Versi
Asli Chapter 44 - 46
By
Viona Fitri
“Siapa yg
akan melarang mu untuk makan? Aku akan menemani mu ke dapur.” ujar Jalal dgn
sedikit terkekeh mendengar pertanyaan istrinya yg di anggapnya lucu. “Tidak ada
yg lucu. Aku bisa ke dapur sendiri. Dan mulai sekarang, aku berharap kita bisa
saling menjaga jarak. Aku tidak ingin melihatmu lg. Kau egois & keras
kepala. Pranaam.” ucap Jodha dgn ketus tapi bernada tegas. Dalam waktu singkat
Jalal telah kembali kehilangan Jodha. Dia telah lenyap dari pandangan nya.
Kebahagiaan nya yg tadinya meluap, kini menyusut & semakin tipis harapan
untuk bisa memperbaiki segalanya dari awal. Jodha tdk pernah ingin mendengarkan
penjelasan nya. Itu sangat persis seperti sikap acuhnya saat Jodha hendak
menjelaskan kebenaran nya di ruang sidang. Dua kali Jodha telah mengungkapkan
permintaan perceraian nya, tapi Jalal selalu tdk pernah menggubris setiap kali
Jodha membahas tentang pembebasan dirinya dari pernikahan mereka itu. Yang di
ketahuinya hanya takut. Ketakutan yg mendalam di lubuk hati Jalal, membuatnya
tdk akan mampu melepaskan Jodha begitu saja.
“Dia
selalu saja membuatku tdk bisa berpikir terang & jernih. Sudah ku katakan
padanya, untuk tdk menemuiku lg. Tapi, sepertinya telinganya memang sudah tdk
berfungsi sama sekali. Dia harus segera memeriksakan kondisinya.” ucap Jodha
menggerutu seorang diri. Ia mengambil makanan & duduk sambil menikmatinya.
Seharian berada di dalam dapur membuatnya terkuras habis-habisan. Wajahnya
kusam karena selalu berbaur dgn asap dapur. Jodha lebih memilik memasak makanan
dari pd harus melayani aktivitas para ratu di Harem. Semua wanita di Harem
menyebalkan. Tidak ratu & tdk pula pelayan nya sama-sama mengoloknya di
sertai tatapan sinis mereka. Jodha merasa tdk nyaman terus di pandang sebagai
pengkhianat kerajaan. Perlakuan mereka yg tdk pernah manis padanya, selalu
membuat hari-hari nya menjadi semakin suram.
“Uhuk...
Uhuk...” Jodha tersedak saat makan nya. Pikiran nya ternyata telah berhasil
membuatnya terbatuk seperti itu. Jodha meletakkan piring yg ada di pangkuan
nya.
Tiba-tiba
sebuah cangkir perak yg berisi air telah tersodor di hadapan nya. Tanpa perlu
pikir panjang, Jodha mengambil cangkir perak itu & meneguk isinya sampai
habis. “Terimakasih.” ucap Jodha setelah meneguk habis isi cangkir perak yg di
terimanya. Ia mengangkat wajahnya menatap ke arah sang pemberi sumber air, yg
tadi sangat di butuhkan olehnya.
“Untuk apa
kau datang kemari lg? Kalau aku tau kau yg memberikan minuman itu aku tdk akan
meneguknya.” Jodha memegang tengkuk nya & berusaha mengeluarkan kembali air
yg telah di minum nya. Usahanya gagal, air yg telah tercerna sampai pada
perutnya tdk kembali naik kepermukaan. Jodha terlihat kecewa. Ia membuang
pandangan nya dgn kasar.
“Ternyata
kau masih sangat marah padaku, ratu Jodha. Aku datang kemari hanya karna aku
ingin mengatakan sesuatu padamu.” ucap Jalal. “Besok, aku akan pergi berperang.
Aku mohon berilah restu mu untuk kemenanganku. Setelah aku kembali dari perang,
aku akan segera membersihkan namamu. Kau jagalah dirimu baik-baik, ketika aku
tdk berada di istana. Jangan membuat dirimu sendiri kesakitan.” lanjut Jalal
lemah. Ia tdk ingin meninggalkan Jodha seorang diri. Meski semua orang di
istana tau, Jodha adlh seorang wanita tangguh yg sulit untuk dikalahkan. Tetapi
hatinya tetap merasa was-was andai kata Jodha akan melakukan hal konyol ketika
ia tak berada di sisinya.
Jalal
mengambil posisi duduk di samping Jodha. Tangan nya menggenggam tangan Jodha yg
berada di dekatnya. “Jangan melakukan hal konyol ketika aku tdk di istana.
