s="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
Jodha
kembali mencoba untuk bersabar menunggu. Menunggu sambil mengingat tentang
semua yang terjadi tadi siang, dan ternyata cara itu cukup mampu memunculkan
kembali senyum di wajahnya. Senyum malu-malu seorang gadis yang baru saja
menerima pernyataan cinta dari kekasihnya. Sungguh sangat manis cara Jalal
mengungkapkan perasaannya. Meski cukup mengejutkan bahwa seorang pria kaku seperti dia bisa
memiliki ide menampilkan sebuah pertunjukan musik dengan lagu kenangan mereka
berdua demi mendapat perhatian dari wanita seperti dirinya.
Terlalu
hanyut dalam lamunan indahnya, sampai-sampai Jodha tidak mendengar ada seorang
pria yang sudah berdiri di hadapannya, memanggil-manggil namanya.....
“Nona
Jodha Varamjeed...... Dr.Jodha Varamjeed..... Maaf, Dr.Jodha Varamjeed....”
Jodha
–“Eh...iya... maaf aku tidak mendengar anda.... Ada yang bisa kubantu?”
“Saya
asisten Tuan Jalal Dhanjani. Beliau meminta saya menjemput anda dan mengantar
anda ke tempat Tuan Jalal Dhanjani menunggu...”
Jodha
–“Sekarang dia dimana?”
“Di
suatu tempat... Jangan takut, Nona. Silakan anda ikut saya. Saya akan mengantar
anda ke tempat itu...”
Jodha
agak skeptis sambil memandang pria di depannya itu.... Kenapa Jalal tidak
memberitahu apa-apa soal mengirim asistennya untuk menjemputnya? Benarkah pria
ini asisten Jalal? Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya pria di depannya
ini cukup sopan, setelannya rapi dan tutur bahasanya cukup terpelajar. Usianya
mungkin sebaya dengannya, tapi kacamata yang dikenakannya membuat wajahnya
terlihat lebih dewasa dari umurnya.
Jodha
–“Baiklah...aku akan ikut anda.”
Pria
itu berjalan di depan Jodha. Sesampainya di pintu keluar Rumah Sakit, pria itu
menghampiri sebuah mobil minivan mewah dan membuka pintu penumpangnya. Dengan
gestur tubuhnya, pria itu mempersilahkan Jodha masuk.
Jodha
mencoba duduk dengan tenang di dalam mobil. Dia tidak menghiraukan interior
ataupun kenyamanan mobil mewah itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kemana
pria ini akan membawanya bertemu dengan Jalal.
Lebih
kurang selama 15 menit Jodha duduk dalam keheningan. Dia tidak bertanya ataupun
berbasa-basi dengan asisten Jalal yang duduk di kursi depan, samping sopir.
Bahkan pria itu juga tidak bercakap-cakap sama sekali dengan sang sopir. Dan
penantiannya akan terjawab karena mobil itu menepi pada sebuah jalan. Suasana
di luar cukup gelap ditambah dengan kaca jendela mobil yang tidak kalah
gelapnya, sehingga Jodha tidak bisa menebak dia sedang berada dimana sekarang.
Pintu
mobil dibuka dari luar, dan pria itu mempersilakan Jodha turun. Saat kakinya
menjejak tanah, Jodha semakin bingung. Sekeliling tempat itu tidak terlalu
terang tapi cukup sepi. Dan dimana Jalal? Seharusnya dia menyambutnya kan?
“Nona,
silakan anda mengikuti jalan ini. Tuan Jalal Dhanjani menunggu anda disana.”
Jodha
memandang ragu pada pria aisiten Jalal ini. Wajahnya mengungkapkan banyak
pertanyaan meski tak diutarakan. Menyadari keraguan Jodha, pria itu tersenyum
dan meyakinkannya...
“Percayalah
Nona, ini semua permintaan Tuan Jalal. Saya tidak akan berani mempermainkan
perintah beliau. Demi keamanan anda, kami akan tetap menunggu disini.”
Akhirnya
Jodha memutuskan untuk melangkah ke tempat yang ditunjuk oleh pria itu. Dia
akan mengikuti permainan apapun yang sedang mereka atau Jalal rencanakan.
Tapi..tunggu dulu...Jodha merasa tidak asing dengan tempat ini. Dia berhenti di
tengah langkahnya untuk kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
Benar, dia merasa seperti pernah ke tempat ini. Tapi kapan dan untuk apa? Jodha
belum bisa mengingatnya..
