Ternyata pria yang seperti gunung ini
adalah putra Nyonya Dhanjani...
Jodha –“Aku hanya menemani Ibu anda...”
Nyonya Dhanjani –“Jalal, jangan marah-marah
dulu, Nak. Jodha hanya menemani Ibu disini karena Ibu kesepian.”
Jodha bangkit dari duduknya di dekat
jendela, mengabaikan dan melewati pria itu begitu saja, berjalan menghampiri
Nyonya Dhanjani.
Jodha –“Bagaimana keadaan anda pagi ini?
Merasa lebih baik?”
Nyonya Dhanjani –“Aku merasa sehat... Boleh
aku keluar dari Rumah Sakit sekarang juga?”
Jodha –“Maaf Nyonya D, belum bisa.. anda
harus menunggu Dokter memeriksa kondisi anda untuk memutuskan apakah anda
dinyatakan sehat atau belum?”
Nyonya Dhanjani –“Tapi kau kan juga
Dokter?! Apa kau tidak bisa memeriksaku sekarang?”
Jodha –“Maaf, aku tidak bisa. Aku bukan
Dokter yang berwenang untuk itu. Tunggu saja sebentar lagi... Kalau boleh tahu
anda dirawat karena sakit apa?”
Jalal –“Kemarin Ibuku sesak napas. Apa
Ibuku bermasalah dengan jantungnya?”
Jodha tidak memperhatikan ternyata pria
yang bernama Jalal ini sudah berdiri di dekatnya, di samping ranjang Nyonya
Dhanjani.
Jodha –“Aku tidak bisa langsung menjawabnya
tanpa melihat hasil tes lanjutan pada Ibu anda. Tapi secara teori, ada
kemungkinan seperti itu. Tidak perlu khawatir, dengan penanganan yang tepat,
Ibu anda akan baik-baik saja.”
Nyonya Dhanjani –“Tapi aku bisa pulang kan
hari ini?”
Jodha –“Jika sesak napasnya bersifat
ringan, pengobatannya bisa dilakukan dengan obat-obatan saja dan anda bisa
pulang hari ini. Tapi semua tergantung kebijaksanaan Dokter yang merawat
anda..... Nyonya D, aku harus pergi
dulu, aku harus menyelesaikan tugasku..”
Nyonya Dhanjani –“Apa kita bisa bertemu
lagi?”
Jodha –“Tentu saja bisa. Silakan datang
menemui saya disini. Seluruh waktuku terikat di Rumah Sakit ini, aku tidak akan
kemana-mana. “
Jodha melangkah ke arah pintu... tiba-tiba
detak jantungnya berdegup cepat lagi seperti saat itu..
Deg deg deg...deg deg deg...deg deg
deg...deg deg deg...
Jodha menghentikan langkahnya sebelum
sempat membuka pintu, dia memegangi dadanya seakan untuk memastikan
detaknya.... Kemudian perlahan dia
menoleh pada satu-satunya pria di ruangan itu –‘Apakah dia? Apa dia ada
hubungannya dengan detak jantungku?’—Jodha hanya bisa bertanya dalam hatinya...
Jalal –“Ada apa? Apa ada yang ketinggalan?”
Rupanya pria itu memperhatikan kalau Jodha
terlihat kebingungan...
Jodha –“Tidak.. tidak ada..”
Selain detak jantungnya, langkah Jodha juga
terasa berat, seakan ada yang menahannya untuk tidak pergi dari kamar ini. Tapi
apa? Atau kenapa?
Akhirnya Jodha berhasil membuka pintu dan
keluar dari kamar itu. Dia menutup pintu di belakangnya, sebelum akhirnya dia
menarik napas panjang untuk menenangkan detak jantungnya...
Jodha berjalan ke arah ruangan residen, saat
membuka pintunya bersamaan pula dengan Amar yang membuka pintunya dari arah
dalam...
Amar –“Jodha, aku ingin bicara sebentar...”
Jodha –“Ya?”
