re">
Jodha –“Tapi hubungaanku dengannya belum sejauh itu. Semalam kami hanya
saling menghibur dan mengbrol...”
Amar –“Kau akan menjelaskannya pada siapa? Pada wartawan?! Mereka akan
membuat beritanya semakin panas dan banyak cerita tambahan yang akan mereka
buat...!?”
Jodha –“Lalu apa yang harus kulakukan?”
Amar –“Percayalah padaku kali ini.. Jangan temui Jalal sama sekali!...
Tetaplah bersamaku, aku yang akan melindungimu dari media!”
Jalal –“Itu bukan solusi terbaik!”
Jodha dan Amar menoleh bersamaan ke arah suara yang tiba-tiba menimpali
pembicaraan mereka berdua. Jalal sudah ada disana. Jodha tidak mendengar
langkah kakinya, seakan Jalal muncul begitu saja dari balik asap dan langsung
berdiri di hadapannya. Lebih tepatnya Jodha tidak memperhatikan apapun di
sekelilingnya. Dia juga tidak menyadari penghuni asrama yang lain mulai kasak-kusuk
memperhatikan dirinya....
Amar –“Kau masih berani datang kesini?!”
Jalal –“Aku bertanggung jawab sepenuhnya.”
Amar –“Kau memang harus bertanggung jawab, kau yang sudah melibatkan
Jodha dalam skandal-skandalmu yang memalukan!”
Jalal sama sekali tidak terpancing emosinya meski Amar secara terus
terang menghinanya. Wajahnya tetap datar dan tenang, mungkin karena ini bukan
pertama kalinya bagi Jalal menghadapi masalah seperti ini.
Jalal –“Hubunganku dan Jodha bukanlah skandal. Kami saling menghormati.”
Amar –“Itu karena kau memanfaatkan Jodha untuk menaikkan reputasimu!..
Jangan-jangan kau sendiri yang menyuruh wartawan itu untuk mengambil gambarmu
saat bersama Jodha, dan membuatnya seakan-akan kau juga korban yang tidak tahu
apa-apa!”
Wajah Jalal memucat dan tangannya mengepal, menahan amarah, mendengar
kata-kata Amar yang menyudutkan dirinya. Sementara Jodha semakin bingung
melihat perdebatan Amar dan Jalal.
Jalal –“Apa ada alasan pribadi yang membuatmu tidak menyukai hubunganku
dengan Jodha? Jangan-jangan kau sendiri
yang punya niat kotor dalam otakmu untuk memiliki Jodha?!”
Jodha –“Hentikan!!”
BUGH.... Sudah terjadi.. Adu mulut sudah beralih menjadi adu fisik. Amar
memukul wajah Jalal dengan kepalan tangannya. Jalal sempat limbung sedikit tapi
dia langsung berdiri tegak lagi. Dia mengusap sedikit darah yang menetes dari
hidungnya. Sikapnya tetap dingin. Dia juga tidak membalas pukulan itu.
Jodha –“Amar, hentikan!!”
Jodha memegangi lengan Amar untuk menahannya agar tidak meluapkan emosinya
lagi. Apalagi mereka sudah mejadi tontonan seluruh penghuni asrama.
Jodha –“Amar, tolong tinggalkan kami. Aku ingin bicara sebentar dengan
Jalal...”
Amar –“Tapi...”
Jodha –“Sebentar!”
Jodha meyakinkan Amar karena dia mengerti kekhawatiran Amar untuknya.
Dengan berat hati, Amar meninggalkan Jodha dan Jalal berdua. Untuk menghindari
mata orang-orang yang ingin tahu, Jodha mengajak Jalal ke tempat yang lebih
sepi di ujung selatan gedung asrama.
Jodha –“Kenapa sampai ada yang memotret kita?”
Jalal –“Dia hanyalah paparazzi yang kebetulan ada di sekitar Rumah Sakit
ini dan mendapatkan momen tepat saat melihatku bersamamu. Yang menjadi target
adalah aku, sedang kau hanya terseret di dalamnya. Aku minta maaf karena sudah
melibatkanmu.”
Jodha –“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
Jalal –“Soal media, biar aku yang akan menangani mereka. Aku juga akan
menghadap Dewan Rumah Sakit untuk menjelaskan semuanya. Yang kukhawatirkan adalah hubunganmu dengan tunanganmu. Aku
tidak ingin dia salah paham dan menyalahkanmu soal ini. Jadi aku minta...tolong
sambungkan aku padanya, aku sendiri yang akan menjelaskan semua ini padanya...”
