By Sally Diandra..... “Aku dimana, ibu?” Jalal yang
kebingungan segera bertanya pada ibunya begitu semua alat alat yang menempel
diwajahnya dicopot. “Kamu ada dirumah sakit, sayang ... Apa yang kamu ingat
terakhir kali, Jalal?” ibu Hamida membelai lembut rambut anaknya, sementara
Jalal mencoba mencari cari seseorang melalui sorot matanya, dilihatnya orang
orang yang ada didepannya saat ini, semuanya asing bagi Jalal kecuali ibunya
dan Salima kakaknya. “Jodhaaa ... mana Jodha, ibu?” ibu Hamida dan Salima
saling berpandang pandangan, mereka tidak tahu harus berkata apa pada Jalal
“Jodha ada dirumah, Jalal ... Kamu tidak usah khawatir” Salima berusaha
menenangkan Jalal “Apa yang anda ingat terakhir kali, tuan Jalal?”, “Jalal, ini
tim dokter yang merawat kamu selama ini” ibu Hamida memperkenalkan tim medis
rumah sakit ke Jalal “Aku ingat ...” lama Jalal terdiam “Aku ingat Jodha, waktu
itu hujan, hujan deras, aku mau jemput dia ke rumah sakit, tiba tiba ada sebuah
truk didepanku, kemudian aku merasa diriku melayang di udara, setelah itu ... “
lama Jalal terdiam mencoba mengingat ingat “Aku tidak ingat lagi, dok”, “Okay
... It’s oke, tidak apa apa tuan Jalal tapi respon ingatan anda masih cukup
baik, tuan Jalal kalau begitu kami permisi dulu” tak lama kemudian tim dokter
tersebut pergi meninggalkan mereka.
Satu minggu setelah Jalal siuman dari tidur panjangnya
selama 6 bulan karena kecelakaan sepeda motor yang menimpanya, Jalal bersikeras
meminta pulang ke Indonesia namun karena kondisinya masih lemah maka Jalal
belum bisa rawat jalan sehingga begitu sampai di Indonesia, Jalal kembali masuk
ke rumah sakit namun bukan rumah sakit dimana dulu Jodha bekerja disana.
“Ibu, kenapa setelah aku berada di Jakarta, Jodha tidak
juga menemuiku? Jodha kemana, bu? Dia sudah tau kan kalau aku sudah pulang?
Kenapa dia tidak menemani aku? Ada apa dengan dia, ibu?” ibu Hamida hanya diam
sambil memalingkan mukanya kearah pintu keluar, Jalal penasaran dengan sikap
ibunya karena ibunya tidak pernah seperti ini “Ada apa, ibu? Apa ada yang tidak
beres? Jodha sakit?” Jalal terus menerus bertanya tentang keberadaan Jodha, ibu
Hamida hanya menggelengkan kepalanya sambil menangis “Jalal, saat ini lebih
baik kamu memikirkan kesehatanmu terlebih dulu, tidak usah berfikir yang lain
lain” bibi Maham Anga berupaya menjelaskan ke Jalal, Jalal mengernyitkan
dahinya “Bagaimana bibi bisa mengatakan aku berfikiran yang lain lain, Jodha
adalah istriku, bibi .... Aaaahh” tiba tiba Jalal mengerang kesakitan “Jalal,
kamu kenapa, kamu kenapa, nak?” Jalal memegangi kepalanya yang tiba tiba pusing
“Kepalaku pusing, bu ...”, “Sudah lebih baik kamu istirahat saja dulu, nanti
kalau kamu sudah enakan, kita ngobrol banyak soal Jodha, okay?” Jalal
menganggukkan kepalanya, kemudian memejamkan matanya, dalam hatinya berkecamuk
beribu macam pertanyaan tentang Jodha yang tiba tiba saja menghilang dari
sisinya.
