re">
Aadhya Jodha : Kenapa kau ingin menolongku?
Rashed Jalal : Untuk mendapatkan perhatianmu
Aadhya Jodha : Apa kau harus sejujur itu?
Rashed Jalal : Apa lebih baik aku berbohong?
Aadhya Jodha : Berhentilah bicara omong kosong!
Aadhya Jodha : Katakan dulu bagaimana kau akan menolongku?!
Rashed Jalal : Ayo kencan denganku
Rashed Jalal : Tidak mau?? Lain kali pasti berhasil....
Rashed Jalal : Jodha? Kau masih disana?
Rashed Jalal : Ok. Ok. Kerjakan ini. Analisa dua laporan Spread
Sheet yang aku email. Cari perubahan yang signifikan. Hasilnya kuterima nanti
sore.
Aadhya Jodha : Apa harus hari ini?! Aku sedang cuti, kau
ingat???
Rashed Jalal : Justru karena itu, lebih baik kau fungsikan
otakmu untuk hal-hal yang lebih berguna....
Rashed Jalal : Dengan cara itu, pikiranmu akan bersih dari
orang yang tidak layak kau beri perhatian.
Aadhya Jodha : Itu urusanku!
Rashed Jalal : Itu urusanku juga.
Aadhya Jodha : Kenapa?
Rashed Jalal : Karena aku menyukaimu. Aku tidak suka orang yang
kusukai memikirkan orang lain.
~~~~~~~~~~~
Sambil
menggerutu dalam hati, Jodha meraih notebooknya dan mulai menyalakannya, cepat-cepat
menyelesaikan pekerjaan dari Jalal, agar pria itu tidak punya alasan lagi
mengganggunya. ‘Kadang aku lupa kalau dia itu bosku. Sikapnya makin hari makin
menyebalkan...’gerutu Jodha dalam hati.
“Jodha, ada
telepon dari Varun....” teriak Ibunya dari luar kamar, memecah konsentrasinya
memperhatikan angka-angka di layar monitornya.
“Aku masih
ganti baju, Bu. Tutup saja biar nanti aku yang menelponnya.” Jawab Jodha
berbohong.
Dia menghela
napas dengan berat. Entah sudah keberapa kalinya dia mengarang alasan yang
berbeda setiap kali Ibunya menyebut nama Varun. Yang lebih menjengkelkan lagi,
kenapa Varun masih terus menghubunginya?! Dia yang memilih wanita lain, tidak
bisakah dia melupakan saja wanita yang satunya?!
Semuanya baru
terjadi semalam, tapi rasanya dia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu hanya
untuk menangisinya, pagi ini Jodha merasa sangat lelah dan muak memikirkan hal
yang sama berulang-ulang. Andai Jodha sudah memiliki keberanian untuk
menceritakan yang sebenarnya pada Ibu dan neneknya, dia tidak perlu lagi
mencari-cari alasan. Yang menahannya adalah bayangan bahwa Ibunya akan sangat
sedih bila mengetahui rencana pernikahannya telah kandas. Ibunya sudah sangat
berharap banyak pernikahannya dengan Varun akan mengembalikan kehormatan
keluarga setelah bertahun-tahun dihancurkan oleh Ayahnya sendiri.
Untuk
menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Ibunya, Jodha mengurung diri dalam
kamarnya sambil mengerjakan laporan yang diminta oleh Jalal. Bahkan dia membawa
sarapannya ke dalam kamar, hal yang jarang dilakukannya kecuali saat sakit.
Jodha melihat Ibunya hanya mengernyitkan dahi melihat tingkahnya yang tidak
seperti biasanya.
“Aku harus
mengerjakan laporan dari kantor, Bu.” Itulah alasan yang diberikannya.
Tiga jam
lamanya Jodha berkutat di depan notebooknya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka
dan Ibunya menghambur masuk dengan wajah cemas.
“Jodha, Ibu
sudah tidak tahan lagi.... Katakan ada apa, Ibu tahu pasti ada masalah....Ibu
sangat mengenalmu, dan Ibu juga percaya kau bisa menyelesaikan masalahmu
sendiri. Ibu hanya ingin tahu, Nak....” pinta Ibunya dengan sedikit memaksa
Jodha menunduk,
tidak berani menatap Ibunya. Mungkin ini saatnya....
