Setiap dini hari menjelang, tengadahkan kedua
telapak tangan, julurkan lengan penuh harap, dan arahkan terus tatapan matamu
ke arah-Nya untuk memohon pertolongan! Ketika lidah bergerak, tak lain hanya
untuk menyebut, mengingat dan berdzikir dengan nama-Nya. Dengan begitu, hati
akan tenang, jiwa akan damai, syaraf tak lagi menegang, dan iman kembali
berkobar-kobar. Demikianlah, dengan selalu menyebut nama-Nya, keyakinan akan
semakin kokoh. Karena, Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya.
Yang Dirindukan Bab 2
By Chusnianti
“Jo... minta tanda tangannya
dong,” pinta Jalal sambil membawa spidol. Bajunya sudah penuh dengan warna
warni. Tapi masih ada tempat yang bersih, tampaknya Jalal masih menyisakan
tempat itu. “Disini, ya,” lanjut Jalal sambil menunjuk dadanya.
Jodha tersenyum. “Maaf, Jalal.
Aku ga bisa. Minta yang lain aja.”
Jalal jadi kesal, “Alah, Jo...
pelit amat sih jadi orang. Dimintai tanda tangan aja ga dikasih. Apalagi kalau
minta yang lain.”
Jodha masih berusaha untuk
tenang, “Maaf, Jalal. Aku benar-benar ga bisa. Kita bukan mahram, tidak boleh
berdekatan.”
“Sok alim kamu, Jo.”
Jalal yang kesal langsung pergi
dari sana sambil membawa motornya untuk
ikutan teman-temannya yang lain.
“Semoga Allah memberikan kamu hidayah, Jalal.” Harap Jodha saat melihat Jalal yang berlalu begitu saja.
Tanpa mereka sadari, ada Irul
yang menyaksikan itu semua. Dia faham betul mengapa Jodha tidak melakukan itu. Jodha bukannya sok
alim atau pelit, dia memang menjaga dirinya.
Irul sadar, bahwa di sekolah
mereka yang seiman dengan dirinya dan Jodha memang sedikit, bahkan dikelasnya
hanya mereka berdua. Di kelas sepuluh dan sebelas dulunya masih ada Dika yang
bersama Jodha. Tapi sayang, Allah lebih menyayangi Dika sehingga Dika berpulang
lebih dulu.
Irul terlalu berkutat dengan
pikirannya sehingga tidak menyadari ternyata Jodha sudah tidak ada di hall.
“Nah... kemana Jodha?” ucap Irul
sambil mengacak rambutnya yang tidak panjang.
Irul tidak ikut dengan
teman-temannya yang lain. Bahkan dia sengaja datang ke sekolah memakai seragam
batiknya supaya seragamnya tetap bersih dan tidak terlalu banyak memberikan
alasan kepada teman-temannya jika dia diajak untuk melakukan hal yang
aneh-aneh.
Irul lebih memilih untuk pergi ke
ruang BK untuk mengurusi jenjang lanjutnya ke Perguruan Tinggi. Prestasinya
yang cukup membanggakan, mendukungnya untuk memperoleh Bidik Misi sehingga bisa
meringankan beban orang tuanya. Bahkan dia sudah terbiasa menjalani kerja paruh
waktu setelah dia selesai ujian dan rencananya akan ia teruskan sambil dia
kuliah.
“Assalaamu alaikum. Selamat pagi,
Pak.”
“Walaikumsalaam... selamat pagi.
Masuk, Rul... Kamu mau melengkapi berkas-berkas yang kemarin ya? Langsung
kumpulkan saja di meja Bapak, ya. Teman-temanmu yang lain juga sudah meletakkannya
disana. Nanti Bapak periksa.” Ucap Pak Heri selaku guru BK yang mengurusi siswa
siswi program undangan dan bidik misi.
“Iya, Pak... terima kasih.”
“Oh iya.. sekalian tulis juga
nama kamu di berkas yang dipegang Jodha. Tulis disana kamu melanjutkan kemana.”
“Baik, Pak.”
Irulnya berjalan ke tempat Jodha
duduk. Kemudian mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan Jodha.
“Jo... kamu disini? Ga ikutan
yang lain?”
“Hahaha... Rul. Kamu kayak ga
tahu aku aja. Kamu lagian yang cowok juga ga ikutan.”
“Hehehe... Sama kayak kamu lah,
Jo, alasannya.”
“Ye... Emang kamu tahu alasanku
apa?”
“Tahu... daripada bajunya
mubadzir lebih baik disumbangkan yang lebih membutuhkan, kan?”
“Iyup... Eh.. btw kamu
melanjutkan kemana, nih?”
“Aku diterima di salah satu
universitas negri di Jakarta, Jo... Ambil jurusan Bahasa Inggris. Kamu sendiri
kemana?”
“Cie... yang diterima di univ
negri... Aku awalnya mendaftar di salah satu universitas negeri di Surakarta,
tapi sayang ga diterima undangan disana.
