Gadis yang aneh. Biasanya seorang gadis akan bersikap
malu-malu bila didekati seorang pria, tapi yang satu ini justru ingin lari
jauh-jauh....
Jalal menumpangkan sikunya di atas meja dan menautkan
jari-jari kedua tangannya sejajar dengan wajahnya. Pikirannya berputar sambil
menatap layar monitor di depannya. Bukan tentang pekerjaan yang menjadi
masalahnya , tapi tentang gadis yang sedang duduk tepat di seberang ruangannya,
yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya, tapi Jalal tahu dia hanya
berpura-pura saja. Jalal yakin pasti ada cara untuk mendekati Jodha. Sebelum
waktu makan siang hari ini dia pasti sudah menemukan caranya.
Jodha duduk kaku di dalam biliknya. Dia tidak berani
mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar monitor, karena inderanya
mengatakan bahwa pria itu, yang akhirnya dia ketahui bernama Jalal Rashed,
sedang memperhatikannya dari balik kaca ruangannya. ‘Silakan lakukan apapun yang kau mau. Tidak akan berpengaruh apa-apa
padaku. Aku hanya akan memikirkan pekejaanku saja!’ sungut Jodha dalam
hati.
Baru saja Jodha memikirkannya, sudah muncul pesan baru dari
Jalal di YM-nya yang tertulis,
Rashed Jalal : Ke ruanganku. Sekarang.
Jodha membuang napas dengan kesal. Cepat atau lambat
interaksi antara mereka pasti terjadi. Tapi Jodha bertekad akan menghadapinya
dengan profesional. Dia lalu berdiri, merapikan roknya, mengatur ekspresi
wajahnya sedatar mungkin, dan berjalan menuju ruangan pimpinan barunya.
Terlebih dahulu Jodha mengetuk pintu, setelah mendengar
suara Jalal yang menyuruhnya masuk, barulah Jodha membuka pintu ruang kerja
pria itu.
Meski langkahnya berat saat memasuk ruang kerja Jalal, tapi
Jodha masih sempat melihat sekilas hasil permak yang dilakukan tim maintenance
pada ruangan ini yang sebelumnya adalah ruang meeting untuk staf lantai 3. Meja
panjang untuk rapat yang biasa digunakan beserta kursi-kursi berjumlah sekitar
20 buah sudah berganti dengan meja kayu berukuran besar dengan kursi tinggi di
belakangnya. Di sudut lain adalah sofa berwarna moka beserta meja kopinya untuk
para tamu pimpinan. Di meja Jalal ada sebuah komputer di satu sisi dan notebook
di sisi yang lain dan keduanya sama-sama menyala. Sebuah telepon meja
bertengger di samping kanan. Dan pastinya, yang mustahil diabaikan adalah
keberadaan sang pemilik ruangan itu sendiri yang terlihat mendominasi di
ruangan tertutup itu.
Jodha berjalan mendekat. Dan berdiri di seberangnya,
dipisahkan oleh meja kayu di depan Jalal.
“Ya, Sir?” tanya Jodha formal, tapi dia tidak berani beradu
mata dengan Jalal.
“Buatkan perbandingan laba rugi Golden Beverages dan Golden
Textiles selama mereka berdiri.” Perintah Jalal singkat.
“Baik, Sir.”
“Kalau kau butuh bantuan, jangan segan untuk
memintanya....Jodha Aadhya.” Jalal menyebut nama Jodha dengan penekanan yang lebih.
Jodha menahan kata-kata balasannya dengan menggigit bagian
dalam mulutnya kuat-kuat. Sebelum berbalik keluar, entah bagaimana dia sempat
mengangkat wajahnya dan saat itulah dia melihat Jalal tersenyum manis padanya.
‘Tahan
Jodha...tahan...Jangan terpesona padanya. Anggaplah dia adalah penyakit
berbahaya yang harus kau hindari.’ Omel Jodha dalam hati sambil mengepalkan
kedua tangannya untuk menahan diri.
Jodha menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan kesal.
