re">
Jodha
–“Amar, aku ingin bertanya sesuatu...”
Amar –“Soal
apa?”
Jodha –“Ketika
aku diam, tidak bicara...apa kau masih bisa tahu apa yang sedang kupikirkan?”
Amar –“Bagiku
komunikasi, saling bercerita itu penting..agar tidak ada kesalahpahaman antara
kita, jadi aku tidak bisa tahu yang kau pikirkan jika kau tidak membicarakannya
denganku.”
Jodha –“Lalu
saat kau tidak melihatku dimana-mana.... apa kau masih bisa merasakan
kehadiranku di suatu tempat di sekitarmu?”
Amar
–“Jodha, apa maksud pertanyaanmu?”
Jodha
–“Jawab saja dulu..”
Amar –“Tentu
saja tidak bisa, tapi aku suka melihatmu tiap hari karena itulah aku akan
mencarimu kalau sehari saja aku tidak melihatmu..”
Jodha
–“Perasaan apa yang paling kuat yang kau rasakan saat kau melihatku?”
Amar
–“Perasaan untuk selalu bersamamu.”
Jodha –“Apa kau
bisa mengontrol detak jantungmu saat merasa seperti itu?
Amar –“Aku
harus bisa karena aku harus menjaga kesehatan jantung ini.”
Jodha –“Amar,
aku bertanya seperti itu untuk mengetahui seberapa dekat perasaan antara kita.
Apakah kita memang ditakdirkan bersama atau tidak. Apakah hal-hal khusus yang
kurasakan juga kau rasakan.....”
Amar
–“Lalu?”
Jodha –“Ternyata
tidak bisa, aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku tidak bisa menjalani
hubungan jika semua itu hanya kurasakan sendiri ....”
Amar –“Kenapa?
Apa kau sudah memilih Jalal?!”
Jodha –“Aku tidak
memilih siapapun...Karena aku tidak yakin akan apapun saat ini...”
Kepala Jodha
tertunduk, helai-helai rambutnya jatuh menutupi wajahnya.Dia merasa bersalah
pada Amar dan Dev. Amar yang duduk di sebelahnya juga hanya terdiam.
Saat seperti
ini, ngin sekali Amar memeluk Jodha, mengambil alih semua beban dan kesedihan
yang menggelayuti pikirannya. Andai saja Jodha mengijinkannya. Andai saja Jodha
menerimanya sebagai sandaran, Amar akan dengan senang hati berada di posisi
itu. Amar sudah berjanji dalam hatinya pada Jodha, dia akan menjadi superman
untuk Jodha, seorang yang akan melakukan apapun untuk memastikan
kebahagiaannya, menghapus airmata dan ketakutannya, datang secepat angin jika
Jodha membutuhkannya. Amar merasa seperti itulah Dev memperlakukan Jodha di
masa lalu.
Jodha –“Aku
datang ke India dengan keinginan untuk menemukan pemilik jantung Dev... Aku
ingin menemukannya karena jantung itu satu-satunya yang ditinggalkan Dev
untukku. Yang akan menjadi penghubungku kembali pada Dev... Tapi kenapa
semuanya berjalan tidak seperti seharusnya? Aku berpikir jantungku akan
berdetak memanggil jantung Dev....Tapi
tidak... Aku tidak merasakan apa-apa saat bersamamu.... Aku menyayangimu, tapi
berbeda.... Rasanya berbeda.... Menurutmu aku sudah mengkhianati Dev?”
Amar –“Tidak
Jodha...kau tidak mengkhianati siapapun... Dev sudah meninggal, yang bisa kau
lakukan adalah menyimpan semua kenanganmu bersamanya... Tapi kau harus
melanjutkan hidupmu...”
Jodha –“Aku
tidak bisa melangkah lagi... Aku tidak tahu lagi harus berjalan ke arah mana..”
Amar –“Apa
kau ingin berjalan pada Jalal?”
Jodha –“Tidak...aku
tidak bisa!”
Amar –“Kau
tidak bisa atau tidak mau?... Siapa yang ingin kau bohongi?”
