Cukup sekali pandang,
kepribadian Amar langsung terbaca. Dia adalah orang yang bisa membawa keceriaan
bagi banyak orang, periang dan mudah bergaul dengan semua orang. Bahkan setelah
beberapa hari, kehadiran Amar di bagian bedah jantung justru semakin menonjol.
Dia menjadi idola baru di antara para perawat dan juga pasien. Ada yang aneh
atau mungkin itu hanya perasaan Jodha saja, tapi sering kali Amar memperlakukan
Jodha lebih istimewa daripada lainnya.
Setiap kali Jodha memandang
Amar, memang terasa seperti ada sebuah ikatan yang sudah lama terbentuk antara
mereka, padahal mereka baru saja berkenalan. Tapi Jodha merasa sudah mengenal
Amar jauh sebelum mereka bertemu di Rumah Sakit. Kepribadian dan perhatian yang
Amar tunjukkan padanya terasa sangat familier bagi Jodha. Dan yang lebih aneh
lagi, setiap kali berdekatan dengannya, Jodha merasa seperti terlindungi,
seakan Jodha sepenuhnya percaya pada Amar.
Pagi ini, Jodha memeriksa
ulang jadwal jaga malamnya untuk seminggu ke depan. Seingatnya, dia berjaga
bersama seorang residen wanita, tapi saat dia memeriksa ulang ternyata dia
berjaga bersama Amar.—‘Ini aneh, aku yakin jadwalku bukan bersama Amar.’—Jodha
sampai mengkerutkan alisnya karena berpikir keras...
Amar –”Tidak usah terlalu
dipikirkan, jadwalnya benar, kita akan berjaga bersama... Bukan.. aku yang akan menjagamu.”
Amar tiba-tiba muncul di
depan Jodha, membuatnya tersentak kaget.
Jodha –”Tapi bagaimana
bisa?”
Amar –”Aku selalu punya
cara...”
Jodha hanya geleng-geleng
kepala melihat sikap Amar yang penuh teka-teki.
Jodha –”Apa kau tidak
bosan selalu berjaga denganku?”
Amar –”Tidak, justru aku
ingin selalu bersamamu...”
Jodha tidak bisa menebak
apakah sikap Amar padanya itu disengaja atau tidak, tapi dia selalu mengambil
jadwal shift jaga yang sama dengannya. Selain shift jaga yang selalu bersama,
kadang Amar tiba-tiba sudah berdiri di depannya saat dia sedang konsentrasi
mempelajari riwayat kesehatan seorang pasien. Atau dia membuntuti Jodha ke
kantin saat sarapan dan makan siang, sering juga Amar tanpa diminta menyodorkan
segelas teh atau jus untuknya.
Jodha tidak berani
menyimpulkan bahwa Amar menyukainya dan sedang berusaha mendekatinya. Apalagi
Amar juga tidak pernah melakukan atau berbicara sesuatu yang lebih dari
perhatian seorang teman. Jodha mengira sikap Amar padanya sama seperti sikap
yang ditunjukkannya pada gadis lain. Keyakinan bahwa Amar tidak sedang menarik
perhatiannya diperkuat saat Jodha bertemu dengan seorang gadis cantik, secara
kebetulan.
Saat keluar dari ruangan
dokter jaga, Jodha melihat seorang gadis duduk di depan bangku yang merapat ke
dinding ruangan itu. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Jodha merasa
kasihan apalagi saat itu sudah cukup malam, karena itulah dia menghampirinya...
Jodha –”Maaf.. anda
keluarga pasien?”
“Tidak.. aku sedang
menunggu Kak Amar..”
Jodha –”Oh, maksudnya
Dr.Amar? Kau keluarganya?”
Gadis itu menggeleng dan
tersenyum.
“Bukan, aku calon tunangan
Kak Amar... namaku Araya.”
Jodha –”Namaku Jodha... Sudah
lama kau menunggu disini?”
Araya –”Mulai satu jam
yang lalu. Tapi tidak masalah, selama apapun, aku akan menunggu Kak Amar..”
Jodha –”Kau sangat
menyukai Amar ya?”
Araya –”Kak Amar adalah
hidupku, dia adalah detak jantungku..”
Deg... Hati Jodha tersentak.