Jodha –“Itu tidak mungkin.”
Jalal –“Kenapa? Apa dia sudah tahu dan marah..?”
Jodha –“Bukan...sebenarnya tunanganku...sudah meninggal delapan tahun
yang lalu...”
Jalal terkejut dan salah tingkah, bingung harus berkata apa. Meninggal
delapan tahun yang lalu? Pastinya dia ikut merasa sedih, kematian selalu berarti
kesedihan bagi orang yang ditinggalkan. Tapi sudah delapan tahun yang lalu?...
Anehnya, sisi lain dirinya malah merasa senang, karena berarti sekarang tidak
ada lagi yang menghalanginya untuk mendapatkan hati Jodha.
Jalal –“Kenapa selama ini kau selalu menyiratkan kalau tunanganmu masih
hidup? Apa kau sengaja melakukannya padaku?”
Jodha –“Ya.”
Jalal –“Kenapa?”
Jodha –“Karena aku tidak berhasrat memulai hubungan dekat dengan pria
manapun.”
Jalal –“Tapi kau harus mengakui kalau kita sangat cocok. Kita berdua
nyaman bersama.”
Jodha –“Bukan berarti aku harus lebih dekat denganmu.”
Jalal –“Kenapa? Apa karena aku seorang pembunuh? Apa karena aku bukan
pria baik? Apa karena aku tidak sama dengan tunanganmu? Apa kau masih mencintai
tunanganmu? Masih hidup dalam kenangan-kenangannya? Apa kau mencari pria yang
mirip dengannya? Apa kau jauh-jauh ke Delhi untuk mencari pria seperti itu?”
Jodha –“Saat meninggal, tunanganku mendonorkan jantungnya, aku datang ke
Delhi untuk mencari orang itu. Dan aku akan mencintai pemilik baru jantung Dev
seperti aku mencintai Dev, karena jantung itu ditinggalkan Dev untuk
menjagaku.”
Jalal –“Itu konyol! Apa kau yakin orang itu juga akan mencintaimu?!...
Jodha, kau harus menghadapi kenyataan! Tunanganmu sudah meninggal!”
PLAK... Jodha menampar Jalal... Matanya menyiratkan emosi karena
kata-kata yang diucapkan Jalal.
Jalal –“Aku tidak peduli meski kau membunuhku! Kenyataannya tidak akan
bisa kau sangkal lagi. Kita berdua saling membutuhkan. Aku bisa menjagamu....
Aku menyukaimu... Aku akan mencintaimu lebih dari tunanganmu...!”
Jalal mulai terdengar putus asa karena tidak bisa meyakinkan Jodha
tentang perasaan mereka. Jika Jodha tidak mau mengakui perasaannya, maka
sebentar lagi dia akan kehilangan wanita yang dicintainya itu.
Jodha –“Kau tidak bisa! Dan kita tidak bisa bersama. Aku ingin kau
menjauh dariku selama berita tentang kita masih ada di koran. Tolong jangan
menemuiku lagi..!”
Jodha berbalik dan melangkah meninggalkan Jalal yang masih tercenung di
tempatnya. Dengan jelas, Jodha menolak perhatian dan cinta Jalal. Tapi kenapa
Jodha merasa hatinya sangat sakit dan lebih sedih daripada sebelumnya, saat dia
mengetahui Jalal bukanlah penerima donor jantung Dev. Membayangkan dia tidak
akan bertemu Jalal lagi membuat hidupnya tiba-tiba terasa gelap dan kosong.
Berita tentang hubungannya dengan Jalal mulai tersebar di antara staf
Rumah Sakit. Jodha mulai jengah karena orang-orang mulai memperhatikannya dan kasak-kusuk
membicarakannya di balik punggungnya. Jodha berusaha mengacuhkan semuanya. Dia
tidak ingin terpengaruh hanya karena hal itu. Pikirannya mulai dia alihkan
dengan membayangkan orang yang akan ditemuinya nanti malam, meski sesekali
wajah Jalal muncul dalam benaknya.