“Jodha....”
panggil Ibunya sekali lagi.
Jodha
mendongak, menatap wajah Ibunya yang berkerut-kerut cemas. Jodha tidak tega
melihatnya. Wajah Ibunya terlihat lebih tua dari usianya karena sudah lama
tidak dihiasi senyum. Lalu dia menuntun Ibunya dan mendudukkannya di pinggir
tempat tidur. Jodha duduk di sebelahnya. Dia menggenggam erat tangan Ibunya
seakan mencari pegangan disana.
“Ibu...”
Jodha mulai membuka suara, “Kalau aku cerita, Ibu jangan sedih ya...”
“Ada apa
sebenarnya, Nak?” tanya Ibunya dengan suara sedikit bergetar.
“Semalam aku
ke apartemen Varun. Disana sedang ada pesta...Pesta pertunangan Varun dengan
gadis lain, Bu....”
Nyonya Aadhya
menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang diceritakan oleh putrinya.
Matanya pun mulai sembab. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa rencana
pernikahan putrinya harus berakhir dengan cara seperti ini.
“Kenapa Varun
melakukan itu, Jodha?? Apa keluarga kita melakukan kesalahan??” desak Ibunya
mulai histeris.
“Tidak, Bu.
Kita tidak melakukan kesalahan apa-apa. Keluarga Varun memang tidak menghendaki
aku menikah dengan putranya. Mereka meminta mahar yang sangat besar, ternyata
itu hanya alasan mereka agar aku membatalkan rencana pernikahan itu...”
“Kau tidak
pernah menceritakan pada Ibu soal mahar !!” tuntut Ibunya.
“Aku sengaja
melakukannya, agar Ibu tidak khawatir. Maaf kalau aku mengecewakan Ibu karena
belum bisa mewujudkan keinginan Ibu agar aku menikah....Bagiku, lebih baik tidak
menikah daripada aku harus menderita dalam pernikahan dengan suami yang tidak
pernah menghargaiku...seperti Ayah tidak pernah menghargai Ibu....” dengan
sekuat tenaga Jodha berusaha menahan air matanya. Dia ingin tampak tegar di
depan Ibunya.
“Maafkan Ibu,
Nak...Ibu yang salah karena mendesakmu cepat-cepat menikah...” kata Nyonya
Aadhya di selak isak kesedihannya.
“Tidak, Bu.
Mana mungkin Ibu bersalah. Aku tahu yang Ibu pikirkan hanya kebahagiaanku....
Tapi mulai sekarang kita akan mengusahakan kebahagiaan kita dengan tangan kita
sendiri. Tidak perlu bergantung pada pernikahan apalagi seorang pria...”
Mereka
berpelukan sambil menangis. Saling menguatkan dan saling mendukung. Ikatan
kasih sayang antara seorang Ibu dan putrinya selalu menjadi sumber kekuatan
mereka untuk menghadapi masalah apapun dalam kehidupa mereka.
Akhirnya
semua sudah Jodha ungkapkan. Perasaannya juga lebih lega sekarang. Dia hanya
berdoa semoga Ibunya tidak terlalu sedih akan semua ini. Kebiasaan buruk Ibunya
adalah sering memendam semua kesedihannya sendiri dan akhirnya mempengaruhi
kondisi kesehatannya seperti saat ayahnya dulu masih hidup.
Malam
harinya, Jodha mengirim pesan YM pada Jalal.
Selasa, 28/03/13
Aadhya Jodha : Hasil analisaku sudah aku email.
Rashed Jalal : Apa yang kau temukan??
Aadhya Jodha : Perbedaan paling mencolok hanya pada lamanya
pembangunan gedung-gedung pabriknya. Spread sheet Golden Mills menunjukkan
waktu pembangunan gedung pabriknya selama 6 bulan dengan 500 ton semen, sedangkan
Golden Premium sudah lebih dari enam bulan, proyeknya belum selesai tapi sudah
menghabiskan 750 ton, padahal selisih luas gedungnya tidak terlalu besar.