Instingnya mengatakan mulai hari ini dia akan menghadapi banyak masalah karena
pria bernama Jalal itu. Dia merasa rugi sudah menganggap pria itu sebagai sang
penolong, ternyata....
Apapun yang terjadi, Jodha bertekad tidak akan membiarkan
Jalal mengusik ketenangan dan kendali dirinya. Jangan sampai pria itu tertawa
sombong karena telah berhasil mempengaruhi pikiran dan hatinya. Pria-pria itu
hanya menganggap wanita sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, dan ketika
seorang wanita sudah menyerah pada pesonanya, maka mereka akan segera
kehilangan minatnya dan hancurlah perasaan wanita yang sudah dipikatnya.
Entah sudah berapa lama Jodha tenggelam dalam kemelut
perasaannya sendiri, bahkan laporan yang harus dikerjakannya pun belum
disentuhnya sama sekali. Begitu dia sadar sudah menyia-nyiakan waktunya, dengan
gerak cepat dia mulai membuka file-file terkait laporan yang harus disusunnya.
Baru beberapa menit Jodha mulai bekerja, tiba-tiba
terdengar suara cukup keras yang cukup dekat dari mejanya. Kepalanya terangkat
mencari asal suara itu dan sepertinya beberapa rekan kerjanya juga melakukan
hal yang sama. Mereka menoleh ke kanan dan kiri kebingungan gara-gara suara
keras tadi.
Dari sudut matanya, Jodha melihat temannya, Sneyka,
berjalan terburu-buru keluar dari ruangan CFO. Yang membuat Jodha makin
mengerutkan alisnya karena Sneyka berjalan sambil menutupi wajahnya. Dengan
wajah cemberut, Jodha mengarahkan pandangannya kembali tepat ke seberang
mejanya, menatap ke balik kaca gelap yang membatasi ruangannya sambil bergumam,
‘Pasti telah terjadi sesuatu di dalam
sana!’
Entah perasaan apa yang mendorongnya, Jodha berdiri dan
melangkah cepat ke ruangan CFO. Hanya dengan tiga kali ketukan di pintu dan
tanpa menunggu jawaban dari dalam, Jodha langsung menyelonong masuk. Sang
pemilik ruangan hanya mengangkat alisnya sedikit seakan sudah bisa menebak akan
maksud kedatangan Jodha.
“Aku mengenalmu sebagai pria yang sangat menghormati
wanita!Tapi kenapa kau malah membuat seorang wanita menangis?!” labrak Jodha
tanpa koma satupun...
Jalal hanya tersenyum kecil, “Karena kita sudah saling
mengenal, apa kau menuntut perlakuan khusus di kantor ini?”
“Tidak! Tentu saja tidak! Aku hanya ingin tahu apa yang
sudah kau lakukan pada Sneyka sampai-sampai dia keluar dari ruangan ini sambil
menangis?!”
“Aku hanya memperlakukannya sepatutnya yang berhak dia
terima. Kalian para wanita bekerja di perusahaan ini, menuntut diperlakukan
setara dengan kami para pria. Jadi, apakah salah jika aku juga menuntut hasil
kerja yang sama seperti para pria?!”
“Tidak, tapi...”
“Apa kau juga sudah menanyakan pada temanmu itu kenapa dia
sampai menangis?...Coba sekarang lihatlah apa temanmu itu masih menangis?”
Karena terdorong oleh rasa penasaran, dari jendela gelap
ruangan CFO, Jodha melihat Sneyka sudah tidak menangis lagi, bahkan dia
sekarang sedang sibuk bicara di ponselnya. Dengan rasa malu yang berusaha ditutupi,
Jodha berbalik, tapi betapa terkejutnya dia saat wajahnya menabrak dada bidang
Jalal yang ternyata diam-diam sudah berdiri di belakang punggungnya.
Dengan tersipu, Jodha bergeser menjauh. Sementara Jalal
malah tersenyum-senyum melihat Jodha yang salah tingkah.
“Bagaimana...?”
“Eh..apanya?” Jodha bertanya linglung
“Temanmu itu, apa dia masih kelihatan sedih?”
“Tidak...dia sudah tidak sedih lagi..”
