Tiba-tiba terdengar
interkom Rumah Sakit memanggil semua residen bagian bedah untuk berkumpul di
lantai satu. Ada sebuah kecelakaan yang menyebabkan lebih dari 10 orang menjadi
korban dan Rumah sakit ini adalah salah satu rujukannya. Bagian UGD lantai 1
kewalahan menanganinya, karena itu pihak Rumah Sakit membutuhkan keterlibatan
semua dokter dari semua bagian.
Jodha menyerah setelah
tidak berhasil menemukan yang dicarinya. Tugas sudah memanggilnya. Sepenting
apapun keinginannya, Jodha tidak bisa mengabaikan kewajibannya. Akhirnya Jodha
berlari menyusuri koridor lantai 5 untuk menuju tangga darurat ke lantai 1.
Saat berbelok ke arah kiri, tiba-tiba.... Brukkk..... tubuh Jodha menabrak
seseorang atau sesuatu sampai membuat tubuhnya terpental kembali ke belakang
dan tersungkur di dinding tepat di belakangnya....
“Awwww.... astaga, apa aku
menabrak gunung ya..?”
Ada sebuah tangan terulur
ke depan wajahnya....
“Kau tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa...”
Jodha menyambut uluran
tangan itu dan berusaha berdiri. Ternyata dia bertabrakan dengan seorang pria.
Karena terhalang dinding, Jodha tidak bisa melihat kalau di depannya ada pria
ini yang sedang berjalan dari arah berlawanan dengan dirinya. Meski tertutup
jas, tapi Jodha bisa merasakan ada tubuh yang sangat kokoh di baliknya. Pantas
saja dia merasa seperti menabrak sesuatu yang sangat keras.
Setelah kembali berdiri,
Jodha mengalihkan pandangannya ke wajah pria itu. Diamatinya sejenak. Ekspresi
wajahnya tidak jauh berbeda dengan tubuhnya, sama-sama keras. Tidak terlihat
garis-garis tawa di sekitar mata atau mulutnya, sepertinya pria ini sudah lama
sekali tidak tersenyum. Mulutnya tertutup rapat. Alisnya mengkerut seperti
sedikit kesal karena harus mengalami insiden kecil ini. Jika saja Jodha adalah
anak kecil, dia pasti akan ketakutan memandang wajah di depannya ini. Untunglah
dia sudah dewasa dan dia sudah pernah melihat wajah yang sama menakutkannya
dengan wajah di depannya ini. Tapi andai saja pria ini mau sedikit tersenyum,
Jodha yakin wajahnya akan sedikit terlihat lebih lembut.
“Kau seorang dokter..?”
“I...iya...”
Jodha salah tingkah karena
ketahuan sedang menatap wajahnya. Membuat pria di depannya semakin kesal.
Mungkin karena dia merasa waktunya terbuang percuma gara-gara kejadian kecil
ini.
“Kalau kau seorang dokter,
kenapa kau lari-lari di dalam Rumah Sakit?!. Bukankah kalian melarang
pengunjung untuk membuat kegaduhan, kau sendiri malah yang membuat keributan...”
Jodha mengira pria ini
akan minta maaf padanya, tapi sebaliknya dia malah berkata yang bukan-bukan.
Bukankah dia tidak tahu alasan Jodha harus berlari-lari di koridor. Sebelum
Jodha membalas kata-kata pedasnya, dia mendengar seseorang memanggil namanya
dari arah belakangnya.
“Jodha!...Jodha!...kau
masih disini?”
“Iya...”
“Ayo cepat ke lantai satu.
Mereka butuh bantuan dari semuanya...”
Sambil berlari kecil, Amar
meraih tangan Jodha dan menariknya untuk mengikutinya. Karena ditarik, Jodha
terpaksa mengimbangi langkah Amar. Tapi sebelum jauh, Jodha masih sempat
menoleh ke belakangnya dan hanya mendapati koridor yang kosong. Dia sudah tidak
melihat pria itu disana.
Untunglah Amar datang
menyela di antara mereka, karena kalau tidak Jodha khawatir dia akan berdebat
dengan pria ini. Dan itu sangat tidak baik jika dilihat oleh pasien lainnya.
Dan saat melihat lagi ke arah depan.... Jodha baru sadar, detak jantungnya
sudah kembali normal....meski dia sambil berlari.
Hiruk-pikuk suara-suara
orang kesakitan dan paramedis yang sibuk mengobati dan melakukan tindakan medis
pada pasien korban kecelakaan membuat Jodha lupa atas insiden kecil yang dialaminya
tadi. Selama hampir sepanjang siang dan malam Jodha dan seluruh tim medis Rumah
Sakit sibuk merawat para korban.
Setelah menyelesaikan
tugas jaganya, barulah Jodha merasakan tubuhnya sangat lelah. Dia hampir tidak
mampu berjalan lagi. Karena itulah dia berniat akan tidur di ruangan residen
untuk sementara waktu.
Hari menjelang pagi,
mataharipun belum terbit, koridor-koridor lantai 5 Rumah Sakit masih sangat
lengang, belum ada aktivitas yang cukup berarti. Langkahnya hampir sampai di
ruangan residen, saat telinganya lamat-lamat menangkap suara seperti seseorang
yang sedang terisak. Jodha menoleh ke kanan kiri mencoba mendengar lebih jelas.
Suara itu menuntunnya ke sebuah kamar inap pasien VVIP di arah depannya.
