re">
Tiba-tiba ponselnya berdering, mengejutkannya,
membawa pikirannya kembali ke bumi, pada kenyataan. Jodha mengeluarkan ponsel
dari dalam tasnya. Dilihatnya di layar tertera nama Raam Rae Ghavand, ayah Dev.
Ditekannya tombol penerima...
Pembicaraannya tidak sampai lima menit. Tapi
apa yang dibicarakan oleh ayah Dev membuat Jodha terguncang sekali lagi. Ayah
Dev memberitahu bahwa dia menerima surat permintaan untuk bertemu dari pasien
penerima jantung Dev. Surat itu dikirimkan oleh perwakilan Bank Organ
Departemen Kesehatan India sebagai perwakilan karena departemen itu yang
berwenang menyimpan semua dokumen sehubungan dengan donor organ yang sangat
dirahasiakan. Kesepakatannya pertemuan itu akan dilakukan di Delhi, dan
kebetulan Jodha ada di Delhi, jadi ayah dan Ibu Dev akan mengikutsertakan Jodha
dalam pertemuan itu. Orang tua Dev akan naik penerbangan besok pagi dan
diperkirakan tiba di Delhi pada pagi hari berikutnya. Jodha berjanji akan
menemui mereka di hotel setelah mereka tiba karena untuk menjemput di bandara,
kemungkinan dia tidak bisa, karena bertepatan dengan jadwal jaganya pada pagi
hari.
Pembicaraan selesai dan telepon pun ditutup.
Jodha masih diam. Dia masih tidak mempercayai
apa yang baru saja didengarnya. Belum satu jam berlalu saat dia tahu Jalal
bukanlah pemilik jantung Dev, sekarang malah orang yang sedang dicarinya justru
muncul dan ingin bertemu. Jodha merasa takdir sedang mempermainkannya.
Jodha mengingat kembali saat dia pertama kali
menginjakkan kakinya di Delhi. Saat jantungnya berdetak cepat di kota ini,
Jodha berpikir akan segera menemukannya, dan keyakinannya membawanya pada
Jalal. Lalu Jodha mulai membuka hatinya untuk Jalal setelah sekian lama
terkunci hanya untuk Dev, tapi terpaksa sekarang dia harus menutupnya lagi.
Karena teryata semuanya salah. Perasaannya yang salah, ditujukan bukan pada
orang yang seharusnya. Besok, dia akan bertemu orang yang benar. Orang yang
benar-benar menerima donor jantung dari Dev. Sekarang pertanyaan yang muncul
dalam pikirannya adalah apakah jantungnya akan berdetak cepat juga saat bertemu
orang itu seperti saat dia di dekat Jalal? Masihkah jantungnya bisa mengenali
jantung Dev saat seluruh pikirannya dipenuhi oleh sosok Jalal? Apakah dia sudah
mengkhianati janjinya pada Dev karena memikirkan Jalal, orang yang tidak
memiliki penghubung apa-apa dengan Dev?
Terlalu banyak pertanyaan dalam pikirannya dan
tidak ada satupun jawaban. Jodha berdiri dan berjalan menghampiri jendela. Dia
melihat ke arah luar. Berharap menemukan jawaban yang tersembunyi di kegelapan
malam. Tidak ada, terlalu gelap sama seperti kegelapan dalam pikirannya. Lalu
dia meraba dadanya, meresapi detaknya, berharap detak jantungnya bisa
memberikan satu saja jawaban yang dibutuhkannya. Lalu Jodha memejamkan matanya.
Dia sangat merindukan Dev...berharap dengan membayangkannya bisa memberinya
ketenangan. Tapi...tapi kenapa wajah Jalal yang muncul di pelupuk matanya yang
terpejam?!
Jodha merebahkan tubuhnya kembali ke tempat
tidur, dia ragu akan bisa terlelap malam ini, tapi dia butuh tidur. Saat dia akhirnya
tertidur, itupun tidak bisa lama, karena alarmnya berbunyi menandakan saatnya
bangun untuk bekerja lagi. Dengan kedisiplinan yang sudah terlatih, Jodha
segera merapikan diri. Dan dia siap memulai rutinitasnya pagi ini.
