Written by Bhavini Shah
Jalal
langsung bisa membaca ekspresi Maham Anga yang menyiratkan bahwa dirinyalah
pelaku utama atas kejahatan ini... Hatinya yang sakit kembali terluka sekali
lagi, jauh di dalam hatinya dia masih berharap bahwa Maham tidak bersalah, tapi
sekarang semuanya semakin jelas... sejernih kristal. Sekarang hati dan
pikirannya yakin bahwa Maham adalah pembunuh dari bayinya yang belum lahir... dia
membunuh impiannya, karena Maham jugalah dia berpisah dari Jodha... Darah
ksatrianya mendidih di dalam tubuhnya, tapi yang tampak diluar, dia menjaga
ekspresinya tetap tenang dan datar. Dia ingin membuktikan Jodha tidak bersalah
dan ingin menangkap Maham beserta bukti yang kuat, dengan tangannya sendiri... Jalal
menahan emosinya saat meminta Maham membaca surat itu sekali lagi untuknya.
Kali ini suara wanita itu terdengar lebih gugup dari sebelumnya, bahkan suaranya
gemetar saat membaca. Terlihat jelas dari semua sikapnya bahwa dia
menyembunyikan sesuatu. Sekali lagi dia melewati bagian tentang konspirasi
dirinya yang ditulis oleh Jodha.
Sementara
Maham sedang membaca, pikiran Jalal melayang ke masa lalu, ke masa-masa indah
yang pernah dilaluinya dengan Badi Ammi-nya, saat wanita itu mengejar-ngejar
dirinya untuk menyuapkan makanan, saat wanita itu menyelamatkan hidupnya... melindunginya
dari sabetan pedang, saat wanita itu mengajarinya tentang politik setiap hari
seperti gurunya sendiri, saat wanita itu ikut senang dalam setiap
kemenangannya, sedikit demi sedikit kemarahannya lebur menjadi rasa sakit... tepat
saat Maham selesai membacakan surat itu untuk yang kedua kalinya, sinar matanya
dipenuhi dengan kepedihan yang sangat dalam, seakan ada jutaan duri menusuk
hatinya... pengkhianatan Badi Ammi sungguh tak tertahankan bagi dirinya. Dalam
hidupnya dia hanya percaya pada sedikit orang.
Akhirnya,
setetes air mata jatuh tak tertahan dari sudut matanya... Matanya menatap Maham
seakan meneriakkan sebuah pertanyaan ‘Kenapa
Badi Ammi? Kenapa?’
Maham
selesai membacakan surat dari Jodha itu dan memperhatikan Jalal... Melihatnya
dalam kesedihan, hatinya menari bahagia...
Jalal bisa
melihat semuanya dengan jelas, bahkan dia bisa melihat kebahagiaannya diatas
penderitaan yang dirasakannya... Tanpa berkata apa-apa diambilnya kembali surat
itu dari tangannya, dan berlalu pergi dari ruangannya...
Maham sama
sekali tidak menyadari bahwa Jalal sudah mengetahui semuanya, dia pikir
kesedihan Jalal karena surat dari Jodha.
Jalal
keluar dari ruangan Maham... Dia ingin menceritakan semuanya pada Rukaiya, dia
ingin menceritakan padanya bahwa Maham adalah satu-satunya orang yang telah
membunuh bayinya yang belum lahir... wanita itu telah membunuh anaknya...
Jalal
teringat saat di ruang sidang, saat Rukaiya mempermalukan Jodha... Tanpa
perasaan, dia menghukum Jodha. Karena itulah dia memutuskan tidak akan
menceritakan semua padanya sampai dia bisa mengumpulkan bukti-bukti kuat yang
memberatkan Maham.
Segera saja
dia memanggil Abdul dan menceritakan semua padanya... Dia juga memberitahu
tentang Maham yang melewatkan bagian penting itu saat membacakan suratnya..
Bahkan Abdul tidak bisa percaya tentang semua yang didengarnya, dia sudah tahu
Maham itu licik, tapi membunuh anak Jalal dan menyalahkan Ratu Jodha. Hal itu
benar-benar sudah melewati batas.
Selama
berjam-jam, Jalal dan Abdul berdiskusi membuat rencana hingga tercapai satu
keputusan.
Pertama,
mereka memutuskan akan menjauhkan semua pendukung Maham, karena itu mereka
berencana menarik Resham keluar dari hidupnya dan menggantikan tempatnya dengan
seorang mata-mata.