Jodha –“Aku
sudah menolak Jalal....”
Amar –“Dan
apa perasaanmu lega setelah menolaknya?
Wajahmu tidak menunjukkan kalau kau ingin terbebas dari Jalal....”
Jodha
–“Amar...tolong tinggalkan aku sendiri... Aku tidak bisa berpikir lagi...”
Sebenarnya
Amar tidak ingin meninggalkan Jodha dalam keadaan seperti itu, tapi Jodha memaksa. Dengan terpaksa,
Amar menurutinya. Dia bangkit dan mulai melangkah pergi. Amar menoleh sekali
lagi untuk melihat Jodha tapi gadis itu sudah kembali tenggelam dalam
pikirannya. Dia bahkan tidak menyadari Amar pergi.
Satu hari
lagi berlalu. Meski pikirannya terasa penuh, belum lagi ketegangan menanti
keputusan pihak Rumah Sakit soal dirinya, Jodha mencoba melalui harinya seperti
biasanya. Seperti malam ini, Jodha sedang duduk mempelajari laporan medis
pasien, tugas yang diberikan oleh dokter pengawasnya. Kepalanya menunduk pada
berkas-berkas yang bertumpuk di atas mejanya. Suasana cukup tenang pada jam 10
malam di Rumah Sakit. Hanya sedikit perawat atau pasien yang berlalu lalang. Yang
terus-menerus terdengar adalah dengungan suara penyejuk ruangan. Jodha
mengernyit, merasakan kehadiran seseorang di dekatnya... dan orang itu sedang
memandanginya....
Jodha
mengangkat wajahnya. Ternyata ada Araya sudah berdiri di pintu. Gadis itu
terlihat ragu untuk masuk. Dengan wajah sedihnya, dia hanya terpaku memandang
Jodha dari pintu. Jodha bangkit dari duduknya dan menghampiri Araya...
Jodha –“Araya...
Masuklah... Apa kau menunggu Amar?”
Araya
–“Tidak, sebenarnya...aku ingin bicara denganmu, Kak Jodha.”
Jodha
–“Masuklah....dan duduklah disini..”
Jodha
mempersilakan Araya duduk pada satu-satunya sofa di ruangan itu. Bantalan
sofanya sudah menipis menandakan sudah tak terhitung dokter residen yang duduk
atau bahkan tidur di atasnya. Sofa itu kecil, hanya muat untuk dua orang. Araya
duduk di satu sisinya dan Jodha menyusul duduk di sisi lainnya.
Jodha –“Apa
yang ingin kau bicarakan?”
Araya –“ Tentang
Kak Amar...”
Araya
menggigiti bibir bawahnya, sedikit gugup, sepertinya hal yang ingin
dibicarakannya cukup penting. Lima detik berlalu.. Araya belum juga mulai
bicara, sepertinya dia membutuhkan waktu cukup lama untuk menata hati dan
mengumpulkan keberaniannya.
Araya –“Aku
mengenal Kak Amar sejak kecil. Dia teman yang baik. Dia tidak pernah berkata
dan bertindak kasar pada siapapun. Dia suka melucu agar orang-orang di
sekitarnya tertawa. Dia sangat menggemaskan. Tapi sayang sejak kecil dia sudah
didiagnosa jantung lemah. Dunianya menjadi terbatas. Dia tidak boleh lagi
melakukan kegiatan-kegiatan yang dia sukai, dia tidak boleh lelah, dia tidak
boleh terpapar polusi terlalu lama karena bisa menyebabkan kondisi tubuhnya
drop...”
“Sejak itu
pula aku selalu menjaganya. Aku tidak pernah jauh dari sampingnya. Orang tuaku
bahkan harus menyeretku pulang karena aku tidak ingin sedetikpun
meninggalkannya. Banyak orang yang melihat kedekatanku dengan Kak Amar
menganggapnya sebagai jodoh yang telah ditakdirkan Tuhan. Padahal saat itu kami
masih sama-sama kecil.”