Dia juga dulu menganggap Dev adalah detak jantungnya. Dan kemudian kehidupannya
direnggut oleh takdir. Jodha masih ingat dengan jelas bagaimana hancurnya
dirinya. Dan jika seandainya Araya tahu bahwa Amar mungkin sedang
mendekatinya... hati Araya pasti akan hancur. Jodha tidak ingin Araya juga
bernasib sama sepertinya. Dia harus menjauh dari Amar...
Araya –”Aku takut Kak Amar
akan tergoda oleh perawat atau dokter yang cantik disini karena dia orang yang
sangat baik. Karena itulah aku akan sering datang mengunjunginya. Kalau kau... apa
hubunganmu dengan Kak Amar?”
Jodha –”Aku hanya
temannya, kami sama-sama residen baru disini.”
Araya –”Sungguh? Kau tidak
bohong? Kau tidak punya perasaan apa-apa pada Kak Amar?”
Jodha diam, berpikir
bagaimana caranya menjelaskan hubungannya dengan Amar. Tidak mungkin dia jujur
apa adanya tentang hubungannya dengan Amar. Sambil berpikir, tanpa sadar Jodha
memutar-mutar cincin pertunangannya dengan Dev yang masih dipakainya dan tidak
pernah lepas dari jarinya. Dan Araya memperhatikan itu..
Araya –”Apa itu cincin
pertunangan? Jadi kau sudah bertunangan?”
Jodha mengangguk. Biarlah
Araya cukup mengetahui kalau Jodha pernah bertunangan, tidak lebih dari itu...
Araya –”Ah syukurlah, kalau
begitu aku tenang. Kau pasti tidak akan macam-macam dengan Kak Amar.”
Tiba-tiba orang yang
sedang mereka bicarakan datang dari arah belakang Jodha, membuatnya melompat
keget.
Amar –”Jodha!...... Araya?”
Dari nada suaranya,
sepertinya Amar tidak mengetahui kehadiran Araya disana. Mungkin karena
pandangannya terhalang Jodha. Sementara Araya langsung tersenyum senang melihat
Amar.
Araya –”Kak Amar, aku
sudah menunggumu dari tadi. Untung Kak Jodha menemaniku. Kau tahu, aku senang
kau punya teman seperti Kak Jodha. Dia sangat baik. Apalagi dia sudah
bertunangan, jadi aku bisa tenang melepasmu bekerja disini...”
Araya bicara sangat
panjang dan dia luput memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Amar saat
medengar kata tunangan..
Amar –”Kau sudah bertunangan,
Jodha?! “
Jodha kesulitan
mengartikan arti perubahan rona wajah Amar. Kecewa? Terkejut? Tidak percaya?
Sedih? Mungkin itu semua digabung menjadi satu. Dan Jodha tidak berani
memandang wajah Amar lebih lama lagi.
Jodha –”Iya.... Ehm,
kalian kutinggal dulu ya?”
Jodha pergi meninggalkan
Araya dan Amar berdua. Mulai besok, dia harus menjaga jarak dari Amar. Itu
janji Jodha dalam hati. Dia tidak ingin membuat masalah di kota ini, yang bisa
mengganggu pendidikannya dan juga dia punya misi yang lebih penting.
Jam 6 pagi keesokan
harinya, Jodha sudah berkeliling mengobservasi pasien yang menjadi bagian
tugasnya. Setelah mengunjungi tiga pasien sebelumnya, Jodha sampai pada pasien
keempat. Seorang gadis kecil berumur tujuh tahun dengan sakit jantung lemah bawaan
sejak lahir. Berulang kali dia keluar masuk Rumah sakit karena kondisinya yang
sering tiba-tiba memburuk. Namanya Deepa. Jodha langsung jatuh cinta pada gadis
cilik ini begitu mereka berkenalan.
Jika melihat keceriaannya,
orang tidak akan percaya kalau gadis kecil ini menderita penyakit yang cukup
berat. Itulah yang membuat Jodha salut padanya. Jodha sebagai orang dewasa
tidak bisa membayangkan rasa sakit setiap kali tubuhnya dipasangi selang infus.
Tapi gadis ini sangat tegar, rasa sakit yang dirasakannya seakan tidak akan
mengurangi keceriaan dalam hidupnya.