Rashed Jalal : Besok kau masuk?
Aadhya Jodha : Ya, kenapa?
Rashed Jalal : Tidak usah ke kantor. Besok ikut aku saja
Aadhya Jodha : Tidak mau
Rashed Jalal : Aku masih bosmu, kau ingat?!
Aadhya Jodha : Apa ini urusan pekerjaan?
Rashed Jalal : Kau pikir apa?
Aadhya Jodha : Bukan apa-apa. Kemana?
Rashed Jalal : Ke lokasi Golden Premium.
Rashed Jalal : Pakai celana dan kemeja panjang, juga sepatu datar. Aku akan menjemput langsung ke
apartemenmu.
Aadhya Jodha : Kenapa harus denganku?
Rashed Jalal : Aku mau kamu.
Pagi datang terlalu cepat bagi Jodha. Baru saja dia
menyelesaikan sarapannya, Jalal sudah mengetuk pintu apartemennya. Bergegas
Jodha membukakan pintu. Dia sudah memberitahu Ibunya tentang rencana
perjalanannya hari ini, juga tentang siapa Jalal. Sebenarnya jika berhubungan
dengan pekerjaan, Ibunya tidak pernah berkomentar banyak. Dia hanya
mengantarkan Jodha sampai ke pintu dan mendoakan keselamatannya di jalan.
Tadi sebelum Jalal
datang menjemputnya, Jodha sempat berubah pikiran pada detik-detik terakhir.
Dia ingin membatalkan janjinya dengan alasan apapun yang akan dikarangnya. Tapi
belum sempat dia mengutarakannya, Jalal sudah ada di depan pintunya. Dengan
terpaksa Jodha akhirnya berangkat.
Perjalanannya cukup jauh, ke arah selatan keluar dari kota
Mumbay. Hampir dua jam mereka berkendara tanpa berhenti. Ini adalah perjalanan
luar kantor pertama untuk Jodha. Sebagai staf di balik meja, pengalaman ini
baru untuknya. Untunglah, Jalal bersikap cukup menyenangkan selama perjalanan,
tidak menggodanya dan mengatakan hal-hal aneh seperti sebelumnya. Mereka hanya
membicarakan tentang angka-angka dari hasil analisa laporan yang dikerjakan
Jodha semalam.
Akhirnya mobil mereka berbelok ke sebuah lahan luas dengan konstruksi
gedung setengah jadi di depan mereka. Jalal turun diikuti Jodha. Dua orang yang
sepertinya adalah penanggung jawab proyek datang menghampiri Jalal.
Mereka berbicara cukup serius, tapi Jodha tidak bisa
mendengarnya meski dia berdiri tak jauh dari Jalal. Suara mereka teredam oleh bisingnya
suara macam-macam alat berat di sekitar mereka.
Kemudian Jalal berjalan menuju suatu tempat yang ditunjuk
oleh dua orang tadi, dan memberi isyarat pada Jodha agar mengikutinya. Karena
mereka ada di lokasi konstruksi, mereka harus mengenakan atribut keselamatan.
Jalal sempat membantu Jodha mengenakan helmnya dengan benar, tanpa canggung.
Saat itulah buku-buku tangan Jalal sempat menyentuh pipinya sekilas, dan mengirimkan getaran-getaran dingin sepanjang
tulang belakang Jodha. Efeknya, wajahnya merona tak terkendali.
Lalu mereka berjalan berkeliling semua tempat. Kadang
mereka harus naik melalui titian tingkap yang tipis, kadang pula harus turun
melewati genangan semen dan pasir.
Jika mengenai angka-angka, Jodha ahlinya, tapi jika
berhubungan dengan konstruksi fisik dia sama sekali buta. Yang bisa
dilakukannya hanyalah mengikuti Jalal kemanapun dia melangkah, meski tidak
paham tujuan mereka datang ke tempat ini.