“Jika ada
yang bertanya sejak kapan aku mencintai Kak Amar, aku juga tidak tahu. Semuanya
terjadi begitu saja seakan memang seharusnya seperti itu. Rasanya tepat, aku
dengan Kak Amar.... Orang tuaku juga pernah bertanya padaku kenapa aku
mencintai Kak Amar, aku pun tidak tahu. Mungkin karena kebiasaan atau kebutuhan.
Ada lagi yang meragukan masa depan hubunganku dengannya. Sepanjang apa masa
depan yang akan kulalui dengannya, seorang pria yang tidak memiliki harapan
untuk hidup panjang...”
“Tapi aku
tetap bertahan. Aku tetap memiliki harapan. Kadang aku berharap Kak Amar akan memiliki
semangat hidup karena perhatian yang kuberikan padanya. Kadang aku berharap
menjadi satu-satunya sandaran hidupnya dan mejadi obat untuk penyakitnya. Namun
yang membuat harapanku runtuh saat aku melihatnya kesakitan. Saat aku
menyaksikan bermacam-macam selang dan alat medis dipasangkan pada tubuhnya.
Saat aku melihat semangatnya untuk hidup menjadi redup dikalahkan oleh rasa
sakit yang menggerogoti tubuhnya...”
“Terakhir
kali aku melihatnya dalam kondisi kritis, dia tidak sadarkan diri selama
seminggu. Harapan hidupnya semakin tipis.... Aku tidak ingin dia sembuh total,
aku hanya ingin dia membuka matanya dan melihatku...Aku tidak tahan
melihatnya..Seandainya bisa, aku ingin dia memberikan semua rasa sakitnya
padaku....”
“Dalam
keputusasaan, aku bersumpah... jika ada orang yang mampu menyembuhkan Kak Amar,
aku akan menuruti semua keinginan orang itu.. Jika ada orang yang berbaik hati
memberikan jantungnya pada Kak Amar, aku rela memberikan segalanya bahkan
hidupku untuknya...”
Jodha
mendengarkan semuanya yang diceritakan oleh Araya. Dia tahu, belum saatnya dia
berbicara. Belum waktunya dia menyela. Araya masih butuh mengeluarkan semua
beban pikirannya...
Araya –“Orang
tua Kak Amar memberitahuku kalau pendonor jantung Kak Amar adalah tunangan Kak
Jodha. Aku tidak bisa membayangkan rasa kehilangan yang sudah kau alami.
Maafkan aku mengatakan ini...tapi kematian tunangan Kakak adalah harapan hidup
untuk Kak Amar.... Untuk itu, aku akan menepati sumpahku... Aku akan menuruti
semua permintaanmu tanpa bertanya.. Aku akan memberikan semua yang aku punya
jika kau menginginkannya.... Kemarin Kak Amar mengatakan padaku kalau dia
mencintaimu... Aku merelakannya... Jika Kak Amar bahagia bersamamu, aku akan
melepasnya...”
Jodha tidak tahu
bagaimana mulai menjawabnya. Dia tersentuh oleh pengorbanan yang dilakukan
Araya demi Amar. Itu semua justru membuktikan betapa besar cinta Araya dan dia pantas untuk meraih kebahagiaan yang
selama ini dinantinya. Akhirnya Jodha bisa melihatnya, dia tidak ragu lagi
memutuskan perasaannya yang sebenarnya pada Amar. Rasa sayang Jodha pada Amar
kurang dari sepersepuluh rasa cinta Araya pada Amar. Maka tidaklah bisa
dikatakan jika Jodha mencintai Amar. Sebaliknya, setiap kali Jodha mendengar
kata cinta, yang berkelebat dalam pikirannya adalah bayangan Jalal...
Jodha –“Aku
tidak meminta apapun darimu... Dev, tunanganku ikhlas mendonorkan jantungnya.
Dia saja tidak meminta balasan apapun, maka tidaklah pantas jika aku
memintanya... Amar beruntung mendapatkan jantungnya, aku yakin dia akan
melakukan banyak kebaikan bersamamu.... Bertahanlah sedikit lagi untuk Amar.
Dia hanya belum bisa memutuskan apa yang sebenarnya dia rasakan padaku.... Aku
tahu caranya membuat dia menyadari perasaannya padamu. Kau mau bekerja sama
denganku?”