Perlahan dia sedikit
melongokkan kepalanya ke dalam kamar itu, hanya untuk memastikan bahwa isakan
itu berasal dari sana. Benar dugaannya, di dalam kamar itu ada seorang wanita
paruh baya sedang berbaring di atas ranjang pasien, tapi bukannya beristirahat,
wanita itu malah terisak pelan. Jodha teringat untuk mengetuk pintu meski
dirinya sudah berada di dalam. Kontan saja suara ketukan di pintu mengejutkan
wanita itu, cepat-cepat dia menghapus air mata di wajahnya. Mungkin dia mengira
yang masuk adalah seseorang yang dikenalnya.
Jodha –”Maaf, seharusnya
ini waktunya pasien beristirahat. Kenapa anda masih terjaga?”
“Aku tidak bisa tidur.”
Jodha –”Apa anda punya
keluhan?”
“Keluhanku tidak ada
hubungannya dengan sakitku.”
Jodha mengintip name tag
yang terpasang di atas ranjangnya. Nyonya Dhanjani.
Jodha –”Nyonya
Dhanjani...itukan nama anda? Jika anda kurang istirahat, maka akan berpengaruh
juga pada kesehatan anda. Jadi, berbaik hatilah menceritakannya padaku, mungkin
dengan begitu perasaan anda bisa sedikit lega dan anda bisa beristirahat.”
Nyonya Dhanjani –”Terima
kasih, Dokter... Tapi aku tidak ingin merepotkanmu dengan urusan keluargaku.”
Jodha –”Nyonya, panggil saja aku Jodha, tidak perlu memanggilku Dokter...
Anggaplah telingaku ini tempat sampah, jadi apapun yang akan kau ceritakan tidak
akan aku ungkit lagi apalagi kuceritakan pada orang lain...”
Nyonya Dhajani berpikir
sebentar sebelum kemudian dia menyetujui permintaan Jodha...
Nyonya Dhanjani –”Kau
sangat baik Jodha... kau yakin sanggup mendengarnya?”
Jodha –”Mulutku tidak akan
ikut mendengar apa yang didengar telingaku..”
Nyonya Dhanjani –”Baiklah....
Begini... Aku sedih memikirkan putraku... Dia itu sangat tampan, tapi sikapnya
sangat dingin pada wanita. Bagaimana dia akan bisa menikah kalau dia tidak bisa
merubah sikapnya? Lama aku memintanya untuk mencari calon istri dan dia selalu
menolak permintaanku.... Kemudian dia
mengenalkanku pada wanita yang katanya kekasihnya... tapi ternyata wanita itu
bukan wanita yang baik. Ada wartawan yang melihatnya berjalan mesra dengan pria
lain dan kemudian jadi berita. Putraku cukup terkenal, jadi apapun yang
berhubungan dengannya bisa jadi berita. Putraku pasti sangat sedih karena
berita itu, tapi dia tidak pernah menunjukkannya padaku. Karena itulah aku
merasa bersalah padanya. Aku sedih karena gara-gara permintaanku, dia harus
merasakan sakit hati...”
Jodha –”Rasa sayang antara
anda dan putra anda pasti sangat besar, hingga kalian berdua saling merasa
bersalah jika yang lainnya sedih. Anda merasa bersalah karena putra anda
bersedih, dan putra anda merasa bersalah karena belum bisa memenuhi permintaan anda....
Jadi, bagaimana kalau anda dan putra
anda saling bicara dari hati ke hati.... agar semuanya jelas dan kalian tidak
merasa bersalah lagi... “
Nyonya Dhanjani –”Menurutmu begitu?”
Jodha –”Ada baiknya jika anda melakukannya.
Tapi nanti saja, setelah agak siang. Putramu berpikir anda sedang beristirahat
sekarang, dia pasti lebih sedih kalau tahu ternyata anda masih terjaga... Anda
harus beristirahat sekarang...”
Nyonya Dhanjani –”Baiklah... terima kasih
ya... kau benar, rasanya lega.... Tapi tunggu...!”
Jodha sudah akan beranjak dari kamar itu
saat Nyonya Dhanjani menahannya...
Nyonya Dhanjani –”Jangan pergi... temani
aku disini... aku kesepian... Dan tolong panggil saja aku Ibu, ya...?”
Jodha –”Tapi aku sudah punya Ibu, anda
kupanggil Nyonya D saja, bagaimana?... istirahatlah.... aku akan duduk disana..”
Jodha menunjuk ke arah kursi berlengan yang
terletak di bawah jendela. Dia merebahkan tubuhnya di kursi itu. Begitu
memejamkan matanya, Jodha langsung tertidur. Dia tidak ingat apa-apa lagi.
Tiba-tiba ada seseorang yang
mengguncang-guncang pundaknya. –‘Ya Tuhan, aku baru saja ingin tidur. Siapa
lagi yang membangunkanku ini...?’— kata Jodha dalam hati masih dengan mata
tertutup. Karena orang itu tidak berhenti mengguncangnya, terpaksa Jodha membuka
matanya dan melihatnya..... Pria yang seperti gunung itu... Tubuhnya sedikit
membungkuk di atasnya, karena Jodha masih dalam posisi duduk, membuat wajah
mereka sangat dekat satu sama lain. Jodha mengerjap-ngerjapkan matanya agar
bisa segera fokus..
Jodha –”Ya...kenapa anda bisa ada disini?”
“Seharusnya aku yang tanya, kenapa anda
tidur di kamar pasien? Apakah terjadi sesuatu dengan Ibuku?”
Jodha –”Ibu..?
Jodha yang masih belum sepenuhnya sadar,
semakin bingung atas pertanyaan pria di depannya ini...
“Iya...yang ada disana itu Ibuku...”
Pria itu menunjuk pada wanita yang sedang
tidur di ranjang pasien. Ternyata pria inilah putranya....
Karya: Tyas Herawati Wardani
******************