Masalah muncul lagi saat Jodha akan mengakhiri jadwal kerjanya. Direktur
Rumah Sakit memanggilnya. Meski Jodha sudah menyiapkan diri sejak pagi, tak
ayal pemanggilan ini tetap membuatnya gugup. Direktur meminta penjelasannya
tentang berita yang dimuat di koran. Dan Jodha menjelaskan apa adanya. Rupanya
penjelasan Jodha sesuai dengan penjelasan Tuan Jalal Dhanjani, begitulah yang
dikatakan sang Direktur. Jalal benar-benar melakukan yang diucapkannya tadi
pagi. Dia sudah lebih dahulu menemui Direktur Rumah Sakit. Setelah menjawab
beberapa pertanyaan lagi, Direktur mempersilakan Jodha pulang dan akan
memanggilnya lagi dalam sidang Dewan Rumah Sakit kira-kira dalam waktu
seminggu. Masalah masih juga belum selesai bagi Jodha.
Malam harinya, inilah saat-saat yang ditunggu Jodha selama delapan tahun
ini. Bertemu dengan orang yang bernapas dengan jantung Dev. Hatinya berdebar menerka-nerka
akan seperti apakah orang itu? Apakah orangnya menyenangkan sama seperti Dev? Ataukah
sifatnya justru bertolak belakang? Sambil membayangkan pertemuan nanti, Jodha
berkutat menyapukan bedak dan lipstik di wajahnya. Setelah siap, Jodha bergegas
naik taksi menuju Four Seasons Hotel.
Orang tua Dev menunggu Jodha di dalam kamar hotelnya. Pertemuan dirinya
dengan orang tua Dev selalu diwarnai keharuan, mungkin karena mereka sama-sama masih
membawa kenangan Dev. Ketiganya hanya berbincang singkat, karena waktu sudah
menunjukkan pukul delapan malam, waktu yang disepakati untuk pertemuan itu.
Ketiganya turun ke lantai dasar, letak restoran hotel berada. Pada
penerima tamu, Tuan Ghavand meminta nomor meja atas nama dirinya yang telah
direservasi sebelumnya. Tuan dan Nyonya Ghavand berjalan di depan Jodha, pelayan
restoran memandu langkah mereka menuju sebuah meja di ujung ruangan yang
sedikit tersembunyi di balik sebuah pot tanaman besar. Di meja pesanan mereka,
sudah ada empat orang yang duduk menunggu...
Dari balik bahu Tuan Ghavand, Jodha mengernyitkan alisnya. Pertanyaan
besar dalam pikirannya adalah untuk apa Amar ikut dalam pertemuan ini?
Jodha –“Amar?”
Tuan dan Nyonya Ghavand menoleh ke belakang pada Jodha.
Amar –“Jodha?!”
Keempat orang yang duduk segera berdiri, saling memberikan salam,
termasuk Amar. Mereka saling berpandangan mendengar Jodha dan Amar saling
memanggil.
Firasat Jodha benar-benar tidak enak. Jangan-jangan Amar yang....
Tuan Ghavand –“Gadis ini adalah Jodha. Dulu dia adalah tunangan putra
kami, Dev...”
Tuan Ghavand memperkenalkan Jodha pada tamu yang lain. Terdengar tarikan
nafas yang bersamaan dari keempat orang di depan Jodha. Lalu Amar berjalan
perlahan menghampiri Jodha.
Jodha –“Jangan katakan kalau kau yang....”
Jodha melangkah mundur seperti ingin menghindari apa yang akan
dihadapinya sebentar lagi...
Amar –“Jodha, aku..... yang menerima jantung Dev....”
Air mata Jodha langsung tumpah, kesedihan dan kelegaan bercampur jadi
satu. Akhirnya dia menemukan jantung Dev... Ditutupnya wajah dengan kedua
tangannya untuk menyembunyikan tangisnya. Amar memeluknya, merasakan keharuan
yang sama....
Masih dengan mata yang sembab, Jodha melonggarkan tubuhnya dari pelukan
Amar...
Jodha –“Amar... boleh aku menyentuhnya?”
Amar –“Silakan.”
Dengan tangan gemetar, Jodha menyentuhkan ujung jarinya ke titik pada
tubuh Amar dimana jantung Dev berada... Berdetak....Jodha meresapi detaknya..
Deg..deg...deg..deg...deg... Namun tiba-tiba Jodha tertegun... Dia baru sadar,
jantungnya sendiri tetap berdetak normal, tidak berubah menjadi cepat...
seperti saat dia berada di dekat Jalal... Apa arti semua ini? Apakah detak
jantungnya sudah tidak memanggil jantung Dev lagi? Kenapa? Apakah karena jantung
itu sudah berpindah tubuh? Apakah detak jantung yang sebelumnya dirasakannya hanya
merespon keberadaan Jalal di dekatnya? Kenapa bisa begini?....
