Tak berapa lama kemudian angkot yang ditumpangi Jodha berhenti disebuah
gapura sebuah perumahan, dari kejauhan Jalal bisa melihat Jodha keluar dari
dalam angkot kemudian bergegas menggunakan becak “Pak, ikuti terus wanita itu!”
Jalal yakin kalau Jodha pasti akan pulang kerumahnya sendiri dengan begitu
Jalal bisa lelusa untuk menanyakan semuanya ke Jodha, menanyakan tentang
kepergiannya ketika dirinya sekarat.. Tak lama kemudian becak yang ditumpangi
Jodha berhenti disebuah rumah yang bergaya minimalis, Jalal segera menyuruh
sopir ojek itu berhenti “Stop disini saja, pak! Terima kasih, ini uangnya!”
Jalal segera menghampiri rumah yang Jodha masuki tadi, sesampainya disana Jalal
melihat Jodha baru saja hendak masuk kedalam pintu rumahnya “Jodha!”
Jalal
segera berteriak memanggil Jodha sebelum Jodha masuk kedalam rumah, sementara
dari tempatnya berdiri Jodha tau kalau yang memanggilnya adalah Jalal, rupanya
Jalal telah mengikutinya sejauh ini, Jodha segera menoleh, dilihatnya Jalal
sedang berdiri didepan pintu pagar “Kamu maunya apa sih?” Jodha segera menemui
Jalal “Apakah tidak lebih baik kalau kamu menyuruh aku masuk terlebih dahulu?
aku ingin membicarakan hal ini secara baik baik” Jalal memohon pada Jodha
sambil memegangi pagar halaman “Buat apa? Kita sudah tidak punya hubungan apa
apa lagi, Jalal ... hubungan kita telah berakhir” Jalal terperangah begitu
mendengar ucapan Jodha “Kenapa kamu sekarang berubah, Jodha? Apa yang salah
dari diriku? Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu meninggalkan aku? Meninggalkan
suamimu yang jelas jelas sedang sekarat berjuang antara hidup dan mati! Kenapa
kamu lakukan itu, Jodha! Jawab! Aku butuh jawaban itu sekarang!” tanpa sadar
suara Jalal melengking tinggi, membuat Jodha sedikit merinding mendengarnya.
Tepat pada saat itu pintu rumah terbuka, ibu Meinawati yang mendengar
teriakan Jalal dari dalam segera menghambur keluar, dilihatnya menantunya
sedang berdiri didepan pagar sambil memegangi pagar sementara Jodha berdiri
didepannya “Yaaa Tuhan, Jalal bisa sampai disini? Bagaimana bisa?” ibu
Meinawati sesaat tertegun melihat kehadiran Jalal dirumahnya pagi itu “Lebih
baik kamu pergi, Jalal! Tidak ada gunanya kamu berada disini” Jodha tetap
bersikeras mengusir Jalal “Aku tidak akan pergi! Aku butuh jawaban, Jodha!”
Jalal juga tetap bersikeras tidak bergeser dari tempatnya “Mamaaaaa!” tiba tiba
Salim menyeruak keluar dari belakang ibu Meinawati berlari menuju ke Jodha,
Jodha langsung panik begitu Salim menggelanyut manja dikakinya, sedangkan Jalal
terperangah tidak percaya melihat Salim “Saliiiim, ayoo Salim masuk dulu, mama
sedang ada tamu, Salim sama nenek dulu ya” ibu Meinawati segera menggeret Salim
untuk melepaskan genggamannya ditubuh Jodha tapi Salim malah berputar putar menghindari
neneknya “Nggak mau Salim nggak mau, Salim mau sama mama, Salim mau sama mama”
Salim terus memegangi kaki Jodha “Salim, Salim anak pintar kan ... ayo nak sama
nenek dulu yuuuk” Salim berontak ketika neneknya berhasil menggeretnya masuk
kedalam rumah “Salim mau sama mama, Salim mau sama mama, nenek” Jodha hanya
terdiam membisu, dirinya serasa dipaku ditempatnya berdiri, tubuhnya terasa
kaku tidak bisa bergerak kemana mana “Kalau anakku laki laki akan kuberi dia
nama Salim” Jalal teringat ucapannya dulu ketika berandai andai memberikan
nama untuk anak mereka bersama Jodha “Salim?” akhirnya Jalal mengucapkan
sepatah kata “Ituuu Salim ... anakku, Jodha?” mata Jodha berkaca kaca.