Amar –“Benar kau sudah bertunangan?”
Jodha –“Iya.”
Amar –“Jangan salah paham...Araya itu
temanku.”
Jodha –“Dia juga sangat mencintaimu...”
Jodha tidak ingin memberi Amar harapan,
dengan menegaskan bahwa dia bertunangan, sama artinya Jodha menolak kedekatan
apapun yang mungkin terjadi antara dirinya dan Amar. Apalagi ada Araya.
Cara itu cukup efektif, karena sejak hari
itu, sikap Amar memang mulai menjauh. Biasanya dia selalu mencari alasan untuk
bisa berdekatan dengan Jodha. Tapi sekarang sebaliknya, bahkan kadang dia
memalingkan wajahnya saat berpapasan atau berbicara dengan Jodha.
Hari-hari Jodha tetap dilaluinya seperti
biasanya, meski dia merasa ada yang hilang dari hari sebelumnya. Godaan dan
gurauan dari Amar...
“Jodha...”
Ada yang memanggilnya saat dia sedang
berkonsentrasi mengisi laporan pasien di meja administrasi. Jodha mengangkat
wajahnya mencari tahu siapa yang memanggilnya...
Jodha –“Nyonya D...”
Nyonya Dhanjani –“Jodha, apa kau sibuk?”
Jodha –“Jadwalku selesai 1 jam lagi... Kenapa?”
Nyonya Dhanjani –“Kau mau menemaniku
jalan-jalan?”
Jodha –“Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang
kota ini. Aku belum lama disini...”
Nyonya Dhanjani –“Kau ikut saja... kau mau
kan?”
Jodha –“Boleh, tapi apa anda sudah
benar-benar sehat untuk jalan-jalan?”
Nyonya Dhanjani –“Karena itulah aku
mengajakmu, kalau ada apa-apa denganku, kan ada kau yang Dokter...”
Jodha hanya tersenyum menanggapi kata-kata
Nyonya Dhanjani. Setelah harus menunggu satu jam, akhirnya Jodha dan Nyonya
Dhanjani keluar dari Rumah Sakit. Tidak terpikir untuk berganti pakaian, Jodha
keluar dengan masih mengenakan setelan kemeja putih dan rok selututnya, pakaian
yang setiap hari dipakainya bekerja. Rambutnya digelung sederhana di dekat
tengkuknya demi kerapian.
Mereka berjalan menuju mobil yang terparkir
di luar yang akan membawa mereka ke salah satu pusat perbelanjaan di Delhi. Sesampainya
di tempat yang dituju, dari dalam mobil Jodha melihat ada putra Nyonya Dhanjani
sudah berdiri menunggu di pintu masuknya. Sama seperti dirinya, masih
mengenakan setelan kemeja dan celana kerjanya, tanpa jas.
Jodha –“Anda sudah ditemani putra anda,
kenapa masih mengajak saya?”
Nyonya Dhanjani –“Karena lebih menyenangkan
ngobrol denganmu daripada dengan putraku sendiri.”
Mereka berdua turun di dekat pintu masuk
dan putra Nyonya Dhanjani menyambutnya.
Jodha merasakannya lagi, detak jantung yang
sama...
Deg deg deg....deg deg deg.... deg deg
deg.... deg deg deg....
Jodha menoleh kesana-kemari, mencari
keberadaan seseorang yang bahkan tidak dia ketahui nama ataupun wajahnya. Hanya
mencoba mencari petunjuk apapun penyebab
detak jantungnya menjadi lebih cepat. Lagi-lagi Jalal memperhatikan kebingungan
di wajahnya...
Jalal –“Apa kau mencari seseorang?”
Jodha –“Aku tidak kenal siapapun di kota
ini.”
Jalal –“Tapi kau seperti kebingungan..”
Jodha –“Tidak apa... jangan dipikirkan..”
Jodha terdiam sejenak, mencoba mengatur
nafasnya lagi dan menenangkan debarnya...
Jodha –“Tuan...”
