Versi
Asli Chapter 47 - 49
By
Viona Fitri
Dada
keduanya terasa sesak. Mereka kehilangan hati mereka yang lain, ketika mereka
pergi meninggalkan hatinya. Jodha masih terpaku di tempatnya. Jujur, hatinya
terasa kacau dan remuk. Kenapa bisa dia masih memberikan doanya untuk suaminya?
Kenapa mereka bisa saling berpelukan, ketika Jodha yang mengatakan mereka harus
saling berjauhan? Apakah cintanya begitu besar? Apakah penghinaan itu masih
mampu mengangkat wajahnya? Tidak.
Setelah
apa yang terjadi padanya. Jalal berusaha meminta pengampunannya. Ia terlalu
mudah dan gampang, hanya dengan kata maaf saja.
Hari ini,
apakah pembunuh bayaran Jalal akan melakukan aksi mereka? Jodha berjalan tak
menentu berulang kali. Apa yang akan terjadi pada pamannya? Ini salah. Ini
semua tidak bisa di biarkan lagi. Harus ada yang berani menghentikan konspirasi
pembunuhan itu. Jodha melirik singkat ke arah prajurit yang berjaga di luar
pintu kamarnya. "Aku harus pergi. Paman Pratap tidak boleh terluka. Aku
tidak ingin Surya menjadi seperti aku. Kehilangan ayah dalam hidup tak akan
mampu aku bayangkan lagi."
Jodha
mengambil sesetel pakaian putih perangnya. Ia membawa pakain itu dari Amer.
Setiap saat ia berlatih pedang bersama Bhaisanya, Jodha selalu memakai pakaian
itu. Apalagi saat ini, pakaian itu sangat berarti untuk menyelamatkan nyawa
seseorang. Jodha tau dia akan berada dalam masalah, jika Jalal sampai
mengetahui penyamarannya, entah hukuman apa lagi yang akan di pikulnya. Tapi
persetan dengan semua hukuman menyebalkan itu. Saat ini tidak banyak waktu lagi
untuknya. Ia harus sampai di medan perang sebelum Jalal dan pasukannya tiba
terlebih dahulu ke medan perang. Biasanya sebelum keberangkatan mereka, Jalal
pasti akan memberi beberapa intruksi untuk para prajuritnya. Itu pasti akan
sedikit mengulur waktu kepergian mereka.
Jodha
mencari cara cepat untuk keluar dari kamarnya. Tidak mungkin bila ia akan
keluar melewati pintu. Prajurit pasti akan menangkapnya dan membawanya masuk ke
dalam kamar lagi. Tidak-tidak, itu pemikiran yang konyol.
Jodha
mencari bantuan tali temali untuk menuruni kamarnya melalui jendela. Apakah di
dalam kamar seorang ratu tersimpan tali panjang yang akan bisa membantunya?
Ternyata tebakkannya tidak meleset. Di bawah tempat tidurnya, ia melihat gulungan
tali panjang yang mungkin bisa di gunakannya. "Ini adalah pertolongan
dewa." ucap Jodha sumringah.
Jodha
mengikat kuat tali itu dengan penyangga kaki ranjangnya. Panjang juga. Tali itu
telah berhasil menjuntai sampai ke halaman belakang istana. Tempat itu berada
dekat dengan istal kuda.
Jodha
menuruninya secara bertahap. Sedikit saja suara anehnya terdengar, maka
prajurit akan masuk ke dalam kamarnya. Dan setelah itu, sudah dapat di pastikan
rencananya akan gagal.
"Hak..."
Jodha melompat dari tali yg membantunya. Tidak ada yang berlalu lalang disana.
Suasana sangat sepi karena hampir sebagian prajurit ikut serta dalam
peperangan.
"Tuan,
tolong sediakan satu kuda untukku." ujar Jodha pada sang penjaga istal.
"Tidak
Yang Mulia ratu. Raja akan sangat marah bila saya melakukan itu."
"Tidak
akan marah. Percayalah padaku. Apakah tuan belum mendengar berita terbaru di
istana ini?" tanya Jodha. Seberusaha keras ia mencoba meyakinkan sang
penjaga istal agar mau menyerahkan seekor kuda untuknya.
Penjaga istal
itu menggeleng. "Aku ini bukan seorang ratu, lagi. Yang Mulia telah
mengumumkan aku menjadi seorang dasi. Untuk itu, apa pedulinya Yang Mulia
padaku. Bukankah seorang dasi seperti kita ini tidak pernah dianggap ada oleh
raja. Raja kitakan sangat kejam."
Penjaga
istal itu membenarkan. "Benar. Raja sangat kejam. Aku berpendapat sama
dengan anda. Tapi..." lelaki itu menghentikan ucapannya.