Jodha sedang mengobrol
dengan Deepa, saat tiba-tiba dadanya terasa sakit, seperti ada beban sangat
berat yang menghimpitnya, reflek dia memegangi dadanya..
“Dokter, kau tidak
apa-apa? Apa kau sakit?”
“Aku tidak apa-apa,
Deepa.. Sebentar ya...”
Jodha keluar meninggalkan
kamar Deepa karena tidak ingin membuat gadis kecil itu lebih khawatir. Saat
sudah berada di koridor Jodha melihat ke kanan dan ke kiri seperti mencari
seseorang. Setelah rasa sakitnya mereda, Jodha merasakan jantungnya berdetak
lebih kencang seperti yang dulu pernah dirasakannya saat Dev masih hidup...
Deg deg deg...deg deg
deg...deg deg deg....deg deg deg....
Irama yang sama –‘Apa Dev
ada disini? Apa jantung Dev ada disini? Sepertinya aku merasakan
kehadirannya..—‘ Jodha mulai berlari-lari kecil tak tentu arah, dia memeriksa
beberapa tempat berharap menemukan petunjuk apapun, sebelum detak jantungnya
kembali normal. Detak inilah yang dia yakini akan membawanya pada pemilik jantung
Dev.... Jantung Dev sedang memanggil dirinya....
Tiba-tiba terdengar
interkom Rumah Sakit memanggil semua residen bagian bedah untuk berkumpul di
lantai satu. Ada sebuah kecelakaan yang menyebabkan lebih dari 10 orang menjadi
korban dan Rumah sakit ini adalah salah satu rujukannya. Bagian UGD lantai 1
kewalahan menanganinya, karena itu pihak Rumah Sakit membutuhkan keterlibatan
semua dokter dari semua bagian.
Jodha menyerah setelah
tidak berhasil menemukan yang dicarinya. Tugas sudah memanggilnya. Sepenting
apapun keinginannya, Jodha tidak bisa mengabaikan kewajibannya. Akhirnya Jodha
berlari menyusuri koridor lantai 5 untuk menuju tangga darurat ke lantai 1.
Saat berbelok ke arah kiri, tiba-tiba.... Brukkk..... tubuh Jodha menabrak
seseorang atau sesuatu sampai membuat tubuhnya terpental kembali ke belakang
dan tersungkur di dinding tepat di belakangnya....
“Awwww.... astaga, apa aku
menabrak gunung ya..?”
Ada sebuah tangan terulur
ke depan wajahnya....
“Kau tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa...”
Jodha menyambut uluran
tangan itu dan berusaha berdiri. Ternyata dia bertabrakan dengan seorang pria.
Karena terhalang dinding, Jodha tidak bisa melihat kalau di depannya ada pria
ini yang sedang berjalan dari arah berlawanan dengan dirinya. Meski tertutup
jas, tapi Jodha bisa merasakan ada tubuh yang sangat kokoh di baliknya. Pantas
saja dia merasa seperti menabrak sesuatu yang sangat keras.
Setelah kembali berdiri,
Jodha mengalihkan pandangannya ke wajah pria itu. Diamatinya sejenak. Ekspresi
wajahnya tidak jauh berbeda dengan tubuhnya, sama-sama keras. Tidak terlihat
garis-garis tawa di sekitar mata atau mulutnya, sepertinya pria ini sudah lama
sekali tidak tersenyum. Mulutnya tertutup rapat. Alisnya mengkerut seperti
sedikit kesal karena harus mengalami insiden kecil ini. Jika saja Jodha adalah
anak kecil, dia pasti akan ketakutan memandang wajah di depannya ini. Untunglah
dia sudah dewasa dan dia sudah pernah melihat wajah yang sama menakutkannya
dengan wajah di depannya ini. Tapi andai saja pria ini mau sedikit tersenyum,
Jodha yakin wajahnya akan sedikit terlihat lebih lembut.
“Kau seorang dokter..?”
“I...iya...”
Jodha salah tingkah karena
ketahuan sedang menatap wajahnya. Membuat pria di depannya semakin kesal.
Mungkin karena dia merasa waktunya terbuang percuma gara-gara kejadian kecil
ini.
