s="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
Angin
kencang membawa teriakannya sampai jauh, menakuti burung-burung kecil, tapi
ketika tidak ada yang menjawab, dia
semakin panik dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Sekali lagi, dia berteriak
sekencang yang dia bisa dibalik ketakutannya “JODHAAA”, seluruh istana bergema
dan bergetar... Empat pengawal berlari masuk ke dalam kamar mendengar
kepanikannya.
Jalal
bergerak kesana-kemari mencari Jodha ke segala arah, di Hamam...ruang
ganti...ruang seni, tapi dia tidak ada dimanapun... Terakhir, sudut matanya
sekilas melihat ke arah Kuil Dewa Khrisna di ruang utama... Diya nya masih
menyala, tapi patung Dewa Khrisna telah lenyap...
Hatinya
seketika hancur menjadi serpihan-serpihan kecil dalam waktu kurang dari satu
detik... Matanya membelalak dan berderik seperti kembang api karena
kesedihannya... Tiba-tiba dia merasa seseorang menyangga tubuhnya dan dia tidak
mampu bergerak sedikitpun, wajahnya menampakkan kesedihan yang amat dalam.
Kekhawatirannya bahwa Jodha pergi sungguh-sungguh terbukti, meski hatinya masih
belum bisa menerima kenyataan itu... Pandangannya tak berkedip terus tertuju
pada kuil yang kosong, emosi telah menguras seluruh tenaganya. Dia hanya
berdiri mematung, seakan hidupnya telah tercabut dan berakhir saat itu juga,
seribu macam pikiran hadir di otaknya dalam waktu sekejap.... Dia menyadari
bahwa Jodha meninggalkannya demi kehormatannya, tapi dia tidak mengira akan
terjadi secepat ini... Sepanjang malam dia takut hal ini akan terjadi, tapi
kenyataannya jauh lebih buruk dari kekhawatirannya.
Badai
terjadi di dalam dan luar istana... Awan hitam berarak di langit... Tiba-tiba
angin kencang bertiup dan menghempaskan seluruh jendela dan pintu... Tira-tirai
bergoyang ... Api diya yang sebelumnya tenang, juga ikut bergoyang tertiup
angin... Melihat api yang bergerak-gerak membuat perasaannya takut... Secepat
kilat dia bergerak mendekati kuil untuk menyelamatkan cahaya dari harapan
terakhirnya. Dia lingkarkan tangannya ke sekeliling api untuk melindunginya
nyalanya. Dia berteriak menggelegar dan memerintahkan pengawal untuk menutup
seluruh pintu dan jendela secepat mungkin. Ketika nyala apinya mulai tenang
kembali, setetes air matanya jatuh bercampur dengan kelegaan dan kesedihan....
Suara petir menggelegar berpadu dengan gemuruh badai menutupi tangisan yang
tertahan... Dalam beberapa menit saja hidupnya jungkir balik, dia masih duduk
di dekat kuil, tangannya masih melingkar di sekeliling api diya, otaknya belum
mampu untuk berpikir lagi... Jiwanya telah lepas dari tubuhnya. Dia benar-benar
hancur, seakan jiwa dan tubuhnya ada di ujung yang berbeda dalam ruangan itu,
mencari keberadaannya sendiri...
Moti
dan Abdul berlari masuk ke dalam kamar Jodha.... Mereka ikut menangis melihat
keputusasaan dan ketidakberdayaan Jalal. Pengawal yang lain gemetar tak percaya
melihat Shahenshah mereka dalam kondisi seperti itu... Moti berdiri dan terisak
di ujung ruangan sambil menggenggam gulungan surat berwarna hijau, Abdul
memerintahkan semua pengawal meninggalkan ruangan, lalu tanpa minta ijin dia
mendekati Jalal dan bersimpuh di sampingnya... Dengan suara pelan dia memanggil
“Shahenshah”, tapi Jalal tidak menjawab, semua inderanya membeku... panggilan
Abdul tidak bisa sampai ke telinganya...