Dikesampingkannya semua pikiran yang seperti benang kusut di otaknya, berharap
kesibukannya bisa mengalihkan semua perhatiannya.
Setelah mendapatkan briefing singkat dari
dokter pengawasnya, Jodha memulai rutinitasnya. Kebetulan yang menyenangkan,
pagi ini Jodha akan observasi pasien bersama Amar. Bersama Amar, Jodha berharap
bisa membuat harinya menjadi ceria, hanya untuk hari ini saja. Gurauan-gurauan
khas Amar terbukti ampuh memunculkan lagi senyum di wajahnya.
Amar –“Kau sudah siap?”
Jodha –“Iya, siap...pasien pertama kita adalah
pasien favoritku, Deepa.”
Jodha membuka pintu kamar Deepa, di dalam
tampak gadis itu berbaring lemah dengan bermacam selang dan alat penopang
kehidupan yang dihubungkan pada tubuhnya.
Jodha –“Selamat pagi, Deepa. Bagaimana
perasaanmu sekarang? Kemana Ibumu?”
Deepa –“Dia pulang untuk mengambil baju
gantiku, Kak..”
Amar sibuk mencatat laporan medis Deepa,
sedangkan Jodha tetap mengajak gadis kecil itu mengobrol...
Deepa –“Kak Jodha, apa kau pernah kehilangan
orang yang paling kau sayangi untuk selamanya?”
DEG. Jodha terkejut atas pertanyaan yang
tiba-tiba itu. Apa maksud Deepa bertanya seperti itu?
Jodha –“Pernah.”
Deepa –“Bagaimana perasaanmu saat dia
meninggal?”
Jodha –“Sedih. Rasanya tidak ingin hidup lagi.
Lebih baik aku yang mati daripada merasakan kehilangan yang amat sangat seperti
itu.”
Gadis sekecil ini punya pertanyaan yang bahkan
orang dewasa juga bingung menjawabnya.
Deepa –“Bagaimana caramu mengenangnya
sekarang?”
Jodha –“Memandangi fotonya, mengingat
kegiatan-kegiatan yang kami lakukan bersama dan menjalankan hal-hal baik yang
pernah diajarkannya. Kenapa kau menanyakan itu?”
Deepa –“Aku memikirkan orang tuaku seandainya
aku harus pergi selamanya.”
Jodha –“Deepa..kau tidak boleh berkata seperti
itu. Deepa yang kukenal adalah gadis yang kuat, yang tidak akan pernah menyerah
demi banyak orang yang menyayanginya.”
Deepa –“Aku memang belum menyerah, Kak. Tapi aku
hanya berjaga-jaga jika Tuhan tiba-tiba memanggilku.”
Kelopak mata Jodha mulai terasa panas tanda
air matanya ingin keluar, tapi dia tidak akan menangis di depan pasiennya.
Deepa –“Kakak, boleh aku minta tolong?”
Amar –“Katakan saja. Super Amar akan berusaha melakukan
apa saja untukmu.”
Amar berbicara sambil menepuk dadanya dan
menggerakkan tangan seperti tokoh Superman saat akan terbang, membuat Deepa
terkikik geli.
Deepa –“Aku ingin dipotret dengan dandanan
seperti seorang putri. Aku ingin terlihat secantik Kak Jodha. Semoga saat orang
tuaku melihat foto itu ketika aku sudah tidak ada, mereka tidak akan terlalu
sedih.”
Amar dan Jodha saling berpandangan. Sama-sama
memikirkan permintaan yang aneh dari seorang anak kecil di hadapan mereka. Tapi
keduanya juga tidak sanggup menolak permintaan itu karena sudah terlanjur
berjanji.