Jodha tidak bisa menjawabnya, Jodha malah berbalik dan masuk kedalam rumah,
ibu Meinawati melihat Jodha berlari menuju ke kamarnya, ibu Meinawati bingung
namun akhirnya diberanikannya keluar menemui Jalal “Masuklah, Jalal ... tidak
baik kalau berada diluar terus” ibu Meinawati segera membuka pintu gerbang
untuk Jalal, Jalal sangat senang mendapat sambutan dari ibu mertuanya ini
“Terima kasih, ibu ... kedatangan saya kesini tidak ingin membuat keributan”
ibu Meinawati menganggukkan kepalanya, dia tahu maksud Jalal dan segera
menggandeng lengan menantunya ini masuk kedalam rumah “Masuklah ...” Jalal
segera memasuki rumah Jodha, dilihatnya disana disebrang ruang tamu Salim
sedang bermain dengan mainan legonya sambil bercerita seorang diri, sementara
Shivani adik Jodha sedang asyik menonton televisi sambil terbaring, dari ruang
tamu, Jalal mencoba mencari sebuah jawaban siapa tahu dirinya bisa melihat ada
foto pernikahan Jodha dengan laki laki lain, tapi tidak ada foto pernikahan
didinding manapun, yang ada hanya foto foto keluarga Jodha atau foto Salim dan
Jodha “Duduklah” bu Meinawati meminta Jalal untuk duduk, lama mereka saling
terdiam dengan fikiran mereka masing masing, Jalal masih mencoba merangkai
cerita yang terpisah selama 4 tahun lamanya.
“Kapan Salim lahir, bu?” tiba tiba Jalal kembali angkat bicara, ibu
Meinawati sesaat tercekat mendengar pertanyaan Jalal, disekanya airmata yang
mengalir dipipinya yang mulai renta, kerut kerutan itu sudah terlihat disana,
kerutan yang mengambarkan garis kehidupan yang begitu keras yang harus
dijalaninya selama ini “Salim lahir tanggal 19 Oktober 4 tahun yang lalu” Jalal
tertegun, diingatnya ucapan ibunya dirumah sakit Mount Elizabeth Singapura
ketika dirinya baru saja terbangun dari tidur komanya yang panjang “Tanggal
berapa hari ini, bu?”, “Sekarang tanggal 19 Oktober, Jalal” Jalal segera
memandang kearah Salim yang masih asyik bermain “Empat tahun yang lalu, bu?”
Jalal mencoba mencari kepastian dari ibu Meinawati, ibu Meinawati hanya
mengangguk “Salim anakku, bu? Apakah benar Salim anakku?”, “Ceritanya panjang,
Jalal ...” ibu Meinawati mulai membuka diri “Aku akan mendengarkannya, bu ...
selama 4 tahun ini aku mencari Jodha, aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi
pada diri Jodha, aku tidak percaya Jodha meninggalkan aku begitu saja, aku
ingin tahu ada apa, bu? Aku butuh Jawabannya?” ibu Meinawati memandang Jalal
dengan penuh haru dan tak butuh waktu lama akhirnya cerita itu meluncur dari
bibirnya, cerita yang selama ini Jalal nantikan, cerita yang selama ini
membuatnya selalu bermimpi tentang Jodha dan seorang anak kecil.
