By Sally Diandra..... “Surat apa itu Jodha?” sesaat Jodha
terdiam setelah membaca surat yang dikirimkan oleh pak Birbal, sementara ibu
Meinawati semakin penasaran dengan surat tersebut “Ada apa, Jodha? Apa isinya?”
Jodha menoleh ke arah ibunya dengan mata berkaca kaca
“Ini surat ... surat ...” Jodha merasa tidak bisa meneruskan kata katanya
“Surat apa, Jodha? Surat apa? Apa isinya? Bilang sama ibu, Jodha! Surat apa itu?”
nada suara ibu Meinawati sedikit meninggi sambil mengguncang lengan Jodha keras.
“Ini surat cerai, ibu!” Jodha ikut emosi dan menaikkan
nada suaranya.
ibu Meinawati seketika itu juga terperangah “Apa? Apa
kamu bilang?”
Jodha langsung terkulai lemas dan terduduk dikursi sambil
menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, Jodha menangis sejadi jadinya,
dadanya terasa sesak, hidupnya serasa terhenti sampai disini, Jodha merasa
sudah tidak punya harapan lagi untuk bertemu dengan Jalal, ibu Meinawati yang
sedari tadi terperangah tak percaya, segera mendekati Jodha dan diusapnya
lembut rambut Jodha. Jodha menoleh kearah ibunya dengan mata yang sembab
kemudian menghambur kepelukan ibunya. Ibu dan anak itu saling berpelukan dan
menangisi nasib yang tidak berpihak pada mereka.
“Bibi Maham Anga tidak bisa melakukan ini, Jodha ... dia
tidak bisa menceraikan kamu begitu saja”
Jodha menggelengkan kepala. “Tapi aku bisa apa, ibu?
Kalaupun aku bisa menang dipengadilan, apakah aku bisa memenangkan suamiku?
Nggak kan? Bibi Maham Anga bisa berbuat apa saja, ibu ... dia orang yang berkuasa
dan mempunyai pengaruh yang kuat, semuanya sangat mudah dia lakukan, ibu.”
“Tapi tindakannya ini sungguh sangat keterlaluan, Jodha.”
Jodha menggelengkan kepalanya, “Tidak, ibu ... aku sudah
membuat perjanjian dengan bibi Maham Anga dan kalau aku melanggar janji, ibu
tau kan apa konsekwensinya?”
Ibu Meinawati mengangguk anggukkan kepalanya, “Tapi tetap
tidak adil buat kamu Jodha.”
Jodha langsung memeluk ibu Meinawati erat, “Ibu sendiri
bilang kan? Jodha kamu harus kuat, Jodha kamu harus bisa ikhlas, iya kan?”
Jodha menyeka air mata yang membasahi pipi ibunya “Ibu, dengarkan aku, mulai
sekarang tidak ada air mata lagi, tidak ada acara nangis menangis lagi,
semuanya sudah berakhir, aku tidak ingin memikirkannya lagi, bu ... kita harus
tutup lembaran kita dulu, sekarang aku akan fokus untuk membesarkan cucu ibu
ini.” Jodha meletakkan tangan ibu Meinawati diperutnya “Dia masa depanku, bu
... dia adalah lembaran baru kita, berkat anak ini, aku masih bersemangat untuk
hidup, aku tidak ingin memberikannya kesedihan sejak dalam kandungan, aku ingin
memberikannya kebahagiaan agar dia senang dilahirkan didunia ini.”
Ibu Meinawati mengusap lembut wajah Jodha, “Cucu ibu
harus bahagia, Jodha ... dia tidak boleh tau apa yang terjadi pada kedua orang tuanya,
kalau perlu tidak usah kamu beritahu siapa ayahnya.”
Jodha menggelengkan kepalanya “Tidak, bu ... suatu saat
nanti, kelak kalau dia sudah besar, kalau dia sudah mengerti, aku akan tetap
mengatakan siapa ayahnya yang sebenarnya, bagaimanapun juga Jalal juga sangat
menginginkan anak ini, jadi dia harus tahu tapi tidak sekarang, suatu saat
nanti kalau aku sudah siap, aku akan menceritakan semuanya.” ibu Meinawati
setuju dengan rencana Jodha.