Jangan pernah mencoba melarikan diri dari ku. Aku akan menambah sepuluh
prajurit untuk mengawasi mu di luar ruangan. Dan aku juga akan menyuruh enam
orang pelayan yg akan mengawasi mu kemana pun kau pergi.” kata Jalal memberi
penjelasan.
Jodha
hanya terdiam. Jelas sudah semuanya. Setelah Jalal pergi berperang, maka
dirinya akan menjadi burung di dalam sangkar lagi. Untuk menyuruh prajurit
& pelayan begitu banyak untuk mengawasi gerak geriknya. Itu tdk perlu.
“Kau kira
aku peliharaan kesayangan mu? Kau kira aku akan melakukan kejahatan di istana
mu? Jangan khawatir, kau bisa pergi dgn tenang ke medan perang. Satu hal yg
harus kau tau Yang Mulia, aku tdk menyukai pria yg terlalu berlebihan dalam
menjagaku.” Jodha melepaskan tangan Jalal yg menggengamnya.
“Aku akan
tetap melakukan itu. Jika kau sampai hilang dari istana, maka aku akan
menyalahkan mereka dan memecat mereka karna kesalahan mu.”
“Mereka
tidak akan pernah bisa mendikte setiap aktivitasku. Aku akan membuat mereka
tidak betah & segera angkat kaki dari kamarku.”
“Kalau
begitu aku akan menyuruh prajurit yg akan menjaga di dalam kamar mu.”
“Prajurit?
Kau sudah gila. Mereka adlh lelaki. Jadi ternyata kau membiarkan istri mu
selalu di awasi oleh lelaki. Tapi tdk apa-apa. Mungkin aku bisa merayu nya
& melarikan diri dari istana yang suram & mencekam ini.”
Jalal
terdiam untuk beberapa saat setelah mendengar penuturan Jodha. Ia tahu Jodha
selalu berusaha memancing emosinya. Kali ini egonya tdk boleh menang kembali.
Awalnya Jalal merasa geram dgn ucapan Jodha yg akan merayu prajurit yg bertugas
menjaga kamarnya. Tapi akhirnya, Jalal tersenyum semanis mungkin pd istrinya. “Kalau
kau berani merayu mereka, maka mereka yg akan kena akibatnya.” ujar Jalal dgn
seulas senyum manis yg terpahat melengkung di bibir indahnya. Jodha terbelalak
dan memutar bola matanya dgn geram. “Kau pergilah, atau aku yg akan pergi.”
Jodha bersiap-siap akan bangkit dari duduknya. “Tunggu dulu ratu Jodha. Aku
belum menyelesaikan kalimatku.” ucap Jalal dgn lembut. Ia kembali menarik
tangan Jodha dan membuat Jodha mau tak mau harus terduduk kembali di tempatnya
semula. “Cepat pergi.” ucap Jodha tanpa sabar. Ia menghempaskan tangan nya
kuat-kuat. Genggaman tangan Jalal pun akhirnya terlepas dari tangan nya.
Rasanya
sangat lega setelah tangan kekar suaminya tidak menyentuh tangan nya lagi.
Jodha melarikan diri dari sana secepatnya. Bahkan Jalal pun tak sempat berpikir
bahwa Jodha akan melarikan diri darinya lagi. “Dia tidak pernah bisa dekat
denganku lagi. Aku telah berusaha untuk dekat dengan nya. Tapi dia selalu
menghindar seperti melihat penjahat saat melihatku.” bathin Jalal pilu.
* * * * *
Keesokan
paginya, mentari pagi telah menyingsing seluruh pelosok dunia dengan sinarnya.
Banyak mata telah bangun sepagi itu. Embun masih terasa sejuk mengenai kulit
mereka. Jodha telah terduduk di depan patung kahna nya dgn tangan mengatup di
depan dadanya.
Sementara
di halaman istana, pasukan yg akan pergi berperang telah mempersiapkan
segalanya dgn lengkap. Mulai dari pedang, tombak dan juga panah telah
tergenggam di tangan mereka satu persatu sesuai tugas mereka masing-masing.
Jalal masih berada di teras halaman istana. Ia memohon doa untuk kemenangan
mereka nanti di medan pertempuran.
Anggota
keluarga dan beberapa mentrinya berderet dgn rapi membentuk sebuah barisan.
Jalal telah bersiap dgn baju besinya. Matanya sibuk menelisik mencari sosok yg
terasa dekat dgn hatinya. Ratu Jodha. Istrinya yang satu itu tidak tampak turut
serta dalam barisan di anggota keluarganya.
“Aku
berdoa untuk kemenangan mu, Jalal. Ibu yakin kau akan pulang dengan membawa
kabar gembira untuk seluruh rakyak Mughal.” ucap Hamida seraya memberikan
restunya.