Amar –“Baiklah. Kau tunggulah disini. Kami
akan meneruskan pekerjaan kami sebentar, setelah itu kami akan menyiapkan semua
yang dibutuhkan untuk sesi photoshoot ini. Ok?”
Deepa –“OK.”
Deepa mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.
Senyuman di matanya terus mengikuti Jodha dan Amar yang berjalan keluar dari
kamarnya. Sesampainya di luar, Jodha berbalik memandang Amar...
Jodha –“Aku bisa merias Deepa dan mencarikan
baju ala putri, tapi untuk fotografernya...”
Amar –“Aku yang akan mengusahakannya.”
Jodha –“Kita harus segera menyelesaikan sisa
pekerjaan kita. Tapi kurasa paling cepat kita bisa melakukannya saat istirahat
makan siang nanti. Kita akan membicarakannya lagi kalau pekerjaan kita sudah
beres.”
Jodha mulai berjalan hendak memeriksa pasien
berikutnya..
Amar –“Jodha, tunggu....!”
Jodha berbalik mendengar panggilan Amar.
Jodha –“Ya?”
Amar –“Tadi kau bilang soal kehilangan orang
yang paling kau sayangi.. Siapa orang itu? Maaf kalau aku ingin tahu, tapi
wajahmu menunjukkan kesedihan yang lebih dalam dari yang kau ucapkan.”
Jodha diam, dia hanya menunduk sambil
memainkan cincin tunangannya di jari manis kirinya. Memutar-mutarnya seolah
ikut berpikir. Dan gerakan itu tidak luput dari pengamatan Amar.
Amar –“Jangan-jangan orang itu adalah
tunanganmu...!”
Jodha mengangguk pelan...
Amar –“Astaga! Jodha, aku benar-benar minta
maaf. Aku tidak tahu....Bahkan selama ini aku sering mengungkit-ungkit
tunanganmu. Aku merasa buruk sekali.....Tolong, maafkan aku...”
Jodha –“Tidak apa, semua sudah terjadi delapan
tahun yang lalu...”
Amar –“Tapi kesedihannya masih terlihat jelas
di wajahmu.”
Jodha –“Seharusnya tidak ada yang melihatnya.”
Amar –“Apakah....dia meninggal karena
kecelakaan?”
Jodha –“Iya...dia meninggal di kota ini, di
Rumah Sakit ini..”
Amar –“Apakah itu kebetulan atau kau memang
sengaja datang ke Rumah Sakit ini karena sudah tahu hal itu?”
Jodha –“Aku hanya mengikuti panggilan hatiku.
Aku merasa harus datang kesini. Aku merasa ada yang harus kutemukan disini
meski aku sendiri tidak tahu itu apa....Sudahlah..jangan membicarakan aku lagi,
kita harus cepat-cepat sebelum makan siang.”
Jodha berlalu meninggalkan Amar yang masih
terdiam di tempatnya berdiri.
Saat istirahat makan siang, Amar berhasil
mendatangkan seorang fotografer. Ruang perawatan Deepa disulap menjadi sebuah
studio mini tepat di sudut ruangan. Sambil menunggu studionya siap, Jodha
membantu merapikan Deepa agar tampil secantik yang diinginkannya. Jodha
berhasil meminjam sebuah kostum ala putri berwarna merah muda pastel yang
sekarang dikenakan Deepa. Semoga pemotretannya berjalan lancar, doanya dalam
hati. Untunglah pihak Rumah Sakit mengijinkan, tapi semuanya hanya boleh
dilakukan selama 1 jam.
Meski masih dengan selang oksigen yang
terpasang di hidungnya, Deepa terlihat sangat natural bergaya di depan kamera.
Gadis kecil itu benar-benar berusaha memberikan senyuman terbaiknya bagi orang
tuanya. Tidak terlihat sedikitpun rasa sakit di wajahnya. Keinginannya untuk
memberikan kenangan bahagia pada orang tuanya bisa membuatnya lupa pada
sakitnya. Ayah dan Ibunya yang belakangan datang, juga tidak keberatan akan
semua itu. Mereka ikut bahagia saat melihat putri kecilnya bahagia.