Inspeksi mereka berakhir di sebuah kabin yang difungsikan
sebagai kantor untuk para arsitek dan pimpinan proyek. Beberapa orang sudah ada
di dalam, sepertinya mereka memang berkumpul atas perintah Jalal. Kabin yang
tidak terlalu besar itu terasa makin sempit saat sepuluh orang lebih ada di
dalamnya.
Saat Jalal masuk, ketujuh orang yang lain berdiri
memberikan salam untuknya. Jalal hanya mengangguk kecil dan langsung menuju
kursi di ujung ruangan. Jalal duduk di kursi itu dan menyeret satu kursi lagi
ke sampingnya sebagai tempat duduk Jodha.
Sebenarnya Jodha segan untuk duduk karena yang lain
semuanya berdiri, tapi tatapan tajam Jalal memaksanya untuk duduk tanpa
membantah lagi.
“Proyek ini sudah berjalan berapa lama?” Jalal bertanya
dengan kaku.
“Delapan bulan lebih, Sir.” Jawab salah satu orang.
“Berapa bulan lagi sampai pembangunannya selesai?”
“Kira-kira lima bulan lagi, Sir.”
“Target awalnya berapa bulan?”
“Tujuh bulan, Sir.”
“Dan apa saja yang kalian lakukan selama tujuh bulan tapi
konstruksi belum jadi sepenuhnya! Apa kalian hanya bermain-main disini??!!”
nada suara Jalal mulai meninggi. Orang-orang di depannya semua menundukkan
wajah. Jalal berdiri mendekat dan menatap mereka satu persatu.
Baru pertama kali Jodha melihat sisi lain Jalal yang
menakutkan seperti ini. Wajahnya penuh amarah, siap menerkam siapapun yang
sudah berbuat salah menurut penilaiannya. Berbeda sekali dengan sikapnya saat
dia menggoda Jodha. Jika laki-laki saja takut menghadapi Jalal yang mengerikan
seperti ini, apalagi dirinya yang seorang wanita.
“Semen yang kalian datangkan di bawah standar. Semen yang
bagus hanya butuh dua jam untuk kering, tapi semen ini butuh lima jam untuk
kering. Apa kau pikir aku tidak akan tahu hal-hal seperti ini? Kalian pikir
perusahaan akan diam saja??! Apa gaji kalian kurang??! Apa fasilitas untuk
kalian juga masih kurang??!!” Mereka serempak menggeleng, “Kalau kalian ingin
mencari penghasilan tambahan, lakukan pekerjaan sampingan, jangan mencari
keuntungan sampingan dari proyek ini!! Kalian mengerti??!”
“Kuberi kalian waktu satu minggu untuk mengganti semua
semen jelek itu! Jika kalian bisa melakukannya, pekerjaan kalian aman!” Jalal
lalu memerintahkan semua orang itu keluar untuk kembali bekerja.
Setelah semua orang sudah keluar, hanya tinggal mereka
berdua di dalam kabin kecil itu.
“Pergilah ke mobilku dan ambilkan kantong berwarna coklat
yang kuletakkan di kursi belakang.” Jalal berkata pada Jodha.
Jodha mengangguk dan pergi ke tempat mobil Jalal diparkir.
Diambilnya kantong coklat itu kembali ke dalam kabin.
Saat Jodha kembali, dilihatnya tubuh Jalal terbaring santai
pada satu-satunya sofa di dalam kabin. Tangannya dilipat di atas dadanya,
kakinya diluruskan dan matanya terpejam. ‘Apa dia tertidur?’ tanya Jodha dalam
hati. Pelan-pelan dia menutup pintu di belakangnya agar tidak membangunkan pria
itu, jika memang dia tertidur. Dengan langkah sedikit berjingkat, Jodha
mendekati tubuh Jalal dan berdiri menjulang tepat disampingnya. Tangannya
dilambai-lambaikan di depan wajah Jalal, tidak ada respon, berarti Jalal memang
tertidur.