Yah... akhirnya lanjut di univ swasta. Sama, di Surakarta juga.”
“Kita sama-sama jalani sakdermo aja, Jo... Insha Allah, Allah
memberikan yang terbaik dibalik ini semua,” ucap Irul dengan bijak.
“Oh iya, Jo... Mau denger cerita,
ga?” tanya Irul.
Jalal yang semula ingin masuk
ruang BK karena lupa belum mengisi
data-data dimana dia melanjutkan pendidikannya, mengurungkan niatnya
karena penasaran dengan apa yang akan diceritakan Jalal. Akhirnya dia menunggu
diluar dekat pintu masih dengan mengenakan jaket untuk menutupi bajunya sambil
mendengarkan perbincangan mereka.
“Ini masih pagi, Rul... Bisa-bisa
aku ngantuk, ntar... hehehe.”
“Ah, kamu, Jo... Biasanya juga
semangat banget kalau aku bercerita tentang motivasi.”
“Iya, iya... Apa ceritanya?” ujar
Jodha sambil menegakkan posisi duduknya. Dia sangat antusias setiap
mendengarkan nasihat dan cerita-cerita motivasi.
“Begini ceritanya... Dengerin
baik-baik. Awas kalau sampai tidur. Anggap aja ini sebagai cerita
kenang-kenangan dari aku sebelum kita pisah tempat kuliah. Aku tahu kok kamu
kangen sama aku, hahaha” ucap Irul diiringi dengan gelak tawanya.
Jodha melirik sekilas kemudian
mengalihkan pandangannya lagi. “Aishh... kamu, Rul... Udah buruan cerita.”
“Iya, iya.. dengerin nih...
Kalau saja knalpot motor bisa berunjuk rasa, ngomel
ngomel dan mengadakan unjuk rasa bersama kawan kawan senasib sepenanggungan
sebagai sebuah knalpot motor dengan alasan ...
“Wahai, manusiaaa..!!! bebaskan hak hak kami sebagai
knalpot untuk menghirup udara segar... kami sudah muak dijadikan saluran
kentutnya motor motor kaliaaan....!!!”
Kemudian dengan entengnya, ban motor nyletuk, “kalau ada yang
berhak demo itu ya aku... bayangin aja masa setiap hari ngglindiing terus,
belom kalau nginjek becek, nginjek e'e', ditambah lagi tambalan sana sini
disekujur tubuh, kamu pernah kaya gitu emangnya, pot...?”. “Paling enak tuh si
Helm, tinggal nangkring uda jalan kemana mana dweh..,” tambahnya.
Helm protes, “Enak aja, kalian belum pernah kan disekap
bersama kepala yang rambutnya pirang selama beberapa jam..?? Pirang iki
maksude, pirang-pirang dino ra kramas..??? (Pirang ini maksudnya, beberapa hari
tidak keramas...???) pernahkah kalian.. pernahkah..??? kadang kadang aku pengen
jadi jok motor tuh, enak diduduki mbak mbak cantiiik...”
Jok motor yang disinggung Helm, senewen berat, “Weeee..
ladalah... belom pernah dikentutin sama manusia dia ya... bau apek kepala
ketombean masih belum apa-apa... belom lagi kalau ada yang basah basah dan agak
empuk... itu baunya masya Allah, awas ya kalau kalian protes, kalau menurut aku
si, paling enak ya si mesin itu, minuuum terus kerjaannya, tempatnya di dalem,
gak kena kentut, bahkan dia yang paling bikin knalpot menderita... “
Dengan suara serak berderak-derak berwibawa sang Mesin
menjawab, “Apaan sih kalian ini ribut-ribut, yang bisa bikin kalian ini
jalan-jalan kemana mana itu karena aku bisa hidup, dinyalakan sama empunya
kita, kalau dipikir-pikir aku yang paling berat membuat kalian bersama
penumpang kita bisa berjalan, tapi kalau dipikir pikir juga, kita gak bakalan
bisa jalan kalau salah satu diantara kita gak ada, ya gak Lurr..?”
Mendengar Motivasi sang Mesin, Stang ikut berkicau, “Iya
benar, kata Pak Mesin, kita semua punya fungsi masing masing, gak bisa
dibayangin kalau tiba tiba Ibu Jok pindah di posisi Mbokde Knalpot..?? Apa yang
terjadi..? Atau Pak Helm diposisi saya.. kan malah gak jadi jalan kemana-mana
kita... ya gak...??”
Kemudian Irul menyimpulkan, “Itulah pentingnya sakdermo... Kalau saja knalpot motorku
yang diluar bisa demo.. pasti mereka akan demo kalau tidak Sakdermo... Tapi, karena mereka masih sakdermo... mendedikasikan diri mereka sebagai sebuah knalpot..
maka motor jamusku yang diluar bisa berjalan dan aku bisa sampai disini...”