"Sudahlah.
Sekarang berikan aku seekor kuda. Aku berjanji tidak akan terjadi masalah
padamu. Bila raja bertanya padamu, katakan saja padanya kau tidak
melihatku."
"Yang
Mulia tidak mungkin mempercayaiku."
"Tolonglah
aku tuan. Aku benar-benar membutuhkan kuda itu. Apa kau tidak ingin
membantuku?"
"Baiklah.
Tapi berjanjilah padaku agar kau tidak pulang terlalu lama. Kau harus pulang
sampai di istal ini sebelum Raja kembali." Penjaga istal itu meminta
janji. Jodha mengangguk setuju.
Setelah
perdebatan singkat itu, Jodha akhirnya berhasil menunggangi seekor kuda putih
yang lembut. Tanpa menunggu lama, Jodha menyambar tali pengendali kuda dan
melajukan kudanya menuju hutan tembusan. Bhaisanya pernah mengajaknya melihat
keadaan Mughal dari jalan itu. Jalan itu juga merupakan satu-satunya Jalan yang
paling pintas menuju medan perang. Untungnya Jodha masih mengingat jalan itu
dengan baik.
Jodha
melihat medan perang yang masih kosong di hadapannya. Jalan itu telah
membantunya sampai lebih cepat dari perkiraannya. Tak jauh dari sana, suara
prajurit yang bersorak ramai dengan ringkikan kuda mereka telah terdengar. Itu
pasti pasukan Pratap Sing. Jodha segera mengepak kudanya menjauhi medan perang.
Jodha
menambatkan kudanya tak jauh dari sana. Pasukan Mughalpun terdengar sudah mulai
berdatangan dari arah berlawan. Jodha merasa was-was. Ini kedua kalinya ia akan
terjun ke medan perang. Nafasnya yg mengalir tak beraturan membuat Jodha
sedikit ragu untuk melangkahkan kakinya menuju medan sejarah yg akan menewaskan
ribuan nyawa disana. Tak terasa air matanya meleleh. Benarkah keputusan yg di
buatnya ini? Melindungi keluarganya dan melawan suaminya adalah dosa. Sebagai
seorang istri ia harus patuh pada seorang suami. Tapi sebagai keluarga, ia
mempunyai tugas saling melindungi antar sesama. Kalaupun tindakannya tidaklah
benar, biarlah dewanya yg akan memberikan hukuman apa yg pantas di terimanya.
Dari
kejauhan, pasukan Pratap dan Jalal telah saling menyerang. Surya pun ikut
membantu ayahnya dalam peperangan itu. Mereka berdua adalah keluarganya. Jodha
harus segera melalukan apa yg akan menjadi tugasnya. Ia tidak boleh berat
sebelah antara keluarga dan suaminya. Sekarang ia telah jernih. Jodha hanya
akan melindungi pamannya saja. Dia tidak akan menyerang pasukan Mughal ataupun suaminya.
Yang diinginkan dan visinya datang ke tempat itu adalah sebuah keselamatan
untuk Pamannya. Tidak lebih untuk melindunginya sebagai seorang ayah yg pernah
dekat dengannya.
Jodha
menutup wajahnya dgn turban yg melingkar di kepalanya. Dadanya membuncah hebat.
Apapun yang terjadi, inilah jalan yang terbaik untuknya. "Ya dewa...
Bantulah aku dalam menjaga keselamatan pamanku." bathin Jodha setelah
bersusah payah mengatur nafasnya.
* * * * *
Saat itu
tampak Jalal yang tengah memerangi pasukan Pratap dengan kegagahannya.
Sementara Pratap tengah sibuk berpikir keras untuk segera menghabisi pasukan
yang memberondongnya dengan senjata mereka. Semangatnya tampak menggebu, ketika
di lihatnya Jalal tak jauh dari tempatnya berada. Surya tengah berhadapan dengan
Todar mal. Dia adalah seorang mentri yang paling loyal di kerajaan Mughal.
Todar mal telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk membela tanah airnya.
Suasana telah semakin memanas. Tanda di sadari, Jodha masih terdiam menatap
keganasan peperangan di hadapannya.
Dua orang
prajurit Mughal dari kejauhan secara tertubi-tubi menyerang Pratap tanpa henti.
Jodha terkejut, prajurit itu tidak sama dengan kebanyakan prajurit yang
berbadan sedang dan berkekuatan tidak sebanding dengan Pratap. Dua prajurit itu
berbadan besar dengan tatapan garang mereka, tampaknya Jodha mulai berpikir
tentang pembunuh bayaran yang di perintahkan oleh raja.