Jodha sedikit lebih santai, dipandanginya lekat-lekat wajah
tampan Jalal. Mumpung pria itu sedang tertidur, Jodha ingin sepuas-puasnya
memandangi kontur wajah Jalal yang diakuinya memang sangat mempesona. Hidungnya
yang mancung, rahangnya yang kuat, alis mata yang tebal dan mata yang tajam
dibalik kelopaknya yang sedang tertutup rapat. ‘Benarkah pria setampan ini
menyukaiku? Kenapa rasanya sulit sekali mempercayainya??!’ tanya Jodha dalam
hati. Tanpa sadar tubuhnya pelan-pelan makin merunduk ke bawah agar dapat
melihat wajah Jalal lebih jelas .
“Kau harum sekali” pernyataan itu meluncur dari bibir Jalal
meski matanya masih terpejam rapat.
Sontak saja suara itu mengejutkan Jodha. Tubuhnya tegak
seketika. Matanya membulat karena terkejut. Ternyata Jalal tidak tertidur dan, parahnya
lagi, dari tadi dia tahu Jodha sedang memandangi wajahnya .
Jodha kembali mengatur ekspresi mukanya agar tetap datar,
seolah-olah dia tidak sedang terpergok diam-diam memandangi wajah seorang pria.
“Wajahku lebih tampan dilihat dari sebelah kiri atau
kanan?” tanya Jalal polos setelah membuka matanya.
“Jangan takut. Aku tidak akan marah. Justru kesempatan
langka ini hanya kuberikan padamu. Silakan kau pandangi wajahku sepuasnya...kau
juga boleh menyentuhnya...” goda Jalal diantara seringai konyolnya.
“Dasar gila.” Sambil mengumpat, Jodha dengan sengaja melemparkan
kantong coklat yang sedari tadi dipegangnya langsung ke arah wajah Jalal hingga
menutupi wajah pria itu, lalu dia pergi keluar dari ruangan itu mencari udara
segar.
Jodha masih sempat mendengar Jalal tertawa dari dalam kabin.
Dengan wajah cemberut, Jodha menyandarkan tubuhnya di depan
kap mobil Jalal. Andai dia tahu jalan, dia akan langsung pulang tanpa menunggu
Jalal. Jodha menyesal sudah menuruti perintah Jalal kemarin.
Tidak berapa lama, Jalal menyusul dirinya sambil menenteng
kantong coklat itu.
“Kenapa kau pergi? Aku hanya bercanda...” kata Jalal saat
tiba di dekatnya.
Jodha diam saja. Dia malah memalingkan muka.
“Apa yang ada di dalam kantong itu?”
“Sarapanku.”
“Jadi kau belum sarapan?!”
“He’eh, kau mau?”
“Tidak. Apa tidak sebaiknya kau makan di dalam kabin?!
Disini berdebu.”
“Apa kau mau menemaniku?”
“Tidak. Aku tunggu disini saja.”
“Ya sudah...” kata Jalal sambil menggigit roti isinya dalam
gigitan besar. Jodha hanya geleng-geleng kepala melihat lahapnya Jalal menikmati
sarapannya.
Jodha mengedarkan pandangannya ke seluruh area konstruksi.
Tempat ini sangat luas. Yang sebelumnya hanyalah tanah kosong akan berubah
menjadi sebuah pabrik megah dengan hasil produksi milyaran per tahun. Semua itu
akan terjadi dalam 5 bulan ke depan. Jodha bisa bayangkan hiruk pikuknya, para
buruh, suara mesin dan pedagang jalanan yang juga akan mencari keuntungan di
sekitar pabrik.
Entah darimana datangnya, ada seorang pekerja, yang masih
cukup muda sekitar 30-an tahun, datang mendekat ke arah mereka. Dan langsung
bicara kepada Jalal, “Sir, terima kasih...Terima kasih sudah menolong
keluargaku....Meski tidak ada yang memberitahuku, tapi aku yakin kaulah yang
telah melunasi semua biaya Rumah Sakit istriku...Aku tidak tahu bagaimana cara
membalasnya...Aku berhutang budi padamu. Dan jika kau butuh aku melakukan
apapun untukmu, katakan saja....” katanya dengan penuh perasaan.
Jalal terlihat agak kikuk menghadapi rentetan ungkapan
terima kasih dari laki-laki di depannya itu.