Diberanikannya
satu persatu langkah kakinya. Dia memasuki sebuah gang dengan penerangan yang
agak redup, namun cukup bila hanya untuk menerangi jalannya.
Lalu
tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang cukup berkilauan tergeletak di tanah.
Karena penasaran, Jodha melangkah untuk melihat lebih dekat benda mencurigakan
itu....Sepasang sepatu wanita berwarna putih gading dengan taburan berlian
swarovski yang sangat cantik.... Saat Jodha sedang bertanya-tanya siapa wanita
yang meninggalkan sepatunya disana, matanya melihat ada tulisan pada selembar
kertas yang tergantung pada sebuah bambu yang sepertinya sengaja ditancapkan
disana..’Apakah ini sepatumu yang hilang?’..bunyi tulisan itu.
Awalnya
Jodha tidak mengerti sama sekali. Sepatu? Kapan sepatuku hilang? Dan ini bukan
sepatu milikku! ..Lalu kenangan awal kebersamaannya dengan Jalal, muncul satu
persatu dalam benaknya. Dan Jodha mulai bisa meraba teka-teki permainan ini.
Dilanjutkan
kembali langkahnya. Dan Jodha kembali menemukan sepasang sepatu di tanah, kali
ini berwarna gelap dengan heels yang sangat tinggi. Sama seperti sebelumnya,
ada tulisan di dekat sepatu itu..’Ataukah yang ini sepatumu?’... Dan Jodha
tersenyum menikmati permainan ini.
Jodha
meneruskan langkahnya, dia menemukan lagi sepatu yang ketiga, keempat dan
kelima. Dan sama seperti kedua pasang sepatu sebelumnya, ada tulisan yang
meyertai ketiga pasang yang lain. Tapi Jodha tidak menyentuh semua sepatu itu,
karena memang bukan miliknya. Hingga akhirnya dia tidak melihat ada sepatu lain
lagi. Yang ada di hadapannya sekarang adalah Jalal.
Seakan
memang sudah disesuaikan timingnya, ratusan lampu-lampu kecil di sekeliling
tempat itu menyala bersamaan. Membuat Jodha bisa lebih jelas melihat
keseluruhan tempat itu.
Jodha
–“Ini tempat kunang-kunang itu...Kenapa disini?”
Jalal
–“Bagiku tempat inilah yang paling berkesan saat aku bersamamu.”
Jodha
tersenyum atas jawaban Jalal.
Jodha
–“Kau bersusah payah membersihkan tempat ini hanya untuk acara malam ini?
Kulihat rumputnya sudah terpangkas rapi.”
Jalal
–“Aku sudah memastikan tempat ini hanya milik kita.”
Jodha
–“Kau membelinya?!”
Jalal
tidak menjawab. Namun Jodha sudah tahu jawabannya.
Jalal
–“Bagaimana? Apa kau sudah menemukan sepatumu yang hilang?”
Jodha
–“Sudah... aku sudah menemukannya.”
Dengan
tersenyum penuh misteri, Jodha melepas alas kakinya dan meletakkan telapak
kakinya di atas kaki Jalal. Untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, Jodha
melingkarkan kedua tangannya di tengkuk Jalal. Dan kedua tangan Jalal menahan
punggung Jodha.
Entah
sejak kapan, lamat-lamat terdengar lagu Moon River mengalun di tempat itu.
Mengiringi tubuh pasangan itu bergerak dengan sangat lembut, selembut hembusan
angin di kulit mereka.
Jalal
–“Ceritakan padaku, apa saja yang kau lakukan selama dua minggu jauh dariku.”
Jodha
–“Berpikir...menangis....menyesal....dan merindukanmu.”
Jalal
–“Kau tidak seharusnya menangis. Kau hanya perlu memanggilku dan aku akan
langsung terbang ke Canada.”
Jodha
–“Aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri. Bahwa yang kurasakan padamu
bukanlah sebuah pengkhianatan atas janji cintaku pada Dev. Bahwa aku merindukan
kehadiranmu sebagai Jalal, bukan pengganti Dev.”
Jalal
–“Lalu apa yang membuatmu yakin?”
Jodha
–“Jantungku tidak berdetak saat aku jauh darimu.”
Jalal
–“Sama seperti yang kurasakan saat kau meninggalkanku. Ditambah lagi saat aku
mengira kau yang akan menikah dengan Amar. Rasanya jiwaku terlepas dari
tubuhku, aku tidak mampu bergerak dan berpikir saat itu.”