Perubahan sikap Jodha juga disadari oleh Amar..
Amar –“Jodha, kenapa?”
Jodha –“Tidak... tidak ada apa-apa...”
Tuan Ghavand –“Jodha, duduklah dulu, kita bisa lebih santai membicarakan
semuanya.”
Mereka bertujuh duduk mengelilingi meja. Hidangan pun disajikan.
Pembicaraan terus berlanjut di antara mereka. Jodha baru tahu, selain
perwakilan dari Bank Organ, ternyata dua orang lain yang mendampingi Amar
adalah orang tuanya. Isi pembicaraan sepanjang pertemuan itu adalah ucapan
terima kasih dari Amar dan orang tuanya pada orang tua Dev atas pengorbanan
yang dilakukan oleh putranya. Jantung Dev telah memberikan kehidupan baru bagi
Amar hingga dia berhasil menjadi dokter.
Sesekali Jodha melirik Amar, begitupun sebaliknya. Sungguh tidak diduga,
ternyata orang yang selama ini dicarinya sudah ada di depan matanya. Selalu
bertemu setiap harinya. Yang jadi pikiran Jodha sekarang adalah bagaimana
sikapnya pada Amar selanjutnya? Apakah dia akan menepati janjinya? Bisakah dia mencintai Amar, padahal selama
ini dia menganggap Amar hanya sebagai partner dan temannya?
Usai pertemuan itu, Jodha menemani orang tua Dev tidur di kamar hotelnya.
Besok adalah jatah liburnya dan Jodha akan memanfaatkan hari itu untuk memandu
Tuan Ghavand dan istrinya berjalan-jalan di Delhi. Dia punya waktu satu hari
untuk memikirkan hubungannya dengan Amar...dan juga Jalal. Sepanjang pagi dan
siang, mereka berkeliling kota Delhi, mengunjungi pusat perbelanjaan dan juga
beberapa tempat lainnya. Sore harinya, Jodha mengantar mereka berdua ke bandara
untuk penerbangan kembali ke Canada.
Tubuhnya terasa sangat lelah saat dia akhirnya sampai di gedung asramanya.
Betapa terkejutnya Jodha saat dilihatnya Nyonya Dhanjani berdiri di depan pintu
kamarnya, menunggunya.
Sebenarnya Jodha tidak ingin bertemu siapapun dan Nyonya Dhanjani adalah
orang terakhir yang ingin ditemuinya. Bukan karena dia tidak suka, tapi disaat
Jodha belum menetapkan hatinya, dia akan sulit menjawab jika ditanya soal
hubungannya dengan Jalal.
Jodha –“Silakan masuk, Nyonya D...”
Nyonya Dhanjani –“Terima kasih Jodha... kudengar kau libur hari ini. Apa
kau baru dari jalan-jalan?”
Jodha –“Iya, menemani paman dan bibiku”
Nyonya Dhanjani –“Kau memang butuh sedikit liburan. Andai saja tidak ada
berita di koran itu, aku akan mengajakmu berlibur. Tapi kalau sampai media
memergokimu berjalan bersamaku, Ibunya Jalal, entah berita seperti apa lagi
yang akan muncul. Karena itulah...”
Jodha hanya tersenyum lemah...
Nyonya Dhanjani –“Soal berita di media itu, aku percaya putraku pasti
bisa membereskannya. Tapi setelah semuanya beres, apakah kau masih akan
menjauhinya...? Aku tidak berharap terlalu muluk pada hubungan kalian, aku
hanya berharap kau tetap mau berteman dengannya.”
Jodha –“Aku belum bisa menjawabnya sekarang.”
Nyonya Dhanjani –“Jalal tidak mengatakan apa-apa padaku soal perasaannya
padamu. Tapi sebagai Ibunya, aku pasti bisa merasakannya. Bertahun-tahun dia
hidup dalam kepahitan, barulah saat kau datang, ada setitik cahaya di wajahnya.
Dan sepertinya cahaya itu akan padam lagi... Apa sungguh tidak ada yang tersisa
lagi untuk kalian?”
Jodha –“Bukan seperti itu... masalahnya adalah aku belum menata
perasaanku sendiri. Aku belum yakin harus memilih yang mana..”
Nyonya Dhanjani –“Putraku memang bukanlah malaikat, tapi dia adalah
penyelamat hidupku. Seharusnya orang tua yang berkorban untuk anaknya, tapi
dialah yang mengorbankan hidupnya untukku. Apa dia sudah cerita soal ayahnya?”
