Yang Dirindukan Bab 6
By Chusnianti
Jodha duduk di depan meja riasnya
sambil menyisir rambut panjangnya yang berwarna hitam. Ia tersenyum mengingat
kejadian dua minggu yang lalu. Terkejut sekaligus bahagia yang dirasakannya.
Akhirnya Allah mengabulkan doanya untuk memberikannya pendamping yang ‘alim dan faqih. Dan Insha Allah juga lelaki sholih.
Jodha masih terhanyut dalam
lamunannya hingga dia tidak menyadari bahwa ada seorang laki-laki yang sedang
memperhatikannya dengan bahagia. Dia tidak menyangka bahwa wanita sholichah
yang selama ini diimpikannya kini menjadi pendamping untuk menyempurnakan
agamanya, mendukungnya dan selalu mendampinginya. Masih teringat jelas
dibenaknya bagaimana reaksi gadis yang dikhitbahnya waktu itu.
“Mas...” suara Jodha seakan tertahan di tenggorokan. Dia
tidak menyangka bahwa pria di hadapannya inilah yang akan menjadi calon
suaminya.
“Iya, Jodha... ini aku, Irul,” jawab Irul sambil
tersenyum.
Jodha seakan tersadar dan langsung menundukkan
pandangannya.
Orang tua Jodha tersenyum melihat tingkah laku putri
sulungnya ini. Mereka sudah tahu bahwa Jodha dan Irul sudah saling mengenal.
Ditambah lagi Ayah Irul, Bapak Makruf dan Bapak Samsul sudah bersahabat sejak
lama. Mereka berdua mencari ilmu dari ‘paku bumi’ yang sama.
“Kalian sudah saling kenal?” ujar Bu Meena pura-pura
terkejut.
“Sudah, Bu. Kami satu kelas saat SMP dan SMA,” jawab
Jodha malu-malu.
“Baiklah... karena kalian sudah saling kenal, jadi tidak
perlu ta’aruf, kan?” ujar Pak Samsul.
Hening... tidak ada yang menanggapi pernyataan Pak
Samsul.
“Jadi bagaimana, Nak Jodha? Apakah kau menerima khitbah
putra kami, Irul?” tanya Pak Makruf.
“Emm... Bapak saya yang akan menjawabnya, Pak. Karena ini
adalah hak beliau,” ucap Jodha.
Dan akhirnya keputusan final adalah Jodha menerima
lamaran dari Irul. Acara akad nikah dilaksanakan seminggu setelahnya. Bukankah
hal baik jangan pernah ditunda?
Pernikahan diadakan secara sederhana, seperti keinginan
Jodha. Jodha masih memikirkan kehadiran ketiga adiknya. Ia sudah menghabiskan
banyak uang untuk pendidikannya, dan ia tidak ingin semakin membebani orang
tuanya jika harus mengadakan resepsi. Kehadiran keluarga dan sahabat
terdekatnya bagi Jodha sudah cukup.
Selama satu minggu setelah acara resepsi sederhana yang
dilakukan, Jodha dan Irul sepakat untuk tinggal bersama keluarga Jodha terlebih
dahulu di Jogja. Baru setelah itu, Irul akan mengajak Jodha untuk pindah ke
rumah yang sudah disediakan Irul di Surakarta.
Jodha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menikmati
kebersamaannya yang tinggal satu minggu bersama dengan keluarganya. Ia bahkan
sudah mencari tempat kerja baru di Surakarta dengan bantuan Irul tentunya.
Setelah seminggu sejak resepsi
berlalu, dan disinilah Irul dan Jodha malam ini. Di kamar mereka berdua, dan di
rumah mereka yang akan menjadi saksi bisu bagaimana mereka berdua membina
keluarga.
“Asslaamu ‘alaikum, Istriku,”
sapa Irul sambil memeluk pinggang istrinya dari belakang dan menyandarkan
dagunya di pundak kanan istrinya.
“Wa.. Waalaikum salam... Ya
Allah, Mas... ngagetin aja,” jawab Jodha dengan wajah merona.
“Hemm... Ngagetin gimana? Kamu
aja yang dari tadi ga jawab salam aku karena sibuk dengan lamunanmu.” Irul
menutup ucapannya dengan ciuman di pipi kanan istrinya.
“Masak sih, Mas?” tanya Jodha dan
tampak kerutan di keningnya.
“Hemm.... aku bahagia banget bisa
dapetin istri seperti kamu.”
“Mas... apaan sih... Sepertinya
sudah puluhan kali mas bilang seperti itu,” gerutu Jodha dengan senyum
malu-malunya.
Irul semakin gemas melihat Jodha
yang tersipu. Rona merah semakin tampak di kedua pipi putihnya yang tanpa make
up.
“Alhamdulillaah... Ya Allah... hamba sangat bersyukur
Engkau kabulkan doa hamba. Hamba mendapatkan istri yang sholichah. Istri yang
selalu menjaga dirinya dan hanya ia berikan kepada hamba, suaminya,” tutur Irul dalam hati.
“Mas... kok malah senyum-senyum
sendiri, sih,” ucap Jodha yang melihat
Irul sedang tersenyum melalui cermin.
“Ga pa pa... Sudah malam, ayo
tidur.”
Dan tanpa menunggu jawaban dari
Jodha, Irul sudah menarik tubuh Jodha untuk berdiri kemudian menuntunnya ke
tempat tidur mereka berdua.
Irul tidak akan pernah bosan
menikmati pemandangan dihadapannya. Saat ini Jodha sedang tidur terlentang
menunggu Irul untuk tidur disampingnya. Ia jadi teringat ucapan salah satu guru
ngajinya, “Ketika seorang remaja putri
memakai pakaian yang ketat dan pendek, juga memakai kosmetik yang ‘wOw’, maka
terlihat banyak pemuda yang begitu senang melihatnya. Tapi, ketika seorang
remaja putri memakai pakaian yang longgar dan panjang sera berjilbab dan tak
memakai kosmetik, maka hanya segelintitr pemuda saja yang meliriknya.”
Dan dari situlah Irul serta
beberapa muslim belajar banyak hal. Salah satunya, “Barang yang murah banyak yang melihanya. Sedangkan barang yang mahal
tidak akan dilihat kecuali oleh mereka yang memang ingin membelinya.”
“Dan itulah, Jodhaku. Wanita yang kini menjadi istriku.
Wanita yang akan membantu dan mendampingiku di setiap keputusanku. Dan wanita
yang Insha Allah akan membimbing anak-anak kami menjadi anak-anak yang sholih
dan sholihah,” lanjut Irul dalam hati.
Kemudian Irul menyusul istrinya
untuk berbaring disampingnya. Tetapi sebelum mereka tertidur, mereka berdua
selalu menyempatkan ibadah, yang Irul bilang sebagai ibadah yang paling nikmat.
Dan setiap Irul mengatakan hal itu, Jodha tidak akan pernah bisa membantahnya.
~o0o~
Jalal masih termenung di dalam
kamarnya. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, namun matanya belum juga
mau terpejam. Ingatannya masih terus tertuju pada kenangan seminggu yang lalu,
tepatnya pada pernikah dua sahabatnya, Jodha dan Irul.