Rencana
kedua adalah menemukan Hakim itu... hakim manakah yang telah membantu Maham dan
memberinya ramuan itu padahal penjagaan sudah sangat ketat, Jalal sendiri yang
akan berbicara dengan Hakim istana.
Bagian
terakhir rencananya adalah melemahkan kekuatan Maham dengan bantuan Hakim dan
mata-matanya dengan cara mencampur ramuan pada makanannya yang akan menyebabkan
dirinya sakit dan melemah hari demi hari.
Abdul lalu
bertanya, “Shahenshah, untuk menjalankan rencana ini dengan baik, kita akan
membutuhkan waktu dua atau tiga bulan, kita juga tidak tahu apakah kita bisa
menemukan bukti-bukti itu atau tidak. Apakah kau benar-benar ingin mendapatkan
bukti-bukti itu, Kupikir, jika kau sudah yakin Badi Ammi yang melakukan semua
ini, lalu untuk apa menunggu lagi?
Jalal
menjawab tanpa berpikir lama, “Tidak, Abdul, Badi Ammi punya posisi yang tinggi
dalam istana dan dia memegang kendali atas beberapa departemen. Saat ini, semua
bukti mengarah pada Ratu Jodha, jadi aku tidak mau nantinya rakyatku
mempertanyakan keputusanku, atas dasar apa aku menghukum Maham, padahal Ratu
Jodha yang terbukti bersalah. Lagipula, aku harus lebih berhati-hati lagi saat
ini karena ini berhubungan dengan perasaan cintaku. Dan, entah bagaimana aku
harus memenangkan pertarungan ini.”
Abdul
setuju dengan pendapat Jalal...Dia merasa gembira dan bangga melihat Jalal
benar-benar menyeimbangkan logika dan perasaannya pada saat bersamaan.
Rencana
dijalankan dan mulai bekerja...
Sesuai
rencana mereka, sebuah pesan palsu dikirimkan kepada Resham, mengabarkan bahwa
ada anggota keluarganya yang sedang sakit, keluarganya meminta Resham segera
pulang ke desa. Dengan ijin dari Maham, dia keluar dari istana menuju desanya,
di tengah perjalanan dia ditahan hingga semua masalah ini selesai. Dan,
menyuruh seorang mata-mata menggantikan tempat Resham di sisi Maham yang akan
mengawasi setiap gerakannya siang dan malam...
Seorang
diri Jalal datang menemui Hakim di kliniknya mempertanyakan tentang keguguran
yang dialami Rukaiya. Dia mengajukan banyak pertanyaan pada Hakim untuk menilai
reaksinya atas setiap pertanyaan dan mencari tahu apakah dia yang terlibat
dalam kebohongan ini, bagaimana cara Hakim itu menjelaskan setiap pertanyaan...
Intuisi Jalal yang tajam dan kemampuannya dalam menilai sikap lawan memberinya
kesimpulan bahwa Hakim itu tidak terlibat dalam persekongkolan tersebut.
Dengan
perasaan kecewa Jalal bersiap untuk pergi, tapi secara tidak sengaja dia
memperhatikan seorang asisten Hakim berjalan masuk dan dia mengenakan perhiasan
yang sangat mahal serta kain sutra, dan Jalal berpikir....bagaimana bisa dia
memiliki pakaian dan perhiasan mahal seperti itu...Tetap bersikap biasa, dia
menjawab salam “Aadab” dan pergi keluar dari klinik itu. Tanpa membuang waktu,
dia memerintahkan penyelidikan lebih lanjut pada asisten Hakim secara rahasia.
Untuk
menjamin kerahasiaan rencana ini, Jalal membeli ramuan dari Hakim di luar
istana demi melaksanakan rencana yang ketiga. Mata-matanya mulai mencampurkan
ramuan itu pada hidangan milik Maham. Perlahan, Maham menunjukkan gejala-gejala
tubuhnya lemas dan mual pada malam hari. Efek dari ramuan itu, dia tidak
sanggup bangun tepat waktu dan menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai jadwalnya
tiap hari. Kemudian, atas perintah Jalal, bawahannya menambah dosis ramuan,
Maham semakin terlihat lemah, mengalami sakit kepala, mual, muntah dan
lainnya... Beberapa kali dia pingsan di dalam istana saat berjalan dari ruangan
ke ruangan lain... Orang-orang mulai membicarakan sakitnya... Sesuai rencana
mereka, beberapa kali dia kehilangan keseimbangan dan tersungkur di Diwan E
Khaas dalam waktu dua minggu... Semakin hari dia semakin lemah...