“Kalau begitu apa kau akan percaya padaku jika kuceritakan
apa yang telah dilakukan temanmu tadi disini?” tanya Jalal sambil berjalan
kembali ke kursinya.
Jodha mengangguk.
“Singkatnya, aku menerima laporan hasil kerjanya yang jauh
dari standar perusahaan, dan aku menegurnya. Tapi dia mulai melewati batas dengan
menyelipkan nomor teleponnya disini. Mungkin dia menganggap karena kita pernah
mengobrol akrab, maka aku akan mentolerir sikapnya.” Kata Jalal sambil
menunjukkan selembar kertas kecil bertuliskan deretan nomor telepon, dan Jodha
hapal itu adalah milik Sneyka.
“Karena aku tidak respek dengan apa yang dilakukannya, aku
menegurnya lebih keras dengan sedikit ancaman.
Apa menurutmu aku salah?” tanya Jalal meski tidak menuntut jawaban dari
Jodha.
Sekarang Jodha yang merasa bersalah karena sudah menuduh
sembarangan tanpa tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Untuk menutupi rasa
malunya dia hanya berdiri menunduk memandangi ujung sepatunya.
“Eh tidak..Maafkan aku kalau begitu...Aku..sebaiknya aku
kembali ke mejaku...Aku masih belum menyelesaikan laporan yang kau minta......”
cepat-cepat Jodha berbalik dan berjalan menuju pintu.
“Apa kau selalu menganggap semua pria itu tak bermoral?
Atau hanya pria-pria tertentu? Jika mengutip kata-katamu di YM tadi, hanya
pria-pria menarik yang kau masukkan daftar hitammu, benar begitu?!” tanya Jalal
tiba-tiba, menghentikan langkah Jodha tepat di dekat pintu.
“Anggaplah seperti itu.”
“Kenapa?”
“90 persen wanita yang berhubungan dengan pria tampan
selalu berakhir dengan patah hati.”
“Jadi...aku tidak punya kesempatan sama sekali?”
“Tidak denganku.” Jawab Jodha dan bergegas keluar sebelum
Jalal melontarkan lebih banyak pertanyaan lagi.
Terlalu penat rasanya hanya untuk melalui satu hari saja.
Jodha bahkan tidak sanggup lagi membebani otaknya dengan masalah-masalah lain
yang belum terselesaikan. Laporan yang belum tersusun, persiapan pernikahan,
kekasih yang tak bisa dihubungi. Semuanya berputar saling tumpang tindih
memenuhi kepalanya. Energinya habis tak bersisa hanya karena memikirkan semua
itu. Alhasil, saat jam pulang kantor, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
Awalnya Jodha ingin langsung pulang saja, tapi ada satu
masalah mendesak yang harus diselesaikannya terlebih dulu, kalau tidak masalah
itu akan mengganjal pikirannya terus.
Jodha menghentikan taksi tepat di depan gedung kantornya, dia
bertekad akan megklarifikasi kecurigaannya dengan Varun langsung, malam ini
juga.
Tanpa dia ketahui, ada sebuah mobil yang membuntuti taksi
yang ditumpanginya sejak dia keluar Golden Building.
Jalal mengerutkan keningnya saat menyadari taksi yang
dinaiki Jodha tidak mengarah ke rumah gadis itu. ‘Mau kemana dia?’ tanyanya dalam hati. Tadinya dia berniat mencegat
Jodha untuk mengantarkannya pulang sebelum gadis itu sempat naik bis sekaligus
mencari-cari kesempatan untuk mendekatinya. Namun ternyata gadis itu naik taksi
dan arahnya berlawanan dengan tempat tinggalnya.
Setelah berputar-putar selama 30 menit, Jalal melihat taksi
di depannya berbelok masuk ke sebuah komplek apartemen di Kandivali East. Taksi
berhenti dan Jodha turun dengan sedikit terburu-buru. Jalal makin curiga, dia
pun keluar dari mobilnya dan bergegas menyusul Jodha yang sudah masuk ke dalam
gedung.
“Jodha...”panggil Jalal.
Tubuh Jodha berputar dengan cepat karena mendengar suaranya,
“Jalal?! Kau juga disini?! Apa kau mengikutiku?”