“Bisakah kau tidak menceritakannya pada orang lain?! Itu
saja sudah cukup....” jawab Jalal pelan, seakan mengajaknya berkomplot untuk
menyimpan sebuah rahasia.
Jodha yang melihatnya hanya senyum-senyum kecil melihat
interaksi dua laki-laki itu.
“Baik, Sir...Apapun keinginanmu, Sir.”laki-laki itu dengan
penuh semangat menjabat tangan Jalal dan menggerak-gerakkannya naik turun.
Jalal sampai kewalahan.
“Baiklah...Sebaiknya kau kembali bekerja. Aku bisa
memecatmu kalau kau tidak bekerja dengan benar.” Perintah Jalal.
“Baik, Sir...Sekali lagi terima kasih..” lalu dia berlalu,
melanjutkan pekerjaannya bersama pekerja konstruksi yang lainnya.
Jalal menoleh pada Jodha yang masih tersenyum manis ke
arahnya.
“Apa kau masih tidak percaya kalau aku pria yang baik?”
tanya Jalal sambil mengerlingkan matanya.
“Aku percaya....Aku cukup tersentuh dengan kebaikanmu. Aku
hanya tidak pernah mengira saja...” jawab Jodha lembut, lalu bertanya
penasaran, “Tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau orang tadi membutuhkan
bantuan?”
“Anggap saja, aku harus tahu setiap orang yang bekerja
denganku. Kelebihan maupun masalah mereka. Dengan bantuan beberapa temanku, aku
bisa mengetahui latar belakang mereka...”jawab Jalal.
“Semacam tim penyelidik...?”
“Begitulah...”
“Setiap orang tanpa kecuali?”
“He’eh.”
“Berarti kau juga tahu latar belakangku...dan
keluargaku...?”
Jalal diam, sepertinya dia tahu arah pertanyaan Jodha.
“Kau diam artinya kau tahu. Karena itukah kau mendekatiku?
Kau iba padaku? Atau suatu saat kau akan mengancamku dengan aib keluargaku agar
aku mau menuruti keinginanmu?.....Sampai berapa lama?! Sampai kau puas dan aku
merengek-rengek meminta belas kasihanmu?!...Seperti itukah kebaikan yang kau
lakukan??” desak Jodha karena marah.
“Jodha, bukan itu tujuanku mencari tahu...”Jalal mencoba
menjelaskan
Tapi langsung dipotong oleh Jodha,“Stop!.”
Dengan wajah merah padam karena marah, Jodha berlalu
meninggalkan Jalal. Dia masuk ke dalam kabin dan langsung menyibukkan dirinya
dengan laporan-laporan di dalam laptopnya. Jalal menyusul tak lama kemudian.
Tapi mereka tidak saling bicara. Hingga sore, mereka bekerja bersama dalam
kebisuan, tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan.
Bahkan sampai di dalam mobil, saat Jalal mengantarnya
pulang dari lokasi konstruksi Golden Premium, Jodha masih terlihat cemberut.
Beberapa kali Jalal mencuri-curi pandang ke arah Jodha. Memikirkan cara untuk
mencairkan suasana yang beku itu.
Jalal melirik lagi, kali ini dilihatnya Jodha sedang
membuka ponselnya.
“Aku minta maaf. Aku memang salah karena menyelidiki latar
belakang keluargamu tanpa ijin. Kulakukan semata hanya karena aku ingin
mengenalmu lebih dekat. Aku tidak pernah punya niatan buruk. Hanya itu yang
bisa kukatakan. Kalau kau masih tidak percaya, aku tidak tahu lagi....” ujar
Jalal lemah.
Beberapa saat tidak ada respon dari Jodha, dia masih duduk
kaku di tempatnya. Ponselnya kini digenggam lemah di atas pangkuannya.
“Aku juga terlalu kasar padamu, aku minta maaf.....Aku ini
gadis kolot yang selalu tunduk pada alur-alur konservatif saat mengawali hubungan.