Tiga minggu
berlalu sejak kepergian Jodha... Semuanya masih tetap sama di dalam istana... Matahari
tetap terbit dari timur dengan sinar keemasannya... Burung-burung tetap
berkicau dengan merdu... Bunga bermekaran... Bulan bersinar tiap malam dengan
anggunnya, namun bagi Jalal semuanya tidak berarti. Dia kehilangan semua warna
dalam hidupnya, hari-harinya dilaluinya seperti robot... Tidak ada yang
membuatnya senang, musik yang mendayu-dayu tidak bisa menyentuh perasaannya,
sinar lembut rembulan justru membakar tubuhnya... Dengan rasa marah dia
memandang matahari setiap harinya. Setiap kali dia menutup matanya untuk
berdoa, wajah Jodha yang basah oleh air mata selalu muncul di depannya, bahkan
dia tidak mampu berkonsentrasi dalam doanya.
Walaupun
dia sudah terlatih menahan kesedihannya dan bagaimana memunculkan senyum palsu
di wajahnya, namun tidak satu detikpun terlewat dengan tidak memikirkan
Jodha... Begitu urusan kerajaannya selesai, pikirannya langsung tertuju pada
Ratu Jodha... Hatinya terlalu sakit oleh pengkhianatan Maham, ditambah
perpisahannya dengan Jodha, kedua hal itu menggerogotinya dari dalam.... Siang
hari berlalu dengan cepat, tapi malam harinya selalu dijalaninya dalam
kesedihan... Menjadi kebiasaannya tiap hari duduk di depan lentera kuil selama
berjam-jam sebelum dia tidur... Hanya nyala lentera ini yang bisa memberinya
kedamaian dan ketenangan seperti keberadaan Jodha itu sendiri. Di antara
jadwalnya yang padat dan misinya terhadap Maham, hanya itulah yang membuatnya
bertahan hidup... Hari demi hari rasa frustasinya semakin meningkat... Sudah
hampir tiga minggu dan dia belum berhasil menemukan bukti yang memberatkan
Maham... Juga tidak ada kabar atau tanda keberadaan Jodha dimanapun... Para
prajurit mencarinya ke setiap kuil, desa, Ashrams, tapi tidak satupun yang
membuahkan hasil...Jalal tidak punya pilihan, selain bekerja bersama Maham
meski harus terus pura-pura tersenyum setiap harinya sampai dia terbukti
bersalah...
Di lain
pihak, Maham terkejut melihat Jalal mampu mengendalikan dirinya sendiri... cara
dia mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dan mengendalikan emosinya justru
membuatnya kecewa... Rencana Maham memang berhasil, tapi tidak berpengaruh pada
Jalal... Jodha telah keluar dari hidupnya, tapi Jalal justru bisa mengendalikan
semuanya dan lebih fokus bekerja...
Tiga minggu setelah kepergian Jodha:
Diwan E
Khaas penuh terisi oleh petugas dan pegawai kerajaan termasuk Maham, sedang
berlangsung pembicaraan sengit mengenai pembelotan Abul Mali. Maham berdiri
untuk mengutarakan pendapatnya tentang masalah itu, tiba-tiba dia merasa
limbung. Dan, sekali lagi kehilangan keseimbangan tubuhnya di depan sidang... Sudah
kelima kalinya hal itu terjadi di depan publik... Jalal berdiri dari
singgasananya dan bantu memapahnya duduk kembali di kursinya. Setelah beberapa
saat dia merasa lebih baik.
Dengan kepedulian
dan kecemasan yang dibuat-buat Jalal berkata, “Badi Ammi, kenapa kau tidak
menjaga kesehatanmu? Sepanjang hari, kau bekerja di Diwan E Khaas, tidak
seharusnya kau bekerja sekeras itu di usiamu sekarang. Kau harus banyak
beristirahat, di usiamu ini sudah saatnya kau meluangkan lebih banyak waktu
untuk beribadah kepada Allah. Aku adalah putramu dan tanggungjawabku untuk
merawatmu Badi Ammi, aku tidak bisa melihatmu dalam kondisi seperti ini lagi...