Jadwal jaga Jodha berakhir pada malam hari.
Meski hari itu melelahkan, tapi Jodha cukup bahagia apalagi melihat kebahagiaan
Deepa tadi siang. Jodha berharap bisa melakukan yang lebih dari itu bagi Deepa
agar senyuman itu tidak akan pernah hilang dari wajah cantik gadis kecil itu.
Jodha bersiap masuk ke kamar asramanya, saat
dia melihat Amar berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Jodha –“Ada apa?”
Amar –“Deepa...kondisinya kritis..”
Tanpa menunggu penjelasan lagi, Jodha langsung
melesat berlari kembali ke arah gedung Rumah sakit. Dia langsung menuju ke Emergency
Unit. Tepat saat dia sampai di sana, dia melihat dokter spesialis kardio
menyampaikan berita duka pada orang tua Deepa. Seketika tangis pecah dari
keduanya... Baru tadi siang mereka bertiga bahagia bersama, malam ini mereka
harus kehilangan putri terkasih mereka.... Jodha tidak merasakan air matanya
juga ikut mengalir mendengar kematian Deepa... Seseorang memegang pundaknya,
saat menoleh Jodha melihat Amar yang tampak sama sedihnya dengan dirinya....
Tidak tahan lagi, Jodha berjalan pergi meninggalkan tempat itu..
Amar –“Jodha...kau mau kemana?”
Jodha –“Aku ingin sendiri.”
Amar –“Jangan menanggung kesedihan ini
sendirian....Bersandarlah padaku.”
Jodha –“Tidak untuk saat ini. Biarkan aku sendiri
dulu...”
Amar –“Aku akan mengantarmu.”
Jodha –“Tidak perlu... Araya sudah
menunggumu..”
Amar tidak bicara lagi, dia memang tadi sedang
bersama Araya saat mengetahui kondisi Deepa yang tiba-tiba memburuk. Di sudut
lorong, terlihat Araya berdiri memandang ke arah Amar dan Jodha. Wajahnya
tampak kaku, sepertinya dia mulai merasa cemburu pada kedekatan Amar dan Jodha.
Jodha berjalan menjauh, dan saat berpapasan
dengan Araya, dia tersenyum tapi tidak dibalas oleh Araya. Untuk malam ini,
Jodha tidak peduli. Dia tidak akan ambil pusing. Cukup sudah dia merasakan
emosi yang naik turun sejak malam kemarin. Dia tidak mau berpikir lagi, dia
hanya ingin sendiri dulu. Jodha terus melangkah, hingga tanpa sadar dia sudah
sampai di luar gedung Rumah Sakit. Di depannya adalah ruang terbuka hijau yang
sengaja dibangun Rumah sakit sebagai tempat refreshing bagi pasien.
Jodha duduk di salah satu bangku di taman itu.
Matanya menerawang jauh... Air matanya terus mengalir... Yang dia rasakan bukan
hanya kesedihan karena kematian Deepa, tapi juga kesedihan dan kehampaan saat
Dev meninggalkannya.... Di tempat yang sama, dia kehilangan dua orang yang
berbeda... Kematian merenggut dua orang yang disayanginya dengan sangat
cepat....
Tiba-tiba ada tangan yang merengkuhnya....
Tubuhnya langsung didekap pada dadanya yang lebar dan hangat... Pelukannya
terasa sangat kuat dan Jodha ingin bersandar disana selamanya... Tanpa melihatpun,
Jodha sudah tahu siapa pria yang memeluknya... Ironis, malam sebelumnya Jodha
ingin menjauh dari pria ini, tapi malam ini Jodha sangat membutuhkan
kekuatannya....
Jodha –“Untuk apa kau datang kesini?”
Jalal –“Aku sendiri juga tidak tahu. Aku
sedang dalam perjalanan pulang, tapi tiba-tiba ada keinginan kuat untuk
menemuimu. Seperti ada seseorang yang membisiki telingaku, mengatakan kalau kau
sedang sedih dan sangat membutuhkanku...”