Jalal –“Jalal saja...”
Jodha –“Jalal, benar tidak apa-apa Ibu anda
berjalan-jalan di tempat seperti ini?”
Jalal –“Sebenarnya aku sudah melarangnya,
tapi Ibuku memaksa.”
Jodha –“Kalau begitu kita tidak boleh
membiarkannya terlalu lelah...”
Nyonya Dhanjani –“Kalian tidak perlu
khawatir...”
Percuma saja, meski Jodha dan Jalal merasa
keberatan, tapi Nyonya Dhanjani tetap berkeras meneruskan rencananya. Dengan
sedikit terpaksa, mereka berdua mengikuti kemanapun dia pergi. Keluar masuk
toko satu kemudian toko yang lain. Hingga akhirnya kelelahan di wajah wanita
itu tidak dapat disembunyikannya lagi.
Untuk kali ini, Jodha angkat bicara sebagai
Dokter. Dengan tegas dia meminta Nyonya Dhanjani untuk pulang, dan ternyata dia
menurut. Sesampainya di mobil, ada satu masalah muncul. Salah satu kantong
belanjaan Nyonya Dhanjani tertinggal di salah satu toko. Terpaksa Jodha dan
Jalal kembali lagi ke dalam.
Saat memasuki lobi gedung, tiba-tiba mereka
mendengar teriakan....
“Copet....copet....copet....”
Seorang wanita berteriak dari tengah
kerumunan. Jodha mencoba melihat lebih jelas diantara banyaknya orang disana,
saat sudut matanya menangkap seorang pria berlari kencang menerobos kerumunan.
Di tangannya dia membawa sebuah tas wanita.
Jodha –“Itu copetnya!”
Sambil menunjuk ke arah pencopetnya, tanpa
menunggu siapapun Jodha langsung lari mengejarnnya. Gerakannya sedikit
terhambat karena dia memakai sepatu high heels dan rok. Dilepaskannya sepatunya
dan dilemparkannya salah satunya ke arah pencopet dengan maksud bisa
menjatuhkannya, tapi ternyata lemparannya meleset. Dilemparkannya sepatunya
yang lain dan.. Hap... tepat mengenai kepala pencopet.
Terkena lemparan ujung heel sepatunya
membuat lari pencopet itu sedikit limbung. Jodha tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dipercepat larinya. Dari sampingnya ternyata Jalal sudah
berhasil menyusulnya dan mendahuluinya.
Jodha –“Ayo Jalal!...Kejar!"
Jalal berlari mendahului Jodha karena
larinya lebih kencang dan juga dia lebih leluasa bergerak daripada Jodha yang
mengenakan rok selutut. Jodha terus berlari di belakangnya. Jalal hampir
berhasil mendekati pencopet itu dan...HAP...BRUKKK....Jalal berhasil
menjatuhkannya dengan melemparkan tubuhnya sendiri pada tubuh pencopet itu.
Bobot tubuhnya mampu membuat pencopet itu tersungkur dan tidak berkutik. Jalal
mencengkeram kedua lengan pria itu ke belakang tubuhnya.
Jodha yang berhasil menyusul keduanya
segera merampas kembali tas yang sempat dibawa lari pencopetnya.
Jodha –“Jalal, sudah...! Lepaskan dia..!”
Jalal –“APA!”
Jalal yang terkejut dengan perkataan Jodha,
tidak sadar telah mengendurkan cengkeramannya pada pencopet, dan itu
kesempatannya untuk lari.
Jalal –“Kau membiarkannya lepas! Lalu untuk
apa kita mengejarnya tadi?!”
Jodha –“Untuk mendapatkan kembali tas ini.”
Jalal –“Apa gunanya kalau penjahatnya tidak
tertangkap?!”
Jodha –“Pemilik tas ini tidak akan peduli
pencopetnya tertangkap atau tidak. Yang diinginkannya hanyalah tasnya dan
isinya bisa dia dapatkan kembali. Dia lebih membutuhkan apa yang ada dalam tas
ini, mungkin uang, surat-surat atau barang berharga lainnya...”