Jalal
hanya mengangguk. Gerak gerik tubuhnya, mengatakan pada orang lain bahwa ia
sedang gelisah dan bimbang. Dadanya berdebar tidak menentu. Kemana perginya
Jodha? Kenapa dia tidak hadir untuk memberikan doanya pada suaminya, yang
sebentar lagi akan berangkat ke medan perang?
“Ibu,
dimana ratu Jodha? Kenapa dia tidak hadir untuk memberikan doanya untuk ku?”
tanya Jalal dengan nada kacau. Dari suaranya terdengar jelas gelisah yang
begitu besar menderanya.
Hamida
hanya menggelengkan kepalanya sebagai balasan. “Kau yang telah memberikan
hukuman padanya. Kenapa kau masih mencarinya? Ibu tau bagaimana perasaan Jodha
saat ini. Dia pasti sedih tidak bisa memberikan doanya untuk suaminya.
Datanglah ke kamarnya untuk meminta doanya. Ketika seorang suami menghadapi
permasalahan, maka doa seorang istrilah yg paling mujarab termakbulkan oleh
Tuhan. Dengan doanya, kau akan memenangkan pertempuran.” ujar Hamida
menasehati. Ia sedih melihat putranya gelisah seperti itu. Banyak ratu yg silih
berganti memenuhi Harem nya. Tetapi, hanya Jodha yg bisa menarik hatinya.
Semenjak Jalal menjatuhkan hukuman pada Jodha, Hamida tidak pernah lagi melihat
menantunya itu. Mungkin, Jodha tengah sibuk melaksanakan hukuman nya dgn sebaik
mungkin.
“Jalal,
untuk apa kau menemui ratu Jodha lagi? Dia telah mengkhianati mu. Jangan
biarkan harga dirimu jatuh di depan wanita Rajput itu.” timpal Rukayah
memprovokasi.
“Itu tidak
benar, ratu Rukayah. Aku tidak yakin ratu Jodha berkhianat dengan raja. Sejauh
yang ku kenal, dia hanya wanita polos yang berbudi pekerti yang baik. Aku punya
firasat, kalau ada yang ingin merusak rumah tangga kalian. Percayalah padaku,
lambat laun pelaku sebenarnya akan tertangkap juga.” seru Salima yang berada di
samping Rukayah.
Jalal
membenarkan ucapan Salima. Tidak mungkin Jodha melakukan hal serendah itu. Dia
hanyalah seorang wanita polos yang tidak mungkin merencanakan siasat besar
seperti itu. Setiap kata-kata bijak yang di keluarkan Salima, selalu berhasil
menyentuh logisnya. Berbicara dengan wanita bijak sepertinya, membuat Jalal
merasa senang berbagi setiap permasalahan padanya.
“Kau benar
ratu Salima. Aku pasti akan segera menemukan pelaku sebenarnya. Setelah aku
pulang dari medan pertempuran, aku akan membersihkan nama ratu Jodha kembali.
Untuk saat ini, aku akan menemuinya & meminta restunya. Aku berharap dia
akan mau berbicara padaku.” ucap Jalal dgn optimis.
Setelah
kepergian Jalal menuju kamar Jodha, Rukayah yg saat ini mendapat giliran
gelisah.
Di depan
patung Kahna nya, Jodha tengah mengatupkan kedua tangan nya. Menunduk, serta
sedikit menangis. “Ya dewa... Raja akan segera berangkat berperang. Aku sedih
tidak bisa mengucapkan salam perpipasahan padanya. Dia mungkin tidak akan
datang untuk meminta restuku. Ku mohon... Jagalah raja dgn baik. Lindungilah
dia dari segala mala petaka. Biarkan dia memenangkan peperangan itu. Aku ingin
melihatnya tersenyum kembali. Akhir-akhir ini, raja kelihatan muram. Dia jarang
tersenyum. Setiap hari kami hanya sibuk bertengkar. Tapi aku benar-benar ingin
raja bahagia.” ucap Jodha seraya memanjatkan doanya.
Di tengah
kesibukannya berdoa, seorang pria telah berada tepat di belakangnya dgn baju
perangnya. “Ratu Jodha...” seru pria itu memanggil wanita yg sedang melakukan
doa di depan patung dewanya.
Jodha
terdiam sejenak. Tidak mungkin itu suara suaminya. Tidak mungkin Jalal datang
untuk menemuinya. Mungkin ia terlalu merindukan suaminya. Jodha menambah keras
volume isakkannya. Sebegitu rindunya kah ia pada suaminya?
“Ratu
Jodha...”
Jodha
terperangah. Suara itu memanggilnya dua kali. Akhirnya dia menoleh menuju arah
suara. “Kau...” ucapnya terkejut.
“Iya. Aku
datang kemari untuk meminta doa darimu. Setidaknya, berilah restumu untukku
pergi berperang. Apa kau keberatan?” tanya Jalal.