“Kalau kau seorang dokter,
kenapa kau lari-lari di dalam Rumah Sakit?!. Bukankah kalian melarang
pengunjung untuk membuat kegaduhan, kau sendiri malah yang membuat keributan...”
Jodha mengira pria ini
akan minta maaf padanya, tapi sebaliknya dia malah berkata yang bukan-bukan.
Bukankah dia tidak tahu alasan Jodha harus berlari-lari di koridor. Sebelum
Jodha membalas kata-kata pedasnya, dia mendengar seseorang memanggil namanya
dari arah belakangnya.
“Jodha!...Jodha!...kau
masih disini?”
“Iya...”
“Ayo cepat ke lantai satu.
Mereka butuh bantuan dari semuanya...”
Sambil berlari kecil, Amar
meraih tangan Jodha dan menariknya untuk mengikutinya. Karena ditarik, Jodha
terpaksa mengimbangi langkah Amar. Tapi sebelum jauh, Jodha masih sempat
menoleh ke belakangnya dan hanya mendapati koridor yang kosong. Dia sudah tidak
melihat pria itu disana.
Untunglah Amar datang
menyela di antara mereka, karena kalau tidak Jodha khawatir dia akan berdebat
dengan pria ini. Dan itu sangat tidak baik jika dilihat oleh pasien lainnya.
Dan saat melihat lagi ke arah depan.... Jodha baru sadar, detak jantungnya
sudah kembali normal....meski dia sambil berlari.
Hiruk-pikuk suara-suara
orang kesakitan dan paramedis yang sibuk mengobati dan melakukan tindakan medis
pada pasien korban kecelakaan membuat Jodha lupa atas insiden kecil yang dialaminya
tadi. Selama hampir sepanjang siang dan malam Jodha dan seluruh tim medis Rumah
Sakit sibuk merawat para korban.
Setelah menyelesaikan
tugas jaganya, barulah Jodha merasakan tubuhnya sangat lelah. Dia hampir tidak
mampu berjalan lagi. Karena itulah dia berniat akan tidur di ruangan residen
untuk sementara waktu.
Hari menjelang pagi,
mataharipun belum terbit, koridor-koridor lantai 5 Rumah Sakit masih sangat
lengang, belum ada aktivitas yang cukup berarti. Langkahnya hampir sampai di
ruangan residen, saat telinganya lamat-lamat menangkap suara seperti seseorang
yang sedang terisak. Jodha menoleh ke kanan kiri mencoba mendengar lebih jelas.
Suara itu menuntunnya ke sebuah kamar inap pasien VVIP di arah depannya.
Perlahan dia sedikit
melongokkan kepalanya ke dalam kamar itu, hanya untuk memastikan bahwa isakan
itu berasal dari sana. Benar dugaannya, di dalam kamar itu ada seorang wanita
paruh baya sedang berbaring di atas ranjang pasien, tapi bukannya beristirahat,
wanita itu malah terisak pelan. Jodha teringat untuk mengetuk pintu meski
dirinya sudah berada di dalam. Kontan saja suara ketukan di pintu mengejutkan
wanita itu, cepat-cepat dia menghapus air mata di wajahnya. Mungkin dia mengira
yang masuk adalah seseorang yang dikenalnya.
Jodha –”Maaf, seharusnya
ini waktunya pasien beristirahat. Kenapa anda masih terjaga?”
“Aku tidak bisa tidur.”
Jodha –”Apa anda punya
keluhan?”
“Keluhanku tidak ada
hubungannya dengan sakitku.”
Jodha mengintip name tag
yang terpasang di atas ranjangnya. Nyonya Dhanjani.
Jodha –”Nyonya
Dhanjani...itukan nama anda? Jika anda kurang istirahat, maka akan berpengaruh
juga pada kesehatan anda. Jadi, berbaik hatilah menceritakannya padaku, mungkin
dengan begitu perasaan anda bisa sedikit lega dan anda bisa beristirahat.”
Nyonya Dhanjani –”Terima
kasih, Dokter... Tapi aku tidak ingin merepotkanmu dengan urusan keluargaku.”
Jodha –”Nyonya, panggil saja aku Jodha, tidak perlu memanggilku Dokter...