Aku akan melepasmu dari jabatanmu di kementerian.”
Mendengar
hal itu Maham sangat terkejut dan menjawab dengan terbata-bata, “Tidak... Jalal...
Aku sungguh tidak apa-apa dan benar-benar sehat.”
Dengan
sarkastik Jalal berucap, “Tidak Badi Ammi, sudah cukup hal-hal yang kau lakukan
untuk kesultanan ini dan untukku... Aku tidak boleh seegois itu.”
Dengan nada
sedih dan datar Jalal mengumumkan, “Badi Ammi berhenti dari posisinya sebagai
Vajire Aliya, aku mengambil keputusan berat ini dengan mempertimbangkan kondisi
kesehatannya. Sampai aku mengumumkan penggantinya, Atgah sahib akan mengambil
alih semua tanggung jawabnya. Juga, ini adalah perintahku, mulai sekarang dan
selanjutnya tidak seorangpun boleh mengganggu Badi Ammi terkait dengan urusan
kesultanan. Aku sangat menghargai kerja keras dan kesetiaannya pada Kekaisaran
Mughal... Dengan segala hormat, aku meminta Badi Ammi untuk beristirahat dan
menikmati masa pensiunnya.”
Setelah
mendengar pengumuman itu, Maham merasa seakan seseorang mencabut pijakan di
bawah kakinya. Matanya membulat terperanjat... Impiannya... Posisinya... Kekuasaannya...
semuanya diambil dalam satu detik... Cara Jalal mengumumkannya dengan penuh
ketegasan serta tak mau dibantah... Dia tidak mampu berkata apa-apa...
Hamida,
Rukaiya dan yang lainnya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Jalal mengambil
keputusan penting itu. Jalal menyuruh salah satu pelayan untuk mengantar Badi
Ammi kembali ke kamarnya dengan hati-hati, lalu menoleh pada Maham dan berkata
dengan sedih, “Badi Ammi, kau harus beristirahat dan menjaga kesehatanmu. Ini
adalah permintaan dari putramu.”
Semua orang
di ruang sidang memahami perhatian Jalal pada maham dan mendukung keputusannya.
Sambil
memandang Maham berjalan keluar dari Diwan, dengan berbisik dalam hati dia
berkata, ‘ini hanyalah awalnya... Kau
telah memberiku air mata dan darah... membawa pergi senyumku... anakku,
Jodhaku... kebahagiaanku, dan sekarang adalah giliranmu. Hal yang paling
berharga dalam hidupmu, kekuasaan dan posisimu, aku sudah merampasnya darimu.. Aku
mempelajari semua taktik ini darimu seorang, kau akan memetik apa yang sudah
kau tanam.’ Jalal dan Abdul saling melirik penuh arti dan tersenyum tipis.
Maham
merasa benar-benar putus asa, bagi dirinya hal ini lebih menyakitkan daripada
kematian Adham.
Setelah
sidang, Jalal menginstruksikan Atgah sahib untuk memindahkan ruangan Maham
dengan segera. Ruangan itu diperuntukkan bagi Vajir Kesultanan ini... “Segera
kau atur ruangan yang lain untuk Badi Ammi.” Dia berhenti sejenak menyadari
ekspresi terkejut Atgah, beberapa saat kemudian dia lanjut dengan nada tegas,
“Pastikan semuanya selesai sebelum malam ini.”
Atgah
terkejut dengan perubahan sikap Jalal yang tiba-tiba, namun tanpa bertanya dia
menjawab. “Sesuai perintahmu Shahenshah.”
Saat itu
waktu makan siang... Maham sedang berada di ruangannya, duduk bersedih sambil
berpikir... ‘Adham telah mati... Resham
pergi... Sekarang kekuasaanku pun telah lepas..’ Dia belum pernah merasa
setidak berdaya ini dalam hidupnya...
Jalal
datang ke ruangannya untuk memeriksa kesehatannya bersama seorang pelayan yang
membawa hidangan untuk Maham...
Jalal
bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang Badi Ammi???”
“Jalal, aku
tidak pernah menyangka suatu hari kau akan memberhentikanku dari posisiku
dengan cara seperti ini tanpa bicara dulu denganku. Kau telah mengejutkanku.”
Maham menjawab dengan nada terluka.
