Dua bulan kemudian ...
Ketika dirasa Salim kecil sudah
bisa ditinggal untuk bekerja, Jodha akhirnya kembali ke pekerjaan lamanya
sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit dimana Moti bekerja, sementara
Salim kecil diasuh oleh seorang pengasuh yang bekerja paruh waktu dirumahnya,
sedangkan ibu Meinawati semakin sibuk dengan bisnis cateringnya sambil tetap
mengawasi keberadaan Salim.
“Aku yakin, kamu akan betah
bekerja disini, Jodha ... disini orangnya ramah ramah dan saling membantu,
nanti kamu akan aku kenalkan dengan beberapa perawat di ruang OK dan juga
beberapa dokter yang bertugas disana.” Jodha hanya diam sambil terus
mendengarkan semua penjelasan Moti dengan seksama “Oh iya, ada yang harus kamu
perhatikan baik baik dengan salah satu dokter yang ada disana.”
“Siapa? Maksudmu dokter yang
mana, Mo?”
Moti tersenyum kearah Jodha
“Dokter Suryaban, Jodha ... dia seorang dokter anestesi, usianya 7 tahun diatas
kita jadi dia sekarang sudah 37 tahun dan masih lajang.”
Jodha segera mengernyitkan
dahinya sambil menatap Moti dengan pandangan heran “Maksudmu dengan kata masih
lajang? sepertinya ada udang dibalik batu nih.”
Moti hanya tersenyum “Aku kan
cuma mau menjelaskan Jodha kalau salah satu dokter di ruang OK kita itu ada
yang masih lajang, belum menikah, aku sendiri juga nggak tahu kenapa sampai di
usianya yang sudah berkepala 3 lebih itu, dia belum juga menentukan pilihannya,
padahal yang suka dengan dia banyak lhooo ... cantik cantik lagi tapi aneh
kenapa juga nggak ada satupun yang dipilihnya”
“Ya mungkin dia punya kriteria
tersendiri barangkali, bisa jadi kan?”
Moti hanya tersenyum melirik
kearah Jodha “Dia itu orangnya perfeksionis, Jo ... kamu harus bisa ngerti apa
maunya, kalau nggak ... bisa bisa didamprat kamu nanti, kalau tidak sesuai
dengan yang dia inginkan, tuh orangnya!” tiba tiba Moti berhenti dan menunjuk
kearah depan dengan dagunya “Arah jam 3, yang lagi berdiri ngobrol sama dokter
lain, dia yang tinggi itu”
Jodha segera menatap kearah
yang Moti tunjukkan, didepannya telah berdiri seorang dokter yang bila dilihat
dari penampilannya sama seperti dokter yang lainnya, bersih, rapi dan
kelihatannya suka berbicara terlihat dari obrolannya dengan dokter lain yang
berada disebelahnya, dia ini lebih dominan, lebih menguasai pembicaraan
ketimbang lawan bicaranya.
“Perfeksionis dan talk active
ya” Jodha melirik kearah Moti.
Moti segera menganggukkan
kepalanya “Dia memang suka bicara, dia ini salah satu narasumber yang sering
digunakan oleh rumah sakit kalau ada seminar seminar”
Jodha menganggukkan kepalanya
“Ayoo kita masuk, Mo ... Jangan sampai dia tahu kalau kita sedang membicarakan
dia, ayooo” Moti segera mengikuti langkah Jodha masuk kedalam ruang OK.
Seharian itu Jodha dan Moti
sibuk melayani beberapa operasi yang harus mereka tangani, namun dari beberapa
operasi yang mereka garap tidak satupun yang menggunakan dokter Suryaban
sebagai dokter anestesi yang menangani pembiusan pasien, hingga akhirnya ketika
menjelang jam pulang sekitar pukul setengah 2 siang ketika Jodha sedang
membereskan semua peralatan, rupanya ada pasien yang harus di operasi namun
Jodha sudah bebas tugas, Jodha sudah bersiap siap hendak pulang, ketika hendak
membuka pintu utama ruang OK, tiba tiba saja dari arah luar tubuh Jodha
terdorong kebelakang oleh sosok tinggi besar yang tiba tiba saja menubruknya
dari arah depan membuat tubuh mereka berdua jatuh terjerembab dengan posisi
orang itu berada diatas Jodha, Jodha sangat terkejut karena orang itu adalah
dokter Suryaban, sesaat mereka saling berpandang pandangan namun Jodha
menyadari posisi jatuhnya kurang mengenakan bila dilihat oleh orang lain yang
mungkin melihat mereka, “Maaf, dok ... tubuh anda menindih saya”
Dokter Suryaban pun segera
menyadari posisinya “Oooh iyaaa ... Maaf ... Maaf, aku tadi terburu buru hingga
menabrak kamu, siang ini ada operasi kan?” dokter Suryaban segera berdiri dan
membersihkan dirinya sendiri dengan kedua tangannya yang menepuk nepuk
keseluruh tubuhnya.