Anggaplah telingaku ini tempat sampah, jadi apapun yang akan kau ceritakan tidak
akan aku ungkit lagi apalagi kuceritakan pada orang lain...”
Nyonya Dhajani berpikir
sebentar sebelum kemudian dia menyetujui permintaan Jodha...
Nyonya Dhanjani –”Kau
sangat baik Jodha... kau yakin sanggup mendengarnya?”
Jodha –”Mulutku tidak akan
ikut mendengar apa yang didengar telingaku..”
Nyonya Dhanjani –”Baiklah....
Begini... Aku sedih memikirkan putraku... Dia itu sangat tampan, tapi sikapnya
sangat dingin pada wanita. Bagaimana dia akan bisa menikah kalau dia tidak bisa
merubah sikapnya? Lama aku memintanya untuk mencari calon istri dan dia selalu
menolak permintaanku.... Kemudian dia
mengenalkanku pada wanita yang katanya kekasihnya... tapi ternyata wanita itu
bukan wanita yang baik. Ada wartawan yang melihatnya berjalan mesra dengan pria
lain dan kemudian jadi berita. Putraku cukup terkenal, jadi apapun yang
berhubungan dengannya bisa jadi berita. Putraku pasti sangat sedih karena
berita itu, tapi dia tidak pernah menunjukkannya padaku. Karena itulah aku
merasa bersalah padanya. Aku sedih karena gara-gara permintaanku, dia harus
merasakan sakit hati...”
Jodha –”Rasa sayang antara
anda dan putra anda pasti sangat besar, hingga kalian berdua saling merasa
bersalah jika yang lainnya sedih. Anda merasa bersalah karena putra anda
bersedih, dan putra anda merasa bersalah karena belum bisa memenuhi permintaan anda....
Jadi, bagaimana kalau anda dan putra
anda saling bicara dari hati ke hati.... agar semuanya jelas dan kalian tidak
merasa bersalah lagi... “
Nyonya Dhanjani –”Menurutmu begitu?”
Jodha –”Ada baiknya jika anda melakukannya.
Tapi nanti saja, setelah agak siang. Putramu berpikir anda sedang beristirahat
sekarang, dia pasti lebih sedih kalau tahu ternyata anda masih terjaga... Anda
harus beristirahat sekarang...”
Nyonya Dhanjani –”Baiklah... terima kasih
ya... kau benar, rasanya lega.... Tapi tunggu...!”
Jodha sudah akan beranjak dari kamar itu
saat Nyonya Dhanjani menahannya...
Nyonya Dhanjani –”Jangan pergi... temani
aku disini... aku kesepian... Dan tolong panggil saja aku Ibu, ya...?”
Jodha –”Tapi aku sudah punya Ibu, anda
kupanggil Nyonya D saja, bagaimana?... istirahatlah.... aku akan duduk disana..”
Jodha menunjuk ke arah kursi berlengan yang
terletak di bawah jendela. Dia merebahkan tubuhnya di kursi itu. Begitu
memejamkan matanya, Jodha langsung tertidur. Dia tidak ingat apa-apa lagi.
Tiba-tiba ada seseorang yang
mengguncang-guncang pundaknya. –‘Ya Tuhan, aku baru saja ingin tidur. Siapa
lagi yang membangunkanku ini...?’— kata Jodha dalam hati masih dengan mata
tertutup. Karena orang itu tidak berhenti mengguncangnya, terpaksa Jodha membuka
matanya dan melihatnya..... Pria yang seperti gunung itu... Tubuhnya sedikit
membungkuk di atasnya, karena Jodha masih dalam posisi duduk, membuat wajah
mereka sangat dekat satu sama lain. Jodha mengerjap-ngerjapkan matanya agar
bisa segera fokus..
Jodha –”Ya...kenapa anda bisa ada disini?”
“Seharusnya aku yang tanya, kenapa anda
tidur di kamar pasien? Apakah terjadi sesuatu dengan Ibuku?”
Jodha –”Ibu..?
Jodha yang masih belum sepenuhnya sadar,
semakin bingung atas pertanyaan pria di depannya ini...
“Iya...yang ada disana itu Ibuku...”
Pria itu menunjuk pada wanita yang sedang
tidur di ranjang pasien. Ternyata pria inilah putranya....
Karya: Tyas Herawati Wardani
******************