Jalal
bersikap dengan perhatian palsu, “Badi Ammi, kau sama sekali tidak menjaga
kesehatanmu, tapi itu memang kewajibanku sebagai putramu untuk merawatmu. Jadi,
aku ingin kau mengerti alasanku mengambil keputusan besar itu dengan tiba-tiba.
Sekarang jangan terlalu memikirkan hal itu dan nikmatilah makanan yang
kubawakan ini.”
Pelayan
meletakkan hidangannya di meja dan mulai menyajikannya, namun begitu Maham
melihat apa isi hidangannya, dia berteriak kencang, “Kenapa kau membawakan
makanan yang tidak ada rasanya ini?”
“Badi Ammi,
jangan membentaknya, aku yang menyuruh membawakan masakan ini spesial untukmu.
Sesuai saran dari Hakim, makanan ini bagus untuk kesehatanmu, untuk beberapa
hari ke depan kau harus menikmati makanan sehat seperti ini.” Jalal menjawab
dengan tenang.
“Tidak ada
yang terjadi padaku, aku baik-baik saja.” Maham berusaha meyakinkannya.
Dalam hati
Jalal berkata sinis, ‘Aku tahu benar kau
sehat dan tidak ada yang terjadi padamu.’
Dengan
tegas Jalal menjawab, “Badi Ammi, jangan membantah... kau bertingkah seperti
anak kecil, kau harus makan masakan ini hingga kau benar-benar sembuh.” Lalu
dia berbisik pada pelayan itu dengan sangat pelan, “Beritahu aku jika dia tidak
menghabiskan makanan ini, dan jangan beri dia makanan lain.”
Jalal
berjalan keluar dari ruangan Maham, dia merasa sedikit puas atas kemenangan
kecilnya itu, tapi hatinya masih tetap terasa sakit, rasa sakit karena
perpisahannya dengan Jodha.
Pada sore
hari Atgah datang ke ruangan Maham dan memberitahukan bahwa dia harus segera mengemasi
barang-barangnya dan pindah dari ruangan itu... Dia akan ditempatkan ke ruangan
yang lain.
Mendengar
hal itu Maham terperanjat sekali lagi... Matanya menampakkan amarah yang besar,
dia berteriak kencang, “Beraninya kau?? Apa kau sudah lupa siapa aku?? Aku
adalah Vajire Aliya Maham Anga... Apa kau sudah tidak waras, kau menyuruhku
pindah dari ruanganku sendiri? Aku sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun
dan kau memintaku keluar dari ruangan ini. Aku pastikan Jalal akan menghukummu
karena kelancanganmu.”
“Maafkan
aku... Maham Anga...” Atgah menjawab dengan sedikit terbata.
Untuk
pertama kalinya Maham mendengar namanya disebut tanpa gelar Vajire Aliya dari
mulut Atgah... Dia lepas kendali dan lupa bahwa dia bukan lagi Vajire Aliya,
sekali lagi dia berteriak, “Apa kau bilang... Beraninya kau menyebut namaku?”
Meski sulit
Atgah menjawab, “Aku hanya menjalankan perintah Shahenshah, lihatlah deklarasi
kerajaan ini yang disahkan oleh Shahenshah, dan sesuai dengan apa yang tertulis
disana, kau harus segera memindahkan barang-barangmu dari sini. Kami sudah
menyiapkan ruangan baru untukmu.”
Bola mata
Maham membelalak semakin lebar... dia melihat surat deklarasi itu dengan
tatapan kosong.
Atgah
memanggil pelayan untuk membantunya berkemas...
Pandangan
mata Maham dipenuhi dengan kemarahan dan air mata... Dia merasa seakan
seseorang memukul kepalanya dengan palu... Dia ingin berteriak.... Kekuasaannya,
kebanggaannya, bahkan ruangannya dirampas dari tangannya dan dia sudah tidak
punya apa-apa lagi... Akhirnya, dia keluar dari ruangannya dengan penuh air
mata.
Sejak Jodha meninggalkan istana, Jalal tidak pernah
lagi mengunjungi Harem untuk bersenang-senang. Rukaiya berusaha menemuinya
beberapa kali, tapi Jalal selalu menolak permintaannya... Semakin hari rasa
bersalah Jalal semakin besar sebanding dengan perasaan frustasinya... dia belum
berhasil menemukan Jodha begitu pula pelaku sebenarnya.