Jalal –“Dan kita tidak akan melaporkannya?”
Jodha –“Tidak, kalau kau melaporkannya maka
kau akan membuat pemilik tas ini dalam masalah juga. Jika lapor polisi maka
polisi akan menyita tas ini sebagai barang bukti. Bayangkan saja, wanita itu
akan berbelanja tapi tasnya dibawa polisi berarti dia tidak akan bisa belanja,
iya kan?”
Jalal –“Baik, aku mengalah... Darimana kau
punya pemikiran seperti itu?”
Jodha –“Dari seseorang yang....”
Jodha tidak meneruskan kata-katanya. Entah
kenapa Jodha tidak ingin mengatakan yang sebenarnya tentang arti Dev bagi
Jodha.
Jodha –“Ayo kita kembali ke dalam, kita juga
masih harus mengembalikan tas ini pada pemiliknya.”
Tanpa beralas kaki, Jodha berbalik hendak
meninggalkan tempat itu, saat tiba-tiba Jalal menarik tubuhnya kembali mundur
ke belakang. Jodha terkejut bahkan tidak terpikir untuk melawan. Sekarang posisi
punggungnya menempel pada tubuh depan Jalal...
Jodha –“A..ada apa?...Lepaskan!”
Jalal –“Jangan salah paham, aku hanya
melindungimu dari rasa malu... Rokmu robek di bagian belakang.”
Jalal membisikkan kalimat yang terakhir di
dekat telinga Jodha. Hembusan napasnya yang keluar saat Jalal berbisik membuat
Jodha merinding. Dia membutuhkan waktu cukup lama sampai bisa memahami
sepenuhnya kata-kata yang ingin disampaikan Jalal.
Jodha –“Benarkah?!”
Jodha tidak percaya, karena itu dia
melongokkan kepalanya ke belakang sampai akhirnya bisa melihat bahwa roknya
robek cukup lebar tepat di bagian pantatnya. Jodha benar-benar merasa malu,
apalagi Jalal yang pertama kali mengetahuinya. Rasanya dia ingin ditelan bumi
saat ini juga untuk menyembunyikan rasa malunya.
Jodha –“Astaga! Pasti robek saat aku
berlari tadi... Bagaimana ini, aku tidak punya apa-apa untuk menutupinya?!”
Dalam posisi hampir menempel seperti itu,
Jalal masih punya cukup ruang untuk melepaskan kemejanya membuat Jodha sedikit
panik karena dipikirnya Jalal akan berbuat macam-macam padanya, sementara Jodha
sendiri tidak bisa bergerak kemana-mana gara-gara roknya. Ternyata Jalal
melingkarkan kemejanya ke pinggang Jodha dan mengikatkannya di bagian depan.
Ini dilakukannya untuk menutupi rok yang robek.
Lidah Jodha menjadi kelu tak mampu bicara,
ternyata Jalal hanya berniat baik padanya.
Jodha –“Eh..terima kasih...aku..”
Setelah merasa aman karena roknya sudah
tertutup, dengan buru-buru seperti mau melompat, Jodha langsung menjauhkan
dirinya dari tubuh Jalal. Keputusan yang salah. Sekarang Jodha berhadapan
langsung dengan pemandangan tubuh Jalal yang kekar. Agak sedikit terlalu lama
Jodha terpaku memandangi tubuh pria di depannya ini. Jodha terpesona. Tubuh
Jalal sangat jantan, bersih dari lemak, memperlihatkan kalau pria ini cukup
disiplin berolahraga. Pantas saja Jodha merasa seperti menabrak dinding yang
keras saat pertama kali mereka tidak sengaja bertabrakan dulu.
Jodha –“Tapi kau sekarang tidak memakai
baju..”
Jodha sedikit merasa bersalah, tapi dia
juga tidak mungkin mengembalikan kemeja itu karena dia sangat membutuhkannya..