Perlahan
tangan Jodha berpindah ke depan tubuh Jalal. Dirabanya dada keras Jalal dan dia
bisa mendengar detak jantungnya.
Jodha
–“Apa kau ingat saat pertemuan pertama kita?”
Jalal
–“Tentu saja.”
Jodha
–“Saat itu aku menabrak dada keras ini dan terjatuh. Dan aku menjulukimu pria
gunung.”
Jodha
terkikik pelan mengingat kejengkelannya saat itu.
Jalal
–“Aku dengan senang hati menjadi gunung bagimu. Gunung yang hanya kau yang
boleh mendakinya. Gunung yang akan menghadang setiap masalah hingga tidak ada
satupun yang akan mengusikmu.”
Jodha
–“Aku percaya.”
Musik
masih mengalun, dan mereka semakin menikmati momen kedekatan itu. Merasakan
kehangatan tubuh masing-masing yang menempel erat. Mendengarkan detak jantung
mereka yang berirama. Pandangan mereka saling terkunci, dan
terjadilah....Ciuman pertama mereka... Ungkapan kerinduan yang sudah tak
tertahankan lagi... Momen yang menjadi pengunci ikatan jiwa mereka.
Rasanya
seperti diguyur ratusan galon air yang menyejukkan saat musim kemarau. Sejuknya
menyelimuti seluruh tubuh dan getarannya serasa mengguncang pengendalian diri
mereka. Saat kedua bibir saling berpagutan, perasaan terdalam mereka terpancar
keluar. Rasanya seperti semua kembali pada tempatnya. Seakan bibr Jodha memang
tercipta hanya untuk bibir Jalal. Dan tubuh Jodha berpadu sempurna dalam lekukan
dekapan hangat Jalal.
Kecupan,
lumatan, sesapan dan gigitan kecil silih berganti mereka lakukan. Rasanya
mereka tidak ingin berhenti. Seakan mereka ingin selamanya seperti itu. Tangan
Jalal sekarang menangkup wajah Jodha. Rasanya ingin ditelannya bulat-bulat
wajah gadis impiannya itu. Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya bersikap
lembut. Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya melakukan hal-hal yang tidak
pernah terpikir akan dengan sukarela dilakukannya, bahkan tanpa gadis itu
merayunya. Mengejar pencopet hanya untuk melepasnya pergi, mengkhawatirkan
roknya yang sobek dan kakinya yang tanpa alas, memimpikannya, bahagia walau
hanya menggenggam tangannya, merasakan kesedihannya, dan memunculkan sisi
romantis yang bahkan belum pernah dimilikinya.
Entah
sudah berapa lama mereka saling berciuman, terpaan angin malam yang dingin pada
kulit mereka mengingatkan bahwa mereka harus menyudahi kemesraan itu. Jalal
menyusurkan ibu jarinya memutar ke sekeliling bibir Jodha yang terlihat merah
dan sedikit bengkak karena ciuman barusan.
Jalal
–“Jodha, aku harus mengantarmu pulang malam ini. Tapi tiga hari lagi, kita akan
menikah disini.”
Jodha
–“Menikah?! Aku belum bilang iya!”
Jalal
–“Aku tidak akan memberimu kesempatan untuk menolakku. Aku sudah menunggu momen
ini seumur hidupku. Aku masih mampu bertahan tiga hari lagi, tapi tidak lebih
dari itu..”
Sikap
sok berkuasanya mulai muncul. Tapi jika tidak bersikap seperti itu, dia
bukanlah Jalal yang sudah membuat Jodha jatuh cinta.
Jodha
–“Aku belum mempersiapkan apa-apa!”
Jalal
–“Aku sudah menyiapkan semuanya. Aku sudah melamarmu pada orang tuamu dan aku
sudah siap menyambut kedatangan mereka. Aku sudah meminta ijin pada Direktur
Rumah Sakit. Aku sudah menyiapkan semua keperluan pesta. Kau hanya perlu datang
saat hari pernikahan kita.”
Jodha
menyipitkan matanya, memandang Jalal dengan sengit. Tapi itu tidak bertahan
lama. Untuk apa marah jika memang ini adalah impiannya juga.
Jodha
–“Aku tidak mau pesta besar-besaran.”
Jalal
–“Aku tahu. Undangan hanya untuk teman-teman dekat, keluarga dan kolega
terpercaya. Untuk media, aku sudah mengatasi mereka. Aku bisa jamin tidak akan
ada pemberitaan buruk tentangmu lagi atau aku akan menghancurkan mereka. Yang
pasti aku akan selalu mejaga senyum mempelai cantikku ini akan selalu bersinar.”