Waktu pun terus berlalu, tanpa terasa 4 bulan sudah Jalal
dalam keadaan koma, sedikit demi sedikit kondisi Jalal semakin hari semakin
menunjukkan adanya kemajuan, Jalal sudah bisa menanggapi instruksi sederhana
dari tim medis yang selalu mengujinya setiap waktu, ada saat saat singkat
kesadarannya dengan menunjukkan tanda tanda kecil kemajuan hingga menginjak
pada bulan ke enam, kondisi Jalal semakin membaik, walaupun dalam keadaan koma,
menurut dokter yang mengujinya Jalal sudah bisa mendengar suara disekitarnya
dan merespon saat disentuh, sungguh kemajuan yang sangat luar biasa.
Hingga akhirnya pada hari itu, ketika ibu Hamida ada
didekat Jalal, ibu Hamida menggenggam erat tangan Jalal, dibelainya perlahan
tangan anaknya yang kekar “Jalal, ibu tahu kamu sudah bisa mendengar, kamu
pasti tahu bahwa ibu ada disini, selalu ada disini untukmu juga saudara
saudaramu yang lain, semuanya menginginkan kamu sembuh, Jalal ... kapan kamu
akan bangun, nak? Kami semua merindukan kamu, merindukan keceriaan kamu,
merindukan cerita cerita lucumu, kamu tidak pernah kan membiarkan ibumu ini
menangis? Oleh karena itu bangunlah, Jalal ... kami semua menunggumu.” Ibu
Hamida terus menerus mengajak Jalal berbicara meskipun dalam keadaan koma,
sementara dari ujung mata Jalal mengalir setetes air mata yang membasahi
pelipisnya.
Sementara itu, enam bulan Jalan berada dalam kondisi
koma, kandungan Jodha sudah semakin membesar, saat ini usia kehamilannya sudah
7 bulan namun Jodha masih terus membantu ibunya dalam memasarkan produk
catering ibunya. Saat itu ibu Meinawati sudah membeli sebuah rumah kecil
disekitar rumah Moti berkat penjualan rumah mereka di Jakarta, mereka tidak
menumpang lagi dirumah Moti.
“Jodha, sudah kamu nggak usah capek capek, lebih baik
kamu istirahat dirumah saja, ini biar ibu yang mengerjakan, kamu dirumah saja,
nggak usah kemana mana, perut kamu sudah besar seperti itu”
Jodha menggelengkan kepalanya, “Aku nggak boleh manja,
ibu ... aku ingin mengajarkan pada si kecil untuk mandiri, nggak boleh manja
lagian aku juga masih kuat, aku nggak papa, bu ... nggak usah khawatir.”
Jodha tetap bersikeras ingin membantu ibunya dengan
memasarkan produk catering ibunya, seharian itu Jodha berkeliling dengan
motornya kesana kemari tanpa lelah hingga malam pun tiba, ketika maghbrib
datang Jodha baru pulang kerumah.
“Kamu sudah pulang, nak?”
Jodha menganggukkan kepalanya sambil duduk disofa dengan
kaki dijulurkannya kedepan.
“Capek ya? Nih ibu bikinin teh hangat, ayooo diminum
dulu, biarkan enakan”
Jodha segera menuruti permintaan ibunya “Aku nggak papa,
bu ... aku mandi dulu terus sholat.”
Ibu Meinawati mengangguk “Abis sholat kita makan bersama
ya, ibu sudah buat gudeg, mudah mudahan enak seperti gudeg langgananmu itu.”
“Apapun yang ibu masak, pasti enak kok! Aku mandi dulu ya.”
Jodha segera beringsut meninggalkan ibu Meinawati,
setelah selesai mandi dan berdandan, Jodha segera menunaikan sholat maghrib
namun begitu selesai sholat, tiba tiba perutnya terasa kram dan menegang sakit
sekali “Ibuuuuuuu!!!!!”
