“Rukayah!” bibi Maham Anga segera mencegat langkah Rukayah yang saat itu
hendak berlari ke arah pintu halaman “Rukayah! Tunggu!” kembali bibi Maham Anga
meneriaki nama Rukayah, namun Rukayah tidak menggubris teriakan bibi Maham
Anga, Rukayah terus berlari lari kecil menyusuri sepanjang halaman “Rukayah!
Tunggu!” akhirnya Rukayah menyerah, tanpa berbalik menatap kearah bibi Maham Anga,
Rukayah menghentikan langkahnya, bibi Maham Anga segera menyusul Rukayah “Rukayah,
ada apa? Kenapa kamu menangis? Kenapa kamu tidak berhenti begitu aku panggil
tadi?” Rukayah tidak menjawab pertanyaan bibi Maham Anga, Rukayah hanya menyeka
pipinya yang basah karena airmatanya “Rukayah, kamu bisa mengatakannya padaku,
ada apa? Kamu bertengkar dengan Jalal?”
Rukayah menggelengkan kepalanya “Dia menolakku, bi ... Jalal menolak aku,
bibi tahu kan bagaimana rasanya?” Rukayah menatap nanar kearah bibi Maham Anga.
Bibi Maham Anga menutup mulutnya dengan salah satu tangannya “Kamu sudah
mengungkapkan perasaanmu ke Jalal?” Rukayah hanya mengangguk lemah “Lalu dia
menolakmu?”
“Iyaaaa .... dalam hatinya hanya ada Jodha, Jodha, Jodha! Jadi semua yang
telah aku lakukan selama 3 tahun lebih ini nggak ada artinya apa apa buat dia,
bibi ... Bibi bisa kan merasakan perasaanku ini?”
“Aku bisa memahami perasaanmu, Rukayah” lama mereka berdua terdiam dalam
pikiran mereka masing masing “Tapi tenang saja, Rukayah .... aku akan coba
bicara dengan Jalal, aku yakin setelah Jalal bicara denganku, dia akan
menyadari betapa pentingnya diri kamu dalam kehidupannya, kamu tenang yaa ...
jangan menangis lagi, hapus air matamu”
Rukayah buru buru mengusap perlahan pipinya yang basah sambil tersenyum
datar “Aku pamit pulang dulu, bibi ...”
“Yaaa ... pulanglah, tenangkan dirimu” tak lama kemudian Rukayah segera
berlalu dari hadapan bibi Maham Anga.
Sore itu tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, bibi Maham Anga segera
menemui Jalal yang masih termenung di kursi taman belakang, bau tanah basah
yang tercium disana karena Birbal baru saja selesai menyiram bunga dan
pepohonan sangat menyejukkan hati, dengan bunga bunga yang beraneka warna
membuat pemandangan sore itu menjadi semakin indah dipandang mata “Selamat
sore, Jalal”
Jalal yang sedari tadi termenung dalam dunianya sendiri sontak segera
tersentak dengan kehadiran bibinya sore itu “Selamat sore, bibi ... bibi disini
rupanya?” b
Bibi Maham Anga langsung mengembangkan senyumnya yang lebar hingga
mempertontonkan deretan giginya yang putih “Yaaa ... aku disini, tadi aku lihat
kamu duduk disini, so aku ingin bergabung dengan kamu, boleh kan?”
Jalal hanya tersenyum masam sambil menganggukkan kepalanya “Silahkan ... “
Bergegas bibi Maham Anga duduk disebelah Jalal “Terima kasih” ujarnya
sambil mengehela nafas panjang “Pemandangan sore ini sungguh sangat indah,
bukan begitu, Jalal?” Jalal tidak menjawab dirinya kembali asyik dengan dunia
khayalannya “Jalal, kamu mendengarku?” bibi Maham Anga merasa terusik dengan
perilaku Jalal yang dingin dan acuh dengan kehadirannya “Jalal ...” Jalal
kembali tersadar ketika bibi Maham Anga menyentuh bahunya “Apa yang sedang kamu
pikirkan?” Jalal hanya menggeleng lemah .
“Aku tahu, saat ini kamu pasti sangat bahagia kan karena kamu sudah sembuh
99% dari kondisimu yang lemah tak berdaya beberapa tahun yang lalu, bibi juga
sangat bahagia, Jalal ... karena kamu bisa berjalan kembali, bisa melakukan
semua aktifitas yang kamu suka tanpa kendala kursi roda maupun kruk peyanggamu
itu” Jalal tetap diam saja sambil mendengarkan kata kata bibinya dengan seksama
“Tapi ingat Jalal, bagaimana kamu bisa berada pada saat ini, bagaimana kamu
bisa berdiri diatas dua kakimu sendiri itu bukan karena jerih payahmu sendiri,
tapi ada bantuan orang orang yang menyayangi kamu yang mendukung kesembuhanmu
100%” Jalal tetap terdiam sambil menghela nafas panjang “Orang orang itu adalah
keluargamu sendiri yang sangat menyayangi kamu dan tanpa bantuan mereka, kamu
tidak bisa seperti sekarang ini dan diantara orang orang itu ada juga Rukayah
yang telah membantumu dengan segala usahanya untuk mewujudkan kesembuhanmu”
Jalal segera menoleh kearah bibi Maham Anga, bibi Maham Anga memberikan
senyuman termanisnya “Kamu bisa mengerti apa maksud bibi?” Jalal hanya
menggelengkan kepalanya sambil terus memandangi bibinya “Aku harap kamu tidak
lupa akan bantuan orang orang disekitarmu, Jalal”
“Aku tidak mungkin melupakannya, bibi ... peranan mereka sangat besar dan
berarti buatku, aku sangat berterima kasih pada mereka, aku sadar aku bisa
seperti ini karena mereka, tanpa mereka, aku mungkin masih koma atau mungkin
sudah mati” Jalal akhirnya angkat bicara menanggapi ucapan bibinya.