Jodha
tersenyum lebar. Rasanya menyenangkan bisa bersama seseorang yang sangat
mengenal dirimu bahkan tanpa perlu banyak kata-kata penjelasan. Biarkan detak
jantung mereka yang bicara. Demi masa lalu yang pernah mereka jalani, membuat
mereka tidak memiliki keinginan yang terlalu muluk bagi masa depan mereka.
Cukup bagi mereka untuk selalu bersama dan mencintai.
Tanpa
mengumbar kata-kata cinta tanpa makna, cinta itu sudah ada dalam setiap senyum,
genggaman tangan dan setiap sentuhan. Cinta itu juga sudah terasa di udara yang
mereka hirup. Semua orang bisa melihat kuatnya ikatan cinta Jalan dan Jodha
tanpa mereka harus memproklamirkan pada seluruh dunia. Namun masih tersisa satu
hal yang belum dilakukan Jalal, meminta restu pada Dev.
Satu
hari di bulan Agustus yang hangat, Jodha dan Jalal berdiri di depan sebuah
makam. Hari pernikahan mereka sudah lewat beberapa bulan yang lalu, tapi
kunjungan ini baru bisa mereka lakukan, menyesuaikan dengan jadwal praktek
Jodha di Rumah Sakit.
Jalal
yang pertama kali bicara...
Jalal—“Dev,
aku Jalal... Ibuku bilang kita sudah pernah bertemu saat kita sama-sama sedang
berada di ambang kematian. Aku percaya takdir yang mempertemukan kita...Kita
tidak pernah saling berkenalan, tapi kita mencintai wanita yang sama. Dari dialah
aku bisa mengenalmu... Terima kasih kau sudah menjaga Jodha selama ini, mulai
sekarang aku yang akan menjaganya. Aku yang akan memastikan kebahagiaannya. Aku
mohon restuilah kami...”
Jodha
yang berdiri di sampingnya hanya bisa meneteskan air mata keharuan. Setelah
bertahun-tahun, akhirnya dia bisa menempatkan Dev di tempat yang semestinya, di
salah satu sudut hatinya. Dan di sudut hati yang lain, sudah ada Jalal yang
mengklaim kepemilikannya.
Sebelah
tangan Jalal menggandeng tangan Jodha, memberinya dukungan tanpa kata.
Jodha—“Dev,
dulu aku berpikir takdir telah berlaku sangat kejam pada kita. Baru saja kita
saling mencinta, maut telah mengambilmu. Dulu aku sering bertanya, dosa apa
yang telah kuperbuat hingga Tuhan memisahkan aku dari kekasihku. Kita bukan
orang jahat, tapi kenapa takdir cinta kita tidak bisa berakhir bahagia.”
“Aku
dulu sering menyesali keputusanmu pergi ke Delhi.... Andai saja kau tetap
disini, mungkin kau tidak akan meninggal... Tapi takdir memang berbicara dengan
caranya sendiri...”
“Kau
meninggal di Delhi dan mendonorkan jantungmu disana. Kupikir itu adalah isyarat
bagiku untuk menemukanmu kembali, di tubuh orang lain.... Ternyata itu adalah
cara Tuhan membawaku bertemu dengan cintaku yang lain. Terima kasih sudah
membawaku bertemu dengan kebahagiaanku.... Aku tidak akan melupakanmu, bukan
berarti aku akan menghidupkanmu dalam diri Jalal. Aku akan selalu mengingatmu
dalam kenangan-kenangan indah kita...Restuilah kami...”
Jodha
meraba liontin di dadanya. Itu adalah cincin pertunangan Dev yang dititipkannya
pada Ny. Dhanjani, bergabung dengan cincin pertunangannya sendiri. Kedua cincin
itu akan selalu bersamanya. Dekat dengan hatinya.
Jodha
merasa sangat lega setelah mengungkapkan semua itu. Sudah tidak ada yang
mengganjal hatinya untuk bisa meraih kebahagiaan bersama Jalal. Berdua mereka
pergi meninggalkan makam Dev dengan hati lapang. Kebahagiaan yang ingin mereka
rasakan di masa depan, hanya mereka yang bisa mewujudkannya. Takdir telah
memberi mereka kesempatan kedua. Untuk bahagia dalam cinta.
*********E
N D***********