Hingga pada
suatu hari, senyum tipis terukir di bibir Jalal dan ada sedikit sinar harapan
di matanya. Kecurigaannya terbukti bahwa wanita itu berkomplot dengan Maham... Seakan
perlahan awan hitam mulai tersibak dan angin sejuk kembali berhembus membawa
kebaikan dalam hidupnya.
Jalal
memerintahkan untuk membawa asisten Hakim ke ruangannya... Ketika dia memasuki
ruangan Jalal dia mulai gemetar ketakutan dan keringat dingin muncul di
dahinya. Melihat ketakutan di wajahnya, Jalal menyeringai senang.
Dengan
tatapan tajam Jalal bertanya padanya, “Siapa namamu?”
“Wahida”
Dia menjawab dengan suara rendah
Jalal
bertanya dengan dinginnya, “Kau ingin mati dengan cara bagaimana Wahida??” dia
memberi jeda untuk melihat reaksinya...
Mata wanita
itu melebar karena pernyataan itu dan wajahnya seketika memucat.
Tiba-tiba
Jalal membentak dengan suara kencang, “APA KAU INGIN AKU MENCEKIKMU SAMPAI KAU
MATI?” Mata Jalal semakin tajam, tampak sangat menakutkan. Dia berteriak lagi,
“Katakan padaku bagaimana kau ingin mati, kau telah membunuh penerus kesultanan
ini... kau telah membunuh anakku yang belum lahir... Beraninya kau, kau
b*****an??? Katakan padaku semuanya, siapa lagi yang terlibat dalam konspirasi
ini... Tidak seorang pun bisa menyelamatkanmu sekarang, bahkan Maham Anga tidak
akan bisa melindungimu.”
Wanita itu
sudah tidak bisa berkelit lagi dan dia telah kehilangan semua keberaniannya
setelah mendengar nama Maham Anga disebut... Segera saja dia sadar Shahenshah
sudah mengetahui semuanya... Dia jatuh bersimpuh ke lantai di depan Jalal
sambil menangis, di sela tangisannya dia memohon ampun untuk hidupnya... “Shahenshah
mohon ampuni aku...” berulang kali dia memohon... lalu dia lanjut berkata
dengan suara gemetar, “Shahenshah mohon maafkanlah aku, aku bukan yang
merencanakan semua ini, aku hanya menyiapkan ramuan itu, tapi aku tidak
membunuh pewaris kesultanan ini... Rukaiya Begum yang mengatur semuanya, dia
berbohong pada semua orang bahwa dia sedang mengandung, yang sebenarnya adalah
dia tidak hamil sama sekali. Nuraniku tidak akan mengijinkan diriku sendiri
membunuh seorang bayi. Aku lebih memilih membantu kehidupan orang bukannya
mencabut hidup orang lain, percayalah padaku Shahenshah, hati nuraniku sendiri
tidak akan membiarkan aku melakukan hal penuh dosa seperti itu. Benar, aku
melakukan kesalahan karena ketamakanku pada harta, untuk memenuhi impianku aku
terjebak dalam rencana Maham dan tidak menyadari apa yang mungkin terjadi jika
ramuan ini jatuh pada orang yang salah... Aku sama sekali tidak tahu apa
rencana jahat mereka sampai Jodha Begum dihukum. Memang, aku yang memberikan
ramuan itu, tapi aku tidak membunuh anakmu.”
Penjelasan
itu menghunjamnya seperti petir dan guntur yang saling menyambar di dalam
hatinya. Tubuh Jalal terdorong ke belakang dengan tatapan kosong, seakan-akan
dia kehilangan semua inderanya... telinganya tidak bisa mempercayai apa yang
baru saja didengarnya. Apa??? Rukaiya... Rukaiya
tidak pernah hamil??? Kata-kata itu terus terngiang dan berputar-putar
dalam otaknya... Rukaiya juga terlibat dengan konspirasi bersama Maham... Rasanya
seperti diguncang bom yang meledak dalam hatinya. Seluruh tubuhnya mati rasa
dan untuk beberapa saat penglihatannya kabur... Lagi dan lagi dia berbisik
“Rukaiya... Kenapa... Rukaiya.” Matanya
menggelap penuh amarah. Dia berbisik lagi, “Ohh Tuhan!!!! Ini kejahatan
yang tak bisa terampuni, Rukaiya tidak hanya berbohong padaku, tapi dia juga
membohongi perasaan rakyatku???”
* * * * * * * * * * * *