Jodha pun segera berdiri dari
jatuhnya. “Iyaaa, siang ini ada operasi,
dok ... anda pasti salah satu dokter yang mau ikut operasi juga ya?”
“Iyaaa , kamu belum kenal
denganku rupanya, kenalkan aku dokter Suryaban, dokter anestesi, sebentar ...
nama kamu pasti ... Jo - dha, benar begitu?” Jodha menganggukkan kepalanya
sambil menunjukkan bet nama di dadanya sebelah kiri lalu menyambut tangan
dokter Suryaban sebagai tanda perkenalan “Kamu ini sepertinya perawat baru
karena aku baru meihat kamu hari ini”
“Iyaaa, dok ... Ini hari
pertama saya dirumah sakit dan waktu kerja saya sudah selesai saatnya saya mau
pulang, silahkan dok ... pasien anda pasti sudah menunggu”
Dokter Suryaban seperti
tersadar bahwa tugasnya belum selesai “Oooh iyaaa, aku sampai lupa, pasiennya
sudah masuk?”
Jodha menganggukkan kepalanya,
sementara dokter Suryaban seperti salah tingkah didepan Jodha, ketika dokter
Suryaban hendak melangkah masuk ke ruang sterilisasi “Maafkan yang tadi ya,
maaf ... aku tidak sengaja”
“Tidak apa apa, dok ... santai
saja, maaf permisi saya pergi dulu”
Jodha segera berlalu dari
hadapan dokter Suryaban, dokter Suryaban pun segera masuk ke ruang sterilisasi
untuk persiapan operasi selanjutnya.
~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~
Sementara itu ditempat Jalal,
setelah dua bulan siuman dari komanya akhirnya Jalal diperbolehkan menjalani
rawat jalan dirumah, tadinya Jalal ingin pulang ke rumah kontrakkannya dulu
bersama Jodha karena banyak kenangan indah yang terukir disana bersama Jodha,
namun ibu Hamida melarang Jalal karena selain rumah itu sudah ditempati oleh
orang lain, Jalal juga lebih baik dirawat dirumah ibunya yang besar hingga ibu
Hamida bisa mengawasi Jalal 24 jam penuh. Sepanjang perjalanan menuju ke
rumahnya, Jalal nampak termenung, dirinya benar benar telah lost kontak dengan
Jodha, selain HP yang sudah tidak aktif, rumah kontrakkan mereka berduapun
sudah ditinggalkan Jodha begitu saja, Jalal merasa ada yang tidak beres tapi
apakah hal itu, Jalal belum bisa meraba bayangan semu yang terjadi pada Jodha.
“Kak Salima, apakah kamu sudah
benar benar mengecek ke rumah ibunya?”
Salima yang saat itu duduk
didepan disebelah sopir pribadi mereka langsung menoleh ke arah Jalal yang
duduk ditengah bersama dengan ibunya, “Aku sudah kesana, Jalal ... aku sudah
mengeceknya, rumah itu kosong, nggak ada kehidupan disana”
“Iya kak, aku juga beberapa
kali mengecek kesana untuk memastikan, tapi tetap saja hasilnya nihil” Mirza
yang duduk di bangku paling belakang ikut nimbrung pembicaraan mereka
“Sudahlah, Jalal ... mungkin
Jodha memang sudah benar benar tidak ingin bertemu dengan kamu lagi, mungkin
benar seperti yang dikatakan oleh bibimu bahwa Jodha tidak bisa menghadapi
keadaanmu ketika kamu koma dulu, dia sepertinya tidak memiliki harapan akan
kesembuhanmu” ibu Hamida berusaha untuk membujuk Jalal untuk sedikit demi
sedikit melupakan Jodha.
“Tapi Jodha tidak seperti itu,
bu ... Jodha seperti yang bukan aku kenal selama ini, aku yakin Jodha pasti
mempunyai keyakinan akan kesembuhanku, dia tidak mungkin menyerah begitu saja”
Jalal masih bersikeras kalau Jodha tidak seperti yang keluarganya pikirkan
selama ini.