Jodha –“Sudah, dia dituduh membunuh ayahnya...”
Lalu Nyonya Dhanjani bercerita dengan suara lirih, mendatangkan kembali
masa lalu di hadapannya.
Nyonya Dhanjani –“Yang sebenarnya adalah ayahnya yang ingin membunuh kami
berdua. Hari itu tak akan pernah kulupakan, hari yang sangat berdarah dalam
kehidupan kami... Aku tidak berdaya melindungi putraku saat dia ditikam
ayahnya... Aku hanya bisa berteriak. Tapi dengan sisa kekuatannya dia mendorong
ayahnya ke belakang hingga kepala ayahnya membentur tembok dengan keras. Dan suamiku
tersungkur... Saat itu aku lebih memilih
menyelamatkan putraku daripada suamiku...”
Jodha –“Hari Sabtu minggu kedua bulan Agustus 2006... hari itu aku juga
kehilangan tunanganku..”
Nyonya Dhanjani –“Tunangan? Meninggal?”
Jodha –“Iya, di kota ini, di Rumah Sakit ini.... Saat meninggal, dia
melepaskan jantungnya pada orang lain. Anda pernah bertanya kenapa saya
jauh-jauh datang ke kota ini, alasannya adalah karena aku ingin mencari orang
yang menerima jantung tunanganku...”
Nyonya Dhanjani –“Kau sudah menemukannya?”
Jodha –“Sudah... Selama ini ternyata dia ada di dekatku... Dan sekarang aku
terikat untuk memenuhi janjiku... janji untuk mencintai pemilik jantung Dev,
siapapun itu...”
Nyonya Dhanjani –“Siapa nama tunanganmu?”
Jodha –“Dev...”
Nyonya Dhanjani –“Dev... Ghavand?”
Jodha –“Bagaimana anda tahu?”
Jodha semakin bingung dan penasaran karena nyonya Dhanjani tidak segera
menjawab, dia malah merogoh ke dalam tasnya. Dikeluarkannya sebuah buntelan
kain kecil dan dibukanya di depan Jodha...
Di dalam buntelan itu, ada sebuah cincin....
Jodha langsung lemas dan limbung, untunglah nyonya Dhanjani segera
memegangnya dan memapahnya duduk di pinggir tempat tidur... Diangsurkannya
cincin itu pada Jodha... Dengan tangan gemetar, Jodha memegang cincin itu...
diputar-putarnya.. lalu dia melihat ada nama Jodha terukir di lingkaran dalam cincin
itu.... Tidak salah lagi... ini adalah cincin pertunangan yang pernah tersemat
di jari Dev.... Didekapnya cincin itu di dadanya....
Nyonya Dhanjani –“Aku sedang menemani Jalal di Emergency Room di Rumah
Sakit ini. Dia dalam kondisi kritis karena luka tikaman itu.. Dokter sedang
menyiapkan ruang operasinya... Lalu datang pria muda itu, tubuhnya terbaring
penuh darah, sama seperti Jalal... Tiba-tiba dia seperti memanggil
seseorang..saat itu aku tidak bisa jelas mendengarnya, jadi aku menghampirinya,
... cincin ini ada dalam genggamannya...
sepertinya dia ingin aku menyerahkan cincin itu pada seseorang dan dia
mengucapkan namanya lagi...lebih jelas... Jodha....
Nyonya Dhanjani –“Ternyata Jodha yang dimaksud adalah dirimu... Aku
menanyakan nama pria muda itu pada dokter yang menanganinya.... Aku bermaksud menyerahkan cincin itu pada
keluarganya, tapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, dan di saat bersamaan
aku sangat mengkhawatirkan Jalal... aku melupakan soal cincin itu... maafkan
aku, Nak...”
Jodha –“Tidak apa-apa...”
Nyonya Dhanjani memeluk Jodha dan
mengusap-usap punggungnya, mencoba bersikap layaknya seorang Ibu yang
menenangkan putrinya, tapi hatinya juga ikut sedih merasakan pilunya hati Jodha
dipisahkan dari tunangannya oleh kematian.