Jalal mengabaikan pertanyaan Jodha, dia malah balik
bertanya, “Apa yang kau lakukan disini? Apa kau punya urusan penting disini?!”
“Bukan urusanmu! Jangan mengikutiku dan menjauhlah dariku!”
hardik Jodha.
“Tidak. Kalau kau berjalan dengan wajah ceria, aku tidak
akan mencemaskanmu. Tapi sekarang kau berjalan seakan kau ingin membunuh
seseorang dan aku tidak butuh alasan lain untuk membuntutimu. Aku harus
memastikan kau baik-baik saja hingga kau sampai di rumah nanti.” Jalal menjawab
sama kerasnya.
“Arrgghh...” Jodha menggeram karena benar-benar kesal
menghadapi sikap Jalal yang sekeras batu.
Tanpa membalas kata-kata Jalal, Jodha langsung berbalik
dengan menghentakkan kaki dan terus berjalan masuk ke dalam lift. Jalal
mengikutinya masuk dan melihat Jodha memencet tombol lantai 5.
Di lantai 5, Jalal terus mengekor langkah-langkah Jodha
hingga mereka sampai ke depan sebuh pintu apartemen bernomor 3.
Seperti sebuah kebetulan, pintu itu tidak tertutup rapat.
Dari celah pintunya, Jalal dan Jodha mendengar suara-suara berisik yang berasal
dari dalam. Jodha mendorong pintu itu hingga terbuka dan dia masuk ke dalam.
Di dalam ruangan itu ada sekitar dua puluh orang sedang
berkumpul, mereka tertawa dan mengobrol seperti sedang merayakan sesuatu. Tak
ada satupun yang sadar ada tamu tak diundang sedang menatap mereka dari pintu masuk.
“Varun, kau pria yang beruntung.... Manoo itu gadis yang
cantik dan juga pintar....Dia bukan hanya menjadi istri kebanggaanmu, tapi juga
akan menjadi menantu kebanggaan keluarga ini....” Kata-kata itu disambut sorakan
dari semua orang disana, kecuali Jodha....
Lebih buruk dari tersambar petir dan lebih sakit dari
tersayat pisau....kata-kata itu menghujam langsung ke hatinya, ke jantungnya
dan juga ke otaknya. Matanya membelalak lebar tak ingin percaya pada apa yang
baru saja didengarnya. Pikirannya mati rasa, dan jantungnya berhenti berdetak.
Dia ingin berteriak tapi suaranya tak mampu keluar. Mulutnya hanya membuka
menutup sibuk mencari udara untuk mengisi paru-parunya yang kosong.
“Varun!” akhirnya Jodha bisa bersuara.
Seakan dikomando, semua orang yang berada dalam ruangan itu
serentak menoleh ke arah Jodha.
“Jodha..???!!!” Varun sama tak percayanya saat melihat
Jodha sudah ada di dalam apartemennya.
“Jadi seperti itu?!...Kau hanya perlu mengatakan ‘Jodha,
aku tidak mau menikah denganmu. Hubungan
kita berakhir’....apa itu sulit sekali??!.. Jangan pedulikan perasaanku...Kau
juga tidak perlu repot-repot menutupi semuanya...Aku paling benci
dibohongi..!!” emosi Jodha akhirnya tumpah.
Dadanya naik turun karena luapan kemarahan yang tak mampu
ditahannya lagi. Matanya memerah, memandang marah pada Varun, pria yang pernah
dengan bangga dia perkenalkan sebagai calon suaminya, kini pria itu masuk dalam
daftar hitam orang-orang yang dibencinya.
“Jodha....aku...” Varun tergagap sambil menghampiri Jodha,
merasa sudah tidak punya kesempatan untuk membela dirinya sendiri....
“Tuan Chauhan....” Jodha beralih pada ayah Varun, yang
berdiri angkuh dan membisu di belakang putranya..