Abdul
memanggil lebih keras “Shahenshah” .... Tetap tidak menjawab. Matanya membulat,
lekat memandang nyala diya... Abdul menyentuh lengannya, Jalal tetap tidak
berkutik. Sekali lagi Abdul memanggil dengan perasaan makin takut “Jalal”
ketika tidak ada tanggapan sama sekali, dia menggoyang lengannya... Tubuh Jalal
rebah tak sadarkan diri di lengan Abdul... Abdul sangat terkejut melihat mata Jalal yang terbuka lebar namun
dengan tubuh tak bergerak, dia berteriak senyaring yang dia bisa “Shahenshah”, teriakannya
bahkan menggema berulang kali di seantero istana... Moti berlari keluar
memanggil Hakim Sahiba...Dengan bantuan beberapa pengawal, Abdul menggotong
tubuh lemas Jalal ke atas tempat tidur, segera saja kamar itu penuh dengan
orang-orang. Melihat kondisi Jalal, Hamida tidak mampu menahan tangisnya.
Rukaiya
datang bergegas menghampiri Jalal, namun sebelum berhasil mendekatinya, Hamida
berteriak marah “Rukaiya, berhenti di tempatmu!” Dia memandang dengan tatapan
tajam dan penuh amarah lalu berkata dengan sedikit kasar “Rukaiya Begum, Begum
E Khaas, kau telah melakukan apapun yang kau inginkan... tidak perlu lagi
bersikap seakan-akan kau peduli pada Jalal, tidak seorangpun yang tertarik
melihat air mata buayamu... Sebaiknya kau pergi dari sini dan kembali ke
kamarmu”. Menghadapi amarah besar dan penghinaan itu, Rukaiya berlari keluar
dari kamar itu... Hati Maham sangat senang melihat kondisi Jalal, bibirnya
menyunggingkan senyum liciknya, untuk merayakan kemenangannya dia kembali ke
kamarnya sendiri.
Hakim
Sahib datang untuk memeriksa kondisi Jalal, denyut nadinya berdetak lebih
lamban dari detak normal. Setelah memeriksa kondisinya, segera dia membuat
ramuan dan diletakkannya di dahi Jalal.
Dengan
penuh kecemasan Hamida bertanya, “Hakim Sahiba, bagaimana keadaan Jalal-ku?”
Hakim
menjawab dengan tenang “Jangan khawatir Mariam Makani, kesehatan Shahenshah
sangat bagus, dia tak sadarkan diri karena mengalami peristiwa yang cukup
mengguncang perasaannya, dia akan segera pulih kembali.”
Hamida
merasa sangat lega... Dia menghela napas panjang penuh kelegaan...
Beberapa
menit kemudian, Jalal mulai siuman... Begitu dia membuka matanya, dia melihat
Hamida sedang mengusap kepalanya dengan penuh cinta, matanya terlihat sangat
lembut. Seketika dia bangun dari tempat tidurnya, Kata pertama yang
diucapkannya penuh perasaan, “Jodha” Dan, selanjutnya matanya basah oleh air
mata.
Hamida
memeluknya dengan hangat. Jalal menangis tak tertahankan dalam dekapannya untuk
waktu yang lama... Sentuhannya yang lembut dan penuh cinta memberinya kekuatan.
Kasih
sayang seorang Ibu memberinya energi dan kekuatan bagi pikiran dan hatinya...
Mengetuk kesadarannya untuk segera mencari keberadaan Jodha... Dia melepaskan
diri dari pelukan Ibunya dan beralih pada Abdul serta bicara dengan sedikit
panik, “Carilah Jodha Begum, dia telah meninggalkan istana, jadi kirimlah
prajurit untuk mencarinya di segala penjuru.”
