Jika kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu
sore tiba. Hari inilah yang akan Anda jalani, bukan hari kemarin yang telah
berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang
belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari Anda, dan siangnya
menyapa Anda inilah hari Anda.
Yang Dirindukan Bab 3
By Chusnianti
Sudah beberapa hari ini Jalal
termenung di kamar Kostnya. Beberapa hari yang lain dia memutuskan untuk
mengurungkan niatnya untuk menghampiri Jodha. Dia tidak ingin mengganggu
kehidupan baru Jodha.
Hari sudah menjelang petang,
terdengar suara motor memasuki garasi kost yang ditempati Jalal. Jalal sudah
tahu siapa yang datang. Dia adalah sahabatnya sekaligus sahabat Jodha, Irul.
Jalal menempati kamar VIP di lantai 2 sementara Irul bersama teman Kost yang
lain berada di lantai bawah. Bukannya Irul tidak mampu, tapi dia mencoba
berbaur dengan yang lain.
Irul sudah beberapa kali menanyai
Jalal apa yang terjadi dengan perubahan dirinya yang tak bersemangat. Namun Jalal
masih bersikap tertutup, dan hari ini dia bertekad pada Irul tentang
ketidakdamaiannya dalam hatinya.
TOK TOK TOK
“Rul, boleh aku masuk?” tanya
Jalal.
Irul yang baru saja selesai
sholat Isya’, dia pun mempersilahkan Jalal masuk.
“Ada apa, Jalal? Tumben kesini?”
“Aku mau bercerita padamu, Rul?
Sekaligus ingin meminta saran darimu. Boleh?”
“Tentu, Jalal... Insha Allah aku
akan membantu semampuku.”
Dan akhirnya mengalirkan cerita
Jalal tentang perasaannya yang selama ini tidak terbalas pada seorang gadis,
tanpa menyebutkan namanya. Kemudian beberapa hari yang lalu saat dia melihat
gadis tersebut bersama seorang pria dan kedekatan mereka berdua. Dia juga
mengatakan kemungkinan gadis itu sudah menikah, karena dia sangat yakin bahwa
gadis itu tidak akan mungkin berdekatan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Dan dia sudah mencoba melupakan hal itu, tapi ia sulit melakukannya.
Irul yang mendengarkan cerita
Jalal seakan tahu siapa gadis yang diceritakan tersebut walaupun Jalal tidak
menyebutkan namanya. Dia juga tahu, jika pun Jodha menikah, pasti Jodha juga akan
mengundang mereka berdua, meskipun jarak mereka yang tentu jauh untuk ditempuh.
Jalal masih melanjutkan ceritanya
dengan wajah sendu tanpa menatap Irul, “Aku menyesal, Rul... Kenapa sebelum
kuliah dulu aku tidak melamarnya terlebih dahulu pada orang tuanya.”
Irul menghela nafas sebelum
berucap. Dia menepuk pundak Jalal yang duduk lesehan di depannya.
“Jalal... Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian
bersedih atas nestapa dan kegagalan didalamnya merupakan tindakan bodoh dan
gila. Itu, sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad dan mengubur
masa depan yang belum terjadi.
Kesedihan tak akan mampu mengembalikannya lagi, keresahan
tak akan sanggup memperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnya
menjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena
ia memang sudah tidak ada.
Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di
bawah payung gelap masa silam. Selamatkan dirimu dari bayangan masa lalu!
Apakah kamu ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya
terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air
mata ke dalam kelopak mata? Ingatlah, keterikatanmu dengan masa lalu,
keresahanmu atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwamu oleh
api panasnya, dan kedekatan jiwamu pada pintunya, adalah kondisi yang sangat
naif, ironis, memprihatinkan, dan sekaligus menakutkan.
Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan memupuskan
masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat
berharga. Dalam al-Qur'an, setiap kali usai menerangkan kondisi suatu kaum dan
apa saja yang telah mereka lakukan, Allah selalu mengatakan, "Itu adalah umat yang lalu."