Masih teringat jelas dalam benak Nyonya Dhanjani, seakan semuanya baru terjadi
kemarin, kepanikan dan keputusasaannya di Ruang Emergency melihat putra
tercintanya berjuang melawan maut. Dan ada satu titik puncak dalam kepanikan
itu saat mesin penunjuk alat vital yang dihubungkan pada tubuh Jalal dan Dev
sama-sama menunjukkan angka nol. Para dokter serempak menggunakan alat
defribilator untuk mengembalikan denyut jantung keduanya. Dibutuhkan tiga kali
usaha hingga jantung Jalal mulai merespon. Tapi tidak pada Dev. Setelah itu
yang bisa diingat oleh Nyonya Dhanjani adalah dokter membawa tubuh Dev ke
sebuah ruangan lain. Itulah terakhir kalinya dia melihat Dev. Tapi dia tidak
akan menceritakan sedetail itu pada Jodha.
Sungguh misteri sebuah kehidupan, di satu titik pada tempat dan waktu
yang sama, takdir dua manusia saling berseberangan, yang satu mendapatkan
hidupnya kembali, sedang yang lain melepaskan hidupnya untuk selamanya. Dan
tidak akan ada orang yang menduga, sejak itu takdir mereka juga saling terkait
dan terhubung kembali delapan tahun kemudian.
Jodha –“Nyonya D, terima kasih sudah menyimpan cincin ini selama bertahun-tahun...”
Nyonya Dhanjani –“ Sebagai manusia, aku tidak tahu bagaimana takdir
berbicara, tapi kadang aku merasa bersalah bila memikirkan bahwa putraku hidup saat Dev meninggal.... Jodha,
kematian Dev mungkin adalah akhir kebahagiaanmu bersamanya. Tapi aku yakin Dev
ingin kau mendapatkan kebahagiaan yang lain meski tidak bersamanya. Mulailah
mencintai, seperti itulah caramu mengenangnya....”
Setelah Jodha lebih tenang, Nyonya Dhanjani pulang meninggalkannya,
dengan pesan bahwa kemanapun jalan yang akan diambil Jodha, dia harus
mendengarkan kata hatinya.
Hingga tengah malam, Jodha masih setia termenung di atas tempat tidurnya,
cincin Dev juga masih lekat di genggamannya. Mendengarkan kata hati? Jodha
sudah tahu siapa yang diteriakkan oleh hatinya. Tapi bagaimana dengan janjinya?
Bisakah dia melupakan janjinya begitu saja?......
Pagi hari yang cukup tenang di koridor lantai 5. Aktifitas pagi mulai
berjalan. Jodha berjalan tenang menuju ruang kerjanya. Hal yang tidak bisa
dihindari dengan Amar adalah berpapasan dengannya karena tempat kerja yang
sama. Pagi ini seperti itu, keduanya berpapasan di koridor, sama-sama berhenti
melangkah, berdiri saling berhadapan, semuanya bergerak seperti dalam gerakan
lambat. Jodha menyunggingkan seulas senyumnya dan dibalas dengan senyum juga. Sikap
keduanya kikuk, tidak tahu harus memulai obrolan seperti apa, akhirnya Jodha
memutuskan untuk meneruskan langkahnya...
Amar –“Tunggu, Jodha....”
Jodha berbalik dan menatap Amar.
Amar –“Nanti malam, aku ingin bicara...”
Jodha hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya....
Jika kita tidak menunggu waktu, tiap saatnya terasa lebih cepat. Malam
ini bagi Jodha juga terasa cepat sekali datangnya. Dia dan Amar berjanji
bertemu disini, di sebelah selatan gedung asramanya, tempat yang sama saat dia
berbicara dengan Jalal pada pagi saat wajahnya muncul di koran. Jodha duduk
menunggu, tidak berapa lama Amar menyusul duduk di sampingnya...
Amar –“Bagaimana perasaanmu?”
Jodha –“Seperti itulah...”
Amar –“Jodha, kau pasti sudah menduga apa yang ingin kubicarakan....
Sejak awal kita bertemu, kau sudah menarik perhatianku dan.... aku tidak ingin
membuang-buang waktu lagi... aku menyukaimu... aku mencintaimu.... aku ingin
menjagamu, menggantikan Dev.... Jantung Dev ada dalam tubuhku dan aku ingin
bertanggung jawab atas dirimu dalam segala hal... aku ingin menjadi bagian
hidupmu sama seperti jantung ini menjadi bagian tubuhku...”
Seharusnya inilah saat yang ditunggu Jodha. Dia akan bersatu lagi dengan
jantung Dev, meski ada dalam tubuh pria lain. Tapi kenapa dia tidak merasa
bahagia? Apa lagi yang masih kurang?
*********************