Kata Jodha
dengan senyum misterius. Dia yakin bisa menyatukan hati Araya dan Amar,
tergantung apakah Araya mau mengikuti rencananya atau tidak. Meski sedikit
bimbang, tapi sepertinya Araya tertarik dengan tawaran Jodha...
Araya
–“Bagaimana caranya?”
Jodha
tersenyum. Dia berhasil meyakinkan Araya untuk mendukungnya. Rencana yang dia
bisikkan di telinga Araya pasti akan berhasil membuat Amar kalang kabut.
Sekali-kali harus ada yang menjitak kepala Amar supaya dia bisa melihat besarnya
cinta Araya yang selama ini ada di hadapannya...
Tepat
seminggu berlalu. Inilah hari keputusannya. Sejak pagi Jodha sudah berpakaian
rapi. Atasan kemeja putih dan bawahan rok abu-abu slim fit. Kalau waktunya
tidak meleset, Jodha dijadwalkan menghadap sidang dewan Rumah sakit terkait dimuatnya
foto dirinya dengan Jalal Dhanjani yang di koran. Masa depan pendidikan Jodha
sebagai dokter residen di Delhi Medical Internasional akan ditentukan hari ini.
Tepat pukul
10 siang, sidang dimulai. Berita acaranya adalah mendengar penjelasan Jodha terkait
berita tersebut. Di hadapan lima orang dewan petinggi Rumah Sakit, Jodha
menceritakan fakta-faktanya. Tidak ada yang ingin disembunyikannya. Sidang
berlangsung selama 2 jam. Dua jam yang cukup menegangkan.
Akhirnya
sidang ditutup setelah diperpanjang 15 menit. Jodha dianggap bersalah karena
mempertontonkan hubungan pribadinya di area umum yaitu Rumah Sakit. Keputusan
akhirnya adalah Jodha diskors selama 2 minggu. Selama waktu itu, Jodha tidak
diperkenankan mengikuti pendidikan dan pelatihannya sebagai dokter. Dia tidak
boleh berhubungan dengan semua kegiatan yang diselenggarakan pihak Rumah Sakit.
Dengan kata lain, Jodha harus menghilang selama 2 minggu tersebut. Hal ini
bertujuan untuk meredam semua berita yang dimuat media demi reputasi Rumah
Sakit.
Jodha
menerima keputusan itu. Dia bersyukur karena hanya diskors selama 2 minggu.
Sebenarnya hukumannya bisa lebih dari itu....Keluar dari ruang sidang, Amar
sudah menunggu di luar pintu. Wajahnya terlihat lebih cemas daripada Jodha.
Amar
berdiri, diam menunggu penjelasan Jodha...
Amar
–“Bagaimana?”
Jodha
–“Diskors 2 minggu...”
Amar –“Apa
yang akan kau lakukan?”
Jodha –“Aku
akan pulang.... Aku ingin menyendiri untuk sementara...”
Amar –“Aku
ikut...”
Jodha
–“Amar... jangan ikut-ikut melakukan hal bodoh sepertiku. Kau harus tetap
disini, jangan sia-siakan kesempatanmu...”
Amar –“Sebentar
saja. Ada hal penting yang harus kulakukan...”
Jodha
mengangkat alisnya, tanpa suara dia menanyakan maksud Amar yang sebenarnya.
Tapi Amar tidak menjawabnya, dia malah menggandeng Jodha pergi dari tempat
itu..
Sambil
berjalan, Amar bertanya lagi...
Amar
–“Bagaimana dengan Jalal?”
Jodha –“Aku
butuh waktu dan keyakinan...”
Amar –“Kau
akan meninggalkannya?”
Jodha
–“Kuputuskan setelah 2 minggu.... Kau juga keliahatan sedih, kenapa?”
Amar –“Araya
juga akan meninggalkanku... Dia akan belajar ke Belanda.. Dia bilang tidak akan
menyia-nyiakan waktunya lagi untuk menemaniku..”