“Tuan Chauhan...mahar sebesar itu yang kau minta dariku,
itu hanya alasanmu saja kan?! Yang kau inginkan sebenarnya adalah aku pergi
dari hidup putramu, benar begitu kan?!... Kalau saja kau katakan dari dulu,
sudah pasti akan kulakukan...Kau tidak perlu repot mengarang berbagai macam
alasan untuk mengusirku....Aku hidup dengan tanganku sendiri, dan aku bersumpah
tidak akan meminta belas kasihan dari orang lain, jika aku memang tidak
diinginkan dalam keluarga ini, aku juga tidak akan memohon-mohon untuk tinggal
disini...”
“Yang paling aku sesali adalah pengorbanan yang telah
banyak aku lakukan demi perasaan yang aku pikir adalah cinta pada pria yang
bahkan tidak layak untuk kuhormati!” suara Jodha tercekat.
Meski Jodha puas sudah meluapkan kemarahannya, tapi dia
harus keluar dari ruangan itu dengan cepat. Di dalam sana udaranya makin sesak
membuatnya kesulitan bernapas, atau mungkin itu karena air mata yang mendesak
ingin keluar. Jodha berbalik dan menubruk dada kokoh Jalal....
Astaga, Jodha benar-benar lupa ada Jalal juga disana. Dari
tadi pria ini hanya diam tak bersuara di belakang punggungnya, karena itulah
dia tak menyadari keberadaannya.
Jodha berusaha melewati tubuh Jalal, tapi pria itu malah
merengkuh kedua pundaknya dan membalik tubuhnya lagi hingga dia berhadapan
kembali dengan para tamu di apartemen Varun yang masih terbengong-bengong pada
adegan mirip drama yang terjadi di depan mereka.
Sebelah tangan Jalal tetap merengkuh erat kedua pundak
Jodha saat dia mulai bersuara, “Varun, itu kan namamu?!” sambil menunjuk pada
Varun, “Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, karena kau sudah melepaskan
wanita ini.....Alasannya, karena aku ingin menjadikannya milikku....Dan
kuperingatkan, mulai detik ini jangan pernah mengganggunya lagi!! Dan Tuan
Chauhan, rencana kerjasama kita harus aku batalkan. Aku tidak mau punya mitra
yang tidak bisa memegang kata-katanya sendiri.... Pada seorang wanita baik
seperti Jodha saja, kau tidak bisa memberikan rasa hormat dan menepati janjimu
untuk menikahkannya dengan putramu, apalagi nanti jika kita bekerja sama....aku
tidak punya respek sama sekali untuk orang seperti itu....Hanya itu yang ingin
kukatakan, teruskanlah nikmati pesta kalian!”
Jalal menggamit lengan Jodha dan membawanya keluar dari
apartemen itu. Tanpa suara mereka terus melangkah hingga sampai di tempat mobil
Jalal terparkir. Setelah membukakan pintu mobil untuk Jodha dan mendorong gadis
itu masuk, barulah Jalal juga masuk dan langsung menyalakan mobilnya dan pergi
dari sana.
Sepanjang perjalanan, Jodha tetap membisu. Matanya kosong
menatap lurus ke depan ke dalam gelapnya jalan di malam hari. Beberapa kali
Jalal menoleh dari tempatnya duduk, untuk memastikan gadis di sebelahnya
baik-baik saja. Jodha tidak baik-baik saja. Menurut Jalal gadis itu butuh
pelampiasan dari emosi yang memuncak di kepalanya. Dia tidak suka melihat Jodha
memendam kesedihan dan sakit hatinya sendirian, dia lebih suka jika Jodha
menjerit atau menangis, setidaknya gadis itu akan merasa lega dan Jalal punya
alasan untuk menghiburnya.
Jalal membelokkan mobilnya keluar dari jalan raya beraspal,
memasuki jalan tanah berbukit-bukit, yang kanan kirinya banyak ditumbuhi
ilalang. Tidak terlihat rumah penduduk apalagi pertokoan. Yang ada hanya tanah
lapang luas dan udara terbuka.
Jalal menghentikan mobilnya, keluar dan membukakan pintu
untuk Jodha. Begitu ada di luar, Jodha mulai kebingungan melihat sekelilingnya.