Begitulah, ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada
gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembali roda sejarah.
Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, adalah tak
ubahnya orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji serbuk kayu.
Syahdan, nenek moyang kita dahulu selalu mengingatkan
orang yang meratapi masa lalunya demikian: "Janganlah
engkau mengeluarkan mayat-mayat itu dari kuburnya." Dan konon, kata
orang yang mengerti bahasa binatang, sekawanan binatang sering bertanya kepada
seekor keledai begini, "Mengapa engkau tidak menarik gerobak?"
"Aku benci khayalan," jawab keledai.
Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa
depan dan justru hanya disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan kita
mengabaikan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi puing-puing yang
telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan jin bersatu untuk mengembalikan
semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab,
yang demikian itu sudah mustahil pada asalnya.
Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melibat
dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke
depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan
segala sesuatu bergerak maju ke depan. Maka itu, janganlah pernah melawan sunah
kehidupan!”
Jalal mengusap wajahnya dengan
tangan kanannya. “Astaghfirullaah... Jadi selama ini waktu yang ku buang
sia-sia. Terima kasih, Rul... Kamu sudah menyadarkanku meskipun melalui ceramah
panjangmu. Hehehe”
Irul terkekeh mendengar pujian
yang terdengar sebagai ejekan di
telinganya.
“Oh ya, Rul... bolehkah aku ikut
belajar memperdalam agama bersamamu? Kau kan tahu sendiri, kalau selama ini
ibadahku kurang.”
Irul tersenyum penuh syukur. “Alhamdulillaah...
Akhirnya Allah memberikan hidayah-Nya kepada Hamba yang dikendakinya. Dan
terutama padamu, sahabatku. Tentu saja boleh, Jalal. Insha Allah besok setelah
kita selesai kuliah, aku akan mengantarkanmu bertemu dengan Pak Haji beserta
seorang Ustadz yang sekaligus sahabar dan saudara islam kita.”
“Baiklah, Rul... kurasa ini juga
sudah larut malam, aku akan kembali ke kamarku dulu. Sekali lagi terima kasih
telah meringankan bebanku selama ini.”
“Bukan aku yang meringankan
bebanmu, Jalal... Tapi Allah lah yang menghendakinya. Aku hanya sebagai
perantara-Nya.”
“Oke... oke.”
“Ya sudah... sana kalau mau
tidur. Aku juga masih ada tugas yang belum keselesaikan.”
“Haahhh.. jadi ngusir nih?”
“Bukannya begitu, tapi kan
kamarmu lebih luas dari pada kamarku. Emang kamu mau tidur di lantai? Hahaha.”
“Dasar... Ya sudah... Assalaamu
‘alaikum.”
“Walaikumsalaam...” jawab Irul
sekaligus menutup pintu kamarnya.
Irul kembali merenung... Ia masih
belum sepenuhnya yakin bahwa Jodha menikah. Jika pun dia menikah, pasti dia
akan mengetahuinya. Secara mereka bertiga adalah sahabat. Dan juga Ayah Jodha
dan Ayahnya juga bersahabat. Tapi biarlah, dia tidak akan terlalu memikirkan
hal itu. Dia ingin lebih dulu fokus pada pendidikan dan pekerjaannya.
~o0o~
Jodha sedang berjalan ke kampus
bersama sahabat perempuannya bernama Rina. Rina kenalannya saat berada di Kost
dan ternyata mereka mengambil jurusan yang sama, Pendidikan Matematika. Ia
memilih berjalan kaki karena jarak kapus dan Kostnya hanya sekitar 20 menit
jika ditempuh dengan jalan kaki. Ia beralasan sekalian olah raga karena dia
juga jarang olah raga sejak lulus SMA.
Ia sangat menikmati hidupnya ini.
