku samar samar meihatnya,
sepertinya antara iya dan tidak”, “Itu pasti Jodha, ibu ... coba kita tanya
pada resepsionis dirumah sakit ini, bu” ibu Hamida mengangguk membenarkan
perkataan Salima “Rukayah, ibu keluar dulu yaa ... nanti ibu kembali, mari
nyonya Abdullah, tuan ...” kedua orangtua Rukayah hanya mengangguk lemah
sementara Rukayah masih terus menangis meratapi nasibnya.
Dikamar Jodha, Jalal masih menatap Jodha dengan tatapan haru, mata mereka
berdua berkaca kaca, saling menatap satu sama lain “Aku mengijinkanmu menikahi
Rukayah, Jalal ... apalagi saat ini mungkin kondisi Rukayah sedang labil, kedua
kakinya diamputasi, dia pasti sangat membutuhkan dukunganmu” Jalal hanya bisa
mengangguk lemah “Aku merindukanmu, Jodha ... kamu tahu kan kalau aku sangat
merindukanmu ?” Jodha menutup mulut Jalal “Aku minta maaf, Jalal ... kalau aku
memutuskan untuk meninggalkanmu dulu, tapi ini semua aku lakukan agar kamu
sembuh, aku sadar cinta aja bagi kita berdua nggak cukup, selain cinta kita
juga membutuhkan hal hal yang lain dan jika saat itu aku tidak menyetujui
permintaan bibimu maka aku tidak tahu bagaimana nasibmu sekarang, mungkin kamu
...”, “Tidak, Jodha ! Kamu tidak boleh berfikiran seperti itu, aku yakin aku
akan sembuh” Jodha menggelengkan kepalanya “Tapi sampai kapan ? Sampai kapan
kamu akan sembuh, sementara aku tidak punya uang untuk mengobatimu, kalau
keluargamu tidak langsung mengambil alih pengobatanmu, aku tidak tahu bagaimana
keadaanmu, Jalal” Jodha memegangi wajah Jalal sambil menangis, Jalal langsung
merengkuhnya dalam pelukannya.
“Kenapa takdir tidak pernah berpihak pada kita, Jodha ... setelah 4 tahun
kita berpisah, akhirnya kita bertemu tapi kembali kita harus menghadapi takdir
yang tidak menyatukan kita, kapan semua ini berakhir, Jodha ?” Jalal masih
terus mendekap Jodha erat sambil menangis, Jodhapun menangis, kerinduannya
selama 4 tahun ini terbayar sudah dengan kehadiran Jalal didepannya “Kamu tahu
... tadi Salim sudah memanggil aku papa, anakku sudah memanggil aku papa,
Jodha” Jodha tertawa sambil menangis menatap Jalal “Dia memang telah menantikan
kehadiranmu sejak dulu, Jalal ... dia selalu bertanya, kapan kamu pulang ? Aku
tahu kalau dia sangat menginginkan sosok ayah seperti teman temannya” Jalal juga
tertawa sambil menangis, merekapun menangis sambil tertawa bersama, melepaskan
kerinduan mereka berdua selama ini.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~