“Sudahlah Jalal, kamu jangan
memikirkan hal ini dulu, pikirkan kesehatanmu dulu, kamu masih harus menjalani
serangkaian fisioterapi, kakimu saja belum bisa kamu gerakkan” ibu Hamida
menganggukkan kepalanya sambil mengelus kepala Jalal lembut
“Iya Jalal, pikirkan kesehatanmu
dulu, baru kamu bisa memikirkan yang lain, okay?” Jalal hanya bisa pasrah menuruti
permintaan ibu kandungnya.
“Here we go!” tiba tiba Mirza
berteriak dari arah belakang menyadarkan mereka kalau saat ini sudah sampai di
rumah.
Dari dalam mobilnya Jalal bisa
melihat seluruh keluarga besarnya sudah siap menyambut kepulangannya ke rumah,
dari dalam mobil Jalal segera digendong oleh adik bungsunya Mirza dan
didudukkan disebuah kursi roda, perlahan mereka memasuki rumah, rumah yang
telah Jalal tinggalkan selama ini setelah menikah dengan Jodha dan kali ini
Jalal kembali kerumah ini tanpa Jodha. Semua keluarga besar Jalal sangat
bahagia begitu mengetahui kondisi Jalal yang berangsur membaik dan rupanya
selain keluarga besar Jalal, teman teman dan sahabat Jalal juga berada disana
menyambut kedatangannya, Jalal bisa melihat dengan jelas ada Todar Mal, Maan
Sigh dan beberapa teman yang lain dan juga salah satu orang kepercayaan Jalal
dirumah yang sudah merawat Jalal sejak kecil, dia adalah Birbal, Birbal sangat
senang begitu tau Jalal kembali kerumah ini, dulu ketika Jalal pergi
meninggalkan rumah ini karena menikah dengan Jodha, Birbal sangat sedih melihat
tuannya pergi meninggalkannya tapi kali ini senyum dibibir Birbal kembali
mengembang begitu melihat tuannya kembali.
“Jalal, akhirnya kamu kembali”
Birbal langsung memeluk Jalal yang masih terduduk dikursi rodanya.
“Birbal, aku senang sekali bisa
bertemu denganmu lagi” Jalal juga membalas pelukan Birbal.
“Aku siap melayani kamu kapan
saja, Jalal”
“Iyaa Jalal, Birbal nanti yang
akan melayani kamu, ibu sudah perintahkan ke Birbal untuk melayani semua
kebutuhan kamu selama 24 jam penuh dan dia sangat bersemangat begitu
mengetahuinya” Birbal tersenyum senang mendengarnya.
“Tidak tidak tidak, kak Hamida
... selama Jalal berada dirumah, Jalal harus tetap dirawat oleh seorang perawat
karena Jalal tetap harus mendapatkan perawatan medis bukan perawatan pelayan
biasa seperti Birbal” tiba tiba bibi Maham Anga menyeruak menghampiri mereka
diikuti oleh Rukayah. Senyum dibibir Birbal tiba tiba meredup, Jalal bisa
melihat hal ini “Oleh karena itu, aku sudah meminta Rukayah untuk merawat Jalal
selama Jalal menjalani perawatan dirumah”
Rukayah segera menganggukkan
kepalanya pada semua yang hadir disana, dia ingin menunjukkan pada semua
keluarga besar Jalal bahwa dialah yang akan selalu dekat dengan Jalal setiap
harinya, Rukayah sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari rumah sakit
dimana dia bekerja dan menerima tawaran bibi Maham Anga untuk merawat Jalal,
tentu dengan gaji yang sangat lumayan hingga dia berani memutuskan keluar dari
pekerjaannya sebagai perawat ruang OK.
“Baiklah, kalau menurutmu itu
yang terbaik untuk Jalal, kami setuju saja”
“Tapi aku tetap meminta Birbal
untuk melayani aku seperti yang ibu perintahkan” Jalal segera buka suara begitu
melihat ekspresi muka Birbal yang terlihat sedih ketika bibi Maham Anga menolak
keputusan ibunya.
“Baiklah ... kalau kamu
memaksa, Jalal ... Jadi mulai hari ini Rukayah dan Birbal yang akan merawat
Jalal, deal?”
Jalal segera menganggukkan
kepalanya sementara Birbal tersenyum senang mendengar keputusan Jalal.