“Stttt .... jangan bicara seperti itu, kami disini selalu mengupayakan yang
terbaik untuk kamu, Jalal” bibi Maham Anga mencoba mendekat kearah Jalal dan
mengambil tangan kiri Jalal dalam genggamannya “Ada satu hal yang ingin bibi
minta dari kamu, nak ...”
“Apa itu?” Jalal penasaran dengan permintaan bibinya.
“Aku harap kamu bukanlah kacang yang lupa sama kulitnya, aku ingin kamu
tetap mengingat orang orang yang telah begitu berjasa padamu termasuk pada
Rukayah”
“Maksud, bibi?”
Sesaat bibi Maham Anga menghela nafas panjang sambil terus menggenggam
tangan Jalal “Berterima kasihlah padanya atas semua yang telah dia lakukan
selama ini padamu dengan menikahinya, bibi rasa itu balasan yang sepadan untuk
Rukayah”
Jalal segera menarik tangannya dari genggaman tangan bibi Maham Anga “Menikah?”
Bibi Maham menganggukkan kepalanya masih dengan senyumnya yang mengembang “Apa
salahnya, Jalal? Kamu single dia single so what?”
Jalal menggelengkan kepalanya “Bibi, apakah bibi lupa kalau aku belum
bercerai dengan Jodha?”
“Jalal, sayang ... kamu sudah tiga tahun lebih berpisah dari dia, itu
artinya kamu sudah bercerai dengan dia, secara agama kalian sudah bercerai,
kalau secara hukum, bibi akan mengusahakannya, bibi punya banyak kenalan orang hukum,
mereka bisa dengan mudah membuatkan surat cerai untukmu”
Jalal menatap bibinya dengan tatapan tidak percaya “Aku tidak bisa semudah
itu menceraikan Jodha, bibi”
“Sudahlah, Jalal ... Bibi tidak minta jawabannya sekarang, kamu bisa
memikirkan hal ini terlebih dulu, okay? Santai saja ... tidak usah terburu
buru, kalau begitu, bibi tinggal dulu yaaa” bibi Maham Anga segera meninggalkan
Jalal yang masih berfikir keras tentang permintaan bibinya.
Sementara itu di Jogjakarta ...
“Jodha, sampai kapan sih kamu bisa menerima lamaran dokter Suryaban?” malam
itu ketika Jodha sedang makan malam di kantin rumah sakit bersama Moti, Moti
mencoba mengorek lebih jauh tentang isi hati Jodha ke dokter Suryaban.
“Aku belum tau, Moti ... aku belum bisa memberikan jawaban yang pasti untuk
saat ini, bisa nggak sih nggak tanya itu mulu?”
Moti tersenyum sambil melirik ke arah Jodha “Yaaa maaf, sebab kalau aku
lihat, kalian ini sudah berteman selama 3 tahun, walaupun selama ini kalian
nggak pacaran, tapi dia mencintai kamu secara tulus, dia juga menyayangi Salim
anakmu, dia bahkan mau menunggu kamu sampai kapanpun, menurutku sih ... kamu
mau cari laki laki yang gimana lagi kalau nggak seperti dia? Anakmu itu butuh
figur seorang ayah, Jodha ... kamu sendiri bilang kan kalau Salim sudah
menganggap dokter Surya seperti ayahnya sendiri, bahkan sudah memanggil dokter
Surya dengan sebutan papa, coba? Kurang apalagi, Jo?”
Jodha tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya “Kamu ini bisa saja, Mo”
sebenarnya dari dalam hati Jodha yang paling dalam, Jodha gelisah dan sedih
dengan kondisinya saat ini sebagai seorang single parent, disamping pertanyaan
pertanyaan kritis dari anak semata wayangnya, tak jarang ibunya juga sering
menanyakan hal yang sama seperti Moti, kenapa dirinya tidak segera menerima
lamaran dokter Suryaban?
Jodha kadang sedih ketika tiba tiba saja Salim bertanya “Mama, kenapa
papa Surya pulang? Papa Surya kok nggak bobok disini?” Jodha kadang bingung
harus memberikan jawaban apa yang harus diberikannya untuk anaknya yang baru
berusia 3,5 tahun ini atau juga ketika tiba tiba Salim mendekat kearahnya dan
mengusap pipinya yang basah ketika malam malam Salim memergoki Jodha sedang
menangis “Mama, kenapa mama menangis? Kan ada Salim disini” Jodha kadang
tidak berkutik bila didepan Salim, apalagi ketika Salim bilang “Mama nggak
boleh menangis lagi, Salim janji Salim nggak akan nakal lagi biar mama nggak
menangis” kalau Salim sudah bilang seperti itu, Jodha tidak bisa berbuat
apa apa, cuma bisa memeluknya dan menghujaninya dengan ciuman, Salim memang
benar benar obat yang paling mujarab untuk Jodha, Salim selalu saja bisa
membuat Jodha tertawa dan tersenyum, semua ulahnya selalu membuat Jodha takjub,
apalagi pertanyaan pertanyaan kritisnya yang diwariskan Jalal pada Salim,
sering membuat Jodha terharu, Salim memang benar benar fotokopi Jalal, mulai
dari rambut, wajah, kulit hingga sifatnyapun persis seperti Jalal, mengingat
Jalal, Jodha sering berfikir “Apakah Jalal bisa bertemu Salim?”
pertanyaan itulah yang sering terbersit dalam benak Jodha.