Jodha diam-diam
tersenyum, rencana yang dijalankannya bersama Araya mulai berhasil. Sekarang
Amar mulai kehilangan arah. Araya belum pergi saja, dia sudah mulai tak
bersemangat, apalagi kalau Araya benar-benar pergi.......
Jodha –“Kau
membiarkannya...?”
Amar –“Apa
lagi yang bisa kulakukan?”
Jodha
–“Benar, biarkan saja Araya pergi... Jadi tidak akan ada lagi yang setiap hari
menelponmu hanya untuk memeriksa keadaanmu, tidak ada lagi yang membawakanmu
makanan, tidak ada lagi yang menunggumu malam-malam di depan pintu, tidak ada
lagi yang mengomelimu karena terlambat minum obat... Araya memang kelewatan,
dia terlalu banyak melakukan hal-hal remeh untukmu... Dia sangat merepotkan,
bukan begitu?”
Jodha makin
bersemangat membakar hati Amar. Jodha berharap Amar sadar seberapa pentingnya
Araya dalam hidupnya. Jangan sampai dia menyesal karena melepasnya pergi....
Jodha
–“Araya itu benar-benar tidak mengerti perasaanmu. Untuk apa dia menemanimu selama
kau terbaring sakit, tidak punya harapan hidup dan hanya bergantung pada
alat-alat penunjang hidupmu. Seharusnya dia mencari pria lain saja, yang bisa
menemaninya jalan-jalan, nonton bioskop, berdansa. Kalau dia bersamamu yang
seorang dokter, apa yang bisa dilakukannya?. Profesi kita tidak mengenal waktu....
sangat membuang waktu hanya untuk menunggumu pulang pagi-pagi...”
Amar hanya
diam saja, sepertinya dia mulai berpikir. Semoga dia cepat mengambil
keputusan...
Amar
–“Jodha... sepertinya aku orang yang bodoh ya?”
Jodha
–“Menurutku tidak...”
Amar –“Lalu
aku harus bagaimana...?”
Jodha –“Pertama,
cegah Araya jangan sampai pergi...kecuali kau memilih menunggunya pulang dan
ternyata dia menggandeng pria lain....”
Amar –“Aku
pergi dulu! Araya harus tetap bersamaku...”
Belum sempat
Jodha bicara lagi, Amar sudah berlari meninggalkannya.
Jodha
–“Semoga berhasil!”
Jodha
berteriak pada punggung Amar yang berlari makin menjauh. Rencananya berhasil. Tidak
akan butuh waktu lama bagi Amar untuk mendapatkan Araya lagi. Dalam waktu
dekat, Jodha pasti akan menerima undangan pernikahan dari mereka.
Keadaannya
berbanding terbalik bagi dia dan Jalal. Sebelum Jodha bisa melangkah ke arah
Jalal, dia harus bisa melepaskan bayang-bayang Dev. Jalal bukanlah Dev dan
tidak akan menjadi pengganti Dev. Cara Jalal mencintainya berbeda dengan cara
Dev. Takdir cinta Jodha dan Dev sudah selesai. Yang sedang menantinya adalah
takdir cintanya dan Jalal. Jodha harus mencintai Jalal sebagai Jalal.
Jodha sedang
berada di kamarnya, mengatur baju-bajunya ke dalam kopor. Pesawatnya akan
berangkat 2 jam lagi. Amar ada di luar kamarnya, dia akan mengantar Jodha
hingga ke Canada. Ternyata hal penting yang ingin dilakukan Amar adalah mengunjungi
makam Dev, dia ingin memberi penghormatan bagi orang yang sudah memberinya
kesempatan hidup.
Selesai
merapikan kopornya, Jodha membawanya keluar dan mengunci kamar asramanya. Kunci
itu dititipkannya pada Amar.
Jodha
–“Jangan mengotori kamarku. Aku akan kembali 2 minggu lagi...”
Amar –“Iya,
jangan khawatir....”
Jawab Amar sambil
tersenyum. Mereka berjalan menuju mobil Amar yang diparkir di luar. Jodha tidak
menyadari ada seseorang yang menunggunya, barulah saat jarak mereka tinggal
lima langkah, Jodha melihatnya. Jalal sedang berdiri dengan punggung menempel
di badan mobil Amar.