Jalal –“Tidak apa, aku masih pakai kaos
dalam...”
Mereka mulai melangkah kembali ke tempat
awal mereka sebelum kejar-kejaran dengan pencopet tadi. Langkah Jodha sedikit
terpincang tapi dia terus saja berjalan. Jalal yang berjalan di sampingnya
menyadar hal itu.
Jalal –“Kemana sepatumu?”
Jodha –“Aku sedang mencarinya, tadi aku
melemparkannya ke arah pencopet itu, tapi aku tidak terlalu memperhatikan
kemana arah jatuhnya..”
Sambil berjalan, mereka juga mencari
sepasang sepatu Jodha. Saat melihat ke bawah, Jalal memperhatikan kaki Jodha
sedikit berdarah...
Jalal –“Kakimu berdarah..”
Jodha –“Aku tahu, aku akan mengobatinya
kalau sudah sampai asrama nanti...”
Bahkan saat mereka sampai di tempat awal,
sepatu Jodha tidak juga bisa ditemukan. Jodha merelakannya, sepatunya
benar-benar hilang. Setelah mereka mengembalikan tas itu pada pemiliknya yang
sedang menunggu di dekat meja informasi, merekapun segera pergi menuju mobil
yang sudah menunggu mereka. Nyonya Dhanjani sudah berada dalam mobil itu. Dia
langsung keluar saat melihat Jalal dan Jodha datang.
Nyonya Dhanjani –“Astaga, Jodha?! Apa yang
terjadi? Kenapa kalian berantakan seperti ini?!”
Jalal –“Kami tadi mengejar pencopet.”
Jodha hanya diam saja, biarlah Jalal yang
bercerita pada Ibunya. Nyonya Dhanjani hanya geleng-geleng kepala mendengarkan
penuturan Jalal tentang kejadian yang baru saja mereka alami. Jalal juga
menceritakan kalau Jodha harus kehilangan sepatunya dan terpaksa pulang tanpa
alas kaki. Karena itu Jalal menawarkan diri mengantar Jodha dengan mobilnya
sementara Nyonya Dhanjani pulang sendiri dengan mobil yang dinaikinya saat
berangkat tadi.
Tanpa banyak pertimbangan, Nyonya Dhanjani
menyetujui usul itu. Jodha hanya menurut saja, karena bagi dia, pilihannya
masih lebih baik daripada harus pulang naik taksi sendirian dengan baju robek
dan tanpa alas kaki. Akhirnya Jodha masuk ke dalam mobil Jalal.
Jodha –“Jalal, sebenarnya kemarin aku
sempat berbicara sedikit dengan Ibumu. Dia bercerita kalau dia mendesakmu
segera menikah. Sepertinya aku mulai paham apa yang diinginkannya
sebenarnya...”
Jalal –“Apa..?”
Jodha –“Seorang anak.. perempuan atau
laki-laki. Maksudnya dia merindukan hubungan antara seorang Ibu dan anaknya.
Mungkin dia rindu saat-saat berdekatan denganmu. Mungkin diantara kesibukanmu,
dia merasa diabaikan, karena itulah dia ingin kau mencari calon istri yang
nantinya akan menemaninya setiap hari. Kau lihat sendiri tadi, Ibumu terlihat
lebih segar daripada sebelumnya. Jadi, cobalah kembalikan kehangatan dalam
keluargamu yang sempat hilang...”
Jalal –“Kau mungkin benar... Aku tidak
pernah mengira kalau Ibuku sangat kesepian. Kupikir aku sibuk untuk memenuhi
semua kebutuhan kami jadi kami tidak hidup menderita lagi. Tapi ternyata....”
Jodha –“Seringkali harta bukan pengukur
kebahagiaan seseorang...”
Jalal –“Terima kasih...”
Jalal tersenyum pada Jodha. Benar dugaan
Jodha, senyumnya bisa memperhalus raut wajahnya yang terlihat keras. Dan senyum
itu juga bisa membuat hati Jodha merasa hangat. Lalu...