Jodha –“Kau hanya membuat alasan...”
Jalal –“Jangankan kau yang tidak percaya, aku
sendiri juga tidak percaya..”
Jodha menjauh dari pelukan Jalal dan mengusap
air matanya. Dia merasa kusut sekali...
Jalal –“Apa yang membuatmu sedih?”
Jodha –“Pasienku meninggal. Aku tahu..
seharusnya sebagai dokter aku tidak boleh terikat secara emosional pada pasien.
Tapi pasien ini sangat istimewa untukku. Dia gadis kecil yang menderita gagal jantung.”
Jalal –“Itu semua sudah takdir. Meski kau
seorang dokter, kau tidak boleh menyalahkan dirimu sendiri atas kematiannya.
Pastinya kau sudah berusaha semampumu...”
Jodha –“Bagaimana kau bisa tahu kalau seperti
itu yang kurasakan?”
Jalal –“Karena aku mengenalmu..”
Pandangan Jodha kembali lurus ke depan...
Jalal –“Bisakah sesekali kau melihat dari
sudut pandang lain, mungkin kematian lebih baik bagi gadis kecil itu.”
Jodha –“Apa maksudmu?”
Jalal –“Setelah meninggal dia tidak akan
merasakan kesakitan lagi, seperti yang dialaminya saat dia masih hidup. Apa kau
tidak sedih saat melihat dia sakit?”
Jodha –“Mana ada yang seperti itu?”
Jalal –“Aku juga mensyukuri kematian ayahku...
Meski aku harus dicap sebagai pembunuhnya, tapi aku tidak sedih atas kematiannya,
karena ketiadaannya memberi kedamaian bagiku dan Ibuku..”
Jodha terdiam, merenungkan kata-kata Jalal
barusan.
Kedekatan mereka berdua rupanya menarik
perhatian seseorang yang bersembunyi di balik sebuah pilar dari jarak yang
cukup dekat. Orang itu mengeluarkan sebuah kamera dan mulai memotret diam-diam.
Jalal dan Jodha tidak menyadari sama sekali ada yang mengabadikan momen mereka
tanpa ijin...
Kata-kata Jalal cukup menenangkan hati dan
pikirannya semalam, hingga Jodha bisa beristirahat meski hanya sebentar. Cukup
untuk menyegarkan pikirannya sebelum dia beraktifitas pagi ini. Dia ingat untuk
menghubungi orang tua Dev, karena menurut perkiraannya, seharusnya pesawat yang
mereka tumpangi mendarat semalam di Delhi. Benar dugaannya, ayah Dev
menjelaskan di telepon kalau mereka sudah check-in di Four Seasons Hotel.
Permohonan maaf Jodha sampaikan karena belum bisa menemui mereka, pagi ini
Jodha masih harus bekerja. Jodha berjanji seusai bekerja nanti sore, dia akan
langsung menemui mereka di hotel dan akan berangkat sama-sama ke pertemuan itu.
Ada seseorang yang mengetuk pintunya dengan
sangat keras...Seperti ada keadaan darurat...
Jodha mengakhiri pembicaraan dan menutup
teleponnya. Dia mendengar Amar memanggil-manggil namanya dari balik pintu...
Bergegas Jodha membuka pintunya...
Jodha –“Ada apa?”
Amar –“Baca ini!”
Amar menyodorkan sebuah koran dan Jodha
membaca berita yang ditunjukkan Amar padanya. Di salah satu kolom tertera
sebuah judul ‘Skandal terbaru Si Raja Iklan dengan seorang Dokter’ dan
dibawahnya terpampang gambar Jalal dan Jodha yang sedang berpelukan semalam di
taman.... Jodha menutupi mulutnya yang ternganga lebar karena sangat shock,
tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan dialaminya, menjadi bahan berita
di koran.
Jodha –“Astaga! Apa-apaan ini?”
********************