Hingga akhirnya ketika Jalal sudah tidak tahan lagi
mencari tahu keberadaan Jodha, beberapa hari kemudian akhirnya ibu Hamida
menceritakan semua tentang menghilangnya Jodha “Itu tidak mungkin, ibu! Itu
tidak mungkin! Jodha tidak mungkin berbuat seperti itu!” Jalal tidak percaya
dengan cerita ibunya tentang Jodha “Tapi begitu kenyataannya Jalal, bibi
sendiri tidak mengerti” sesaat Jalal tidak percaya dengan ucapan bibinya “Bibi
tidak mengintimidasi dia?” bibi Maham Anga langsung membelalakkan matanya
“Jalal! Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?”, “Maham, bisa kecilkan suaramu?
Ini dirumah sakit dan lagi Jalal juga masih sakit, Maham”, “Maaf kak, aku
emosi, aku nggak terima kalau Jalal curiga sama aku, Jalal ... percaya pada
bibi, bibi tidak pernah mengintimidasi Jodha, bibi sendiri heran karena tiba
tiba saja dia menemui bibi dan mengembalikan tiket pesawat yang dibelikan oleh
Salima, dia bilang kalau dia tidak tahan melihat keadaanmu, dia merasa kalau
kamu tidak ada harapan untuk sembuh jadi rasanya percuma menunggu kamu, malah
dia bilang kalau kamu itu seperti mayat hidup, itu semua dia katakan sendiri,
Jalal ... dari mulutnya sendiri, tidak ada paksaan dari siapapun” bibi Maham
Anga menggelengkan kepalanya “Aku sendiri heran sama istrimu itu, kenapa dia
bisa berfikiran seperti itu” Jalal memperhatikan bibi Maham Anga dengan tatapan
tidak percaya, rasanya tidak mungkin Jodha melakukan semua ini “Ibu, kapan aku
bisa keluar? Aku ingin mencari Jodha”, “Tidak semudah itu Jalal, walaupun
kemauan kamu sangat kuat tapi kondisi fisikmu tidak mendukung, menurut dokter
kamu baru bisa keluar setelah kamu bisa berjalan, saat ini kamu mengangkat
kepalamu saja belum bisa, kamu masih lemah, Jalal” Jalal mengepalkan tangannya,
perasaan marah, sedih, kesal bercampur menjadi satu, Jalal sadar kalau dirinya
masih sangatlah lemas, walaupun keinginannya kuat untuk mencari Jodha namun apa
daya tubuhnya tidak mendukungnya untuk melangkah, akhirnya Jalal hanya bisa
pasrah sambil sedikit demi sedikit Jalal menjalani fisioterapi.
Pagi itu ketika Rukayah datang untuk menjenguk Jalal,
bibi Maham Anga yang baru saja keluar dari kamar Jalal segera menggeret Rukayah
ke suatu tempat “Rukayah, bisa kita ngobrol empat mata?”, “Bisa, ada apa bibi?”,
“Lebih baik kita ngobrol di kantin saja, ayoook” Rukayah menuruti permintaan
bibi Maham Anga, sesampainya disana setelah memesan makanan, bibi Maham Anga
segera to the point ke Rukayah “Rukayah, apakah kamu mencintai Jalal?” sesaat
Rukayah tersedak begitu mendengar pertanyaan bibi Maham Anga “Kenapa bibi bisa
bertanya seperti itu?”, “Aku bisa melihatnya dimatamu, apakah benar
penglihatanku ini, Rukayah?” Rukayah hanya tersenyum malu malu “Bibi benar, aku
memang mencintai Jalal, aku bahkan pernah bilang ke Jodha kalau saja ada laki
laki seperti Jalal lagi, aku ingin memilikinya”, “Mengapa harus menunggu ada
laki laki lain yang seperti Jalal? Kalau Jalal sendiri bisa kamu dapatkan?”