Abdul
menjawab dengan penuh hormat, “Baik Shahenshah” sebelum dia pergi... Sudut mata
Jalal melihat Moti, yang berdiri di sudut lain ruangan, wajahnya mengkilap
basah karena air mata kesedihan yang tak berhenti mengalir... Dengan
kelebihannya dalam menilai seseorang, seketika dia tahu, Moti tahu ketika Jodha
pergi... Dia menghentikan Abdul dan berbicara masih sambil menatap Moti “Tunggu
Abdul, mungkin saja, Moti tahu tentang Jodha, kapan dan ke arah mana dia
pergi.”
Sebelum
Jalal meminta Moti untuk mendekat, Moti menjawab dengan sedikit terpaksa,
“Shahenshah, kumohon maafkan aku, tapi aku sudah bersumpah pada Jodha, jadi aku
tidak bisa mengatakan apa-apa padamu. Lagipula, dia tidak memberitahuku, kemana
dia pergi. Aku hanya menyiapkan kudanya, aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi
dan melanggar sumpahku...Aku tidak berdaya.” Dengan suara sedikit bergetar dia
menambahkan, “Jodha begum menitipkan surat ini padaku dan dia meminta kau
sendiri yang membukanya dan hanya Abdul yang boleh membacakannya untukmu.” Dia
tidak berani menatap mata Jalal...dengan wajah tertunduk dia serahkan surat itu
pada Jalal.
Semua
orang, termasuk Hamida, meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa... Jalal
menyerahkan surat itu pada Abdul dan melangkah mendekati jendela....hujan deras
turun dan gemuruh petir menyambar
seperti hatinya yang bergejolak.
Abdul
mulai membaca isi suratnya...
“Jalal-ku
yang terkasih” Begitu mendengar namanya disebut...Jalal...berbagai kenangan
indah hadir dalam benaknya... bagaimana dia memohon padanya untuk memanggilnya
Jalal.”
Setetes
air mata jatuh di pipinya.
“Pranam!
Pertama-tama , aku ingin meminta maaf atas rasa sakit yang kusebabkan padamu,
bahkan aku tidak berani membayangkan bagaimana perasaanmu saat kau membaca
surat ini. Ini semua terjadi semata-mata karena kebodohanku. Meskipun aku tidak
sengaja, tetap saja akulah yang bersalah, karena diriku kau harus mengalami
rasa sakit yang tak tertahankan. Andai saja takdir bisa menentukan hanya aku
saja yang menderita, maka aku akan menahan rasa sakit ini dengan senyuman dan
tidak akan pernah mengeluh, tapi aku tidak tahan melihat penderitaan di matamu,
melihatmu tak berdaya, sungguh aku tak mampu. Aku tidak punya cukup keberanian
dan kekuatan untuk tetap tinggal di istana dan di hadapanmu. Setelah berpikir
sepanjang malam, akhirnya aku memutuskan bahwa hidup kita berpisah
disini...seperti dua sisi bibir sungai, yang selalu bersandingan, tapi tidak
akan pernah menyatu.”
“Kau
pernah bertanya padaku ‘dimanakah tempatku, di dalam hatimu atau di depan
matamu’ aku berkata ketika saatnya tiba aku akan menjawab pertanyaanmu, jadi
dengarkanlah...”
“Kau
ada di dalam hatiku, ketika aku menutup mataku aku hanya melihatmu..bahkan
ketika aku berdoa di depan Kanha...aku melihatmu Jalal...aku
mengagungkanmu...aku bisa merasakan dan mencium aromamu meski kita
terpisah...Hidupku dimulai denganmu dan berakhir padamu... Kau selalu ada di
benakku...Jantungku berdetak menyebut namamu... Kau adalah jiwaku...Jodha telah
menyatu bersama Jalal...Tidak ada lagi Jodha...Hanya ada Jodha-nya Jalal. Kau
bersamaku setiap waktu, kemanapun aku pergi, hanya saja bukan takdir kita untuk
bersama selamanya.”