Dia memiliki banyak teman meskipun dia kesulitan untuk berbaur, karena dia
adalah gadis pendiam dan sedikit sulit untuk menyesuaikan diri. Tapi jika dia
sudah kenal dekat, maka ia akan menjadi orang yang cerewet dan suka bercanda.
Tak jarang di kampusnya dia jadi
bahan gunjingan bahkan ada yang terang-terangan menyindirnya karena pakaiannya
yang super longgar dan jilbabnya yang dia lapisi dan lebar. Tapi Jodha selalu
membalasnya dengan senyuman. Dia berusaha keras untuk tidak terpengaruh dengan
ucapannya. Dan dia sudah nyaman dengan apa yang dikenakannya.
“Aisyah, melamun apaan
senyum-senyum sendiri? Masih sehat, kan?” tanya Rina pada Jodha sambil menepuk
pundak Jodha.
Ya... Aisyah adalah nama
panggilannya sejak dia kuliah. Sementara Jodha adalah nama panggilannya
masa-masa sebelumnya dan di kampung halamannya.
Jodha terkekeh mendengarnya,
“Masih, Mbak Rin... Alhamdulillaah sehat, Mbak... Mbak Rina tuh mungkin yang
lagi ga sehat. Dari tadi cemberut aja. Mikir apa? Ga mau berbagi nih?”
“Mana ada... Yang ada aku mah
seneng berbagi dengan, Ai... Karena pasti dapat tambahan ilmu juga.”
“Lah terus ada apa kalau gitu?”
tanya Jodha yang kini sudah duduk di kursi ruangan yang akan mereka tempati
untuk kuliah nantinya. Suasana masih sepi karena mereka berangkat memang selalu
lebih awal.
“Begini, Ai... Aku lagi kesel, Ai...
Dari kemarin ditanyain nikah mulu.”
“Lah emang kenapa, Mbak Rin?
Kalau siap yang jawab aja mau.”
“Ahhh... Ai.. Kamu sih ga
ngerasain. Capek tahu ditanyain terus.” Ujar Rina sambil cemberut.
“Siapa bilang saya ga pernah
ditanyain begituan? Malahan udah sering dari dulu orang tua udah nanyain,
padahal belum lulus SMA,” sahut Jodha.
“Oh ya, Ai? Terus kamu jawab
gimana? Mereka masih sering nanyain ga sampai sekarang?”
“Hehehe... Satu satu, Mbak Rin,
nanyanya.. Saya jawab yang mana dulu nih?”
“Afwan, Ai... Saking semangatnya.
Hehehe. Terus terus, gimana Ai, masih sering ditanyain ga sampai sekarang?”
“Alhamdulillaah udah jarang,
Mbak... Ga sesering dulu.”
“Oh ya? Terus kamu dulu bilang
apa pada orang tua?”
“Ah... dari tadi bilangnya terus
terus melulu. Nanti aja ya, udah mau mulai nih kelasnya,” ucap Jodha saat
melihat sudah banyak teman-temannya yang memasuki ruangan.
“Ahh... Ai ga asik.”
“Bukan begitu, Mbak Rin... Kan
tahu sendiri, saya kalau sudah cerita pasti bakalan panjang. Dan juga Mbak Rina
pasti pertanyaannya juga bakalan panjang.”
“Hehehe... Maklum lah, Ai... Kan
aku paling seneng kalau ngobrol sama Mbak.”
“Ya udah... Nanti aja di Kost kalau gitu.”
“Yahh... Mesti sabar deh ini
sampai nanti malam. Kan setelah kuliah pasti kamu ke Masjid untuk mengajar
TPA.”
Jodha hanya menimpali dengan
senyuman. Dia sadar, bahwa pembicaraan mereka tidak akan berhenti jika bukan
dirinya yang mengakhiri terlebih dahulu.
Always dan selalu... Mohon kritik dan sarannya...
Terima kasih...