Rukayah mengernyitkan dahinya “Maksud bibi?”, “Rukayah, kamu ini cantik, kamu
tidak kalah menariknya dengan Jodha, aku yakin kalau kamu mau berusaha untuk
mendekati Jalal, kamu pasti bisa mendapatkan Jalal! Apalagi saat ini Jalal
sedang rapuh, jiwanya sedang gersang karena ditinggal oleh Jodha”, “Tapi bibi
... bukankah Jodha sebenarnya pernah berniat pergi ke Singapura untuk menemui
Jalal?”, “Rukayah! Aku mohon dengan amat sangat, kalau kamu ingin mendapatkan
Jalal, kamu tidak boleh buka suara soal Jodha didepan Jalal! berita apapun
tentang Jodha, tidak boleh kamu katakan ke Jalal! Kamu mengerti? Dan tidak ada
pertanyaan apapun soal ini! Aku harap kamu bisa mengerti, Rukayah” Rukayah
bergidik begitu mendengar suara bibi Maham Anga meninggi, sesaat kemudian
Rukayah langsung menganggukkan kepalanya “Bagus! Mulai sekarang kamu harus
intens mendekati Jalal, kamu harus memberikan perhatian yang berlebih pada
Jalal, buatlah Jalal nyaman bersamamu, aku akan membantu mendekatkan kamu
dengan Jalal, kamu setuju?” Rukayah tersenyum senang “Iya bibi aku setuju, aku
setuju” Rukayah sangat senang dengan rencana bibi Maham Anga karena dengan
begitu dirinya bisa segera memiliki Jalal tanpa ada gangguan dari Jodha,
Rukayah sudah bertekad akan merebut hati Jalal dari Jodha, Rukayah tidak peduli
meskipun Jodha adalah teman baiknya selama ini. Bagi Rukayah, memiliki Jalal
adalah impiannya selama ini, apalagi saat ini Jodha sudah pergi meninggalkan
Jalal jadi sah sah saja buatnya untuk mendekati Jalal.
“Apa kabar, Jalal? Kamu sudah baikkan?” hari itu setelah
ngobrol banyak dengan bibi Maham Anga, Rukayah segera menjenguk Jalal “Aku baik
baik saja, Rukayah ... cuma aku masih belum bisa berjalan seperti sedia kala”,
“Iyaaa ... kamu kan baru siuman dari koma,
apalagi komamu cukup lama, kurang lebih 6 bulan, proses penyembuhannya cukup
lama, Jalal”, “Sampai berapa lama?”, “Mungkin bisa jadi 3 - 4 tahun”, “Tiga
empat tahun?! Lama sekali? Apakah selama itu aku harus berada di rumah sakit?”,
“Bukan begitu, untuk proses penyembuhanmu sampai sembuh seperti semula butuh
waktu tiga hingga empat tahun tapi kalau dirumah sakit mungkin 1 atau 2 bulan
kamu bisa pulang, setelah itu kamu bisa rawat jalan, memang begitulah
prosesnya, Jalal ... walaupun kamu merasa sehat dan baik baik saja tapi tubuhmu
tidak, kamu baru bisa berjalan sendiri diatas kedua kakimu setelah tiga atau 4
tahun nanti, tapi tidak usah khawatir aku akan membantumu melalui masa
fisioterapimu itu”
Lama Jalal terdiam menerawang kejauhan, pikirannya melayang
membayangkan senyum Jodha yang selalu menghiasi hari harinya selama ini “Tersenyumlah
terus ... Agar aku bisa mengingatmu meskipun aku telah jauh darimu” Jalal
masih teringat kata katanya ketika melihat senyuman dibibir mungil Jodha tak
terasa Jalal bergumam “Jodhaaa ...” Rukayah yang mendengarnya pura pura tidak
mendengar “Ada apa, Jalal? Barusan kamu bilang apa?” Jalal tersadar dari
lamunannya “Seandainya Jodha ada disini, dia pasti akan merawat aku, kamu tahu
Rukayah, sebelum aku terbangun dari komaku, aku masih ingat dengan jelas dalam