Deg deg deg....deg deg deg...deg deg
deg....deg deg deg....
Detak jantung yang sama..... dan sekarang
satu-satunya orang yang ada di dekat Jodha adalah Jalal. Mungkinkah Jalal?
Jodha –“Jalal, apa kau penerima donor
jantung?”
Jalal –“Kau bicara apa?”
Jodha –“Lupakan saja...”
Jodha tidak bisa mengendalikan dirinya,
pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Untung saja tepat saat itu,
mobil Jalal berhenti di dekat asrama para residen, tempat Jodha tinggal. Jodha
segera membuka pintu mobil seakan ingin segera melarikan diri dari Jalal gara-gara
pembicaraan terakhir mereka. Juga ingin melarikan diri dari debar jantungnya
sendiri.
Jodha berjalan cepat menuju ke gedung
asrama, tanpa menoleh ataupun mengucapkan salam perpisahan pada Jalal. Dia lupa
kalau kakinya tidak beralas. Baru beberapa langkah saja dia sudah
terpincang-pincang sambil mengaduh kesakitan.
Jodha –“Aww...aaww...aawww...”
Ternyata jalan antara mobil dan gedung
asramanya penuh dengan kerikil tajam. Tidak akan terasa seandainya dia memakai
alas kaki, tapi berbeda saat ini. Dia mendengar suara langkah Jalal di
belakangnya, mengikutinya. Jodha mencoba untuk melangkah lagi, tapi telapak
kakinya semakin terasa panas dan perih karena bersentuhan dengan kerikil yang
tajam. Jodha tersentak saat Jalal memegangi kedua sikunya dari arah belakang.
Jalal –“Hentikan! Jangan siksa kakimu...!”
Jodha –“Tidak apa-apa... kau pulang saja!”
Jalal tetap menahan Jodha agar tidak
bergerak maju. Jodha mencoba melepaskan dirinya, tapi pegangan Jalal lebih
kuat.
Jalal –“Aku akan menggendongmu.”
Jodha –“Jangan! Tidak baik untuk reputasiku
kalau dilihat pasien. Apalagi kalau melihat baju yang kita pakai ini.
Orang-orang bisa salah paham.”
Jodha mengingatkan Jalal kalau pakaian
mereka agak sedikit tidak sesuai dengan nilai kepantasan. Jodha berpikir orang
akan menuduh yang bukan-bukan jika melihat penampilan mereka. Yang wanita
memakai kemeja pria di pinggangnya, sedangkan yang pria hanya memakai kaos
dalam.
Jalal –“Kalau begitu kau naik punggungku!”
Jodha –“Tidak mungkin! Aku pakai rok...”
Jalal diam beberapa saat, sepertinya sedang
memikirkan solusi lain.
Jalal –“Kalau begitu naikkan kakimu ke atas
kakiku..”
Jodha –“Apa yang akan kau lakukan?”
Tanpa banyak bicara, Jalal menempatkan
dirinya di belakang Jodha. Diselipkannya kaki kanannya ke bawah kaki kanan
Jodha, begitu juga kaki kirinya. Lalu Jalal mulai berjalan. Pada langkah awal,
Jodha sedikit limbung ke depan, lalu Jalal memegang kedua lengan Jodha agar
posisi mereka lebih stabil. Setelah merasa posisinya cukup pas, Jalal mulai
melangkah lagi.
Jodha –“Ini konyol... Apa kau tidak merasa
berat?”
Jalal –“Cukup berat.. Kau berhutang banyak
padaku...”
Jodha –“Baik, kau boleh menagihnya kapanpun...”
Entah siapa yang memulai, tapi keduanya
sama-sama tertawa atas tingkah konyol mereka sendiri. Seperti anak kecil yang
menikmati permainan mereka bersama-sama. Mereka berdua tidak memperhatikan ada
seseorang yang mengawasi mereka di balik kaca gedung Rumah sakit....
********************