Pratap
menghadapi mereka dengan sangat kewalahan. Mereka berdua entah datang dari
mana, tapi yang jelas pakaian perang mereka menyatakan prajurit Mughal. Jodha
datang dengan begitu cepat di hadapan mereka.
Awalnya
kedua prajurit itu terkejut dengan kehadiran sosok baru yang memakai pakaian
yang tidak memihak pada kerajaan siapa dia berperang. Pratap pun sama
terkejutnya. Hampir saja ia berusaha menyerang Jodha, namun segera setelah
Jodha menyerang salah satu dari kedua prajurit berbadan besar itu, tahulah dia
jika Jodha bermaksud membantunya.
Jalal
memperhatikan pratap dan seorang prajurit berpakaian putih dengan wajah
tertutup turbannya. Gerakan lihai yang di gunakan prajurit berpakain putih itu
seperti pernah di lihatnya di suatu tempat. Dan... Jalal terperanjat ketika
mendapatkan ada dua orang prajurit Mughal yang menyerang Pratap secara membabi
buta seperti itu. Sejauh yang ia ketahui, semua prajuritnya mempunyai kekuatan
standar di bawah kategori yang bisa mengalah seorang panglima dalam peperangan.
Tanpa
pandang kanan kiri lagi, pedang Jalal menebas asal prajurit yang berusaha
menghadangnya. Dia harus segera sampai pada Pratap dan membantunya dari kedua
prajurit gila itu.
Prajurit
yang bertarung dengan Jodha telah berhasil melukai lengan Jodha dengan ujung
pedangnya. Baju perang putihnya terkoyak memperlihatkan tangan tirusnya yang
tak kekar layaknya prajurit pada umumnya. Mereka tidak percaya jika itu adalah
seorang lelaki. Dari jemari Jodha, mereka dapat memastikan bahwa Jodha adalah
seorang wanita.
Luka itu
ternyata cukup dalam. Semangatnya terasa mengendur ketika darah segar telah
mengalir begitu banyak dari koyakan baju perangnya. Beruntung Jalal datang
tepat waktu dan menyingkirkan Jodha dari sana. Dari atas kudanya, Jalal
menyambar tangan Jodha dan membawanya naik ke atas pelana kuda bersamanya.
Jalal menatap geram ke arah prajurit yang berpakain Mughal di depannya. Segera
ia mengangkat pedangnya dan menewaskan mereka satu persatu. Pratap dan Jodha
sama-sama terkejut. Jodha duduk di depan Jalal di atas kudanya. Ia tidak
percaya Jalal membunuh kedua prajuritnya sendiri. "Auw..." rintih
Jodha tanpa sadar. Ia memegangi luka di lengannya. Suara itu, membuat Jalal
langsung menatap lekat ke arah prajurit yang duduk bersamanya di atas pelana
kuda kesayangannya. "Kau..." Jalal terdengar ragu untuk mengatakan
kalimat berikutnya.
Jodha
terhenyak. "Kau siapa?" tanya Jalal pelan. Ia seperti kenal dengan
sosok yg berada di pelukannya itu. Pinggang ramping yang di peluknya, seperti
pernah berada dalam pelukannya juga sebelum itu. Jalal hendak membuka turban
yang menutupi wajah Jodha, tapi dengan cepat Jodha melompat turun dari kuda itu
dan berlari menjauhi medan pertempuran. "Siapa dia? Aku seperti pernah
mengenalnya sebelum ini? Apakah dia...." Jalal berusaha mengobrak-abrik
file ingatannya. Hanya sosok Jodha yang terbayang olehnya. "Tidak mungkin
ratu Jodha ikut ke medan perang. Aku telah memerintahkan prajurit untuk mengawasinya.
Lagi pula, tidak ada wanita yang boleh ikut dalam peperangan." Jalal
gelisah.
Di tempat
persembunyiaannya, Jodha membuka penutup wajah yang membuatnya terasa memanas
dalam pertempuran. "Ya dewa, ku harap Yang Mulia tidak mengetahuiku.
Huft..." Jodha menghirup nafas lega.
Kembali
Pratap berusaha menyerang Jalal dengan sengit. Dia adalah orang yang anti
dengan Mughal. Sudah beberapa kali ia pernah berhadapan dengan Jalal di medan
perang, tapi kali ini keadaannya berbeda. Jalal telah menjadi keluarganya,
berkat pernikahannya dengan keponakannya, Jodha. Lalu bagaimana ia harus
bersikap dalam peperangan ini. Mengingat Jalal yang telah berusaha
menyelamatkan nyawanya, Pratap merasa tidak enak hati kalau harus bertarung
melawannya.