“Mungkin
permintaan terakhirku akan terasa seperti hukuman bagimu, tapi berjanjilah
padaku...atas nama cintaku, jangan berkecil hati dan bersedih.”
“Janganlah
menangis.”
“Jangan
biarkan orang lain tahu pergolakan hatimu.”
“Musuhmu
selalu siap menaburkan garam di atas lukamu.”
“Sembunyikan
lukamu dari semua orang.”
“Kumohon
penuhilah permintaan terakhirku...Jangan biarkan orang lain melihat
airmatamu..orang yang telah memisahkan kita ingin kau bersedih, jangan biarkan
mereka bersorak di atas kehancuran hidupmu, aku tidak akan bisa menahan diri
melihat kejatuhanmu.”
Jalal
mengerjapkan mata menahan air matanya dan berkata,
“Setelah
membawa pergi hidupku, hatiku, ketenanganku, napasku...kau meninggalkan seorang
diri.”
“Lalu
membisikkan keinginan terakhirmu, Jangan bersedih..”
“Wow
Jodha Begum wow...cintamu tanpa batas...saat pergipun kau membawa serta air
mataku.”
Abdul
melanjutkan membaca suratnya...
“Shahenshah,
aku ingin menceritakan sesuatu yang penting padamu...Aku tahu setelah mendengar
ceritaku kau akan sangat sedih... aku ingin menceritakannya padamu semalam,
tapi aku tidak tega merusak kenangan indah kita yang terakhir. Shahenshah,
tolong kendalikan emosimu...demi cinta kita janganlah bersedih...”
Jodha
menulis semua hal yang terjadi antara Maham, Rukaiya dan dirinya...Bagaimana
dia dijebak, dia melihat Maham berbicara dengan Hakim di hutan, dan botol
ramuan. Tidak lupa, dia menyebutkan, sepanjang malam saat dia menunggu di
luar...Alasan dirinya memasak untuk Rukaiya...alasan dia menghidangkan masakan
untuknya, semuanya diceritakannya dalam surat itu.
“Aku
tahu kau akan terkejut dan tak menyangka mengenai semua ini, aku tidak mau
menceritakan semuanya padamu tanpa ada bukti, tapi aku juga membuat kesalahan
dengan tidak segera menceritakan semuanya. Kesimpulanku bahwa semua ini sudah
direncanakan oleh Maham Anga, Ibu Angkatmu yang menjebakku dalam konspirasi
ini. Aku kira dia berniat membalas dendam atas kematian Adham karena dia tahu
benar bahwa kau akan sangat sedih atas perpisahan kita... Dia ingin melihat
kejatuhanmu... Dia ingin melihatmu dalam keputusasaan...Kesedihanmu setimpal
dengan kesedihannya atas kematian Adham.
Abdul
terus membaca...
Terakhir
dia tulis lagi, “Kumohon jika itu mungkin, maafkan Jodha-mu...Cara Badi Ammi
menjebakku dalam perangkapnya, dengan semua bukti menyudutkanku...Kupikir aku
tidak akan bisa melihatmu lagi. Mungkin inilah terakhir kalinya aku tahu
setelah mendengar semua hal tentang Badi Ammi, hatimu tidak akan bisa
mempercayainya...Aku benar-benar menyesal tidak memberitahu secepatnya tentang
rencananya....kau harus membayar atas kebodohanku...akulah yang
bersalah...kumohon maafkan Jodha-mu jika kau bisa.”
Abdul
berhenti membaca untuk melihat eaksi Jalal...
Jalal
yang sangat terkejut menoleh ke arah Abdul, untuk sesaat dia lupa pada kesedihannya...
Matanya dibutakan oleh amarah dan kemurkaan...Dia sangat mengenal Badi
Ammi-nya... segera saja dia mulai memahami bagaimana dia mempermainkan Jodha.