Perkenalan, saling menanyakan kabar, kesukaan, barulah saling menceritakan
masalah. Itupun masalah-masalah kecil yang tidak ada sangkut pautnya dengan
nama baik keluarga.... Baru kali ini aku bertemu dengan pria sepertimu, yang
mengatakan semua yang ingin kau katakan, dan melakukan semua yang ingin kau
lakukan. Dan aku bingung bagaimana harus meresponmu....” jelas Jodha panjang
lebar.
“Anehnya, aku bersikap terbuka seperti ini juga hanya
denganmu...” gumam Jalal lirih hampir tak terdengar.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”elak Jalal.
Secara bersamaan, mereka menoleh dan saling tersenyum,
bentuk rekonsiliasi kecil mereka.
Jalal kembali berkonsentrasi dengan kemudinya, sementara
Jodha kembali asyik dengan ponselnya.
“Jodha...”
“Ehmmm...”
“Mau berkencan denganku?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, makan malam saja?”
Tidak.”
“Jalan-jalan?”
“No.”
“Berlibur?”
“Menakutkan.”
“Makan es krim?”
“Aku bukan anak kecil.”
“Di drama-drama tv, biasanya wanita paling suka diajak
makan es krim.”
“Aku tidak nonton drama.”
“Tidak nonton sama sekali?”
“Tidak, ceritanya selalu membosankan.”
“Lalu apa yang kau lakukan saat malam?”
“Membaca.”
“Selain itu?”
“Tidur.”
“Kau bohong.”
“Apa maksudmu?” Jodha mulai terpancing.
“Tidak mungkin hanya itu yang kau lakukan saat malam, pasti
ada yang lain...” Jalal mulai menggodanya.
“Yang PASTI bukan urusanmu.”
“Aaah..aku tahu....” kata Jalal sambil menoleh dan
tersenyum misterius.
“Apa...?” potong Jodha.
“Berapa kali kau memandang fotoku di ponselmu?” tanya Jalal
tanpa basa-basi, sukses membuat Jodha gelagapan sampai-sampai ponselnya
meluncur jatuh dari tangannya, menimbulkan suara keras di dalam kabin mobil
Jalal.
Jalal tertawa kecil mengetahui Jodha sedikit terpancing.
“Tidak pernah! Aku sudah menghapusnya...!” elak Jodha,
namun rona merah di pipinya tidak bisa berbohong.
“Kau yakin? Coba kulihat....” kata Jalal sambil merebut
ponsel Jodha yang baru diraihnya dari bawah kakinya.
“Jangan..” Mereka saling merebutkan benda kecil itu.
“Biar kulihat, baru aku percaya..”
“Tidak ada ya tidak ada!” Jodha bersikeras, tapi ponsel itu
berhasil dipertahankannya dan langsung dimasukkan kembali ke dalam tasnya.
Jantung Jodha berdegup kencang karena gugup, bisa-bisanya
Jalal menebak soal itu. Jangan sampai dia tahu.....Karena pada kenyataannya foto
Jalal masih tersimpan rapi di ponselnya.
Sejak foto pria itu mengendap di ponselnya, Jodha selalu berusaha menahan jari-jarinya
yang gatal ingin membuka dan melihat foto Jalal. Tapi tidak pernah berhasil.
Jadi sekali dalam tiap jam, Jodha akan memandang dan menikmati pesona Jalal
untuk dirinya sendiri. Dan Jodha lebih baik mati daripada Jalal mengetahui
rahasia itu....
Jodha menoleh sekilas ke arah Jalal, untunglah pria itu
tidak bisa membaca isi pikirannya. Apa jadinya kalau semua yang dia pikirkan
muncul dalam bentuk newsticker di dahinya.....Jika itu terjadi, biarlah bumi
ini menelannya bulat-bulat...
“Jadi kau masih tidak mau mengaku ya?”
“Meski kau menghadapkan aku di depan algojo, aku tidak akan
mengakui apa yang tidak pernah kulakukan.” Kata Jodha, mempertahankan
kebohongannya.
“Kalau kutanya siapa wanita yang bersamamu hari Sabtu yang
lalu, apa kau mau jujur?!” tanya Jodha memulai serangan balik.