Langkah
Jodha berhenti seketika, begitupun Amar. Mereka sama-sama tidak mengira akan
bertemu Jalal disana. Amar sudah akan bicara, tapi Jodha dengan cepat menggamit
lengannya dan memberikan tanda dengan remasan pelan untuk menghentikan apapun
yang akan dikatakan Amar.
Amar menoleh
pada Jodha untuk menuntut penegasan dan dibalas Jodha dengan anggukan kecil. Di
lain pihak, Jalal yang melihat posisi tangan Jodha mengartikannya lain, dia
terlanjur berprasangka bahwa Jodha telah memilih Amar.
Jodha –“Aku
harus pergi.”
Jalal
–“Hanya selama 2 minggu. Aku tahu. Semalam kau berpamitan pada Ibuku. Apa kau
akan pergi dengannya?”
Jodha
–“Iya.”
Jalal –“Aku
ingin bicara sebelum kau pergi..”
Jodha
–“Maaf, tidak bisa, pesawatku berangkat sebentar lagi....”
Jalal –“Satu
pertanyaan saja... Kau bahagia bersama Amar?”
Jodha –“Ya.”
Jalal
langsung terlihat lemas mendengar jawaban Jodha. Tangannya terkulai di samping
tubuhnya. Sinar matanya menunjukkan kelelahan, sepertinya malam-malamnya
dilalui tanpa bisa tertidur lelap.
Jawabannya
singkat. Namun satu jawaban itu mampu menghancurkan hati keduanya. Hati Jalal
yang mendengarnya, maupun hati Jodha yang mengatakannya. Keduanya saling
bertatapan mata dalam diam, mencari celah kebohongan dari kata itu. Jika saja mereka
berada dalam situasi yang berbeda, Jodha tidak akan berbohong. Tapi kebohongan
ini diperlukan sampai Jodha bisa menata hatinya, sampai dia bisa berdamai
dengan kenangan Dev. Saat dia sudah siap membuka hatinya untuk Jalal, maka
tidak akan ada lagi bayang-bayang Dev antara dirinya dan Jalal. Untuk sekali
ini Jodha bersikap egois.
Jalal
mengalah, dia menyingkir dan membiarkan Jodha dan Amar masuk ke dalam mobil.
Jodha hampir tidak bisa menahan tangisnya menatap wajah Jalal yang sedih,
karena itu dia meminta Amar untuk segera menghidupkan mobilnya dan pergi. Dari
jendela mobil, Jodha terus melihat Jalal yang menatap kepergiannya sampai
mobilnya bergerak jauh dan Jalal sudah tidak nampak lagi.
Perjalanan
panjang Delhi-Canada dilewatinya tanpa terasa. Untunglah ada Amar bersamanya.
Kunjungan Amar ke Canada ternyata untuk berziarah ke makam Dev. Dia ingin
mengucapkan terima kasih atas pemberian Dev demi hidupnya. Di depan makam Dev,
dia berjanji akan menjaga dan menyayangi Jodha.
Dua minggu berlalu dengan cepat...
Jodha sudah
kembali ke Delhi dan menekuni aktifitasnya lagi sebagai dokter residen. Dia
bertekad akan mengejar ketertinggalannya selama diskors. Soal hubungannya
dengan Jalal, dia hanya menunggu waktu yang tepat saja.
Tapi khusus
malam ini, dia mengesampingkan semua buku-buku manualnya. Jodha sedang merias
dirinya secantik mungkin di depan cermin. Gaun malamnya sudah dipatutnya dengan
rapi. Malam ini dia akan menghadiri sebuah acara besar dan sangat penting untuk
Amar.
Jodha
berharap semoga bisa bertemu dengannya. Pada hari sebelumnya, Amar meyakinkan
Jodha bahwa dia sudah mengirimkan undangannya langsung pada pria itu. Tapi dia
tidak bisa memastikan pria itu akan datang atau tidak. Semoga saja dia datang,
pinta Jodha dalam hati.......
***************