"Salam
Paman Pratap..." ucap Jalal penuh hormat ketika turun dari kudanya.
"Pranaam..." balas Pratap dengan bimbang. Ia merasa sulit untuk
berkata setelah apa yang baru saja dilaluinya.
"Kenapa
anda menyelamatkanku? Apa alasan di balik semua itu? Bukankah kau ingin sekali
menguasai Rajput untuk memperluas daerah kekuasaanmu?" tanya Pratap.
"Tidak.
Aku telah berjanji pada ratu Jodha untuk tidak membunuhmu. Kau adalah pamannya
ratu Jodha. Aku ingin kita berdamai."
"Berdamai?"
Pratap terlihat ragu dengan ucapan Jalal kala itu.
"Iya.
Aku ingin kita berdamai. Kita adalah keluarga. Terimalah takdir kita saat
ini."
Tiba-tiba
seorang pemuda seumuran Jalal menghampiri Pratap Sing. Ia mengalungkan
pedangnya di leher Jalal. Tak ada rasa cemas sedikitpun di hati Jalal. Dia
tahu, pemuda itu tidak akan membunuhnya tanpa perlawanan.
"Hentikan,
Surya." ujar Pratap pada pemuda itu. Surya tak percaya mendengar ucapan
ayahnya yg akan menghentikan gerakannya. "Kenapa ayah? Dia adalah musuh
kita. Di dalam pertempuran hanya akan ada hukum hidup atau mati. Jika kita
tidak membunuhnya, maka dia yg akan membunuh kita, ayah." sahut Surya
memberi penjelasan.
"Tidak.
Justru Jalal lah yang telah menyelamatkan ayah tadi. Lepaskan pedangmu dari
lehernya." perintah Pratap dengan tegas.
Dengan
berat hati, Surya melepaskan kalungan pedangnya yg bertengger di leher Jalal.
"Kau Surya?" tanya Jalal meyakinkan dirinya. Kata-kata Jodha
terngiang kembali di pikirannya. Surya mengangguk. "Ya, aku Surya. Aku dan
Jodha bersaudara. Dia adalah sepupuku. Apa kau menyakitinya? Aku tau dia tidak
bahagia hidup bersamamu."
"Dia
hidup sangat bahagia bersamaku. Tolong, jaga bicaramu. Jangan membuatku bisa
melakukan hal yang tidak aku ingin."
Surya
terkekeh. "Kami semua tahu, Jodha sangat menderita tinggal di istanamu.
Dia sudah kau anggap sebagai pengkhianat kerajaan, ketika kau mengetahuinya
keluar dari istana dan bertemu dengan seorang pria di daerah perbatasan."
"Dia
adalah istriku. Aku tidak pernah memberinya izin untuk bertemu dengan pria lain
padanya. Aku tidak suka, ada pria yang menggoda wanita yang sudah
bersuami." Jalal geram.
"Tapi..."
"Aku
tau kalian adalah sepupu. Tapi kau harus tahu kalau Jodha adalah istriku. Kalau
kau ingin bertemu dengannya, kau bisa ke Agra dan menemuinya dengan cara
terang-terangan tanpa perlu memintanya menemuimu di tengah hutan. Karena itu,
aku dan ratu Jodha salah paham. Kau yang telah menyebabkan semuanya jadi
berantakan. Karna kau, aku menghinanya di depan semua orang."
Surya
terpaku mendengar penuturan Jalal yang meninggi. "Tapi bukankah kau yang
tidak ingin mendengarkan penjelasan Jodha saat itu? Kau tau, Jodha pasti sangat
menderita karna itu. Bangsa Rajput bahkan telah berjanji tidak akan menerimanya
kembali ke kerajaannya. Kau telah mencoreng nama baiknya."
"Sudahlah,
Surya. Aku tidak ingin melanjutkan peperangan ini. Aku ingin kembali dan
menyelesaikan permasalahan rumah tangga kami."
"Kita
akan berdamai, Jalal." ucap Pratap menyetujui. Jalal memeluk Pratap dan
mengucapkan terimakasih padanya. Mereka akhirnya mengakhiri peperangan itu
dengan jalan damai. Jodha merasa lega, secepat kilat ia menunggangi kudanya dan
menuju arah istana.
Jalal yang
saat itu pulang bersama rombongan mereka, mendengar suara tepakan kuda dari
arah hutan. Itu pasti bukan prajuritnya. Tapi apa pedulinya dengan perihal
suara kuda, ia harus sampai di istana dgn cepat dan menyelesaikan
permasalahannya dgn Jodha. Berharap saja, agar Jodha mau menerima maafnya untuk
yg kesekian kalinya.
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~