“Jadi benar Salim adalah anakku, bu?” bu Meinawati mengangguk mantap
setelah mengakhiri ceritanya “Salim ...” bu Meinawati memanggil Salim agar
mendekat ke mereka, Salimpun menurut “Salim, Salim tahu siapa om ini?” cukup
lama Salim memperhatikan raut wajah Jalal yang masih sangat asing baginya,
dengan rambut gondrong, kumis dan jambangnya yang begitu lebat, Salim merasa
takut melihat Jalal, Salim malah berlindung dibalik tubuh neneknya “Kenapa
sayang? Jangan takut, sini ... dekat papa, ini aku papamu, nak?” ujar Jalal
dengan mata mata berkaca kaca memandang haru kearah Salim, ingin segera
dipeluknya anaknya itu, anak yang selama ini diinginkannya, namun Salim malah
semakin berlindung dibalik tubuh neneknya, Salim merasa ragu dan takut karena
dalam ingatannya papa Jalalnya tidak begitu menakutkan seperti yang didepannya
kali ini “Salim, ayooo sini ... Ini papa Jalal, papanya Salim, Salim ingat foto
yang ditunjukkan mama?” bu Meinawati berusaha meyakinkan Salim “Papa Jalal
nggak seperti itu! Salim takut, nenek” Salim bergegas berlindung dibalik tubuh
neneknya kembali sambil sekali sekali mengintip melihat Jalal, Jalal mencoba
tersenyum tapi Salim tetap takut “Mungkin dalam bayangannya, papa Jalalnya
tidak seperti ini, Jalal ... fotomu yang biasa Jodha tunjukkan padanya itu
tidak berjambang seperti kamu, makanya Salim takut” Jalal menyadari bahwa
dirinya saat ini berjambang dan bau karena sejak semalam dirinya belum mandi
“Bolehkah aku menumpang mandi, bu? Mungkin ada baiknya kalau aku membersihkan
diriku dulu agar Salim tidak takut lagi padaku” ibu Meinawati langsung
mengangguk “Ya lebih baik begitu, Jalal ... Lebih baik kamu mandi, gantilah
bajumu juga, nanti aku ambilkan kaos Jodha dan ada baiknya kalau kamu mencukur
jambangmu” Jalal mengangguk menuruti permintaan bu Meinawati, tak lama kemudian
Jalal sudah masuk kedalam kamar mandi dilantai bawah.
Sementara itu dikamar Jodha, Jodha masih termenung didalam kamar, dari atas
Jodha bisa mendengar ibunya menceritakan semuanya ke Jalal “Dia sudah tahu
sekarang, yaaaa Tuhan” bathin Jodha dalam hati, tak lama kemudian ibu
Meinawati masuk ke kamar Jodha untuk mengambil kaos untuk Jalal “Kenapa ibu
menceritakannya padanya, bu?” Jodha segera angkat bicara ketika ibunya sedang
membuka lemari “Dia berhak mengetahuinya, Jodha ... dia itu tidak tahu apa apa,
Jalal tidak bersalah, kamu tidak bisa menghukumnya dengan cara seperti ini” ibu
Meinawati berusaha menyadarkan Jodha akan sikapnya ke Jalal, dibelainya rambut
Jodha perlahan sementara Jodha hanya bisa diam sambil membenamkan wajahnya
kedalam kedua lututnya “Bagaimanapun juga dia itu suamimu, dia masih suamimu
dan ayah anakmu, Salim” Jodha menoleh kearah ibunya “Tapi kami sudah bercerai
ibu!” ibu Meinawati menggelengkan kepalanya “Perceraian kalian tidak sah, tanpa
sepengetahuan dari kedua belah pihak baik pihak istri maupun pihak suami, itu
namanya bukan perceraian Jodha, surat cerai yang dibuat oleh bibi Maham Anga
itu tidak bisa dibuktikan keabsahannya, kalian berdua ini masih suami istri”
Jodha hanya diam saja mendengarkan ucapan ibunya “Bersikaplah baik pada
suamimu, Jodha ... surgamu ada padanya dan dia selama ini selama 4 tahun ini
dia telah mencarimu kemana mana, dia tidak pernah berputus asa, dia terus
mencarimu, dia sangat yakin kalau kamu tidak seperti yang dikatakan bibi Maham
Anga” ibu Meinawati berusaha menyadarkan Jodha.
Jodha menyeka pipinya yang basah karena airmata “Selama 4 tahun ini dia
mencariku? Lalu apa hubungannya dengan Rukayah? Kenapa Rukayah tadi mengatakan
akan menikah dengan Jalal?” beribu pertanyaan memenuhi benak Jodha “Kamu
tahu, Jodha ... ikatan antara anakmu dan ayahnya itu sangat kuat” Jodha
mengernyitkan dahinya “Maksud ibu?”, “Tanggal kelahiran Salim dan tanggal
sadarnya Jalal dari komanya selama 7 bulan itu sama yaitu tanggal 19 Oktober”
Jodha tercengang mendengarnya.
Part Selanjutnya Klik Disini