Dia baru sadar ternyata Jalal tidak membawanya pulang ke apartemennya.
“Ini dimana? Kenapa kau membawaku kesini?” tanya Jodha sedikit
panik.
“Jangan takut, kau butuh udara segar, karena itulah kita
kesini...” jawab Jalal tenang, kemudian dia menuntun Jodha ke sebuah batu besar
dan menyuruhnya duduk disana. Dan Jalal duduk di sebelahnya.
Mereka sedang berada di atas sebuah bukit, sedangkan di
depan mereka terbentang Danau Powai, yang airnya berkilauan memantulkan sinar
bulan di atas mereka. Jodha terpana melihat pemandangan indah di depannya,
sejenak mampu mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang menderanya.
“Ini bukan tempat yang romantis, tapi disini kau bisa
menangis sepuasnya. Tidak ada orang yang melihat, jika adapun suara angin akan
menutupinya.”
‘Bagaimana dia tahu
kalau aku ingin menangis?’ tanya Jodha dalam hati sambil matanya
memperhatikan Jalal yang sedang melepaskan jasnya.
“Tutupi kakimu, disini banyak nyamuk.” Kata Jalal sambil
meletakkan jasnya menutupi kedua kaki Jodha yang hanya tertutupi rok selutut.
“Biasanya dalam drama, saat seorang pria melepas jasnya,
dia akan menggunakannya untuk menutupi bahu sang wanita agar tidak kedinginan,
tapi kau malah menutupi kakiku...” sindir Jodha.
“Kalau seperti itu caranya, aku tidak punya alasan
memelukmu seperti....” tangan Jalal sudah terentang siap-siap memeluk bahu
Jodha, tapi membeku di udara karena berhadapan dengan kepalan tinju Jodha yang
diarahkan ke depan wajahnya.
“Jangan coba-coba!” ancam Jodha, dan Jalal menurunkan
kembali lengannya.
Beberapa saat mereka hanya diam, menikmati segarnya udara
malam, kelap-kelip lampu kota di sebelah kanan mereka, desiran angin yang berpadu
dengan riak air danau mengahantam bibir bukit.
Keduanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
“Menangis tidak akan membuatmu terlihat lemah. Tenang saja,
aku tidak akan meledekmu. Karena yang aku tahu, ada kalanya menangis itu
diperlukan, seperti saat ini.....” kata Jalal memecah keheningan di antara
mereka.
“Aku tidak ingin menangis.” Jawab Jodha kaku.
“Kau harus menangis. Saat kau tak mampu mengungkapkan
kesedihanmu dengan kata-kata, biarkan air matamu yang bicara.”
Jodha terdiam, matanya memandang ke arah kejauhan.
Tiba-tiba satu tangan Jalal menggenggam kedua tangan Jodha
yang terjalin di pangkuannya. Jodha tersentak kecil, tapi dia tidak menarik
tangannya. Wajahnya tertunduk, dipandanginya tangan Jalal yang berada di atas
tangannya. Kehangatan dari tangan pria itu mampu mengalirkan rasa tenang dan
kepercayaan. Seketika menyebabkan pertahanan dirinya runtuh. Jodha menangis.
Jalal memberi kesempatan Jodha menangis sepuasnya. Awalnya
yang terdengar hanya isak kecil, kemudian makin kencang. Jodha menangis
sesenggukan dan air matanya jatuh membasahi tangan Jalal di pangkuannya. Namun
kini tangisnya sudah mereda, yang terdengar hanyalah tarikan napasnya yang
terpatah-patah.
“Aku tidak punya sapu tangan...jadi pakailah lengan
kemejaku untuk menyeka wajah dan ingusmu...” saran Jalal dengan sedikit
bercanda.
Namun Jodha menganggapnya serius, dia langsung menarik
lengan kemeja Jalal untuk menyeka wajah dan hidungnya yang basah.
Jalal hanya mengernyit di sebelahnya.
Jodha menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang
sesak, tak menyadari akibat perbuatannya pada kemeja Jalal yang sekarang
belepotan karena eyeliner dan lipstick dari wajahnya. Sementara Jalal hanya
mengangkat alisnya tapi tak berkomentar apa-apa.