Jodha segera berteriak memanggil ibunya, ibu Meinawati
langsung datang tergopoh gopoh ke arah kamar Jodha, dilihatnya Jodha sedang
mengerang menahan sakit sambil dipegangi terus perutnya
“Jodha? Ada apa kamu, nak? Kamu kenapa?”
“Aku nggak tahu, bu ... Perutku rasanya sakit sekali,
sakiiiitt sekali, bu ... Seperti diperas peras dan kencang sekali.”
“Apa kamu mau melahirkan? Ini kan baru 7 bulan, Jodha”
“Aku nggak tahu, bu ... lebih baik bawa aku kerumah sakit
atau ke klinik atau kebidan, cepat ibuuuu, sakiit sekaliii perutku ini.”
“Iya iyaaa .... sebentar sebentar, Shivaniiiii!” ibu
Meinawati segera memanggil putri bungsunya.
“Ada apa, bu?”
“Shivani, segera cari taksi atau becak atau apalah
terserah kamu! kita harus segera membawa kakakmu kerumah sakit, cepat!”
“Hah? Kak Jodha mau melahirkan?”
“Sudah cepat! Sana! Ayoooo ...”
Shivani segera berlari keluar mencari taksi atau becak
dan tak lama kemudian Shivani sudah datang dengan sebuah becak dan segera masuk
kedalam rumah, saat itu Jodha dan ibu Meinawati ada sudah ada di ruang tamu
“Ibu! Ibu! Aku sudah dapat becaknya, buuu ... Itu becaknya ada didepan! Dia dia
tahu tempatnya bidan, bu.”
“Ayo ayo cepat! Ayooo Jodhaaa” ibu Meinawati segera
memapah Jodha dibantu oleh Shivani, tak lama kemudian Jodha dan ibu Meinawati
segera meninggalkan rumah menuju ke klinik bidan.
Tidak memakan waktu yang cukup lama, begitu Jodha sampai
di klinik bidan, sang bidan segera memeriksa kondisi kandungan Jodha “Ibu, ibu
ini sudah bukaan lima, bayinya sudah siap lahir.”
Jodha menganggukkan kepalanya, ibu Meinawati terus berada
disebelah Jodha, memberikan kekuatan dan dukungan untuk Jodha agar tenang,
hingga tak lama kemudian malam itu bersamaan dengan perjuangan antara hidup dan
mati, Jodha berhasil melahirkan seorang bayi mungil berjenis kelamin laki laki.
Sementara di Mount Elizabeth Hospital, Singapura ... Ibu
Hamida yang masih setia memegang tangan Jalal, tiba tiba merasakan genggaman
tangan Jalal yang begitu keras membalas genggaman ibu Hamida, ibu Hamida kaget
bercampur haru dan dilihatnya mata Jalal segera terbelalak membuka “Salima!
Salima! Adikmu adikmu! Jalal bangun, Salima! Cepat panggil dokter!”
Salima yang saat itu sedang santai menonton televisi
disofa segera bangkit dan berdiri lalu berlari kearah ibunya, dilihatnya Jalal
sudah membuka matanya dan menatap mereka berdua dengan kebingungan “Salima
cepat panggil dokter!”
Salima segera berlari keluar memanggil dokter dan
perawat, tak lama kemudian tim medis segera datang dan mengecek kondisi Jalal
“Amazing! Luar biasa! Anak ibu telah bangun dari tidur panjangnya, bu
...selamat!”
Ibu Hamida tersenyum senang melihat Jalal yang masih
dalam pandangan kebingungan.
Sementara di klinik bidan, ibu Meinawati juga tersenyum
senang begitu melihat seorang bayi mungil dalam pelukannya, cucu laki lakinya
ini adalah harapan terbesar bagi ibu Meinawati yang bisa membuat Jodha bahagia
mengarungi kehidupan selanjutnya tanpa adanya Jalal disisi mereka........ To be
continued-->Chapter 15 Klik Disini