Sebelum Jodha menanggapi, Irul
kembali melanjutkan ceritanya, “Aku lanjut lagi ceritanya. Aku tutup dulu
ceritanya...
Mbookde Knalpot mengrungkan niatnya untuk berunujuk rasa,
karena ia bersyukur menjadi knalpot motor jamus yang selalu berjuang, daripada
knalpot mobil mercedes bens yang mulus tapi untuk maksiat terus....
Kemudian Irul bertanya pada
Jodha, “So, What will happened if there
is no 'Sakdermo'?”
“Yah sudah pasti motor itu ga
bakalan jalan, Rul, dan ga ada manfaatnya juga. Sama halnya manusia, jika dia
melakukan sesuatu dan tidak sakdermo
menjalaninya, sudah pasti apa yang akan dilakukan ga bakalan maksimal. Udah
kerja capek-capek tapi karena ga sakdermo,
pasti hatinya ngrundel dan semakin
bertambah deh capeknya. Beda kalau mau sakdermo,
pasti setiap apa yang dilakukan, Insha Allah akan terasa ringan. Kadang juga
ya, kalau kita menjalani segala sesuatu dengan sakdermo, tiba-tiba saja semua hal itu bisa cepat selesai dan bisa
menghasilnya hasil yang maksimal.”
“Yap... bener banget. Begitu pun
dengan kehidupan... Semua keinginan kita belum tentu terwujud, tidak semua
harapan akan menjadi kenyataan... Apapun yang ditetapkan oleh Allah, kita
jalani dengan iklas dan semua yang kita kerjakan juga diniati mencari ridho
Allah... Insha Allah semua akan menjadi barokah.”
PROK... PROK... PROK...
Serempak Irul dan Jodha menoleh
ke asal suara. Ternyata Pak Heri lah yang memberi aplause.
“Bapak bangga dengan kalian.
Meskipun usia masih muda, tapi pemikiran kalian sudah layaknya orang dewasa.
Ilmu agama kalian juga banyak. Tidak hanya berprestasi dalam sekolah, tapi ilmu
agama kalian juga tidak kalah.”
Jodha dan Irul sama-sama tersenyum tanpa menanggapi ucapan
Pak Heri. Dan mereka memilih melanjutkan pembicaran mereka tanpa menyinggung
agama.
Jalal yang ada diluar merenungkan
apa yang Irul dan Jodha obrolkan. Dia sadar bahwa dirinya jauh dari agama
islam. Memang di KTP dia beragama Islam, tapi untuk menunaikan sholat aja
jarang. Dia semakin tidak yakin bisa bersanding dengan Jodha. Dia semakin
bersyukur karena tidak jadi mengajak Jodha berpacaran.
“Ya Allah... Ampuni aku... Bimbinglah aku... bantu aku
untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Berilah hamba-Mu ini hidayah-Mu,” harap Jalal dalam hati.
Akhirnya Jalal memilih untuk langsung pulang dan
merenungi kesalahan-kesalahannya selama ini. Dan dia akan kembali ke sekolah
esok hari saja.
~o0o~
9 Bulan Kemudian
Jalal sedang berjalan mengelingi
daerah Surakarta seorang diri. Dia kuliah di universitas yang sama dengan Irul,
dengan jurusan yang berbeda, yaitu Tehnik. Jalal juga sudah tahu dimana Jodha mengambil kuliah. Untuk itulah, sebelum
dia kembali ke Jakarta, dia memutuskan untuk berkunjung di mana Jodha berada.
Meskipun mereka sudah tidak berada
di tempat yang sama. Tetapi komunikasi mereka masih berjalan lancar. Jalal yang
masih sering menghubungi Jodha melalui media sosial tapi jarang mendapatkan
tanggapan dari Jodha. Jodha masih membentengi dirinya dari hal-hal yang
sekiranya mengarah ke hal-hal yang tidak berguna. Apalagi jika Jalal sudah
mulai melantur dari pertanyaan yang masih bersifat umum menjadi kepada masalah
pribadi atau yang dianggap Jodha tidak penting.
Bukankah manusia itu tidak
mungkin tersandung gunung, tetapi pastinya tersandung kerikil atau benda
berwujud kecil? Sama halnya dengan pelanggaran. Dosa besar pasti terjadi dengan
diawali dengan meremehkan dosa kecil.
Tiba-tiba secara tidak sengaja,
mata Jalal menangkap sosok Jodha. Jalal langsung bersemangat ingin menghampiri
Jodha. Tapi dia langsung menghentikan langkahnya saat menyadari Jodha tidak
sendiri, dia sedang berjalan bersama seorang pria dan mereka tampak sangat
akrab. Hati Jalal terasa nyeri saat melihat Jodha tertawa lepas dengan lelaki
itu.
Mohon kritik dan sarannya... kalau bisa ide cerita
juga... Maklum, Mas Ilham lagi ngumpet...