mimpi bawah sadarku, ketika itu aku memasuki sebuah ruangan yang serba putih
dan tidak berujung, aku tidak tahu sampai dimana ujung ruangan tersebut, aku
terus melangkah, disana tidak ada siapa siapa, semuanya seperti berkabut, aku
terus berjalan, aku merasa cukup lama aku berjalan hingga akhirnya aku
menemukan sebuah pintu di ruangan itu, ketika aku berlari kearah pintu
tersebut, aku bisa melihat dengan jelas sebuah taman yang indah, banyak bunga
bunga beraneka warna, aku bisa mencium baunya yang harum sekali, juga banyak
burung burung beterbangan di langit dan hewan hewan jinak ada semua disana,
semuanya indah dalam penglihatanku, hingga aku sampai disebuah air terjun
dengan sebuah kolam dibawahnya, disana aku lihat ada seorang perempuan dan
seorang anak kecil, aku pikir itu pasti anaknya, mereka sedang bermain air
dikolam itu, ketika aku mencoba memanggil mereka, tiba tiba mereka menoleh ke
arahku dan kamu tahu Rukayah siapa mereka sebenarnya? Perempuan itu adalah
Jodha tapi siapa anak kecil itu? Aku tidak tahu ... Tiba tiba aku terbangun
dari mimpiku, apakah kamu tahu arti mimpiku ini?” sesaat Rukayah tertegun lalu
segera menggelengkan kepalanya “Mimpi itu hanya bunga tidur, Jalal ... Kamu
tidak usah memikirkannya karena pada kenyataannya Jodha saat ini tidak ada
disampingmu, kamu harus bisa menerima kenyataan ini”, “Tapi aku merasa ada
sesuatu dengan anak kecil itu, aku merasa cukup dekat dengannya, sepertinya aku
kenal dengan anak itu tapi dimana?”, “Apakah keluargamu sudah tau tentang
mimpimu ini?” Jalal menganggukkan kepalanya “Mereka sama seperti kamu, mereka
tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, Rukayah ... Aku harus mencari Jodha!”,
“Tidak tidak tidak ... Tidak untuk saat ini Jalal, kamu masih harus melakukan
banyak pengobatan”, “Tapi kamu mau kan membantu aku untuk menemukan Jodha?”
Rukayah bingung dan kikuk didepan Jalal namun kemudian akhirnya dia
menganggukkan kepalanya dengan senyuman yang dibuat buat.
Sementara itu dirumah Jodha, setelah Jodha sudah pulang
dari rumah sakit, ibu Meinawati membuat sukuran kecil kecilan untuk cucu
pertamanya “Mau kamu kasih nama siapa dia, Jodha?” Moti yang saat itu membantu
persiapan sukuran untuk anak Jodha sangat penasaran dengan nama yang akan
diberikan untuk anaknya “Aku akan memberinya nama Salim, Moti ... seperti yang
diinginkan Jalal, kalau laki laki Jalal ingin anaknya bernama Salim”, “Salim!
Bagus juga namanya” ibu Meinawati ikut nimbrung bareng mereka “Rambutnya merah,
persis seperti kak Jalal ya, bu ... kalau kak Jodha kan rambutnya hitam”
Shivani juga ikut nimbrung bareng mereka “Iyaaa, kulitnya juga kayaknya kayak
bapaknya niii, nggak kayak kamu Jodha yg sawo mateng, kalau anakmu ini putih
bersih kayak Jalal” Jodha dan Moti saling tersenyum sambil saling berpandang
pandangan “Namanya juga anaknya, bu ... masa mirip orang lain, kalau nggak
mirip aku pastilah mirip Jalal” semua yang ada disana tertawa bahagia sambil
memandangi Salim kecil yang mirip sekali dengan Jalal.
Bersambung Episode 16 Klik Disini