Dalam sedetik semua emosi dirasakannya.. Di satu sisi hatinya tidak siap
menerima kenyataan bahwa Badi Ammi-nya tega melakukan semua ini, tapi logikanya
menang dan dia percaya... Kecurigaan Jalal pada Badi Ammi-nya mulai meningkat
sedikit demi sedikit, tapi hari ini dia benar-benar yakin seluruh trik ini
dimainkan oleh Maham... Hatinya menangis pilu meratapi luka yang sangat dalam
di jiwanya. Dengan nada rendah, dia berucap sedih, “Badi Ammi”
Abdul
lanjut membaca suratnya...
“Percayalah,
aku mencintaimu lebih dari hidupku...Hingga aku mati, jantungku hanya akan
berdetak untukmu. Tidak peduli betapa jauh kita terpisah, kau akan selalu ada
dalam hatiku.”
“Semua
yang kau lakukan kuanggap sebagai ungkapan cintamu padaku.”
“Sedetik
berpisah darimu terasa bagaikan selamanya.”
“Aku
dulu tidak menyadarinya tapi sekarang aku merasakannya.”
“Aku
membutuhkanmu dalam setiap momen hidupku.”
“Salam
terakhirku, Milikmu dan hanya milikmu selamanya...Junglee billi..”
******
Air
mata jatuh disela senyum sedih di wajahnya mendengar kata Junglee Billi...
Abdul
ikut menangis melihat kesedihan Jalal...Dengan suara berat dia bertanya,
“Jalal, apa kau ingin aku membacakan lagi surat ini?
Jalal
menoleh dengan wajah masih diliputi kesedihan, lalu dia letakkan tangan di
dadanya dan berkata “Setiap kata dalam surat itu sudah terpatri dalam
hatiku...Itu semua adalah kata-kata Ratu Jodhaku.” Dia ambil surat itu dari
tangan Abdul, diciumnya dan didekapnya surat itu di dadanya...Linangan air mata
terus bergulir jatuh tanpa suara di wajahnya.
Dengan
berat hati dia memerintahkan Abdul, “Abdul, aku ingin sendirian untuk
sementara..Juga, pindahkan semua barangku ke kamar Ratu Jodha... Aku akan
tinggal disini bersamanya... Kirim prajurit ke semua tempat untuk mencari Ratu
Jodha.”
Jalal
seorang diri di dalam kamar, namun dia bisa merasakan kehadirannya di setiap
benda yang ada di ruangan itu, yang malah membuatnya makin terpuruk sedih, dia
rebahkan tubuhnya di atas ranjang di sebelah tempat Ratu Jodha biasa tidur,
dipeluknya sebuah bantal yang masih beraroma dirinya dan menumpahkan semua
tangisnya. Hatinya terluka sangat dalam, dan mendorongnya untuk berteriak
sekuat tenaga...”Jodha kembalilah, aku tidak bisa hidup tanpa dirimu.” Dia
terus menangis selama berjam-jam, selama
itu pula kata-kata Ratu Jodha terus terngiang di kepalanya... Jangan kehilangan
harapan dan kekuatan, tetaplah kuat dan tersenyum...Jangan biarkan orang lain
melihat tangis dan rasa sakitmu...akhirnya, kata-kata itu berpengaruh pada
dirinya, dia bisa menerima kenyataan bahwa Ratu Jodha pergi meninggalkannya dan
sekarang dia harus berjuang dalam pertempuran itu sendirian demi Ratu Jodha.
Senyum
licik tersungging di bibirnya, dia ambil surat dari Jalal dan mulai membacanya.
Jalal berpura-pura bersikap tanpa emosi dalam semua ucapan, dia berhenti di
sela-sela membaca untuk mencuri pandang ke arah Jalal, ekspresi wajahnya berubah
saat Jodha mengungkap semua rencananya, wajahnya memucat dan dia mulai terlihat
gugup... Dengan cerdik, dia melewati semua bagian yang mengungkap semua
konspirasinya dan mengakhiri bacaannya pada bagian yang menyebut Junglee billi.
* * * * * * * * * * * *