“Aha...Apa kau terganggu melihatnya bersamaku?” goda Jalal.
“Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak peduli kau bersama siapa.
Itu semua membuktikan serendah apa moralmu. Disini kau berusaha keras merayuku,
sementara ada wanita lain yang sedang menunggumu. Apa kau sama sekali tidak
peduli pada perasaannya?!” tanya Jodha makin kesal.
“Aku sangat peduli pada perasaannya. Percayalah, aku sudah
sering melarangnya, tapi tetap saja dia menungguku pulang setiap malam...” kata
Jalal lalu menambahkan, “Menurutmu aku harus bagaimana? Dia gadis yang sangat
baik, dia juga sangat sayang padaku. Aku tidak bisa berkata kasar padanya, tapi
sikapnya yang cerewet itu sering merepotkan. Dia tidak pernah keberatan aku
mendekati wanita lain, tapi kalau seperti ini caranya, bisa-bisa kesempatanku
mendapatkan cinta juga akan hilang...”
Serasa menelan sebongkah batu besar di tenggorokannya
mendengar pengakuan Jalal tentang wanita yang bersamanya waktu itu. Jodha
sempat berharap wanita itu bukan orang spesial bagi Jalal, tapi lagi-lagi kenyataan
lebih pahit dari khayalannya. Bukannya dia berharap Jalal akan menjadi
miliknya, tapi paling tidak Jalal akan
mematahkan stigma yang sudah terlanjur menempel bahwa pria tampan tidak bisa
setia pada satu wanita saja....
“Tidakkah kau malu?!”
“Untuk apa? Yang penting kan aku selalu pulang tiap malam.”
Jawab Jalal enteng.
Jodha tidak tahan lagi mendengarnya. Dia membuang muka
hingga wajahnya menempel ke kaca samping kiri mobil. Memperhatikan lampu jalan
yang berkelebatan dilewatinya.
“Kalau dipikir-pikir lagi, adikku itu keras kepalanya mirip
denganmu. Kalian berdua pasti bisa langsung cocok.”
“Adik?!” tanya Jodha dan mengulangi pertanyaannya, “ADIK?!”
“Iya, gadis itu adikku. Kalau malam ini kau mau mampir ke
apartemenku, adikku pasti masih menungguku pulang....” beber Jalal.
Rasanya bagai diguyur air dingin. Jodha malu sekali. Jalal
telah berhasil mempermainkannya dan dengan mudahnya dia terpancing. Ada setitik
senyum yang berusaha disembunyikannya dari Jalal.
“Jadi bagaimana? Kencan pertama di Four Season?” rayu
Jalal.
“Tidak.” Jawab Jodha pendek, lalu dia menambahkan dengan
alis sedikit berkerut, “Apa kau merayu setiap wanita dengan cara seperti ini?”
“Dengan wanita lain, aku bahkan tidak perlu merayu..” jawab
Jalal pelan tapi serius.
“Aku tidak heran.”
“Aku belum pernah berusaha sekeras ini mendekati seorang
wanita. Kau... Hanya karena kau....” kata Jalal sambil menatap Jodha dari
tempat duduknya.
Jodha kembali terdiam. Tidak tahu harus merespon bagaimana.
Dirinya terbelah diantara dua keyakinan. Satu bagian dirinya percaya
kesungguhan kata-kata Jalal, namun bagian dirinya yang lain, yang lebih logis,
tetap menyangkalnya.
Mobil berhenti, tak terasa mereka sudah sampai apartemen
Jodha. Jalal sudah turun mendahului Jodha dan membukakan pintu untuk gadis itu.
Jodha turun dan merapikan celananya.
“Terima kasih. Kau tidak perlu mengantarku sampai
atas.”ujar Jodha tenang.
“Aku ingin. Mulai sekarang kau harus membiasakan diri
berjalan bersamaku...”kata Jalal.
“Jalal...Aku...”
“Tidak perlu menjawab. Itu untuk kau pikirkan nanti..”
Jalal tersenyum dan memberi isyarat pada Jodha untuk berjalan di sebelahnya.
*****************