“Kalau sudah tenang, ayo kuantar pulang. Ibumu pasti sudah
cemas....” ajak Jalal.
Jodha mengangguk dan bangkit dari duduknya. Dikembalikannya
jas pria itu lalu merapikan roknya yang agak kusut.
Saat mobil Jalal sudah melaju di jalan raya, Jodha
menghubungi Ibunya, mencoba sedikit mengurangi kecemasan Ibunya karena
keterlambatannya. Dia memberikan alasan yang masuk akal tanpa menyebutkan
alasan yang sebenarnya. Dia butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan pada
Ibunya bahwa rencana pernikahannya dengan Varun telah dibatalkan, mungkin satu atau
dua hari lagi.
Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Ibunya, ponselnya
kembali berdering, saat melihat siapa yang menelpon, Jodha urung mengangkatnya.
Dan Jalal melihatnya dari ujung matanya.
“Varun? Tidak usah diangkat.... Jangan pernah berpikir untuk
memberinya kesempatan kedua atau kelima. Jangan sia-siakan hidupmu untuk pria
berotak kerdil seperti itu!” kata Jalal sengit.
“Kenapa jadi kau yang marah?!” balas Jodha.
“Apa kau lupa?! Aku kan tadi sudah bilang, aku punya
rencana menjadikanmu milikku. Jadi aku tidak suka kalau kau masih memikirkan
pria itu....”
“Jangan mimpi!” potong Jodha, “Tapi terima kasih. Terima
kasih sudah menemaniku malam ini.” Lanjut Jodha dengan suara pelan.
“Sama-sama.”
Mobil Jalal berhenti, ternyata mereka sudah sampai di depan
apartemen Jodha. Gadis itu tersenyum dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih
pada Jalal. Tangannya yang hendak membuka pintu ditahan oleh Jalal.
“Tunggu. Pinjam ponselmu sebentar.” Itu bukan permintaan
tapi perintah yang keluar dari mulut Jalal.
“Untuk apa?” tanya Jodha, otomatis mengangsurkan ponselnya
pada Jalal.
Hal yang tak pernah terpikirkan oleh Jodha akan dilakukan
oleh pria seperti Jalal. Benar, dengan ponsel Jodha, Jalal memotret dirinya
sendiri. Jodha melongo melihat tingkah lakunya.
“Ini. Kalau kau masih sedih, pandangi wajahku saja. Yang
pasti aku lebih menawan dari pria manapun yang pernah kau kenal.” Kata Jalal
sambil mengembalikan ponsel Jodha.
Dengan mulut masih membulat, mendengar kata-kata Jalal
membuat matanya ikut membulat keheranan mendengar saran penuh kepercayaan diri
yang disampaikan pria itu.
Jodha geleng-geleng kepala sambil memasukkan ponselnya ke
dalam tas.
“Hah...Kau ini percaya diri atau sombong?!” sindir Jodha.
Setelah keluar dari mobil, Jalal menghampiri Jodha.
“Maaf, kali ini aku tidak bisa mengantarmu sampai pintu.
Aku tidak ingin Ibumu makin curiga melihat penampilan kita yang berantakan.”
Kata Jalal sambil menunjukkan lengan kemejanya yang kotor.
Baru saat itulah Jodha menyadari akibat perbuatannya tadi
pada kemeja Jalal.
“Selamat malam.” Kata Jodha pendek lalu melangkah
meninggalkan Jalal.
“Kalau kau ingin teman bicara, telepon saja aku. Aku sudah
memasukkan nomorku di ponselmu.” Kata Jalal di balik punggung Jodha, sukses
membuat langkah Jodha terhenti.
Dengan mata menyipit sengit, Jodha menoleh ke belakang. Dia
melihat pria itu tersenyum ke arahnya. Lalu dia melanjutkan langkahnya masuk ke
apartemen tempat tinggalnya.
Sebelum masuk ke dalam lift, Jodha masih sempat melihat
pria itu berdiri di samping mobilnya, memperhatikannya, seakan ingin memastikan
bahwa dia baik-baik saja.
*******************