Jodha
berdiri berhadapan dgn suaminya. Dirinya masih setengah tak percaya dgn indra
penglihatan nya sendiri. “Kau datang kemari?” tanya Jodha yg masih bingung
untuk bertanya apa lagi dgn sosok itu.
“Apakah
kehadiranku membuatmu merasa terganggu lagi?”
Jodha
menggeleng. Ia tersadar sepenuhnya, ketika tangan lembut itu menyeka air
matanya. “Tidak.” ucapnya serak. Tapi segera ia menepis rasa haru yg baru saja
hinggap di hatinya. “Aku merasa terganggu dgn kehadiranmu. Bukankah sudah ku
katakan kalau aku memintamu untuk menjauhiku? Jauhi kehidupanku. Jangan pernah
datang lagi di hadapanku. Kalaupun kau ingin datang padaku, datanglah sebagai
seorang suami. Bukan sebagai raja yg telah menghinaku.” ucapnya getir. Nadanya
terasa susah dan sesak. Suaranya tak bisa membohongi hatinya, yg merasa tak
mampu untuk mengucapkan katanya.
“Kau tidak
memberi restu padaku?” tanya Jalal sendu. Dia menatap ke arah patung dewa
Krishna yg tadi di puja oleh istrinya. “Aku yakin, dewa mu tidak suka jika ada
umatnya yg tidak patuh pada suaminya. Ratu Jodha, aku tau kau belum bisa memaafkanku
sepenuhnya. Tapi aku mohon padamu... Berilah restumu untukku. Suamimu.”
Jodha
terenyuh mendengar penuturan yg begitu lembut itu. “Yang Mulia, pergilah ke
medan perang dgn tenang. Tak seorang istripun yg berdoa buruk untuk suami
mereka. Menangkan peperangan. Doaku selalu menyertaimu.” Jodha berjalan ke arah
mandir tempat patung dewanya. Mengambil nampan Pooja dan melalukan ritual untuk
suaminya.
Setelah
ritual, Jodha melakukan tilak pada pedang suaminya. Hatinya terasa kehilangan. “Kau
akan tetap menungguku pulangkan?” tanya Jalal.
“Sebaiknya
kau jangan terlalu banyak bicara. Aku tidak bisa memberi janji padamu. Yang
Mulia, kau adalah seorang raja. Berikanlah yg terbaik untuk rakyatmu.”
Jalal
menyipitkan matanya. “Kau tidak ingin berjanji padaku?”
Jodha
menggeleng. “Sudah ku katakan, aku tidak bisa memberi janji padamu. Aku takut
tidak bisa menepatinya.”
Jalal
menghela nafas panjang. Pandangan nya tak pernah lepas dari mata istrinya. Iris
yg berwarna coklat itu nampak tenang saja. Jodha menundukkan kepalanya. “Pergilah
Yang Mulia, atau kau akan terlambat.” pesan Jodha.
“Baiklah.
Jaga dirimu.” Jalal membalikkan badannya menuju ke arah pintu. Langkahnya
terhenti.
Jodha
terisak. Ia menutup mulutnya meredam tangis yg di keluarkannya. “Hatiku merasa
sunyi kalau kau akan berangkat perang, Yang Mulia. Aku sudah berusaha
membencimu dgn luka yg telah kau berikan padaku, tapi itu tidak berarti. Aku
tetap menyimpan rasaku padamu. Pergilah. Kau adalah seorang raja. Aku selalu
berdoa untuk kemenangan mu.” bathin Jodha lemah.
Jalal
menyempatkan diri untuk berbalik menatap Jodha. Pandangan mereka bertemu.
Tatapan Jodha tampak nanar dgn pipinya yang basah. Jalal kembali menghampiri
Jodha dan memeluknya untuk terakhir kali, sebelum dirinya akan pergi
meninggalkannya. “Kalau kau menangis seperti ini, aku tidak akan bisa pergi ke
medan perang dgn tenang. Janganlah menangis karnaku lagi, ratu Jodha.”
Jodha
mengangguk pelan dalam dekapan suaminya itu. “Aku tidak akan menangis lagi,
Yang Mulia. Maafkan aku karna terlalu cengeng sekali.” Jodha merenggangkan
pelukan mereka. Jalal yang kemudian melepas pelukan itu dan mengakhirinya
dengan kecupan lembut di dahi Jodha.
“Prajurit,
jagalah ratu Jodha dengan baik. Penuhi segala permintaan nya. Ratu Jodha tidak
boleh keluar kamar tanpa alasan yang kuat. Setelah aku kembali, aku tidak ingin
ratu Jodha menyampaikan keluhannya padaku.” ujar Jalal memberi intruksi,
sebelum akhirnya punggung gagahnya lenyap di balik tirai pintu.
~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~